05 April 2008

BAU – BAU: IRONI IDENTITAS SEBUAH KOTA

Oleh:
Drs. La Ode Abidin dan La Ode Rabani

Refleksi
Untuk orang awam, mendengar nama kota Bau-Bau, maka langsung berpikir pasti kota itu bau. Bau-bau bisa diinterpretasikan “sangat bau” sehingga orang menyebut nama itu menjadi sebuah hal yang lumrah yang kemudian dijustifikasi masyarakat ”memang itu sangat bau”, sehingga pantas dinamakan dengan Bau-Bau. Masalah yang melekat pada nama kota ini (Bau-Bau), khususnya bagi orang yang tidak mengetahui proses historis penamaan kota yang saat ini telah menjadi kota adminstratif. Bahkan mungkin di antara anak muda (generasi muda) daerah ini tidak banyak yang memahami bagaimana dan mengapa kota ini dinamakan dengan kota Bau-Bau? Mengapa identitas ini terus dipertahanakan dengan konsekuensi mendapat predikat ”bau” dari masyarakat awam bahkan sebagin dari generasi muda yang lahir di kota Bau-Bau?
Pertanyaan selanjutnya adalah bau apa, wangi, sedap, atau busuk atau bau yang yang mengandung pengertian lain sehingga identitas itu begitu terkenal dan diterima oleh masyarakat kota ini secara luas. Sebuah pertanyaan besar yang hingga saat ini belum mendapat jawaban, khususnya generasi muda daerah ini yang masih mencari identitas.
Sebagai orang muda yang terusik dengan identitas itu tentu saja ingin mencari jawaban yang memuaskan dari sebuah pertanyaan itu, kapan kata bau-bau itu mulai dilembagakan dan diakui sebagai sebuah nama tempat di kota yang kini memiliki slogan “semerbak”. Konon kata itu pertama kali merupakan identitas sebuah perkampungan masyarakat pendatang yang bermukim di pinggir pantai. Daerah pemukiman itu sangat bau ketika para pendatang dari tempat lain datang ke daerah ini. Sampai di mana kebenarannya? Tulisan ini mencoba menelusurinya melalui sumber sejarah.
Informasi lain menyebutkan bahwa kata bau-bau berasal dari kata “bau” yang berarti disayang. Kata itu berasal dari orang-orang Bone di Sulawesi Selatan. Pendapat ini didasarkan pada nama seorang tokoh “Andi Bau” yang artinya kurang lebih Adik yang disayang atau secara spesifik bahwa daerah ini sangat disayang oleh orang-orang dari Bone. Kata Andi adalah sebutan untuk gelar bangsawan di Sulawesi Selatan (Bone). Jadi, Andi Bau adalah adik yang disayang. Masyarakat daerah ini disayang oleh para bangawan Bone. Konsekuensi yang muncul dari itu adalah mengakui dominasi kekuasaan Bone terhadap pembentukan identitas sosial kota ini. Atau sama saja mengakui dan melegitimasi kekuasaan Bone terhadap Bau-bau, lalu dimana peran institusi kekuasaan yang bernama kesultanan Buton?
Dari sumber lokal diperoleh informasi bahwa kata bau dalam bahasa Wolio berarti baru. Informasi ini memang masuk akal untuk diterima karena pusat kota pada awalnya di dalam benteng keraton Wolio kemudian berkembang ke arah pantai seiring dengan berkembangnya perdagangan dan pusat aktivitas ekonomi dominan berkembang di pantai. Pelabuhan beserta fasilitasnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dan aktivitas masyarakatnya. Konsekuensi dari perkembangan ini adalah makin berkembangnya wilayah di sekitar pelabuhan dan memudarnya aktivitas ekonomi di daerah di dalam benteng Keraton. Lama kelamaan pusat kota bergeser di sekitar pelabuhan.

Dari Kota Buton ke Kota Bau-Bau
Secara administratif, kita semua menyadari bahwa ibukota kabupaten Buton adalah Bau-Bau. Kota yang ada di Buton saat ini adalah kota Bau-Bau. Memang sering rancu seperti yang penulis katakan bahwa sulit membedakan mana kota Buton, mana pulau Buton dan mana kota Bau-Bau. Agar tidak menyulitkan, maka kita lebih mudah untuk menempatkan katagorisasi itu sesuai waktu dan tempat. Hal ini dimaksudkan agar kita bisa memilah mana diantara ketiganya. Kota Buton berpusat di dalam kompleks Keraton Buton, pulau Buton (Butung) adalah pulau tempat/pusat Kerajaan/Kesultanan Buton, dan pada perkembangan kemudian, pulau ini dikenal dengan penghasil aspal. Selanjutnya kota inilah yang oleh Ligtvoet dinamakan sebagai kota Benteng dan kota Buton awal (early cities)
Kota Bau-Bau adalah kota yang terletak di pantai Buton sekarang yang dulu dikenal dengan pemukiman para pendatang (Wale). Pusat pemukiman ini berkembang menjadi pusat perniagaan dan tempat pendirian fasilitas pelabuhan pertama yang ada di pulau Buton. Di sekitar pemukiman itu, pada masa pemerintahan Hindia Belanda didirikan beberapa fasilitas administrasi untuk kepentingan perdagangan dan pelabuhan. Wilayah ini dikenal dengan kompleks pelabuhan Batu.
Mengapa tidak Buton? Nama Murhum adalah nama salah seorang sultan/penguasa kesultanan Buton. Ironi memang, ketika kita memikirkan semua itu. Saya hanya menyarankan agar ada persepsi yang sama mengenai identitas kota ini, karena masih ada orang dan mungkin sebagian besar dari kita tidak memahami identitas dan maksud pelabelan kota ini. Pemakaian nama Buton memang luas, akan tetapi orang lebih mengenal Buton dari pada Bau-Bau karena hasil aspalnya yang terkenal itu.
Sumber-sumber mengenai kota Bau-Bau dalam catatan memorie van overgave (memori serah-terima jabatan) yang dikeluarkan administratur pemerintah Hindia Belanda yang pernah bertugas di Buton sampai pada tahun 1937 tidak banyak yang ditemukan dan menyebut kata Bau-Bau. Hal yang sama juga terjadi pada masa pendudukan Jepang, dan awal kemerdekaan pun kata Bau-Bau belum begitu popular. Padahal kota yang mendapat label dan diberi nama Bau-Bau itu sudah berkembang menjadi pusat aministrasi pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1870-an di mana seorang sekertaris pemerintah Hindia Belanda ditempatkan di Buton yang bernama A. Ligtvoet. Kota ini menjadi ramai pada tahun 1900-an dan puncaknya pada tahun 1911 ketika Buton dijadikan Ibukota Afdeling Oost Celebes (Sulawesi Timur).
Secara ekologis wilayah Buton terdiri dari daerah perbukitan dan sedikit daratan. Wilayah pantai Buton yang berkembang adalah Bau-Bau. Buton memiliki selat yang dinamakan selat Buton (straat van Boeton) sebagai pintu masuk ke pelabuhan. Selat ini dinilai cukup untuk dilewati oleh kapal dan memudahkan pengawasan terhadap aktivitas di pelabuhan. Di sekitar pelabuhan terdapat beberapa kampung yang letaknya relatif datar dan masyarakat kampung ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai pengrajin kuningan, gerabah, dan tukang besi.
Perubahan kerajaan Buton menjadi kesultanan yang bercirikan Islam terjadi pada tahun 1538-1591. Perubahan ini terjadi seiring dengan Islamisasi penduduk di kerajaan itu, sehingga kesultanan membangun Masjid di kompleks keraton (Nunuk Wijayanti, 1997; 49-50). Bangunan fisik lain yang ditemukan dalam komplek kesultanan Buton adalah benteng. Pembangunan benteng dilakukan sebagai upaya kesultanan dalam melindungi masyarakat dan pusat pemerintahan dari berbagai gangguan eksternal. Pembangunan ini dilakukan pada masa pemerintahan sultan Buton II (1591-1596) dan selesai pada masa pemerintahan sultan Buton III yang bernama Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631) dengan areal mengelilingi keraton Buton (Berthyn Lakebo, (ed.), 1984; 64) . Fasilitas kota yang ikut berkembang adalah pasar dan pelabuhan untuk kepentingan perdagangan dan nelayan di Buton (Stibbe D.G. dan E.M. Uhlenbech, 1921; 342-347.
Jika sebuah kota lahir dari sebuah daerah yang terbuka untuk berbagai aktivitas dan jaringan ekonomi, politik, budaya, sosial, dan jaringan lainnya, maka kota Bau-Bau pun demikian. Kota Bau-Bau sejak masa kolonial Belanda telah menjadi center of network untuk berbagai kepentingan dan telah menjadi penarik bagi orang-orang di daerah sekitarnya untuk datang berdagang di kota itu. Berikut ini dikemukakan perkembangan pemukiman awal kota Bau-Bau yang dalam catatan Ligtvoet bermula dari nama sebuah sungai kemudian berkembang menjadi kampung hingga menjadi sebuah kota kolonial.
Jadi nama Bau-Bau sebenarnya sudah sejak lama ada dan tidak benar apa yang dikatakan oleh beberapa informan bahwa nama itu terkait dengan posisi Buton sebagai “adik” (makna ketergantungan) dari kerajaan Bone dan juga terkait dengan berbagai bau yang mewarnai interpretasi terhadap perkembangan kota itu.
Letak kota Bau-Bau berada di tempat orang pertama yang bermukim di Buton. Konon orang-orang tersebut berasal dari tanah Melayu. Tradisi lisan menyebutkan bahwa pemukiman awal masyarakat dibangun oleh empat pendatang dari Johor (Melayu) pada awal abad XV. Orang-orang Melayu itu mendirikan perkampungan di tepi pantai sekitar kota Bau-Bau. Keempat orang pendiri perkampungan itu ini dinamakan empat manusia pertama atau disebut mia pantamiana.

Catatan Akhir
Kota yang ada di pulau Buton (kota Buton) lahir dari sebuah pusat kekuasaan tradisional, yakni kota kerajaan dan berkembang sebagai kota Islam. Perkembangan kota yang ada di dalam benteng keraton itu diwarnai dengan simbol Islam berupa masjid dan masuknya raja ke dalam agama Islam dan bergelar sultan. Kota itulah yang selama ini dikenal luas sebagai kota Buton. Perkembangan awal kota itu berlangsung antara abad ke-14 sampai abad ke-17. Pada periode ini, secara politik kota Buton masih di bawah kontrol pemerintahan lokal, khususnya Kerajaan Buton yang pada periode itu menguasai hampir seluruh Sulawesi Tenggara.
Perkembangan kota Buton menjadi lambat ketika dominasi politik kolonial makin kuat terhadap kekuasaan sultan Buton yang dimulai pada pascapenandatanganan Perjanjian Bungaya I (1667) sampai Perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824. Pada periode ini perkembangan politik lebih dominan. Buton harus menghadapi tiga kekuatan besar, yakni serangan Ternate di Timur, kerajaan Gowa – Bone di Barat, dan intervensi pemerintah kolonial yang semakin kuat.
Kota Bau-Bau berasal dari sebuah nama sungai, kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas pemukiman dan berstatus kampung. Kampung Bau-Bau terletak di tepi sungai Bau-Bau, sebuah sungai yang menghubungkan daerah pantai dengan daerah pedalaman. Komoditi dagang yang berasal dari pedalaman pulau Buton melalui laut dan sungai.