10 December 2008

PILAR SIMBOLIK PENOPANG KEKUASAAN SUHARTO

oleh: Purnawan Basundoro
(kandidat Doktor di UGM)

Di negara-negara penganut demokrasi modern penopang utama kekuasaan adalah rakyat. Rakyat melegitimasi kekuasaan melalui pemilihan umum. Indonesia kurang mengalami penglaman dalam hal ini. Hampir semua presiden di Indonesia memiliki legitimasi yang amat rendah dari rakyat, hanya presiden terakhir saja yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga cukup legitimat. Hal ini menandakan bahwa masa lalu Indonesia belum menjadi negara yang demokratis. Sukarno naik menjadi presiden karena posisinya yang amat menonjol selama periode pergerakan sampai pendudukan Jepang. Posisinya hampir tidak tergoyahkan, dan upaya untuk meruntuhkannya hanya bisa dilakukan dengan sebuah konspirasi yang cukup canggih antara elemen-lemen penentang di dalan negeri dengan elemen-elemen di luar negeri. Hasilnya adalah pertumpahan darah di hampir semua wilayah Indonesia yang mengantarkan Jenderal Suharto menjadi presiden. Dengan demikian legitimasi terkuat naiknya Jenderal Suharto menjadi presiden adalah ceceran darah anak negeri yang melahirkan dalih bahwa untuk menghentikan ceceran darah tersebut maka ia harus mengambilalih kekuasaan. Lalu mengapa ia bisa bertahan sampai 32 tahun berkuasa? Apakah ia selalu mereproduksi legitimasi ceceran darah tersebut untuk melanggengkan kekuasaannya? Ataukah ia disangga oleh pilar-pilar yang demikian kokoh? Apa saja pilar-pilar penyangga kekuasaannya tersebut?

Secara ringkas pilar penopang kekuasaan Suharto selama berkuasa dapat dibagi menjadi dua, pertama pilar yang bersifat riil, ia berupa kekuatan nyata yang tidak sekedar melegitimasi kekuasaan tersebut tetapi membelanya jika ada ancaman. Kedua adalah pilar yang bersifat simbolik. Pilar ini tidak terlihat atau kasat mata tetapi memiliki efek yang luar biasa untuk mengendalikan rakyat dan menjadi semacam tangan gaib (invisible hand) penguasa untuk menggiring rakyat menuju pada satu kesetiaan tunggal. Pilar yang bersifat riil sebagai penopang kekuasaan Suharto yang paling utama adalah militer. Militer pendukung utama kekuasaan Suharto adalah Angkatan Darat, angkatan di mana Suharto pernah berkiprah sebelum ia menjadi presiden. Naiknya Suharto menjadi presiden juga didukung oleh angkatan ini yang memanfaatkan kekisruhan politik tahun 1965 dan tahun-tahun sebelumnya.

Pasca meletusnya peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965 posisi militer di Indonesia terpecah menjadi dua, yaitu mereka yang masih loyal kepada Presiden Sukarno dan mereka yang lebih loyal kepada Jenderal Suharto. Pada periode ini kondisinya tidak jelas benar, siapa loyal kepada siapa masih sulit diidentifikasi. Menurut Harold Crouch pembelahan di tubuh militer mulai terlihat jelas pada tahun 1967 di mana kelompok-kelompok yang setia kepada Sukarno yang masih tersisa enggan menerima pendongkelan terhadap presiden. Secara berlahan-lahan Suharto mulai mengkonsolidasikan Angkatan Darat menjadi kekuatan utama di tubuh militer yang loyal kepada dirinya.[1] Ia mulai menempatkan Angkatan Darat sebagai kekuatan utama di tubuh militer melebihi angkatan-angkatan lain, yang dengan kata lain Angkatan Darat mendapat porsi yang lebih istimewa dibandingkan dengan lainnya. Dengan strategi ini pada saat Suharto naik menjadi presiden ia mendapatkan loyalitas yang melebihi porsinya dari Angkatan Darat. Angkatan Darat menjadi pendukung utama saat Suharto menjadi presiden sampai jatuhnya pada tahun 1998. Para pengamat politik dan para aktifis sering menyebut Indonesia sebagai negara yang militeristik dan fasis. Bahkan menurut beberapa kalangan jatuhnya Suharto juga tidak bisa dipisahkan dari faktor militer, yaitu terjadinya keretakan hubungan antara Suharto dengan militer atau yang disebutnya sebagai keretakan aliansi strategis Orde Baru.[2]

Pilar riil kedua penopang kekuasaan Suharto adalah Golongan Karya (Golkar) dan partai politik. Agar Indonesia dicitrakan sebagai negara yang demokratis maka perlu ada lembaga-lembaga yang berfungsi mirip partai politik. Di Indonesia pada masa kekuasaan Suharto terdapat tiga lembaga yang memerankan diri dengan peran seperti itu yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keberadaan lembaga ini nyaris hanya sebagai simbol dan sebagai stempel demokrasi karena dalam kacamata Barat negara yang berdemokrasi adalah negara yang mengakomodir kekuatan partai politik. Bahkan keberadaan Golongan Karya pun sebenarnya tidak pernah berfungsi secara riil sebagai penopang kekuasaan Suharto.[3] Tanpa Golongan Karya dan partai politik lainnya Suharto tetap bisa berkuasa sepanjang ia didukung oleh militer. Bahkan Golongan Karya dan partai-partai politik sangat tergantung pada Suharto, terutama dalam menentukan ketua-ketuanya. Ketika Suharto menghendaki agar semua partai politik dan semua organisasi di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai asaznya maka mereka tidak bisa menolaknya. Logika politik di Indonesia pada masa Suharto dibuat jungkir balik olehnya. Golongan Karya pada periode ini memang memiliki tempat yang lebih istimewa dibandingkan dua partai politik yang lain karena Golongan Karyalah yang digunakan oleh Suharto sebagai kendaraan politik, dan lembaga stempel paling loyal tempat ia mendaftarkan diri maju sebagai presiden setiap lima tahun sekali.

Dalam sistem pemerintahan yang militeristik dan terpusat pada satu individu posisi rakyat tidak terlalu penting karena dukungan politik riil bukan dari rakyat. Pada masa pemerintahan Suharto kedudukan politik rakyat amat merana. Bahkan istilah “rakyat” menjadi berkonotasi amat berbahaya dan dijadikan musuh imajiner oleh rezim Suharto. Rakyat, yang sebelumnya dipandang sebagai kekuatan politik terpentingdalam proses kemerdekaan Indonesia, diubah sosoknya menjadi kekuatan politik yang paling berbahaya dalam masyarakat secara imajiner. Dikatakan secara imajiner karena secara riil dalam pemerintahan yang militeristik rakyat dikontrol amat ketat oleh rezim sehingga nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan oleh elit politik rakyat sering diidentikan sebagai orang-orang “bodoh” saat mereka berbicara mengenai rakyat. Mereka merasa lebih mengerti keinginan dan kebutuhan rakyat daripada rakyat itu sendiri.[4] Hal ini adalah ciri negara yang merupakan perkawinan antara sistem paternalistik dengan sistem militeristik.

Di samping berdiri di atas penopang riil, kekuasaan Suharto juga ditopang oleh pilar yang bersifat simbolik, yang tidak terlihat oleh mata, namun bisa dirasakan bahwa penopang tersebut berfungsi sangat efektif. Pertama, desas-desus, isyu, dan propaganda hitam, dan yang kedua adalah sejarah. Ketika Suharto berkuasa, intelijen berperan penting dalam menciptakan berbagai desas-desus, isyu, dan propaganda hitam yang bertujuan untuk meningkatkan daya tawar penguasa dan militer serta untuk menjatuhkan nyali rakyat. Apabila nyali rakyat sudah jatuh maka keberanian untuk mengkritik dan mengoreksi penguasapun sirna. Sebagai contoh misalnya ketika kelompok-kelompok Islam pada tahun 1980-an amat getol mengkritik penguasa dalam kasus Undang-undang Perkawinan, penerapan azas tunggal Pancasila, dan formalisasi P4 maka intelijen menciptakan musuh penguasa yang bersifat imajiner yang disebut Komando Jihad serta Kelompok Warman. Organisasi ini tidak jelas ujudnya tetapi tiba-tiba dituduh menyerbu Pos Polisi Cicendo Bandung, membajak pesawat Garuda DC-9 “Woyla”, meledakan gereja dan candi Borobudur, dan lain-lain.[5] Penciptaan musuh imajiner ini bertujuan untuk menjatuhkan mental ummat Islam agar tidak berbuat macam-macam kepada Suharto. Otak dari semua ini adalah Ali Murtopo, sahabat terdekat Suharto pada masa-masa awal berkuasa. Semua ide-ide Ali Murtopo digodok di sebuah lembaga yang dibentuk olehnya yaitu CSIS yang berkantor di Tanah Abang.

Reproduksi masa lalu atau lazim disebut sejarah juga menjadi elemen yang amat penting pada penegakan pemerintahan Suharto. Analisis kritis mengenai fungsi sejarah sebagai pilar yang menopang kekuasaan Suharto masih amat jarang dibahas melalui studi akademik yang komprehensif. Amat sering kita mendengar bahwa sejarah hanyalah cerita usang yang tidak memiliki nilai guna, tetapi bagi kekuasaan yang hegemonik dan totaliter sejarah amat berguna untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Khrouchtchev, seorang pemimpin dari negeri tirai besi Uni Soviet mengakui bahwa sejarawan adalah satu-satunya kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa. Melalui penelusuran atas sumber-sumber primer, sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau tanpa bisa dibantah oleh pemerintah yang berkuasa. Oleh karena itu di banyak negara -utamanya yang pemerintahannya berkuasa secara totaliter- pergulatan untuk mengendalikan sejarah amat intensif antara yang ingin mengendalikan sejarah untuk kepentingannya dengan sejarawan yang ingin mengungkapkan masa lalu dengan jujur apa adanya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia.

Hampir semua sejarawan di Indonesia mengakui realitas tersebut namun kurang berani untuk mengungkapkannya apalagi meneliti secara intensif secara akademik. Padahal realitas tersebut menyangkut eksistensi diri dan dunianya. Beruntunglah karena Katharine E. McGregor seorang sejarawan dari Melbourne, Australia dengan amat jeli berusaha membongkar sejarah yang dilacurkan pada masa Suharto berkuasa.[6] Penelitian secara umum tentang kiprah militer di kancah politik di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, namun hasil penelitian dari Katharine ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya. Dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik berbagai manipulasi sejarah tersebut yang ternyata adalah seorang sipil, yaitu Nugroho Notosusanto. Karena peran penting yang ia mainkan inilah maka Katharine menempatkan Nugroho Notosusanto pada posisi yang amat istimewa pada karyanya tersebut. Bisa dikatakan buku ini merupakan kisah (biografi) dari Nugroho Notosusanto dalam membantu kelompok militer menciptakan sejarah-sejarah yang bersifat ideologis dalam rangka mencuci otak masyarakat awam serta untuk mencekoki korps militer agar spirit korps (esprit d’corps) mereka tetap terjaga dan kepercayaan diri mereka tetap tinggi. Begitu pentingnya peran Nugroho sehingga dalam buku ini diulas secara khusus pada satu bab tersendiri (bab II) serta menjadi bagian dari ulasan-ulasan pada bab-bab lainnya.

Keterlibatan Nugroho Notosusanto dalam proyek-proyek sejarah militer (ABRI) sebenarnya cukup mengherankan apabila kita lihat latar belakang dia yang sipil tulen. Memang dia pernah ikut bergabung dalam tentara pelajar tetapi ia tidak meneruskan untuk berkarir di bidang kemiliteran. Menilik sikap-sikapnya yang lebih berjiwa militeristik daripada militer yang sesungguhnya sebenarnya patut dicurigai kondisi kejiwaan Nugroho Notosusanto. Nugroho digambarkan sebagai orang yang lebih disiplin daripada insan militer (hlm.272), ia juga sangat bangga mengendarai jip jika pergi ke kampus, dan dalam acara-acara resmi yang melibatkan dia sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI ia suka berseragam militer lengkap (hlm. 297). Sayangnya Katharine tidak menelisik sampai ke arah itu karena ia hanya berhenti pada penelusuran masa kecil, posisi sosial, sedikit mengenai keterlibatan dia dalam kancah pertempuran, sebagai mahasiswa, serta karir dia seperti menjadi dosen, Kepala Pusat Sejarah ABRI, rektor, dan menteri.

Pengabdian total Nugroho Notosusanto pada rezim Suharto dan militer memang cenderung membabi-buta, menghalalkan segala cara, serta dengan taktik yang cukup licik. Katharine mengungkapkan hal ini dalam kasus penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang dilakukan pada pertengahan tahun 1970-an. Sebelum buku tersebut diedarkan ke masyarakat ternyata Nugroho membuat skandal dengan menyerahkan naskah seri sejarah tersebut terlalu dini. Pada waktu itu banyak penulis yang belum menyelesaikan bab-bab yang menjadi bagian mereka, nah untuk menepati tenggat waktu yang digariskan, Nugroho yang berkedudukan sebagai penyunting dengan cerdik memerintahkan asistennya untuk mendapatkan salinan naskah volume enam (yang paling banyak menimbulkan kontroversi) dari para penulis dengan alasan untuk suatu keperluan yang lain. Tetapi ternyata Nugroho menerbitkannya dalam bentuk yang belum sempurna. Perbuatannya tersebut tentu saja mengundang kemarahan anggota penulis yang lain karena menerbitkan karya yang belum sempurna dan tanpa ijin kepada pengarangnya. Tindakan Nugroho tersebut tentu saja bagian dari upaya dia “cari muka” ke penguasa dan militer. Oleh rekan-rekan sesama sejarawan yang terlibat dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia tindakan Nugroho tersebut dianggap sebagai pengkhianatan profesi(hlm. 272-273).

Menurut saya perlu ada penelitian lanjutan mengenai Nugroho Notosusanto dari perspektif kejiwaan yang bersandar kepada pertanyaan, mengapa seorang sipil tulen bisa mengabdi total dan taqlid luar biasa kepada rezim militer. Jangan-jangan ia dihinggapi penyakit semacam militerocomplex, penyakit yang sejajar dengan oydipuscomplex. Militerocomplex (istilah dari saya dan belum saya temukan literatur yang membahas masalah ini) saya bayangkan sebagai penyakit yang menyebabkan si penderita mengidentifikasikan dirinya sebagai militer walaupun sebenarnya ia adalah sipil tulen. Tingkah laku dan tindak-tanduk keseharian, ideologi, dan pandangan hidupnya adalah militeristik. Ia suka menggunakan asesoris-asesoris militer seperti memakai baju, celana, jaket, topi, emblem-emblem militer. Olah raganya juga olah raga militer seperti menembak, kendaraannya jip, jalannya tegap, dan suka bersepatu lars. Keseharian Nugroho tidak jauh-jauh dari identitas tersebut. Olah raga yang digemarinya adalah menembak dengan pistol. Dalam buku tersebut diceritakan bahwa setiap kali ia belajar menembak ia menghabiskan peluru sampai dua dos. Pada masa Suharto berkuasa militerocomplex banyak menghinggapi masyarakat Indonesia. Mereka bangga memakai baju doreng, bertopi tentara, bercelana dan berjaket militer. Mereka yang dihinggapi penyakit ini merasa aman apabila menggunakan berbagai identitas tentara.

Bagaimana Nugroho menjadikan sejarah (khususnya sejarah militer) sebagai elemen simbolik penopang kekuasaan Suharto? Militer Indonesia selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai militer yang unik karena lahir dari kancah perjuangan mengusir penjajah Belanda selama perang kemerdekaan. Militer Indonesia mengklaim dirinya lahir dari “gua garba” rakyat Indonesia jadi rakyatlah yang telah membentuk tentara, bukan pemerintah yang membentuk tentara. Selama perang kemerdekaan militer mengasumsikan diri sebagai lapisan kepemimpimpinan nasional setelah pemimpin sipil ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka pada tahun 1948 saat aksi militer kedua. Atas dasar klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya. Selain klaim tersebut mereferensi pada peristiwa perang kemerdekaan, militer juga mengklaim dirinya sebagai satu-satunya lembaga yang berhasil mengakhiri penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah Sukarno serta berhasil menyetop kesewenang-wenangan politik komunis di Indonesia dengan digagalkannya upaya penggantian ideologi Pancasila pada peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Selain dua peristiwa penting tersebut, terdapat peristiwa sejarah yang lain yang selalu dijadikan referensi militer untuk terus-menerus dijadikan pembenar agar bisa terus-menerus terlibat dalam sistem politik Indonesia. Peristiwa tersebut antara lain pemberontakan PKI Madiun 1948, pemberontakan PRRI/Permesta, pemberontakan DI/TII, dan lain-lain.

Klaim atas peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan militer tersebut tentu saja membutuhkan simbol yang berfungsi untuk terus-menerus mengingatkan memori kolektif rakyat Indonesia bahwa militerlah, yang pada saat-saat negara di ambang kehancuran, turun tangan mengatasi keadaan. Karena peristiwa-peristiwa tersebut sudah menjadi masa lampau, atau sudah menjadi sejarah maka simbol-simbol yang dibutuhkan adalah simbol yang berkategori dalam ranah (domain) sejarah (historical domain).[7]

Studi yang dilakukan oleh Katharine menemukan tiga bentuk simbol yang diciptakan oleh Nugroho Notosusanto. Pertama adalah simbol dalam ujud fisik berupa museum-museum yang sebagian terdapat di Jakarta dan Yogyakarta, kedua simbol dalam ujud audiovisual yaitu film, dan ketiga dalah teks-teks buku sejarah yang disebarluaskan kepada masyarakat dan diajarkan di sekolah-sekolah mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Namun jangan membayangkan bahwa museum-museum yang didirikan oleh militer berisi barang-barang yang berkaitan dengan peristiwa yang diacu, karena sebagian besar museum, terutama yang ada di Jakarta, hanya berisi visualisasi peristiwa sejarah dalam bentuk diorama versi tentara (dengan penyesuaian dan manipulasi). Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, maka visualisasi sejarah merupakan cara paling efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI (hlm. 22). Alasan tersebut sebenarnya kurang masuk akal mengingat semua museum yang digagas oleh militer berada di kota besar, sehingga pengunjung museum tersebut adalah orang-orang kota dan sekitarnya yang sudah melek huruf. Dibandingkan dengan teks-teks dalam bentuk huruf, visualisasi peristiwa masa lampau akan berfungsi lebih efektif untuk mempengaruhi alam bawah sadar orang-orang yang melihatnya karena fungsi-fungsi otak akan lebih cepat mengolah data visual dibandingkan dengan data tertulis.

Namun dibandingkan dengan diorama, tingkat efektifitas visualisasi peristiwa akan meningkat lebih tinggi jika visualisasi menggunakan teknik audiovisual berupa film. Dengan film kesadaran penonton akan dibawa kepada ”peristiwa yang sebenarnya” karena ia akan dihadapkan kepada peristiwa yang hidup, peristiwa yang bersuara, dan peristiwa yang bergerak maju. Efek-efek psikologis dari suara dan gerak akan terekam lebih mendalam dalam memori penonton bila dibandingkan dengan hanya melihat gambar dan patung yang diam. Teknik semacam ini juga dimanfaatkan oleh militer sehingga lahirlah film-film dengan tema sejarah yang menonjol-nonjolkan kepahlawanan tentara yang berlebihan terutama peran Suharto. Peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 misalnya diangkat ke tingkat pemitosan Suharto sebagai pahlawan nasional utama yang merebut kembali Yogyakarta dari Belanda dan menguasainya selama enam jam, yang cukup banyak dilebih-lebihkan.[8] Peristiwa ini diaudiovisualkan paling tidak menjadi tiga film dengan judul berbeda-beda, yaitu Enam Jam di Yogya, Janur Kuning, dan Serangan Umum.[9] Peristiwa kedua adalah pemberontakan G 30 S/PKI, yang merupakan legitimasi naiknya Suharto menjadi presiden. Peristiwa tersebut difelmkan menjadi dua film yaitu Jakarta 66: Sejarah Perintah 11 Maret dan Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang kesemuanya disutradarai oleh Arifin C. Noor. Film Pengkhianatan Gerakan 30 September menjadi film terpanjang karena berdurasi sekitar empat jam. Sayang sekali Katharine hanya sambil lalu saja menganalisis film-film sejarah dalam bukunya tersebut.

Teks-teks buku sejarah menjadi amat penting sebagai media propaganda rezim Suharto terutama buku-buku sejarah yang diedarkan dan menjadi pegangan wajib siswa-siswa sekolah. Ketika Nugroho Notosusanto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ia menciptakan satu mata pelajaran wajib baru yang disebut Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang sebenarnya merupakan murni sejarah tentara Indonesia. Penciptaan mata pelajaran baru tersebut diikuti dengan proyek penulisan dan penerbitan buku teks untuk pelajaran itu. Materi yang terkandung di semua bukunya lebih banyak mengunggul-unggulkan peran tentara dan mereduksi banyak peristiwa penting lainnya. Dalam buku teks sejarah yang oleh Nugroho dijadikan buku babon, yaitu buku Sejarah Nasional Indonesia utamanya yang jilid enam, perjuangan diplomasi, yang merupakan inisiatif dan dilakukan oleh masyarakat sipil Indonesia pada masa perjuangan, direduksi begitu saja dengan menyebut upaya tersebut sebagai kegagalan.[10]

Inti dari semua proyek sejarah yang digagas oleh Nugroho Notosusanto sebenarnya bermuara pada satu titik, yaitu penciptaan simbol-simbol yang melegitimasikan bahwa pemilik sah republik ini adalah tentara. Masyarakat sipil hanya menumpang apabila diberi tempat. Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa telah dijadikan alat-alat simbolik untuk mengukuhkan legitimasi sebuah kekuasaan.

Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit, karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa.

Buku ini menjadi amat penting untuk melengkapi berbagai studi yang telah dilakukan mengenai satu periode sejarah Indonesia yang amat represif, yaitu periode Suharto. Salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme. Studi Katharine ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa betapa bahayanya perselingkuhan yang dilakukan oleh sejarawan dengan penguasa yang otoriter dan lalim.

Sebagai penutup saya akan memberikan koreksi tentang kesalahan penyebutan tempat yang dilakukan oleh Katharine. Pertama, pada halaman 225 disebutkan bahwa monumen yang paling canggih bagi Sudirman adalah Monumen Tempat Kelahiran Sudirman yang terletak di desa Bantargebang dekat Rembang di Jawa Tengah. Mestinya monumen tersebut terletak di desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Kedua, pada halaman 380 disebutkan tentang penemuan kuburan korban pembunuhan massal tahun 1965 di Kaliwiro, Temanggung, Jawa Tengah, yang betul adalah di Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah. Kesalahan kecil tetapi cukup fatal apabila tidak dilakukan koreksi karena akan mengaburkan fakta sejarah yang sesungguhnya.

Daftar Pustaka

Colombijn, Freek. ”The power of symbols in the urban arena: The Case of Padang (West Sumatra),” dalam Peter J.M. Nas. Urban Symbolism. Leiden: E.J. Brill, 1933

Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1999

Dhakidae, Daniel. “Orde Baru dan Peluang Demokrasi.” dalam Th. Sumartana dkk (ed.). ABRI dan Kekerasan. Yogyakarta: Interfidei, 1999

Dwipayana, G. dan Ramadhan KH. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989

Irawanto, Budi. “Konstruksi Relasi Sipil-Militer dalam Sinema Indonesia: Kajian Semiotik tentang Representasi Relasi Sipil Militer dalam Film Enam Jam di Yogya, Janur Kuning, dan Serangan Umum.” Skripsi Fisipol UGM, Yogyakarta, 1995.

Irwan, Alexander. ”Keretakan Aliansi dan Transformasi Orde Baru,” dalam Republika, 15 Agustus 1995.

McGregor, Katharine E. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat, 2008

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka, 1992

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2008

Winters, Jeffrey A. Dosa-dosa Politik Orde Baru. Jakarta: Djambatan, 1999

Kampung Jetis, 1 Nopember 2008



[1] Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1999), hlm. 248

[2] Adanya kemungkinan keretakan aliansi strategis Orde Baru pernah diungkapkan oleh Alexander Irwan, ”Keretakan Aliansi dan Transformasi Orde Baru,” dalam Republika, 15 Agustus 1995.

[3] Daniel Dhakidae, “Orde Baru dan Peluang Demokrasi,” dalam Th. Sumartana dkk (ed.), ABRI dan Kekerasan, (Yogyakarta: Interfidei, 1999), hlm. 102

[4] Lihat “Kata Pengantar” dalam Jeffrey A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. ix

[5] Tuduhan terhadap kelompok-kelompok Islam bisa dilihat di otobiografi Suharto yang ditulis oleh G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), terutama pada hlm. 369-370 dan hlm. 406-407

[6] Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Syarikat, 2008)

[7] Simbol-simbol yang diciptakan oleh militer yang dikomandani oleh Nugroho Notosusanto dalam pandangan Freek Colombijn dapat dimasukan ke dalam ranah politik (The Political Domain), karena peristiwa yang diacu sebagian besar adalah peristiwa politik. Dalam penelitiannya mengenai simbol-simbol di kota Padang, Colombijn berkesimpulan bahwa paling tidak terdapat lima ranah simbol, yaitu The Political Domain, The Ethnic Domain, The Religius Domain, The Informal Leadership Domain, dan The Modernization Domain. Lihat Freek Colombijn, ”The power of symbols in the urban arena: The case of Padang (West Sumatra),” dalam Peter J.M. Nas, Urban Symbolism, (Leiden: E.J. Brill, 1933), hlm. 59-77

[8] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 464

[9] Budi Irawanto, “Konstruksi Relasi Sipil-Militer dalam Sinema Indonesia: Kajian Semiotik tentang Representasi Relasi Sipil Militer dalam Film Enam Jam di Yogya, Janur Kuning, dan Serangan Umum,” Skripsi Fisipol UGM, Yogyakarta, 1995.

[10] Pada bab II poin D.1. secara mencolok dituliskan “Strategi Diplomasi yang Gagal” dan pada poin F.1. dituliskan “Campurtangan PBB dan Kegagalan Usaha Arbitrase”. Judul-judul tersebut secara tendensius menegasikan peranan masyarakat sipil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 139 dan 156