21 November 2009

Menelisik Pesawat Kepresidenan RI


Sumber: Koran Sindo, Minggu, 15 November 2009 - 12:37 wib

MASKAPAI nasional di Indonesia selalu menjadi pilihan bagi para pemimpin negara dalam melakukan kunjungan kenegaraan. Garuda Indonesia Airways (GIA) dan Pelita Air Service (PAS) merupakan dua perusahaan yang menyediakan pesawat kepresidenan di Indonesia.



Meski sering menggunakan jasa penerbangan komersial, presiden juga punya pesawat kepresidenan khusus. Selama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam berbagai kunjungan kenegaraan selalu menggunakan pesawat yang disewa dari perusahaan penerbangan Garuda Indonesia Airways. Pesawat jenis Airbus A330 dengan sejumlah variannya selalu dipergunakan Presiden SBY dan rombongan. A330-341 dan A330-300 merupakan dua varian dari A330 yang sering dipakai Presiden SBY.

Saat kunjungan ke Malaysia beberapa waktu lalu yang dilanjutkan ke Singapura untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC) yang sekarang masih berlangsung, Presiden SBY dan rombongan menggunakan pesawat A330-300. Pesawat jenis ini yang dipergunakan Presiden SBY dan rombongan kala lawatan sepekan ke AS hingga Jepang pada September lalu.

Pesawat Garuda Indonesia Airbus 330-300 bernomor registrasi PK-GPE juga dipakai untuk terbang ke daerah gempa di Sumatera Barat.

Dalam kondisi normal, pesawat jenis ini sebenarnya bisa mengangkut hingga 293 penumpang. Namun, setelah menjadi pesawat kepresidenan, pesawat ini sudah dimodifikasi sesuai tingkat kebutuhan presiden hingga hanya bisa memuat maksimal 140-an penumpang. Varian A330-341 yang paling sering dipakai Presiden SBY saat berkunjung ke luar negeri. Pesawat jenis ini yang dipergunakan SBY pada November tahun lalu kala menghadiri KTT G-20 dan KTT APEC pada 2008 di Washington, AS dan Peru, serta negara lainnya.

Dengan begitu, jenis A330 tampaknya pilihan pemerintah untuk melayani presiden selama kunjungan ke luar negeri.

Airbus A330 merupakan pesawat berkapasitas besar, berbadan lebar, serta bermesin ganda. Pesawat ini oleh perusahaannya memang dirancang sebagai pesawat penumpang komersial. Jenis A330 merupakan pesawat yang diproduksi Airbus di Tououse, Prancis. Jenis ini telah diproduksi lebih dari 600 unit dan tersebar di seluruh dunia dan dipakai oleh banyak maskapai penerbangan komersial. Sementara itu, presiden atau wakil presiden selalu menggunakan pesawat kepresidenan RJ 85 milik PAS ketika bepergian di sejumlah wilayah di Tanah Air.

Pesawat buatan tahun 1992 ini dibeli Pertamina pada era Presiden Soeharto dan dijadikan pesawat khusus kepresidenan. Baik Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati Soekarnoputri sering mengandalkan pesawat ini jika bepergian di dalam negeri.

Pilihan berikutnya pesawat TNI AU, jenis Fokker 28 dengan nomor register A2802 dan Boeing 737-200. Usia Fokker 28 memang cukup tua, diproduksi pada 1980. Sedangkan Boeing 737-200 diproduksi pada 1981, namun pesawat ini pernah dimodifikasi dengan tampilan lebih baru lagi. Jika tidak menggunakan pesawat-pesawat ini, presiden dan wakil presiden mencarter pesawat dari Garuda.

Pesawat Khusus

Sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia sebenarnya mempunyai pesawat khusus kepresidenan. Kala itu pesawat yang dipakai Bung Karno adalah pesawat jenis Ilyushin Il-18. Pesawat ini pemberian dari Pemerintah Rusia. Pesawat yang diberi nama Dolok Martimbang inilah yang selalu membawa Bung Karno ke seluruh Nusantara.

Selain pesawat terbang jenis Ilyushin Il-18, Bung Karno juga pernah memakai pesawat jenis Boeing 707 sebagai pesawat kepresidenan. Pemakaian pesawat jenis ini oleh Bung Karno dilakukan tidak lama setelah Presiden Amerika Serikat juga memakai jenis yang sama. Pesawat Boeing 707 bukan milik negara, namun milik perusahaan penerbangan Pan American Airways (Pan-Am) yang disewa pemerintah. Penyewaan pesawat ini lengkap dengan para awaknya untuk melayani presiden selama perjalanan. Selain itu, Bung Karno juga tidak hanya mempunyai pesawat kepresidenan.

Pada 1961 ketika berkunjung ke Washington, AS dia diberi hadiah sebuah Holikopter Sikorsky oleh Presiden AS John F Kennedy. Moda transportasi udara itu oleh Bung Karno dijadikan helikopter kepresidenan. Helikopter inilah yang sering dipakai Bung Karno ketika berkunjung ke Istana Bogor setiap akhir pekan. Bung Karno juga pernah memakai pesawat Jetstar yang dibeli pemerintah dari perusahaan Lockheed.

Saat pergantian pemimpin pemerintahan tampaknya pesawat kepresidenan juga berganti. Presiden Soeharto yang menggantikan Bung Karno tidak pernah memakai pesawat yang pernah dipakai Bung karno. Pada awal pemerintahan Presiden Soeharto menggunakan pesawat C-130 Hercules milik TNI AU untuk kunjungan dalam negeri. Ketika lawatan ke luar negeri, Presiden Soeharto menyewa pesawat milik Garuda Indonesia Airways (GIA). Dalam lawatan pertamanya ke luar negeri pada era 1966, Soeharto saat masih menjadi Pj Presiden mempergunakan pesawat jenis DC-8.

Setelah perekonomian mulai membaik, Presiden Soeharto mempunyai pesawat kepresidenan jenis Fokker F-28 yang dibeli dan dioperasikan perusahaan penerbangan Pelita Air Service (PAS) yang merupakan anak perusahaan Pertamina. Model interior pesawat ini tentu dimodifikasi untuk kebutuhan kepresidenan. Di dalamnya ada tempat khusus presiden yang terpisah dari penumpang lain. Pesawat yang awalnya bisa membawa 85 penumpang, setelah dimodifikasi hanya berkapasitas 40 penumpang.

Selain itu, Presiden Soeharto juga mempunyai pesawat kepresidenan jenis BAe-146 buatan British Aerospace, Inggris. Dia juga menggunakan pesawat DC-10 milik GIA saat berkunjung ke luar negeri. Di dalam pesawat itu ada kamar tidur khusus presiden. Pesawat kepresidenan lain yang dipakai Presiden Soeharto adalah pesawat jenis A330. Ini pesawat kepresidenan pertama dari perusahaan Airbus. Pesawat inilah yang sering dipakai Presiden Soeharto hingga dia lengser pada 1998.

Kini dominasi pemakaian pesawat dari Garuda tampaknya belum akan terpatahkan dalam waktu dekat. Pemerintah, DPR, dan masyarakat masih belum menyetujui ada pesawat khusus kepresidenan yang dimiliki dan dikelola pemerintah.

Sebaiknya Dikelola Militer

Menurut pengamat penerbangan Chepy Hakim, kebutuhan pesawat kepresidenan jika dilihat dari sudut finasial memang masih dalam perdebatan. Namun dari segi pengamanan pesawat kepresidenan sangat dibutuhkan. Selanjutnya, Chepy menjelaskan, untuk pertimbangan tingkat pengamanan presiden dan wakil presiden, sebaiknya pengelolaan pesawat kepresidenan dilakukan oleh militer.

"Kesiapan tempur (combat ready) tentara lebih terjamin. Mereka (militer) bisa lebih siap pada berbagai situasi dalam 24 jam," ujar Chepy.

Selain itu secara kesinambungan tidak perlu koordinasi yang panjang dengan pihak maskapai. Jika dilakukan oleh tentara proses kaderisasinya jelas, sehingga kesinambungan tugas bisa cepat dilakukan. Hal ini berbeda jika dikelola oleh pihak swasta. Biasanya yang ditugaskan untuk melayani memang pegawai atau pilot senior, namun mereka tetap membutuhkan lebih banyak waktu, belum lagi jika ada pergantian personel.

Mantan Kepala Staf Angkatan Udara ini mencontohkan pesawat Air Force One milik pemerintah AS semua awaknya merupakan tentara pilihan. Dengan begitu, tingkat keamanannya sangat terjamin. "Tentara akan selalu siap jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di waktu yang tidak diperhitungkan," ungkap Chepy.

dicopy dari: http://suar.okezone.com/read/2009/11/15/283/275666/menelisik-pesawat-kepresidenan-ri

13 November 2009

Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa di Universitas Airlangga

Universitas Airlangga merupakan lembaga pendidikan tinggi tertua di Jawa Timur yang berdiri pada 10 November 1954. Pada masa awal hanya terdiri dari dua pendidikan tinggi warisan kolonial, yaitu pendidikan kedokteran dan pendidikan kedokteran gigi. Pendidikan kedokteran berdiri pada tahun 1913 dengan nama Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), sedangkan pendidikan kedokteran gigi berdiri pada tahun 1928 dengan nama School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT). Pendidikan tinggi hukum dan ekonomi juga sebagai pendidikan tinggi yang berdiri sendiri sebelum menjadi bagian dari Universitas Airlangga. Fakultas Hukum merupakan fakultas milik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang ada di kota Surabaya, yaitu Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik. Masih ada satu lagi pendidikan keguruan yang ada di kota Malang, yaitu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1954, pendidikan tinggi yang dimaksud di atas secara resmi menjadi fakultas di Universitas Airlangga.

Selama dua dekade Universitas Airlangga telah menjalani dinamika akademik yang beranekaragam. Salah satunya adalah pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa yang diberikan kepada orang-orang di luar maupun dalam lingkungan universitas. Hal ini menunjukkan bahwa Universitas Airlangga sangat menghargai dedikasi dan jasa-jasa orang-orang yang memiliki kontribusi pada kehidupan ini. Tentunya, para penerima gelar doktor honoris causa dipilih dari orang-orang yang terbaik.

Beberapa tokoh penting di negeri ini yang memperoleh gelar itu, seperti Soebandrio, Raden Wirjono Prodjodikoro, Ruslan Abdul Gani, Prof. M. Sutopo, Prof. R. Soeharso, F.I.C.S., dan Ibnu Sutowo. Tokoh-tokoh ini merupakan tokoh yang berjasa pada saat awal berdirinya negara Indonesia dari sudut pandang yang berlainan. Seorang tokoh yang memperoleh gelar adalah Moerdiono yang pernah menjabat selama dua periode dalam pemerintahan presiden Soeharto sebagai menteri sekretaris negara.

Tokoh pertama yang dianugerahi doktor honoris causa adalah Soebandrio. Gelar ini diberikan pada bulan Desember 1962. Promotor pemberian gelar diamanatkan kepada Prof M. Toha. Riwayat hidup Soebandrio penuh liku-liku khususnya ketika berada dalam kancah politik nasional. Tokoh ini dilahirkan di Malang pada tahun 1914. Dia ikut berjuang sesuai bidangnya pada masa kemerdekaan. Misalnya, pada tahun 1947 – 1954 menjadi duta besar di London (Inggris). Jabatan yang sama dilanjutkan di negara yang berbeda selama dua tahun, yaitu di Moskow (Rusia) pada tahun 1954 – 1956. Pada saat menerima gelar doktor honoris causa, Soebandrio menjabat sebagai wakil perdana menteri. Masa-masa sebelumnya juga menjabat di berbagai jabatan strategis. Menteri luar negeri pernah dipegangnya pada masa Kabinet Juanda. Dia juga pernah menjadi ketua Badan Pusat Intelejen Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Dengan menguatnya Partai Komunis Indonesia, tampak bahwa Soebandrio memiliki hubungan yang kuat dengan partai ini pada tahun 1963.

Universitas Airlangga memberikan gelar kehormatan ini dengan pertimbangan yang matang dan tepat dengan dasar kiprahnya pada bangsa. Soebandrio bukan merupakan orang yang kontroversial pada zamannya, meskipun beberapa tahun setelah pemberian gelar honoris causa diketahui terlibat menjadi anggota PKI yang dilarang pada masa orde baru. Sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965, PKI merupakan partai yang sah di negeri ini, memiliki kedudukan yang sederajat dalam kancah perpolitikan nasional, sehingga siapapun orangnya dibolehkan menjadi bagian anggota PKI. Namun, nasib dan kecelakaan yang ditimpakan pada setiap orang yang menjadi anggota PKI menimbulkan masalah serius setelah partai ini dilarang dalam kancah perpolitikan nasional akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965, meskipun orang yang dimaksud berjasa pada negeri ini. Jasanya seolah-olah sirna dan namanya cemar karena menjadi korban politik suatu rezim.

Seorang tokoh lainnya yang mendapat gelar doktor honoris causa setelah Soebandrio adalah Raden Wirjono Prodjodikoro dengan promotor Prof. Ko Siok Hie, S.H. Gelar kehormatan ini diberikan karena kiprahnya dalam bidang atau ilmu hukum. Saat itu jabatan yang sedang diembannya adalah Mahkamah Agung sekaligus Menteri Koordinator Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri. Jabatan di Mahkamah Agung berlangsung pada tahun 1952 – 1966, sedangkan sebagai menteri berlangsung relatif singkat sekitar 1,5 tahun (Agustus 1964 – Februari 1966) dengan nama Kabinet Dwikora I. Pernah juga menjadi penasehat hukum presiden yang kedudukannya setara dengan menteri pada tahun 1960 – 1962.

Pada masa kepemimpinan Wirjono Prodjodokoro lahir UU No 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 19 UU itu merumuskan, Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turut atau campur-tangan dalam masalah pengadilan. Meskipun berada di bawah bayang-bayang eksekutif dan legislatif, Ketua Mangkamah Agung di masa Orde Lama dikenal sebagai orang yang terbebas dari korupsi. Sebastian Pompe, peneliti Belanda yang tertuang dalam bukunya The Indonesian Supreme Court : A Study of Institusional Collapse, mengatakan bahwa Wirjono Prodjodikoro lebih memilih menyewakan mobil dinasnya sebagai taksi, boleh jadi itu dilakukan untuk mendapat penghasilan tambahan yang halal. Bisa dimaklumi, kala itu kabarnya gaji hakim terbilang kecil.
Dari sekilas kiprah itu, Universitas Airlangga telah menentukan tokoh yang tepat dilihat dari sudut akademik maupun dedikasinya pada satu bidang tertentu. Karya-karyanya menjadi rujukan dan terus dibaca, khususnya oleh para peminat disiplin ilmu hukum. Kepakarannya ini telah menempatkan namanya sebagai salah satu peletak dasar sistem peradilan Indonesia. Raden Wirjono Prodjodikoro juga dapat dilihat dari nama diri dan perjuangannya sewaktu muda.

Nama diri juga menunjuk sebagai seorang bangsawan atau priyayi Jawa dilihat dari raden yang disandangnya. Kota kelahiran menunjukkan kearah itu, yaitu Solo, 15 Juni 1903. Dia menyelesaikan sekolah bidang hukum dari Rechtsschool Jakarta tahun 1922 dan langsung menjadi hakim. Pendalaman ilmu hukum dilakukan dengan melanjutkan belajar di Universitas Leiden, Belanda. Pengabdiannya pada bidang ini berarti sejak masa Hindia Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia. Lebih dari separuh hidupnya diabdikan pada masalah hukum dan konsentrasinya pada bidang ini mengantarkan dirinya pada kedudukan tertinggi derajat akademik., yaitu Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro. Dia berpulang kehariban-Nya pada bulan April 1985.

Tokoh populer lainnya yang mendapat gelar kehormatan doktor honoris adalah Ruslan Abdul Gani. Gelar kehormatan ini diberikan dalam suatu upacara penganugerahan pada 10 November 1964 yang dipromotori oleh Prof. Koentjoro Purbopranoto, S.H.. Ruslan Abdul Gani dilahirkan pada tahun 1914 di kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat kota Surabaya mengetahui tokoh ini karena popularitasnya dan tercatat dalam sejarah sebagai bagian dari revolusi fisik, tokoh pejuang, negarawan, dan politikus.
Jabatan yang pernah diamanatkan kepadanya adalah sekretaris jendral kementerian luar negeri dan menteri luar negeri pada tahun 1956 – 1957. Tugas yang pernah diemban adalah sekretaris jendral Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil ketua dewan nasional Republik Indonesia, wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung. Pada tahun 1962 – 1966, menjadi menteri penerangan dan pada saat menerima penghargaan ini menjadi menteri Koordinator Kompartimen Perhubungan dengan rakyat.

Setelah terjadi pergantian era kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, Ruslan Abdul Gani masih dipercaya menjadi duta besar Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1967 – 1971). Dari berbagai jasa-jasa tersebut, Universitas Airlangga memandang layak untuk memberi gelar doktor honoris causa. Secara spesifik, pertimbangan Universitas Airlangga memberikan gelar kehormatan ini dapat ditinjau dari sudut pandang paling penting, yaitu sebagai pejuang dan berjasa dalam pembangunan di era kemerdekaan. Gelar doktor honoris causa yang disematkan kepada Ruslan Abdul Gani adalah dalam bidang Ilmu Hukum, sehingga secara sah setelah penganugerahan namanya tertulis Dr. Ruslan Abdul Gani.

Setelah Dr. Ruslan Abdul Gani, orang yang dianggap layak adalah Prof. M. Soetopo. Upacara pemberian gelar doktor honoris causa diselenggarakan pada tanggal 24 Mei 1969 yang dipromotori oleh Prof. R. Moh. Imanoedin, guru besar dalam bidang kesehatan masyarakat. Prof. M Soetopo dilahirkan di desa Bandongan, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 24 Juli 1898. Seluruh pendidikan yang ditempuhnya berlangsung pada masa kolonial dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Tahun 1911 tamat dari Europese Lagere School di Sidoarjo, kemudian melanjutkan di Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren di Magelang yang diselesaikan tahun 1913. Pendidikan tinggi ditempuh di NIAS Surabaya selama 11 tahun dari tahun 1913 sampai 1924 dengan memperoleh gelar Indisch Arts. Dari pendidikan tersebut tampak bahwa untuk menjadi seorang dokter pada masa kolonial dibutuhkan waktu yang panjang.

M. Soetopo termasuk mahasiswa angkatan pertama di NIAS Surabaya. NIAS Surabaya didirikan di Kedungdoro pada 15 September 1913 dengan jumlah 30 mahasiswa. Pemimpin atau direkturnya pada saat itu adalah Dr. A.E. Sitzen. Lulusan pertama pendidikan dokter angkatan ini tahun 1923, sehingga M. Soetopo termasuk lulusan periode kedua, yaitu tahun 1924. Selama menjadi mahasiswa, dia mengalami pemindahan tempat dari Kedongdoro ke Karangmenjangan yang terjadi pada tahun 1922.

Setelah lulus dari NIAS, M. Soetopo langsung bekerja menjadi dokter pemerintah. Dia ditempatkan di berbagai daerah, antara lain Surabaya (1924 - 1927), Pare (1927 - 1930), Probolinggo (1930 - 1932), Surabaya (1932 - 1934), Jakarta (1934 - 1937). Setelah itu, dia menjadi manusia ulang-alik antara Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta untuk bertugas. Pada saat di Jakarta tahun 1934, dia bekerja sambil belajar di Geneeskundige Hogeschool dan memperoleh ijazah bergelar Arts.

Ketika berada di Yogyakarta sejak tahun 1945, M. Soetopo menjadi bagian penting dalam kementerian Kesehatan. Pada tahun 1950 bersamaan dengan kabinet Halim, dia diangkat menjadi menteri Kesehatan. Keterlibatannya dalam bidang pendidikan diketahui dari peranannya sebagai anggota panitia pendirian Universitas Gadjah Mada dari tahun 1947 sampai 1949. Gelar guru besar luar biasa diamanatkan kepadanya pada fakultas kedokteran universitas tersebut.

Selain pekerjaan dalam bidang kesehatan, dia juga terlibat dengan berbagai kegiatan pengembangan kesehatan yang disampaikan dalam acara-acara internasional, seperti konferensi dan simposium. Yang unik dari M. Sutopo adalah keterlibatannya dalam bidang politik pada masa kolonial. Disebutkan dalam bahasa saat itu “sebagai satu pembantu jang aktif dari dr. Soetomo dalam masa Indonesische Studieclub, masa Partij Bangsa Indonesia (PBI), dan masa Partai Indonesia Raya (Parindra)”. Dia termasuk pelopor, propagandis, pendiri Jong Java, dan sangat dekat dengan dr. Soetomo dengan posisi sebagai orang kepercayaan.

Sesuatu yang sangat istimewa dan unik dalam diri M. Soetopo adalah memimpin majalah “Soeloeh Indonesia” dan bertindak sebagai Hoofdredacteure harian “Soeara Oemoem”. Prestasi dalam politik adalah anggota dewan pada masa kolonial. Tidak sembarang orang bisa menduduki posisi ini sebab pemerintah Hindia Belanda sangat ketat menentukan orang-orang yang duduk didalamnya. Tahun 1929, M. Soetopo menjadi anggota College van Gecommitterden di kabupaten Kediri dan ditahun yang sama diangkat menjadi anggota Provinciale Raad van Oost Java (sekarang DPRD Jawa Timur).

Dari berbagai jasa-jasa tersebut, Universitas Airlangga dapat memberikan gelar kehormatan dalam beberapa bidang. Tetapi, gelar doktor honoris causa ini diberikan kepada Prof. M. Soetopo dalam bidang kedokteran karena intensitasnya pada bidang tersebut yang ditunjukkan dari kinerja dan karyanya. Prof. M Soetopo tergolong orang yang produktif dalam berkarya dalam hal penyampaian ide melalui tulisan. Sebanyak 24 karya yang disampaikan ketika pemberian gelar doktor honoris causa dilangsungkan.
Gelar doktor honoris causa selanjutnya diberikan kepada Prof. dr. R. Soeharso, F.I.C.S. Tempat kelahirannya di suatu kabupaten sebelah utara kota Solo, yaitu Boyolali, tanggal 13 Mei 1912. Ijazah dengan gelar Indisch Arts diperoleh dari NIAS Surabaya selama 9 tahun. Dia menempuh pendidikan dokter dari tahun 1930 sampai 1939. Sejak saat itu, dia bekerja sebagai dokter pemerintah bagian Ilmu Bedah, C.B.Z Surabaya dibawah pimpinan Dr. J. Harkink dan dr. M. Soetopo. Setelah lima tahun bekerja, dr. Soedarso memutuskan untuk mengambil spesialisasi Ilmu Bedah Umum dibawah bimbingan Prof. Dr. Moh. Saleh Mangoendiningrat. Pendidikan ini ditempuh dalam waktu 3 tahun dari tahun 1946 sampai tahun 1949. Ijazah keahlian khusus lainnya adalah bedah ortopedi yang diperolehnya pada tahun 1957. Konsentrasinya pada bedah ortopedi ini dapat diketahui dari kiprahnya di tahun-tahun sebelumnya. Dia mengikuti pendidikan tambahan yang berkaitan dengan bedah ortopedi dan mendirikan rumah sakit Ortopedi di Solo tahun 1953.

Pemberian gelar dilangsungkan dengan upacara kehormatan pada 8 November 1969 yang dipromotori oleh Prof. H.R.M. Soejoenoes. Seperti penganugerahan kepada tokoh-tokoh sebelumnya, Universitas Airlangga menyematkan gelar dengan pertimbangan yang matang. Dari bidang akademik termasuk orang yang multitalenta khususnya dalam bidang kedokteran dan dari bidang profesi dapat dikategorikan orang pekerja keras. Dimulai dari tahun 1939 sampai 1968 mengerjakan berbagai bidang, seperti dokter, mendirikan bengkel pembuatan tiruan kaki dan tangan, mendirikan sekaligus supervisor Rehabilitasi Centrum Penderita Cacat Tubuh di Surakarta, memberi kuliah kepada mahasiswa, dan lain sebagainya.

Tokoh lainnya adalah Ibnu Sutowo, lahir di Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 23 September 1914. Dia termasuk warga Universitas Airlangga secara tidak langsung karena alumni NIAS Surabaya cikal bakal fakultas Kedokteran dengan gelar Indisch Arts. Ibnu Sutowo juga memiliki kepangkatan dalam bidang militer dengan pangkat mayor titular. Pada masa Agresi Militer Belanda II, ikut serta bergerilya. Prestasi yang luar biasa dari diri Ibnu Sutowo adalah ketika dia ditunjuk, oleh Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution, untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatra Utara (PT Permina) pada tahun 1957. perusahaan ini berubah menjadi Pertamina.

Penghargaan gelar doktor honoris causa diterimanya dalam upacara di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada tanggal 11 November 1972. Dewan promotor diketuai oleh Prof. Kuntjoro Purbopranoto, S.H. yang juga memberikan pidato pengantar dengan judul Peranan Ibnu Sutowo dalam Perminyakan Nasional dan Perekonomian Negara. Penghargaan yang diberikan kepada Ibnu Sutowo merupakan penghargaan pada talenta yang dimilikinya. Dia adalah lulusan NIAS, sehingga gelar akademiknya adalah dokter. Gelar doktor honoris causa ini diberikan bukan pada bidang itu, tetapi dalam bidang ekonomi. Dia merasa tersanjung dengan gelar tersebut, seperti yang diucapkannya, “Saya merasa mendapat penghargaan tinggi sekali, terlebih lagi karena saya adalah alumnus dari jurusan kedokteran.” Meskipun lintas jalur, Universitas Airlangga memberikan dengan pertimbangan yang mantap terutama kiprahnya menerapkan ilmu ekonomi sebagai seorang pengendali perusahaan besar Pertamina.

Tokoh-tokoh tersebut telah dikenal karena popularitasnya di masyarakat dan pengabdiannya pada ilmu pengetahuan. Setelah Ibnu Sutowo, gelar doktor honoris causa diberikan kepada Moerdiono dalam bidang ilmu hukum dengan promotor Abdul Gani, S.H. Orasi ilmiahnya menyinggung tentang membangun negara hukum dengan judul tulisan Manfaat falsafati dan ideologi dalam membangun negara hukum di Indonesia. Moerdiono merupakan yang sangat populer pada masa pemerintahan Presiden Soeharto karena ciri khasnya ketika memberi pernyataan di depan publik. Dia dikenal orang yang berhati-hati dalam berbicara, sehingga terbata-bata dan lambat dalam melisankan yang ada dalam pikirannya.

Dia dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 19 Agustus 1934. pendidikan formal yang ditempuh di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Malang pada tahun 1957. Selama bekerja di Jakarta menyempatkan mengikuti pendidikan Lembaga Admnistrasi Negara (LAN) pada tahun 1967. Peserta wajib militer dengan pangkat terakhir mayor jendral. Dari tahun ke tahun lingkungan kerjanya tidak jauh dari kementerian, antara lain Staf Sekretriat Negara (1966), Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Khusus (1972), menjabat Sekretaris Kabinet (1981), Menteri Muda Sekretaris Kabinet pada Kabinet Pembangunan IV (1983 – 1988), dan Menteri Negara Sekretaris Negara pada Kabinet Pembangunan V dan VI (1988 – 1993 dan 1993 – 1998).

(Sumber: Tim Peneliti Sejarah Universitas Airlangga Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya)

06 November 2009

Konferensi Internasional

Kampung Perkotaan di Indonesia:
Kajian Historis, Antropologis, Kesenjangan Sosial,
dan Ruang Kota


A. Tema
Fokus dari kegiatan workshop ini adalah kampung-kampung urban sebagai sebuah konstruksi historis, unit sosial terpenting dari perkotaan Indonesia, dan suatu wilayah yang secara terus menerus menjadi target dari politik negara. Secara sederhana dan jelas, kita melihat kampung urban sebagai konstruksi hibrida kolonial: ia berkembang dari suatu asal mula pra-modern tetapi juga secara fundamental merupakan suatu produk ‘modernitas’. Selama seratus tahun terakhir, kampung-kampung telah menjadi target dari intervensi pemerintah, sementara di lain sisi ia telah mengembangkan kehidupannya sendiri.
Tujuan dari workshop ini adalah untuk menganalisa bagaimana penduduk kampung maupun negara telah mendefinisikan kampung urban, bukan saja sebatas konsep tetapi juga – dan lebih penting, ialah sebagai realitas sosial yang hidup setiap saat. Adanya suatu pengkonsepan oleh penduduknya maupun maupun oleh negara telah berperanan penting dalam membentuk kehidupan nyata di perkampungan tersebut. Konsep adalah nyata ketika konsekuensi-konsekuensinya juga nyata. Proses pengkonseptualisasian oleh penduduk kampung dan negara dalam banyak hal telah saling mempengaruhi, mempertentangkan, memperkuat satu sama lain.

B. Konseptualisasi Politik Negara
Pengertian yang pasti akan istilah kampung bersifat elusif (Hasselgren 2000:359; Jellinek 1991:xiii; Krausse 1978:11; Nas et al. 2006; J. Sullivan 1992:20). Kampung-kampung telah sesekali muncul di pusat perkotaan, bisa sebagai suatu daerah kumuh yang ditinggalkan, akan tetapi lebih sering merupakan wilayah rural yang terserap oleh perluasan ruang kota. Perkampungan ini pada awalnya dibangun sebagai ruang, dimana melalui proses intensifikasi pembangunan semakin banyak orang pindah untuk bermukim di kampung-kampung (Jellinek 1991: 1-15).
Mengambil sejarah asal usul sebagai bagian yang menentukan dari identitas kampung, kita akan mendefinisikan kampung sebagai pemukiman bersama yang muncul begitu saja, bukan bagian dari suatu rencana penataan ruang bangunan dan jalan-jalan. Definisi ini mengambil perspektif “dari balai kota”, memiliki keuntungann bahwa ia dapat memperlihatkan unsur pendorong sebagian besar dari tindakan negara. Penempatan lahan biasanya tidak teratur dalam bentuk dan ukurannya, pola-pola pemukiman cenderung zigzag, dan rumah-rumah umumnya dibangun sendiri. Pada akhir abad ke-19, pemerintah kolonial menandai kampung dengan identitas tersendiri, dan menempatkannya dalam sebuah kebijakan administratif yang otonom, akan tetapi hal inilah juga yang memisahkan penduduk kampung dari modernitas.
Mulai abad ke-20, kaum birokrat modern dengan cara pandang seperti negara, melihat suatu yang problematis. Respon standar dari hal tersebut adalah ‘perbaikan kampung’, sebuah pendekatan politis yang diperkenalkan pada tahun 1920-an dan terus berlangsung hingga sekarang (Colombijn 2009). Politik tersebut tersirat dari wacana negara bahwa kampung adalah kotor, bermasalah, dan membutuhkan intervensi luar -- dalam hal ini negara. Penemuan kampung sebagai unit analisis dan bagian dari teknik-teknik pengawasan sosial telah membentuk konsepsi awal abad ke-20 mengenai modernitas, dan asumsi pokok bahwa penghuni kampung kekurangan akses terhadap berbagai atribut modernitas. Jadi, intervensi negara bertujuan untuk perbaikan taraf kehidupan sedemikian hingga untuk membuat keberadaan kampung menjadi dapat dibenarkan.
Pandangan negara terhadap kampung tidak semata-mata rasional dan analitis-teknnokratis. Penciptaan stereotip negatif terhadap kampung berakar mendalam pada ketakutan kelas menengah (‘abdi negara’) terhadap massa (Siegel 1999) dan mimpi Orde Baru untuk menciptakan keteraturan dalam ranah publik (Pemberton 1994). Pada dasarnya orang ingin mendobrak batasan sosial karena ingin meninggalkan kampung-kampung yang ’mengganggu’ dibawah mereka ketika – dalam penggambaran Abidin Kusno (2000) – mereka memacu mobil-mobilnya melintasi jalan-jalan layang di atas kampung-kampung kota Jakarta.

C. Konseptualisasi Wilayah yang Ditinggalkan atau Tempat yang
Bermakna

Sementara itu, bagi banyak penduduk kampung, wilayah mereka samasekali tidak kacau dan mereka dapat dengan mudah menemukan jalan di sekitarnya. Meskipun kampung-kampung biasanya jauh dari penataan dan perencanaan, tentu saja masih ada unsur tatanan di dalamnya. Masjid, makam keramat, atau pasar tradisional kecil dapat menjadi titik fokus dari kampung. Masjid biasanya dibangun berdasarkan arah kiblat, sementara berbagai kebiasaan juga berpengaruh terhadap orientasi rumah-rumah (Barker 1999: 100-1; Nas et al. 2006; Silas 1988: 223-5). Bangunan-bangunan, jalan raya dan jalan setapak telah menstruktur interaksi dalam masyarakat (N. Sullivan 1994).
Kampung-kampung menjadi tempat yang nyaman dan bermakna bagi para penghuninya pada beberapa hal tertentu. Mike Davis (2006), menggambarkan ledakan atau pertumbuhan pesat kawasan kumuh dalam Planet of Slums termasuk juga kasus di Indonesia. Kehidupan dapat menjadi semacam roda keberuntungan (Jellinek 1991) atau seperti temperatur udara (Fergusson 1999): ia tentu saja dapat naik dan turun tanpa perkembangan atau kemajuan yang berarti.
Berlawanan dengan pendirian fatalistik seperti roda keberuntungan, para penduduk kampung sungguh-sungguh memiliki peran aktif dan telah menggunakannya. Pandangan umum kaum akademisi terhadap mereka telah bergeser dari gambaran orang miskin yang pasif menjadi orang-orang miskin yang berjuang untuk bertahan hidup bahkan melawan. Perlawanan tersebut mengambil bentuk sehari-hari “senjata orang-orang lemah” (Scott 1985), atau apa yang disebut Asef Bayat (2000), ‘protes bisu dari rakyat jelata’.
Ketika para penduduk kampung mungkin menolak definisi dan stereotip negatif oleh negara/pemerintah atas diri mereka, mereka tidak dapat mengabaikan keberadaan negara, karena kesalahan konsepsi negara atas mereka itu bersifat nyata dalam konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, sejak masa kolonial, diskursus negara atas modernitas, kesehatan dan polusi telah berdampak pada klasifikasi terhadap penduduk kota dan pembeda-bedaan terhadap pola pemukiman, dengan akibat pada suplai air. Kampung-kampung cenderung tidak terakses oleh cadangan air bersih (Kooy dan Bakker, 2008). Kampung-kampung menjadi ‘kawasan coklat yang tertinggal’, suatu cacat dalam perkembangan kota (Rodgers 2006; Jaffe 2006). Bagaimanapun sikap penduduk kampung terhadap pemerintah tidak saja merupakan sebentuk perlawanan atau pengabaian terhadapnya, menjaganya untuk berada diluar dari lingkungan mereka. Mereka juga ingin menekan pemerintah untuk menyediakan kepada mereka sejumlah fasilitas : air bersih, hak atas tanah, sekolah, dan sebagainya.

D. Metodologi: Pendekatan Historis-Antropologis
Kami akan menggunakan pendekatan historis dan antropologis untuk memahami kampung sebagai sebuah konstruksi masyarakat yang menyejarah, dan sangat menentukan dalam memahami masyarakat urban Indonesia pada saat ini. Kami tidak melihat penduduk kampung sebagai korban kemiskinan, atau penerima pasif bantuan pemerintah atau donatur internasional. Kami tidak juga menganggap penduduk kampung sebagai sekelompok orang dengan atribut ‘berpenghasilan rendah’, melainkan terfokus pada tingkatan bagaimana mereka terorganisasi dan terhubung melalui jaringan modal sosial. Jadi, penekanan adalah lebih pada peran dan keagenan, sebuah pemahaman terhadap soal kekinian dengan berperspektif kesejarahan.

E. Tujuan Konferensi
Tujuan penyusunan dan publikasi dari hasil seleksi paper-paper yang masuk adalah untuk dipublikasikan pada edisi spesial dari jurnal ilmiah dalam bidang antropologi, sejarah, kajian pembangunan, kajian urban atau kajian Asia. Bentuk publikasi ini akan memudahkan untuk mengakses data kepustakaan secara online. Selain itu, paper-paper dapat dipublikasikan dalam sebuah edisi khusus yang telah diedit. Kemudian, kami bermaksud untuk mengeluarkan suatu edisi berbahasa Indonesia yang telah diedit (termasuk terjemahan Indonesia dari paper-paper berbahasa Inggris), untuk memfasilitasi seminar dan diskusi mengenai permasalahan tersebut di Indonesia.
Acara workshop ini akan mengumpulkan satu tim ilmuwan muda, ilmuwan karir menengah ataupun ilmuwan yang sudah sangat berpengalaman. Semua kelompok ini akan saling berbagi wawasan dari yang lainnya. Kami berharap bahwa perpaduan ini akan menghasilkan suatu interaksi yang kreatif dan dapat mendorong kerjasama lebih lanjut baik melalui riset bersama, workshop dan publikasi-publikasi.
Relevansi politis dari workshop ini terletak pada pemahaman yang lebih baik akan kehidupan kaum miskin kota. Workshop ini memiliki keterkaitan yang jelas dan praktis dengan pengembangan kebijakan. Ia dapat membangun suatu fokus bagi pemahaman yang lebih baik akan struktur masyarakat urban secara ‘real’, dan juga untuk pengambilan kebijakan yang lebih efektif. Suatu analisis yang memadai terhadap situasi ini akan dapat membangun basis yang kuat bagi pengambilan kebijakan politis. Workshop ini juga akan berkontribusi besar bagi pengembangan kapasitas Jurusan Sejarah khususnya bagi Universitas tuan rumah (lihat lebih lanjut pada tujuan pertemuan).
Akhirnya, kami berharap dapat bekerjasama melalui Michelle Kooy dan Stephen Cairns (University of Edinburgh), yang telah mengadakan suatu pameran di Jakarta mengikuti acara Architectural Bienalle.

F. Pembicara (Nara Sumber)

Australia
1. Sharon Bessell, Senior lecturer Crawford School of Economics and Government, Australian National University (confirmed)
2. Joost Coté, Senior lecturer School of History, Heritage and Social Inquiry, Deakin University (confirmed)
3. Michelle Ford, Senior lecturer Department of Indonesian Studies, The University of Sydney (confirmed)
4. Lea Jellinek, Research Fellow, Monash Asia Institute, Monash University, Melbourne (confirmed)
5. Robbie Peters, School of Social Sciences, La Trobe University, Melbourne (confirmed)


Belanda
6. Freek Colombijn, Associate Professor Department of Social and Cultural Anthropology, VU University (confirmed)
7. Annemarie Samuels, PhD candidate Department of Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University (invited)
8. Ratna Saptari, Lecturer Department of Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University (confirmed)
9. Gerry van Klinken, Royal Netherlands Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies KITLV (confirmed)

Indonesia
10. Purnawan Basundoro, Department of History, Universitas Airlangga (confirmed)
11. Sarkawi B. Husain, Department of History, Universitas Airlangga (confirmed)
12. Johny Alfian Khusyairi, Department of Sociology, Universitas Airlangga (confirmed)
13. Michelle Kooy, Department of Geography, University of British Columbia, Vancouver, seconded to Mercy Corps Indonesia, Jakarta (confirmed)
14. Fajar Kresno Murti Yoshi, Yayasan Pondok Rakjat, Yogyakarta (invited)
15. Tjahjono Rahardjo, Environmental and Urban Studies Graduate Program, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang (confirmed) dan;
16. Beberapa peserta lain dari Perguruan Tinggi di Indonesia yang lolos seleksi abstrak.


G. Waktu dan Tempat

Waktu : 19 – 22 Januari 2009
Tempat : Hotel Mercure, Jalan Raya Darmo, Surabaya

Kontak acara: Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Email : Icuk2010@gmail.com Telp +62 31 503 3080, 503 5676, ext. 206, Fax +62 31 503 5807

03 November 2009

Transaksi dan Persaingan di Laut Sulawesi

ORANG LAUT – BAJAK LAUT – RAJA LAUT

Pembahasan atas Buku
Karya Prof. Dr. A.B. Lapian
Oleh La Ode Rabani


A. Pengantar
Di era karya ini ditulis terdapat banyak keraguan bagaimana menyelesaikan Topik Penelitian yang demikian “menyeramkan” dan hanya bisa membayangkan Bajak Laut dan Raja Laut di dalam film. Tantangan ini kemudian dijawab oleh A.B. Lapian yang berhasil menyusun Disertasi yang kemudian diterbitkan setelah naskah ini berumur 22 tahun lalu. Tulisan ini terasa eksklusif ketika laut mulai mendapat perhatian oleh penguasa di tingkat Negara. Lebih membanggakan lagi adalah lahirnya studi sejarah maritime di beberapa universitas terkenal seperti di Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin Makassar, dan Universitas Diponegoro Semarang dan juga Universitas Airlangga. Sejak saat itu perhatian pada sejarah maritime mulai dilirik untuk dikaji secara seksama meskipun masih ada banyak mahasiswa yang tidak berminat utuk menulis sejarah mairitim. Karya-karya A.B Lapian telah menjadi referensi utama dalam studi sejarah Maritim di Indonesia hingga saat ini.

B. Konstruksi Orang Laut Bajak Laut Raja Laut.
Penelitian ini dibangun di atas fondasi pendekatan struktural yang sangat ketat. Hal ini bisa dibaca dalam kategorisasi yang ketat “mana yang disebut dengan Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut”. Pendekatan sturuktural dan penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam membangun definisi konsep Orang Laut Bajak Luat Raja Laut dan juga Adiraja Laut. Konsep dari Ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik ikut membantu mewujudkan hasil penelitian ini dengan baik. Pendekatan strukutural dan sedikit pengaruh Braudel dengan Total historinya yang diambil dari mazhab Anales (Prancis) yang dipelopori oleh studi-studi yang dilakukan oleh Marc Blonch dan Febvre. Di atas semua itu, pengetahuan penulis yang memadai, dukungan sumber, dan minat yang besar dari penulisnyalah yang bisa mewujudkan karya ini bisa dibaca dengan enak. Tidak salah jika saya mengatakan dua orang sejarawan dengan retorika sejarah yang terbaik di Indonesia yakni A.B. Lapian dan Dr. Kuntowijoyo. Hal ini bisa dibaca dari hasil karya yang dihasilkan oleh dua sejarawan ini.
Aktivitas kelompok sosial itu meningkat selama abad ke-19 dan mengalami kemunduran ketika ada upaya pemeberantasan yang terus menerus oleh kekuasaan kolonial yang oleh A.B. Lapian disebut sebagai Adiraja Laut karena penggunaan teknologi yang lebih maju seperti penggunaan kapal uap dan persenjataan yang lebih baik daripada yang dimiliki Bajak Laut yang mengandalkan perahu layar dengan kecepatan tinggi, tetapi harus tergantung pada arah dan kekuatan angin. Kemajuan Ilmu Pengetahuan terutama peta ikut mendorong pengetahuan tentang daerah-daerah yang menjadi lokasi bajak laut (hlm .
Membaca karya Prof. Dr. A.B. Lapian dengan judul Orang Laut Bajak Laut Raja Laut memberikan kekayaan pengetahuan memadai tentang peristiwa masa lalu yang terjadi di Kawasan Laut Sulawesi dan kawasan lain di dunia. Kategorisasi yang ketat, periodesasi yang jelas, dukungan sumber yang memadai, dan pengetahuan luas penulisnya menjadikan karya ini berbeda dengan karya-karya sejarah sebelumnya adalah kelebihan utama dari buku ini. Tidak mengherankan jika para begawan sejarawan senior seperti Prof. Dr. Anthony Reid (Sejarawan Dunia dan Asia Tenggara) dan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (Guru utama sejarawan Indonesia) mengakui karya ini mengarah pada excellence. Bahkan Sartono Kartodirdjo menyebut karya A.B. Lapian ini sebagai karya terbaik. Dukungan pada karya ini secara spesifik diberikan oleh Athony Reid dengan mengatakan bahwa “tidak ada sarjana Indonesia yang telah mendemostrasikan keahliannya sebagai sejarawan yang lebih baik dari A.B. Lapian”. Itu artinya karya A.B. Lapian ini masih menjadi karya sejarah terbaik atau dengan meminjam bahasa Ambon “seng ada lawan”.
Kejelasan dari border area penelitian menjadi nilai plus tersendiri dari karya ini karena dengan batasan penelitian yang jelas. A.B. Lapian dengan sangat interaktif mampu menjelaskan hubungan sinergis dan ketergantungan antara Orang Laut Bajak Laut dan Raja Laut. Raja Laut memerlukan kerjasama dengan orang laut untuk membina kesatuan maritimnya. Sebaliknya Orang Laut memanfaatkan kerjasama ini untuk mendapatkan perlindungan dari Raja Laut. Terkadang keduanya harus bekerjasama untuk mendapatkan keamanan dan keuntungan ekonomi. Di lain pihak Raja Laut memerlukan budak-budak yang dijual oleh Bajak Laut, sedangkan Bajak Laut bisa mempertinggi prestisenya jika ia memperoleh dukungan dari Raja Laut (hlm. 14 dan 15).
Menurut penulisnya kategori Orang Laut adalah semua kelompok masyarakat yang belum atau tidak mengenal bentuk organisasi kerajaan atau Negara. Mereka berkelompok dalam perkampungan perahu, yakni mereka yang tinggal dalam perahu di lokasi tertentu seperti di teluk, danau atau muara yang terlindung dari ombak dan angin ribut. Sifat orang laut adalah mobile sehingga mereka dengan mudah berpindah tempat atau dalam banyak literature dikenal dengan sea-nomads atau sea-gypsies. Kelompok sosial ini akan berpindah jika menemukan disharmoni di lingkungannya. Mereka lebih memilih berpindah daripada terlibat dari pertikaian atau konflik (orang laut).
Orang Laut dan Raja Laut bekerjasama dengan sesama anggota kelompok masing-masing atau kelompok lain. Raja laut tidak bisa berdiri sendiri karena ia membutuhkan pengikut yang bisa terdiri dari Orang Laut dan Bajak Laut. Dalam konteks ini kapal dijadikan sebagai unit. Biasanya berjumlah lebih dari satu dalam arti satu kapal bersama penumpangnya. Sebagai gambaran, nama kapal Inggris man-o’-war dan East Indiaman merupakan kapal dari Kompeni Inggris yang melakukan pelayaran dari Eropa dan Hindia Timur.
Raja Laut merupakan kekuatan laut dan raja-raja di Asia Tenggara yang melakukan tugasnya melakukan pemayaran di perairan kerajaan. Mereka bisa melakukan kekerasan terhadap siapa saja yang memasuki wilayah perairan kerajaan tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku. Biasanya dilakukan oleh raja laut yang mendapat ijin negara. Dalam konteks itu sebenarnya tidak semua aktivitas bajak laut bisa dikategorikan sebagai “kriminalitas”.
Penyebaran Bajak Laut di Indonesia hampir merata dan paling banyak terdapat di Laut Sualwesi dan Lingga Riau. Bajak laut yang terkenal antara lain Bajak Laut Papua (127), bajak laut Balangingi, Lanun, dan Mangindanau (137), dan bajak Laut paling terkenal adalah Bajak Laut Tobelo (131). Dalam catatan Virginia Matheson yang bersumber dari Naskah Tuhfat al Nafish mengatakan bahwa kesultanan Melayu Johor bisa mempertahankan eksistensinya karena didukung oleh Bajak Laut yang berasal dari Bugis Makassar. Dalam hikayat itu juga diceritakan adanya penguasa Bugis yang menjadi sultan di Kerajaan Johor. Dalam konteks ini Sulawesi bisa dikatakan pada abad XIX menjadi daerah yang diperebutkan antara Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, dan Adi Raja Laut”.
Data baru dan saya kira aktual adalah adanya temuan mengenai penyebutan orang Laut oleh Melayu (Malaysia) sebagai orang Asli sedangkan Indonesia di bawah Departemen Sosial menyebut social groups itu sebagai suku terasing yang harus di beri pendidikan (hlm. 85). Labelisasi seperti itu sama saja tidak menghargai peran sosial orang laut yang dalam sejarah terkenal harmonis dan tidak pernah meminta bantuan dari negara. Karena itu pendekatan lebih manusiawi harus lebih diperhatikan.

Catatan Buku
Mengapa Adiraja Laut tidak menjadi salah satu kata dari judul buku ini? Apakah ini pesan dari sponsor (pembimbing) dalam rangka “menghilangkan” eropa sentris dalam historiografi Indonesia. Kita ketahui bahwa pada periode itu terus berjuang untuk mewujudkan jati diri peran bangsa sendiri dalam proses sejarah yang terjadi dan berlangsung di Indonesia. (historiografi Indonesia sentris).
1. Hubungan antara Bajak laut yang sudah berkembang lama di Mediterania, Yunani, Romawi, di Afrika, dan di Asia Tenggara apakah merupakan suatu kelanjutan dari proses sebelumnya.


Penutup
Sebagai catatan akhir, salah satu konsekuensi dari pendekatan struktural yang ketat adalah adanya penghilangan beberapa unsur yang ikut menjadi bagian dari struktur. Sebagai gambaran Laporan pemerintah tentang Zeeroof (perompakan Bajak Laut) yang dimuat dalam TBG, yang dimuat pada edisi tahun 1855, 1857, 1858, 1873, 1876, dan 1877 menguraikan adanya peran orang-orang Cina dalam proses distribusi hasil perompakan di Laut. Kapiten Cina dan beberapa pedagang Cina dan Raja Laut melakukan transaksi di laut Sulawesi untuk kemudian dijual di Batavia, dijual ke Pariaman, lalu didistribusi ke Singapura dan perkebunan di Deli. Kebanyakan dari proses transaski ini adalah Budak dan komoditi yang laku di pasar internasional seperti mutiara dan teripang.
Untuk menjawab pertanyaan ini adalah generasi setelah A.B. Lapian, terutama para mahasiswa dan kami yang pernah mengikuti kuliah Sejarah Maritim). Sumbangan karya ini dan berbagai pelajaran di dalam buku lebih dari cukup untuk menjadi inspirasi lahirnya karya-karya sejenis di masa yang akan datang.


Universitas Airlangga
Surabaya, 20 Oktober 2009