14 May 2010

Hikayat Sipanjonga Sebagai Sumber Sejarah Buton dan Konsekuensi Historiografisnya

Oleh: La Ode Rabani (Universitas Airlangga-Surabaya)

A. Pengantar

Perkembangan historiografis pada beberapa tahun terakhir dan perubahan politik yang terjadi di negara-negara berkembang telah membawa angin segar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sejarah. Perkembangan ilmu sejarah menuju ke arah yang lebih baik seiring dengan munculnya pendekatan baru dalam memahami peristiwa sejarah. Definisi sejarah yang diperluas telah membuka kesempatan untuk menulis tema-tema baru dalam kajian sejarah masa kini. Kajian sejarah juga telah memperluas penggunaan sumber untuk menulis sejarah. Sebelumnya, sumber sejarah hanya didominasi oleh sumber dokumen yang mengakar pada pendapat no document no history seperti yang dikemukakan oleh von Ranke.

Pendapat itu pada perkembangan mutakhir tidak dapat dipertahankan. Menguatnya pendekatan struktural, hermeunetik, posmodernisme, dan terakhir adalah subalten history telah memperluas penggunaan sumber sejarah. Saat ini sejarah yang ditulis bisa menggunakan sumber lisan (wawancara-interniew), sumber tradisional seperti hikayat, tambo, babad, dan mithos, meskipun harus mencermati sumber itu secara ketat dan selektif. Artinya tidak semua unsur dalam karya itu menjadi sumber sejarah yang valid. Kritik sumber, verifikasi, interpretasi dan analasis yang ketat untuk menemukan fakta dalam sumber tradisional menjadi syarat utama. Hal itu terjadi karena ada banyak unsur yang menyertai rekonstruksi dari lahirnya sebuah naskah-naskah tradisonal seperti itu.

Naskah Tradisonal dalam proses pembuatannya selalu melibatkan orang-orang besar dan untuk kepentingan orang besar pula. Dalam sejarah juga kita tidak pernah menemukan lapisan sosial bawah yang bisa menulis karya-karya agung seperti I Lagaligo di Bumi Sawerigading, Luwu Makassar, Tambo di Minangkabau, Babad Tana Jawi di Jawa, Hikayat dari Melayu, dan manuskrip lain. Isi dari naskah itu kebanyakan peran raja, bangsawan, dan para pembesar kerajaan yang ada di dalamnya. Selain itu, isi biasanya peristiwa politik yang dipenuhi unsur mistis dan peristiwa suksesi dan proses penobatan raja. Terdapat juga pembagian wilayah kekuasaan para raja dan pembantu raja serta para pembesar kerajaan lainnya. Dalam hubungan itu, interpretasi terhadap Hikayat Sipanjonga dianalisis sehingga kita mampu menemukan fakta sebenarnya.

B. Interpretasi Hikayat Sipanjonga sebagai Sumber Sejarah Buton

Makalah ini membahas Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah Buton dan konsekuensi historiografisnya, sebuah analisis hermeunetik. Pembahasan diarahkan untuk mengungkap interpretasi dan pemakaian hikayat sebagai sumber sejarah yang terkandung dalam Hikayat Sipanjonga hingga sekarang. Terdapat tiga alasan untuk menulis tema ini. Pertama, penulisan dan interpretasi sejarah Buton yang menggunakan Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah tidak pernah berubah yakni Buton dibangun oleh mia pantamiana (empat manusia pertama) yang berasal dari Johor Melayu. Keempat orang itu adalah Sipanjongan, Sitamanajo, Sijawangkali, dan Simalui.[1] Kedua, terdapat penafsiran yang berbeda pada isi Hikayat Sipanjonga yang menceritakan keberadaan Mia Pantamiana di Buton yang “dianggap” sebagai peletak dasar kerajaan dan manusia pertama di Buton.

Menurut Susanto Zuhdi dalam disertasinya mengatakan bahwa Kisah-kisah yang ditemukan dalam Hikayat Sipanjonga memperlihatkan adanya proses adaptasi antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Hal ini terlihat dari adanya kisah dalam naskah Hikayat Sipanjonga yang melibatkan pertarungan Sijawangkati yang menebang pohon enau yang ternyata pohon itu sudah dikuasai oleh Dungkuncangia yang sakti. Keduanya sama-sama kuat dan tidak saling mengalahkan. Akhirnya mereka sepakat berdamai dan rukun serta saling membantu dalam ikatan persaudaraan. Dungkuncangia diketahui sebagai kepala negeri (raja) dari Tobe-Tobe, yang berjarak sekitar 7 km dari Wolio. Dalam kesepakatan itu Dungkuncangia setuju untuk bergabung dengan Wolio.[2] Pendapat seperti ini tidak pernah ditemukan dalam penelitian dan tulisan sebelumnya.

Dalam kajian Hasaruddin yang dipresentasikan pada Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau yang kemudian dimuat dalam Jurnal Filologi Melayu, Jilid 14, 2006 mengatakan dengan tegas bahwa Mia Pantamiana ialah bangsawan dari daratan Malaka sebagai orang pertama yang menjadi peletak dasar kerajaan Buton. Pada bagian lain dari artikel itu Hasaruddin mengatakan bahwa Sipanjongan adalah seorang raja di Johor tepatnya di pulau Liya karena dalam pelayarannya menuju Buton membawa perbekalan seperti halnya seorang raja.[3] Hasaruddin juga mengatakan bahwa Sipanjongan melakukan pernikahan dengan rombongan kedua Simalui yang datang ke Buton. Saudara Simalui itu adalah Sabanang. Hasil pernikahan Sipanjonga dengan Sabanang ini melahirkan anak yang kemudian dinamakan dengan Betoambari.[4] Perkawinan Sipanjongan dengan Sabanang menjadi pemersatu antara kedua gelombang pendiri kerajaan Buton.[5] Pernikahan Sipanjongan dengan Sabanang tidak pernah diungkap oleh tulisan lain.

Ketiga, dalam buku yang berjudul Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna atau Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dialihbahasakan oleh Ustaz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik pada tahun 1863 M yang kemudian disalin ulang oleh La Ode Muhammad Ahmadi (mantan Qadhi Masjid Agung Keraton Buton), La Ode Muhammad Amir (mantan Qadhi Masjid Agung Keraton Buton), dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir (Mantan Imam Lipu Malaga/Wantiro) mengatakan bahwa Sipanjongan tidak pernah menikah seperti halnya anggota perantau Johor yang lain.[6] Buku ini juga memuat adanya sepuluh orang yang menjadi pemimpin manusia yang mula-mula mendiami negeri Buton. Kesepuluh orang itu juga disebut dalam buku sebagai orang yang menulis kitab sejarah terjadinya negeri Buton dan Muna.[7] Dengan tiga alasan itu, berarti masih adanya ruang untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai asal usul masyarakat dan sejarah Buton, khususnya fakta mengenai manusia pertama dan peletak dasar kesejarahan kerajaan Buton (Butun).

C. Penciptaan Naskah Tradisional

Peneliti Barat (Eropa) yang berminat pada penelitian kawasan Asia Tenggara pada awalnya tidak tertarik untuk menjadikan naskah tradisional sebagai sumber sejarah Asia Tenggara. Hal ini dipicu oleh rumitnya mencari fakta dalam berbagai naskah Asia Tenggara. Selain itu ada banyak kontradiksi, banyak nama, dan banyak peristiwa dalam naskah-naskah tradisional Asia Tenggara. Yang lebih memprihatinkan lagi, peneliti Eropa menganggap tidak ada informasi penting dan masuk akal yang perlu diambil dari naskah-naskah tradisional yang tersebar di Asia Tenggara.

Anggapan itu berubah ketika beberapa ada sebagian peneliti dan penguasa Eropa yang menulis tentang Asia Tenggara. Di Indonesia kita menyebut Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles yang menulis History of Java. Dalam karya ini Rafles menggunakan sumber babad untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kerajaan Mataram di tahun 1700an. Konflik Mataram Yogyakarta dan Surakarta berbuntut pada terpecahnya Mataram menjadi dua kerajaan. Sumber Babad membantu Rafles memahami konflik kepentingan di dalam istana Mataram.[8] Hal serupa dilakukan oleh Virginia Matheson yang membahas konflik di Kesultanan Johor sebagai bagian yang berhubungan dengan Lingga Riau. Viginia Matheson mampu membuktikan adanya peran orang-orang Bugis dan Bajak Laut yang membantu Johor untuk mempertahankan eksistensi di tengah persaingan dengan kekuatan yang lebih kuat yakni kekuatan VOC seperti yang disebutkan dalam hikayat Tuhfat al Nafish.[9] Penggunaan naskah tradisional itu sebagai sumber sejarah ikut mempengaruhi substansi dan lahirnya fakta-fakta baru dalam sejarah Asia Tenggara pada masa-masa kemudian, termasuk sejarah Indonesia saat ini. Pada konteks itu penggunaan Hikayat Sipanjonga dipahami.

Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah Tradisional Kerajaan Buton hingga saat ini masih terus dipergunakan tanpa ada perluasan analisis terhadap maksud dan tujuan naskah itu dibuat. Seperti kebanyakan naskah lainnya, di balik penciptaan naskah si Panjonga pasti ada proses sebelum naskah itu menjadi utuh sampai sekarang.

Seperti diketahui Naskah Hikayat Sipanjonga ditulis oleh seorang pedagang Banjar pada tahun 1267 H atau 1850 seperti diungkap oleh Hasaruddin dalam buku Naskah Buton, Naskah Dunia.[10] Isi hikayat antara lain memuat dengan jelas sosok Sipanjongan yang menjadi raja di Pulau Liya sebagai seorang yang dermawan, memiliki harta yang banyak, dan memilik banyak saudara. Naskah juga menjelaskan proses tidurnya Sipanjongan yang bermimpi bertemu dengan seorang tua dan mengatakan kepadanya bahwa “hai cucuku, apa juga sudinya cucuku tinggal di pulau ini”? lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan cucuku yang memegang dia.[11] Selanjutnya Sipanjongan melakukan pelayaran ke timur dengan membawa perbekalan yang cukup. Dalam pelayarannya ini Sipanjongan dan rombongannya menggunakan Palulang yakni jenis perahu yang digunakan untuk berlayar mengarungi lautan. Dalam pelayarannya Sipanjongan memilih waktu baik agar selamat sampai di tempat tujuan. Satu penjelasan dari naskah adalah adanya angin yang kencang dan mendorong Palulang hingga kecepatan perahu sama dengan rajawali yang terbang sehingga pulau Liya tempat sang Raja (Sipanjongan) berkuasa hilang dalam sekejap.

D. Memperluas Analisis Hikayat Sipanjonga (HSP).

Seperti kebanyakan naskah-naskah pribumi yang dihasilkan oleh intelektual Tradisonal Asia Tenggara termasuk Indonesia khususnya karya yang dihasilkan di dalam istana cenderung bersifat istana sentris. Istana sentris mengacu pada pemahaman bahwa isi kitab atau kitab yang kemudian kita kenal dalam berbagai sebutan seperti hikayat, tambo, lontara, hikayat babad dan sejenisnya berisi peran besar istana (raja) atau para pembesar kerajaan dalam membangun dan mengembangkan kerajaan yang dipimpinnya, termasuk di Kerajaan Buton. Dari sejumlah naskah (manuskrip) yang dihasilkan selalu mengungkap kebesaran raja dan para pembesar kerajaan sebagai ciri umum yang berlaku untuk sebagian besar manuskrip yang dihasilkan di Asia Tenggara.

Manuskrip-manuskrip itu ditulis untuk berbagai kepentingan. Naskah HSP ditulis sebagai warisan pengetahuan agar generasi penerus kerajaan Buton diketahui. HSP seperti disebutkan di atas bahwa sumbangan pengetahuan penting dari hikayat ini adalah mengenai manusia/pendatang pertama di Buton yang kemudian mendirikan kerajaan Buton. Mereka datang dari Melayu dan membawa simbol kebesaran kerajaannya yang dipasang diburitan perahu yang mereka tumpangi. Naskah ini juga diketahui sebagai salinan yang dilakukan oleh seorang pedagang Banjar yang singgah dalam perjalannya menuju Sumbawa.

Naskah HSP telah menjadi sumber utama penulisan sejarah Buton dan tidak pernah ada kemajuan dalam interpretasi maupun mencoba membandingkan dengan naskah saduran lain kecuali yang dilakukan Susanto Zuhdi (1999) yang mengatakan bahwa Hikayat Sipanjonga memperlihatkan adanya proses adaptasi antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Dari sisi ini terdapat kemajuan yang berarti atas interpretasi naskah. Belum ada interpretasi dan kajian lanjutan setelah Susanto Zuhdi menemukan sisi lain dari HSP. Setelah 10 tahun interpretasi lama dihadirkan kembali sehingga historiografi kritis tidak berkembang sebagaimana diharapkan Susanto Zuhdi.[12]

Jika membandingkan antara isi Hikayat Sipanjonga dengan Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna atau dalam bahasa Arab Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dikarang oleh Ustadz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik tahun 1863 dalam aspek yang sama terhadap sejarah Buton terdapat perbedaan. Perbedaan itu terlihat pada orang-orang yang berperan penting dalam proses perjalanan Sejarah Buton. Dalam Saduran naskah Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat disebutkan terdapat 10 orang yang memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan membangun kerajaan Buton. Kesepuluh orang itu adalah Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui, Sisajangkawati, Dungku Cangia, Sang Ria Rana atau Sanga Riarana, Banca Patola, Kaudoro, Raden Jutubun atau Baubesi, dan Raden Sibatara atau Sabatara.

Kandungan (isi) Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat menjadi bukti yang mendukung pendapat Susanto Zuhdi. Dengan begitu HSP tidak harus dipahami apa adanya tetapi perlu dikembangkan dengan interpretasi yang lebih kritis, sehingga kita menemukan fakta sebenarnya dalam menjelaskan sejarah Buton yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah Kerajaan dan Islam Indonesia. Perbedaan kedua isi itu sebenarnya saling melengkapi yang menghadirkan fakta baru bahwa ada orang lain selain mia pantamiana yang membangun Buton sebagai sebuah entitas masyarakat yang hidup pada jamannya. Selain itu, salah satu fakta yang ada di dalam naskah HSP yang memuat sejarah manusia pertama di Buton secara faktual harus direvisi karena tidak memberikan tempat bagi orang lain selain mia pantamiana yang memiliki sejarah di daerah itu. Dengan penjelasan itu maka HSP sama dengan karya-karya tradisional yang lain dengan ciri umum pada istana sentris dan mengabaikan kelas sosial lain dalam perjalanan sejarah sebuah pemeritahan/kekuasaan.

Fakta lain juga menunjukan bahwa aktivitas utama pada periode itu adalah perdagangan dan muhibah agama. Keduanya berjalan saling mendukung. Bedagang sambil menyebarkan agama adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, meskipun salurannya menggunakan budaya lokal untuk mempermudah misi itu berjalan. Agama Hindu Budha dan Islam serta Kristen juga menggunakan cara ini agar lebih mudah diterima masyarakat.

Posisi Buton yang terletak di jalur perdagangan Internasional yakni di antara Maluku sebagai penghasil rempah-rempah yang laku di pasar internasional dan bisa menjangkau pasar Cina dan Asia Tenggara dan Selatan ikut memperkuat fakta bahwa daerah ini tidak sepi dari para pedagang. Jika pendapat van Leur yang mengatakan bahwa ciri utama perdagangan awal di Indonesia adalah menyusuri pulau-pulau terdekat untuk kemudian meneruskan perjalannya ke tempat tujuan.

Dalam sejarah Buton juga dicatat adanya kerajaan-kerajaan kecil sebelum kerajaan Buton (di Wolio/keraton Buton sekarang) berdiri. Kerajaan Buton tumbuh dari empat kampung yang bersatu. Keempat kampung itu adalah kampung Baluwu, Gundu-gundu, peropa, dan Barangkatopo. Dalam bahasa setempat dinamakan dengan pata limbona. Keempat kampung itu dipimpin oleh menteri atau bonto. Perluasan kekuasaan Buton juga ditandai dengan bergabungnya lima kampung lain sehingga Buton menjadi sembilan (9) kampung atau dalam bahasa setempat dinamakan dengan sio limbona. Kelima kampung yang bergabung dengan Buto itu adalah kampung Sambali, Melai, Gama, Wandailolo, dan Rakia. Pekerjaan penduduk kampung itu sebagian besar sebagai perajin emas, perak, dan tembaga.

Buton benar-benar menjadi luas ketika 72 kadi (kampung) ikut bergabung di dalamnya. Perluasan ini menunjukan kekuasaan kerajaan Buton yang kuat dan mampu mengontrol hampir seluruh pulau itu.[13] Penjelasan ini menunjukan membuktikan adanya kelompok masyarakat lain di luar empat manusia pertama sebagaimana yang dipahami selama ini dalam menulis sejarah Buton.

Undang-undang Martabat Tujuh yang selama ini di kenal di Buton sudah ada di Aceh dengan kandungan yang hampir sama. Sementara konsep kampung yang bernama kadi di Buton juga terdapat dalam bahasa Aceh. Hal ini berarti bahwa Buton dan Aceh (semenanjung Melayu) melakukan kontak intensif. Tradisi intelektual yang berlangsung dalam Kerajaan/Kesultanan Buton dibangun dari kontak budaya yang berlangsung antara keduanya. Bisa jadi Aceh (Pasai) sebagai Kerajaan Islam Pertama memiliki andil besar dalam proses pengembangan tradisi tulis dan pengembangan intelektual elite kerajaan, tanpa mengabaikan peran para pedagang yang melakukan kontak dengan kerajaan di Buton.

E. Konsekuensi Historiografis

Memahami penulisan sejarah Buton yang dimulai dengan manusia pertama mia pantamiana sebagai empat manusia pertama, sama saja mengabaikan orang-orang yang tidak memiliki tradisi tulis yang mendiami Buton sebelumnya. Sejarah Masa Hindu di Sulawesi yang berlangsung beberapa abad sebelum datangnya mia pantamiana adalah bukti bahwa keberadaan masyarakat yang belum memiliki tradisi tulis itu sudah mendiami pulau Buton meskipun pemerintahannya masih belum pantas disebut kerajaan. Mereka baru memiliki pemimpin tradisional yang belum memiliki undang-undag tertulis, bentuk kerajaan, dan sebagainya. Doa-doa untuk pengobatan, keselamatan, dan upacara-upacara adat yang secara turun temurun diwariskan secara lisan kepada anak cucu mereka menjadi bukti adanya warisan lokal melalui bahasa. Sebagaimana terdapat dalam lafal doa, beberapa bagian dari doa juga dicampur dengan pengaruh Islam yang kental. Ini menandakan adanya percampuran dan saling pengaruh antara bahasa Lokal dan Islam di Buton. Bahasa Lokal yang dipakai tidak seluruhnya berasal dari Melayu dan bahasa Arab. Mereka membangun bahasanya sendiri.

Jika dilihat dari HSP, maka bahasa masyarakat Buton yang ada dan diwariskan pada generasi sesudanya adalah bahasa Sipanjonga dan Rombongannya (Melayu) dan Arab (Islam). Adanya bahasa lokal yang dominan dan dibangun atas telah melemahkan fakta dalam HSP yang selama ini dikutip oleh para peneliti sejarah Buton.

Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dikarang oleh Ustadz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik tahun 1863 juga ikut menjadi bukti lain betapa HSP lemah secara metodologi untuk mengatakan bahwa empat manusia itu yang membagun Buton. Dengan demikian historiografi sejarah Buton yang dibangun atas 1 sumber yang berasal dari HSP perlu ditinjau kembali. Penggunaan satu sumber telah mengabaikan sumber lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologi.

Sejarah Buton dalam kitab itu justru ditemukan oleh utusan khusus Nabi Muhammad yang bernama Abdul Gafur dan Abdul Syukur. Dalam tradisi lisan Buton dikatakan bahwa nama Buton berasal dari kata Bathny yang berarti perut. Perut ini diambil dari hurum MIM yang berasal dari nama Muhammad. Dalam perjalanan kedua utusan itu sebelum sampai di Buton mereka harus singgah dulu di Johor, Pasai, dan Cina serta beberapa negeri lain yang tidak disebutkan.dengan keterangan ini menunjukan bahwa sudah kontak intensif antar pulau pada waktu itu. Kontak seperti ini membuka lahirnya komunikasi budaya yang saling mempengaruhi. Akibatnya adaptasi dan konflik berdasarkan kepentingan selalu menyertai proses historis budaya yang berkembang kemudian.

F. Kesimpulan

Menjadikan HSP sebagai satu-satunya rujukan untuk menulis sejarah Buton bukan menjadi solusi di tengah perkembangan historiografis yang semakin kritis. HSP mengandung konsekuensi historiografis yang luar biasa, karena kesan yang dimunculkan oleh HSP adalah Buton didirikan oleh mia pantamiana dari Johor (Melayu). Itu artinya semua produk intelektual (naskah, Manuskrip, dan sebagainya) bisa saja menjadi milik pendirinya sebagai warisan.

Kenyataan bahwa Buton tidak didirikan semata-mata oleh peran manusia pertama yang terdiri dari empat orang itu terlihat dari proses perkembangan kerajaan Buton yang dibangun dari kampung-kampung yang sudah lebih dahulu eksis. Karena itu, amatlah bijak kalau mengatakan bahwa Buton dibangun oleh banyak elemen masyarakat yang bertempat tinggal di pulau itu. Berdirinya Kerajaan Buton memang dalam HSP disebutkan pendirinya adalah empat manusia pertama. Tetapi dalam Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat menggambarkan adanya perintah Sipanjonga “WE berarti perintah buatlah dan LIA berarti perkampungan”. Jadi perintah itu menunjukan ada orang lain yang mengerjakan perintah untuk membangun perkampungan di Wolio (Buton). Perkampungan ini kemudian diketahui sebagai pusat Kerajaan Buton.[14]

Bahasa naskah-naskah Buton sebagaimana realitas yang masih tersimpan menunjukan bahasa Melayu, Arab Gundul dan bahasa Belanda. Hal ini bukan berarti naskah itu merupakan produk intelektual Melayu dan Arab. Untuk hal ini penulis memahaminya dari aspek komunikasi budaya dan bahasa umum yang dipakai pada periode itu. Bahasa umum yang dipakai pada abad naskah-nasakah itu dibuat adalah bahasa Melayu yang mulai beradaptasi dengan pengaruh Islam yang kuat sehingga keduanya sering sulit dipisahkan dari hasil karya yang dihasilkan pada masa itu.

Dalam konteks itu naskah yang mayoritas berbahasa Melayu dan Arab gundul serta bahasa Belanda di manapun berada sepanjang menyangkut Asia Tenggara dan hubungan antar kerajaan perlu diperlakukan sebagai milik bersama dan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Artinya perawatan dan proses penyelamatan naskah harus juga dilakukan bersama karena selama ini sering tidak ada perawatan dan perhatian terhadap warisan budaya yang bernilai itu. Menjadi penyelamat dan perawat naskah tidak berarti harus mengaku bahwa ini milik kami tetapi lebih pada komitmen penyelematan warisan budaya Melayu yang dibangun oleh sebuah proses yang melibatkan banyak pihak dan intelektual di dunia Arab dan Melayu, termasuk di Buton. Dengan demikian polemik bisa dihilangkan yang berujung pada ketengangan sesama bangsa Asia Tenggara.

REFERENCES

Ahmadi, La Ode Muhammad La Ode Muhammad Amir, dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir, Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli)” Khusus kalangan sendiri, tanpa tahun.

Alfian, Teuku Ibrahim, Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah, cetakan ke-2, Yogyakarta: Ceninnets, 2004

Bhurhanuddin, B. dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud, 1979

Darmawan, Yusran (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia (Baubau: Respect, 2009)

Hasaruddin, Jurnal Filologi Melayu, Jilid 14, 2006

————-, “Sipanjongan dalam Hikayat Negeri Butuni: Suatu Penjelasan Singkat”, dalam Yusran Darmawan (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia, Baubau: Respect, 2009

Matheson, Virginia. “Strategy of Survival, The Malay Line of Lingga Riau”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol XVII, No. 1, 1986, hlm. 18-23.

Nunuk Wijayanti, Pemikiman Kota Buton pada Abad XVII – XIX, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1997,

Rabani, La Ode, Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara 1906-1942, Thesis, Yogyakarta: Pascasarjana, 2002

Zahari, A.M. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II, dan III, Jakarta: Depdikbud RI, 1977

Zuhdi, Susanto dkk. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996

Zuhdi, Susanto, Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII, Disertasi di Universitas Indonesia Jakarta, 1999
[1]Susanto Zuhdi, dkk. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), p. 10. lihat juga B. Bhurhanuddin, dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud, 1979), A.M. Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II, dan III (Jakarta: Depdikbud RI, 1977). Nunuk Wijayanti, Pemikiman Kota Buton pada Abad XVII – XIX, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1997, Hasaruddin, “Sipanjongan dalam Hikayat Negeri Butuni: Suatu Penjelasan Singkat”, dalam Yusran Darmawan (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia (Baubau: Respect, 2009) p. 307-312.

[2]Susanto Zuhdi, Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII, Disertasi di Universitas Indonesia Jakarta, 1999, p. 37-38.

[3]Lihat Hasaruddin, Jurnal Filologi Melayu, Jilid 14, 2006

[4]Ibid. lihat juga Hasaruddin, “Sipanjongan dalam Hikayat Negeri Butuni: Suatu Penjelasan Singkat”, dalam Yusran Darmawan (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia (Baubau: Respect, 2009) p. 311-312.

[5]Ibid.

[6]Lihat La Ode Muhammad Ahmadi, La Ode Muhammad Amir, dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir, Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli)” Khusus kalangan sendiri, tanpa tahun.

[7]Sepuluh orang yang dimaksud dalam karya itu adalah: Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui, Sisajangkawati, Dungku Cangia, Sang Ria Rana atau Sanga Riarana, Banca Patola, Kaudoro, Raden Jutubun atau Baubesi, dan Raden Sibatara atau Sabatara. (p. viii)

[8]Sejarawan yang juga menggunakan naskah-naskah tradisional dalam karyanya adalah Mc Ricklefs dari Australia tentang Kerajaan Mataram di Bawah Pemerintahan Mangkubumi.

[9]Virginia Matheson, “Strategy of Survival, The Malay Line of Lingga Riau”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol XVII, No. 1, 1986, hlm. 18-23.

[10]Hasaruddin dalam Yusran Darmawan (ed.), op. cit., hlm. 308. Lihat juga Jurnal Filologi Melayu 2006,

[11]Ibid.

[12]Mungkin interpretasi inilah salah satu yang memicu munculnya polemik atas klaim naskah-naskah Buton oleh Malaysia.

[13]La Ode Rabani, Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara 1906-1942, Thesis (Yogyakarta: Pascasarjana, 2002), p. 76-77.

[14] La Ode Muhammad Ahmadi, La Ode Muhammad Amir, dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir, op. cit., p. 25.

SEJARAH DAN LAHIRNYA IDENTITAS WAKATOBI

Sudah menjadi acuan banyak peneliti bahwa dalam mengidentifikasi asal usul istilah/nama suatu daerah selalu menggunakan cerita rakyat dan sumber tertulis. Ada juga yang melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat/adat yang dianggap mengerti tentang kejadian itu. Dalam penyusunan buku ini ketika menelusuri asal usul nama Wakatobi menggunakan cara dan metode yang umum digunakan sesuai standar yang telah ada.

Bagian lain dari tulisan ini kan diterbitkan dalam bentuk buku.