29 November 2010

Sejarah Manusia Perahu di Pulau Galang*

Puluhan manusia perahu Vietnam menembus ganasnya lautan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.


SAIGON, ibukota Vietnam Selatan, jatuh ke tangan pasukan Vietnam Utara pada 30 April 1975, setelah perang saudara bertahun-tahun yang melibatkan dua kekuatan besar Perang Dingin. Perang pun berakhir. Vietnam Selatan kemudian menjadi Republik Vietnam Selatan, sebuah negara boneka di bawah kekuasaan militer Vietnam Utara, sebelum secara resmi disatukan dengan Utara di bawah pemerintahan komunis sebagai Republik Sosialis Vietnam pada 2 Juli 1976.

Sejak itu, komunis Vietnam melarang partai politik lain. Mereka juga menjebloskan orang-orang yang dipercayai berkolaborasi dengan Amerika Serikat, termasuk semua mantan perwira Angkatan Darat Vietnam Selatan, ke penjara-penjara, yang mereka sebut kamp pendidikan kembali (reeducation camps). Hung Lang, berpangkat letnan dua, salah satunya.

Mereka memenjarakan dan memindahkannya 5-6 ke kamp yang berbeda-beda. Di kamp-kamp itu Hung harus hadir di kelas, yang membicarakan keburukan-keburukan Amerika dan Vietnam Selatan. “Saya berada di kamp selama hampir tiga tahun, sampai 1977,” kata Hung seperti diceritakannya kepada Mary Terrell Cargill dan Jade Ngọc Quang Huỳnh dalam Voices of Vietnamese Boat People: Nineteen Narratives of Escape and Survival.

Setelah bebas, Hung kembali ke keluarganya di Saigon, sekalipun masih menjalani wajib lapor ke pemerintah daerah setempat apa yang dilakukannya dan ke mana saja dia pergi selama seminggu. Pada 22 Oktober 1978, dia menikahi Thu Ha, gadis yang ditemuinya ketika bertugas sebagai tentara di Camau, daerah di ujung selatan Vietnam. Mereka dikaruniai seorang putra dan putri. Tapi mereka harus tinggal terpisah; Hung di Saigon, Thu Ha di Camau. Hung ingin tinggal di Camau tapi pemerintah komunis tak mengizinkannya. Hung pun jarang melihat anak-anaknya.

“Bagaimana saya bisa merawat anak-anak? Sementara saya tak memiliki pekerjaan. Karena masalah ini, saya berencana melarikan diri,” ujar Hung.

Rekonstruksi negara yang porak-poranda akibat perang sangat lambat. Persoalan ekonomi menghadang rezim komunis. Situasi tak menentu ini membuat banyak warga Vietnam meninggalkan negerinya. Hung ingin mengikuti jejak mereka; berencana melarikan diri ke Amerika.

Seorang paman menjanjikan sebuah perahu besar dengan segala sesuatu di atasnya. Hung setuju untuk membayar sebagian uang sebelum meninggalkan Vietnam dan sisanya ketika tiba di Amerika. Tapi dia tertipu. Hung hanya mendapatkan sebuah perahu kecil dengan sedikit makanan, air, dan gas.

Pada 20 April 1984, Hung mengangkat sauh dari Camau, turun ke ujung selatan Vietnam, tempat sekira 22 penumpang naik perahu kecil terbuka. Delapan orang di antaranya keluarga Hung: dirinya, istri, ibu mertua, dua anak, dan tiga keponakan istri.

Baru beberapa saat berlayar, perahu rusak. Hung merasa tak aman untuk melanjutkan perjalanan dan ingin kembali. Tapi Hung sadar akibatnya. Temannya, seorang tentara berpangkat letnan dua, yang mencoba melarikan diri melalui Kamboja, tertangkap tentara komunis, masuk penjara, dan dibunuh. “Saya tahu saya tak bisa kembali. Akhirnya perahu pun bekerja kembali. Saat itu saya tak tahu seberapa jauh ke Indonesia,” kata Hung.

Tapi perbekalan tak memadai. Karena lapar dan haus, kedua anak Hung meninggal; juga keponakan istrinya. “Saya bertanya kepada Tuhan mengapa semua ini terjadi. Kami melarikan diri bukan untuk masa depan kami, tapi untuk masa depan anak-anak,” rintih Hung.

Sesuatu yang buruk kembali datang; perahu terjebak dalam pusaran air (whirlpool). Selama dua hari perahu hanya berputar-putar di pusaran air dekat Teluk Thailand. Beruntung mereka terbebas dari pusaran air. “Setelah keluar dari pusaran air, semua orang di kapal kelelahan dan berbaring di perahu sambil berpikir akan kematian.”

Selama sekira 13 hari di tengah laut, dan nyaris putus asa, sebuah perahu nelayan datang menolong dan membawa mereka ke kamp pengungsian di pulau kecil bernama Kuku di Kepulauan Riau. Mereka tinggal selama beberapa hari sebelum dipindahkan ke Pulau Galang.

Hung dan rombongannya bukanlah satu-satunya, dan yang pertama, pengungsi asal Vietnam –kemudian dikenal sebagai manusia perahu (boat people). Menurut Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, manusia perahu kali pertama memasuki Indonesia pada 25 Mei 1975; mendarat di Pulau Laut, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Natuna. Kemudian disusul kedatangan 4.000 pengungsi di Pulau Anambas, yang melebihi jumlah penduduk setempat: 3.000 jiwa. Ada juga yang mendarat di Pulau Bintan dan Pulau Pengibu –pulau kosong yang tak punya sumber air. Meski merepotkan, mereka ditampung.

Untuk mengatasi problem manusia perahu ini, para menteri luar negeri ASEAN mengadakan pertemuan di Bangkok pada 21 Februari 1979, yang menghasilkan Pernyataan Bangkok. Negara-negara ASEAN setuju bekerjasama untuk meringankan beban manusia perahu.

Sebagai realisasi komitmen tersebut, pemerintah Indonesia membangun kamp penampungan di Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, seluas 80 hektar. Pemerintah Indonesia dan Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) membangun jalan dan barak-barak pengungsi. Setelah itu masuklah tim medis dari Indonesia, Perancis, dan Jerman. Kamp itu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1980. Semua manusia perahu dipindahkan ke Pulau Galang, yang terdapat dua kamp, Galang I dan II. Menurut Tempo, 18 Desember 1993, ketika kamp Galang dibangun pada 1979, terdapat 50.000 pengungsi. Jumlahnya terus bertambah. Sampai 1993 tercatat angka 145.000.

Selama tinggal kamp Galang II, Hung dikaruniai seorang anak, yang diberi nama Thien An –dalam bahasa Vietnam berarti “rahmat Tuhan.” Hung juga aktif di gereja, menjadi seorang pemimpin komite, sementara istrinya sebagai bendahara. Mereka mengajar di sekolah Alkitab. Mereka mengaku memiliki kehidupan yang indah di kamp Galang.

Di Kamp Galang juga terdapat pembekalan dan screening. Menurut Tempo, 19 Mei 1990, UNHCR mendidik dan mempersiapkan para pengungsi sebelum tiba di negeri barunya. Mereka mendapat pelajaran bahasa Inggris dan keterampilan lain, seperti perbengkelan atau mengetik. Screening menentukan apakah pengungsi dikirim ke negara penerima seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Prancis atau dikembalikan ke negara asal. Hung lolos screening dan berangkat ke Amerika.

Berdasarkan keputusan Agency Consultation on the Indo-China Refugee VI di Jenewa, Pulau Galang harus dikosongkan selambat-lambatnya pada 1995. Namun, tulis Marwati dan Nugroho, hingga 30 Juni 1996 masih terdapat 4.628 orang pengungsi di Pulau Galang. Pengosongan baru terealisasi pada September 1996.

Kini kamp di Pulau Galang menjadi objek wisata sejarah di Batam. Para pengunjung dapat melihat secara langsung perahu-perahu yang mengantarkan “manusia perahu” ke Indonesia, juga beberapa peninggalan mereka seperti perkakas dapur dan peralatan makan, barak, penjara, gereja, rumahsakit, dan pagoda.

Pada 2006, seratusan eks pengungsi Vietnam menggelar reuni untuk kali pertama. Mereka yang telah berhasil di negara-negara yang memberi­kan suaka bernostalgia di Pulau Galang, seolah tanah ke­lahiran mereka.

Meski telah menjadi warga negara Amerika, Hung merasa kehidupan di kamp lebih baik daripada kehidupan di Amerika. “Karena di kamp saya punya kesempatan untuk membantu orang. Setiap minggu saya melihat banyak orang datang untuk percaya kepada Tuhan.”

Hung sempat mengunjungi negerinya ketika ayahnya sakit dan meninggal dunia serta ibunya sendirian. Vietnam di matanya sudah berubah. Ada banyak bangunan baru di Saigon. Tapi dia melihat kehidupan rakyat Vietnam jauh lebih miskin ketimbang sebelum 1975.[HENDRI F. ISNAENI]

Diadaptasi dari judul Asli: Menyeberang ke Pulau Galang
Sumber Link: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-356-menyeberang-ke-pulau-galang.html

26 November 2010

Efek Samping dari Sejarah Politik Etis

Ketika Politik Etis yang mulia, berubah jadi bencana. Irigasi salah urus, malaria datang menyerang.

PEMERINTAH kolonial menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada kurun 1830-1870. Sistem ini diberlakukan untuk mengisi kembali pundi-pundi kas negara Belanda yang kosong terkuras untuk membiayai perang Jawa (1825-1830). Selama tiga dekade lebih penyelenggaraan tanam paksa, Belanda berhasil membawa keuntungan yang berlimpah. Namun seiring dengan mengalirnya gulden untuk Belanda, gerakan balas budi terhadap warga jajahan di Hindia Belanda pun muncul.

Menjelang akhir abad ke-19 berhembus isu penurunan tingkat (mindere-welvaart) kesejahteraan warga jajahan di Hindia Belanda. Gerakan balas budi itu kemudian semakin mengkristal dan berujung pidato Ratu Belanda di hadapan parlemen pada 1901. Dalam pidatonya itu Ratu menyampaikan sebuah konsep “kewajiban moral” kepada warga Hindia Belanda. Kemudian dari sana lahirlah Politik Etis, suatu program yang mengedepankan upaya meningkatkan kesejahteraan warga jajahan lewat edukasi, irigasi dan emigrasi.

Rencana besar itu pada kenyataannya tak semulia yang dibayangkan. Tiga program Politik Etis hanya menguntungkan pihak swasta yang membutuhkan tenaga murah dan fasilitas dari pemerintah. Emigrasi yang sejatinya bertujuan untuk pemerataan jumlah penduduk digunakan sebagai cara mendatangkan tenaga kerja ke perkebunan-perkebunan milik swasta Belanda. Bahkan di beberapa tempat program pembangunan irigasi menimbulkan masalah dan merugikan penduduk.

Sebuah skripsi di Universitas Diponegoro (2003) yang ditulis oleh Sofia Adrianti membeberkan ketidakberesan pembangunan irigasi berujung pada berjangkitnya wabah malaria di Cihea, Cianjur, Jawa Barat. Proyek pembuatan irigasi salah urus itu dilakukan antara tahun 1891 sampai dengan 1904 dengan tujuan mengairi areal persawahan seluas 8000 bau (1 bau = 7096 m2). Sebelum proyek pembangunan irigasi itu dilakukan, Bupati Cianjur Raden Aria Wiranatakusumah telah melontarkan ide terlebih dulu untuk mengairi sawah seluas 500 bau yang berada di Lembah Cihea.

Untuk mewujudkan idenya itu dia memerintahkan agar warga membendung sungai Cisokan yang mengalir melintasi daerah tersebut. Air lantas dialirkan untuk menggenangi lahan persawahan milik penduduk. Pengairan sawah dengan cara tradisional itu ternyata tak bisa berfungsi baik. Baru pada 1891, ketika pemerintah kolonial mencurahkan konsentrasi pada persoalan pengairan, proyek pembangunan irigasi yang lebih modern digalakkan. Sejumlah tenaga ahli bidang pengairan yang bekerja di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW, Burgerlijk Openbare Werken).

Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Desember 1890, Direktur BOW menjelaskan bahwa sebelum proyek pembangunan irigasi dimulai oleh pemerintah, luas areal persawahan yang berhasil dialiri air hanya sekira 1700 bau saja. Sementara 2000 bau areal persawahan mengandalkan sistem tadah hujan. Pada 1891 pemerintah memulai proyeknya. Pelaksanaan pembangunan irigasi dibagi menjadi empat bagian, yakni proyek Seksi I, Seksi II, Seksi III dan Seksi IV. Masing-masing seksi mengerjakan saluran primer, sekunder, tersier dan bangunan-bangunan pelengkap lainnya.

Untuk pembangunan proyek Cihea itu BOW mengajukan dana sebesar f.800 ribu. Dana diperoleh dari investasi pemerintah yang disetujui oleh Menteri Urusan Koloni dengan perhitungan f.100 per bau. Pemanfaatan irigasi ini selain untuk petani juga digunakan untuk perusahaan swasta yang beroperasi di daerah sekitar dengan harapan mereka bisa membayar biaya yang diberlakukan atas dasar jumlah debit air yang dimanfaatkan.

Pada awalnya pembangunan irigasi tak menemui hambatan yang berarti. Pembangunan kanal utama yang dilanjutkan dengan pembangunan saluran pada proyek Seksi I dan II berjalan lancar. Memasuki tahun ketiga pembangunan mulai mengalami hambatan yang datang karena lingkungan kerja yang kurang baik yang menyebabkan para pekerja jatuh sakit.

Menerima laporan tentang masalah ini Gubernur Jenderal C. Pijnacker Hordijk memerintahkan Jawatan Kesehatan Sipil untuk memberikan bantuan kesehatan pada para pekerja. Bahkan sebelumnya Pijnacker sempat berpikir untuk menghentikan saja proyek pembangunan irigasi tersebut. Namun pihak BOW memohon agak pembangunan irigasi dilanjutkan dengan alasan irigasi Cihea akan membawa banyak manfaat di kemudian hari.

Memasuki awal 1894 persoalan kesehatan pekerja bisa diatasi dengan bantuan dari Jawatan Kesehatan Sipil. Namun datang masalah berikutnya yakni kurangnya jumlah pekerja yang melaksanakan proyek pembangunan. Penduduk di sekitar daerah Cihea belum banyak. Belum lagi selesai masalah tenaga kerja, proyek kembali terhambat oleh persoalan sanitasi lingkungan kerja yang kurang bersih. Para pekerja yang sedang menyelesaikan pembangunan irigasi Seksi III terserang penyakit disentri. Proyek pun kembali tertunda.

Kendati tersendat-sendat, pembangunan proyek Seksi I dan II berhasil dirampungkan pada medio 1895. Saat itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda sudah beralih ke tangan Carel Herman Aart van der Wijck. Departemen Pekerjaan Umum kembali melanjutkan pembangunan Seksi III yang meliputi saluran primer pada bantaran sebelah kanan sungai Ciranjang.

Pada tahun yang sama pemerintah mulai mengetatkan anggaran karena pembangunan irigasi Cihea tahap pertama dan kedua telah menghabiskan banyak biaya. Penghematan itu membuat proyek tak lagi bisa leluasa dikerjakan. Proyek macet ini ternyata bukan saja terjadi di Cihea, tapi juga pada proyek-proyek lainnya. Dalam bukunya, Etika yang Berkeping-Keping: Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877–1942, sejarawan Elsabeth Locher-Scholten menulis bahwa hal itu mengundang keprihatinan kaum etisi yang kemudian mendorong pelaksanaan pinjaman sebesar 100 juta gulden kepada pemerintah Belanda untuk membiayai proyek-proyek di Hindia Belanda.

Pada akhir abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda sendiri sedang mengalami defisit keuangan yang cukup parah. Sehingga melalui Departemen Urusan Koloni pemerintah Hindia Belanda mengajukan pinjaman kepada Departemen Keuangan di Negeri Belanda. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan proyek-proyek di Hindia Belanda seperti di Cihea salah satunya.

Di balik kesulitan yang menggelayuti realisasi proyek Cihea, para spekulan tanah mulai pasang aksi cari untung. Pihak swasta melihat lahan yang dilintasi oleh aliran irigasi akan naik nilainya. Mereka pun berlomba memengaruhi residen, asisten residen, kepala distrik dan kontrolir setempat untuk bisa menguasai lahan-lahan milik penduduk. Selain itu kepala-kepala pribumi yang bekerjasama dengan kontrolir bermain mata untuk menjadikan lahan liar yang berdasarkan Undang-Undang Agraria 1870 dikuasai oleh negara menjadi lahan sewaan yang bisa dikuasai secara sepihak dengan harapan bisa memetik keuntungan apabila irigasi selesai dibangun. Perlakuan pemerintah kolonial terhadap petani pribumi pun tak kurang jomplangnya. Pemerintah memberlakukan pajak kepada mereka atas penggunaan air dari irigasi padahal keuntungan yang diraih petani pun tidak seberapa banyaknya.

Setelah pembangunan irigasi selesai pada 1904, masalah lain pun datang menyusul. Pemerintah abai terhadap keadaan lingkungan di Cihea, khususnya kondisi tanah di sana. Selain itu, pemerintah juga tidak berhitung bahwa petani yang bekerja di Cihea sangat terbelakang dan tak terbiasa menggunakan aliran irigasi yang pada zaman itu terbilang modern. Air yang mengaliri sawah ternyata menggenang dan tak kunjung surut. Genangan air pun meluas, menggenangi lahan-lahan selain persawahan. Walhasil Cihea terjangkiti wabah penyakit malaria.

Delapan tahun semenjak irigasi beroperasi, Cihea dinyatakan sebagai daerah endemi malaria. Dari laporan yang disusun oleh W.J van Gorkom mengenai wabah malaria di Cihea dapat diketahui tingginya tingkat kematian penduduk akibat malaria. Dari sekitar 22 desa yang ada di wilayah Cihea, tingkat kematian penduduk mencapai rata-rata 50 persen. Pembangunan irigasi di bawah semangat etis ternyata mendatangkan bencana. Selama beberapa tahun ke depan, paling tidak sampai dengan 1930, korban tewas berjatuhan di pihak penduduk.

Setelah irigasi beroperasi, pemerintah mengijinkan berdirinya sebuah pabrik kertas milik swasta Belanda. Pemerintah ingin menangguk untung besar dari keberadaan irigasi. Sementara itu para petani pun dikenakan pajak dari bunga investasi yang ditanam oleh pemerintah kolonial. Buruk wajah pemerintah kolonial pun dapat dilihat dari cara mereka menangani wabah malaria yang lamban sehingga persoalan berlarut-larut sementara penderitaan penduduk tak pernah berakhir. Inilah contoh betapa wajah etik kolonial ditutupi topeng hipokritnya.[BONNIE TRIYANA]


*diadaptasi dari Judul Asli: Malaria di Cihea
diakses: Kamis, 25 November 2010 - 23:04:44 WIB

Sumber Link: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-355-malaria-di-cihea.html

23 November 2010

Potongan Sejarah Politik (Rasial) di Afrika*

Nelson Mandela berjuang keras melawan politik apartheid. Dia menggunakan olahraga untuk mempersatukan negerinya.

PIALA Dunia 2010 di Afrika Selatan tak bisa lepas dari peran Nelson Mandela. Dia berhasil meyakinkan badan sepakbola dunia (FIFA) bahwa Afrika Selatan siap dan bisa menjadi tuan rumah –12 tahun setelah Afrika Selatan kembali menjadi anggota FIFA. Mandela pula yang menggunakan Piala Dunia yang lain untuk mempersatukan Afrika Selatan: Piala Dunia Rugby.

Mandela dikenal sebagai aktivis yang menentang politik apartheid, yang meminggirkan hak-hak warga kulit hitam. Karena aktivitasnya, dia ditangkap pada 1962 dan menjalani hukuman penjara selama 27 tahun, terutama di Pulau Robben. Mandela adalah pendiri dan panglima tertinggi sayap militer dari Kongres Nasional Afrika (ANC), Umkhonto kita Sizwe, yang dianggap oleh warga kulit putih di Afrika Selatan sebagai organisasi teroris. Atas desakan dunia internasional, Presiden Willem de Klerk membuyarkan apartheid dan membebaskan Mandela pada 11 Februari 1990.

Mandela kembali bekerja untuk mengakhiri politik apartheid. Dalam pemilihan umum, mayoritas warga kulit hitam memberikan suara. Mandela menang dan menjadi presiden Afrika Selatan pada 1994 –presiden kulit hitam pertama. Dia mengangkat De Klerk sebagai wakilnya. Tantangan di awal pemerintahannya adalah menyatukan rakyat Afrika Selatan, yang belum sepenuhnya bisa menghapus pengalaman masa apartheid.

ANC menghabiskan bertahun-tahun dengan menggunakan rugby sebagai alat untuk mengalahkan orang kulit putih. Mandela berkata, mengapa tak menggunakan tim Springbok untuk menyatukan bangsa yang paling terpecah di dunia untuk sebuah tujuan bersama? Waktunya tepat: Afrika Selatan akan menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby tahun 1995.

Rugby di Afrika Selatan bermula ketika Canon George Ogilvie, kepala Sekolah Keuskupan Diocesan College di Cape Town pada 1861, memperkenalkan permainan sepakbola. Versi sepakbola ini boleh menggunakan tangan. Pertandingan pertama mempertemukan Officers of the Army dengan Gentlemen of the Civil Service di Green Point Cape Town tahun 1862. Sejak diperkenalkan hingga sebelum UU apartheid diperkenalkan pada 1948, rugby adalah olahraga yang hanya dimainkan oleh orang kulit putih. Rugby jadi semacam simbol rasialisme di Afrika Selatan, akibat kebijakan politik apartheid yang juga menyasar bidang olahraga.

Pada 1956 pemerintah Afrika Selatan memperketat UU olahraga. Hanya warga kulit putih saja yang berhak mewakili Afrika Selatan dalam turnamen olahraga internasional. Olahragawan berkulit putih sekalipun, tapi dari luar negeri, tak boleh tampil. Sampai-sampai Perserikatan Bangsa Bangsa menyerukan seluruh negara untuk memboikot turnamen olahraga yang digelar di Afrika Selatan. Olahraga Afrika Selatan mengalami kemunduran. Setelah bertahun-tahun terisolasi dari bidang olahraga, penghapusan apartheid membuka kembali Afrika Selatan dalam agenda internasional. Pada 1995 Afrika Selatan dipercaya sebagai tuan rumah Piala Dunia Rugby.

Karena popularitas rugby, sebulan setelah Mandela berkuasa, dia mengundang François Pienaar, kapten Springboks, untuk minum teh di kantornya di Pretoria. Mandela melakukan transformasi dalam rugby. Dia ingin menjadikan Rugby sebagai refresentasi dari Afrika Selatan tanpa memandang ras dan kelas. Di sisi lain, Mandela juga harus melakukan persuasi politik terhadap pendukung kulit hitam, yang dibesarkan untuk membenci rugby. Mandela tahu bahwa semua pemain tim rugby Afrika Selatan untuk Piala Dunia 1995 berkulit putih, dengan Chester Williams satu-satunya yang berkulit hitam.

“Mereka mencemooh saya,” kenang Mandela, seperti dikutip John Carlin, wartawan Inggris, dalam “How Nelson Mandela Won the Rugby World Cup” yang dimuat www.telegraph.co.uk. “Orang-orang saya sendiri mencemooh saya ketika saya berdiri di depan mereka, mendorong mereka untuk mendukung Springboks!”

Dan menakjubkan, tujuan Mandela tercapai. Semuanya antusias, tak lagi peduli perbedaan warna kulit. Dalam Piala Dunia 1995, tim Afrika Selatan bahkan jadi juara setelah mengalahkan All Blacks, tim unggulan Selandia Baru dalam pertandingan final di Stadion Ellis Park.

Mandela hadir di sana, mengenakan kaos tim Springboks. Ketika hendak menyerahkan piala kepada kapten Springboks, Mandela berkata: “François, terima kasih atas apa yang telah Anda lakukan untuk negara kita.”

“Tidak, Bapak Presiden. Terima kasih atas apa yang telah Anda lakukan.”

Dan semua warga Afrika Selatan merayakan kemenangan itu.

John Carlin tertarik dengan upaya Mandela mempersatukan negerinya lewat rugby. Dia lalu menulis sebuah buku berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation. Berdasarkan buku ini, Clint Eastwood membuat film berjudul Invictus, mengambil judul puisi sastrawan Inggris, William Ernest Henley. Morgan Freeman berperan sebagai Mandela sementara Matt Damon jadi kapten tim Springboks, François Pienaar.

Rugby masih jadi olahraga terpopuler di Afrika Selatan, yang menempati ranking kedua setelah Selandia Baru menurut International Rugby Board World Rankings per 20 Januari 2010. Warga kulit putih masih mendominasi permainan ini. Yang menarik, pada 2008, untuk kali pertama ditunjuk pelatih dari orang kulit hitam, Peter de Villiers.

Kebahagiaan warga Afrika Selatan kian lengkap dengan Afrika Selatan menjuarai Piala Afrika 1996. Sepakbola memang masih kalah populer ketimbang rugby atau kriket. Kriket sudah dikenal dan dimainkan di Afrika Selatan sejak 1800-an. Bahkan Afrika Selatan, bersama Inggris dan Australia, tercatat sebagai pendiri Dewan Kriket Internasional (ICC) pada 1909. Sama seperti rugby, kriket adalah olahraga minoritas kulit putih.

Sepakbola lebih digemari warga kulit hitam. Sejumlah pemain Afrika Selatan merumput di liga-liga Eropa. Prestasi tim nasional Afrika Selatan, Bafana-Bafana, terbilang lumayan: dua kali lolos ke Piala Dunia dan tiga kali menjuarai turnamen di wilayah selatan Afrika. Dalam tim nasional kali ini, hanya terdapat satu pemain berkulit putih, bek Matthew Booth, yang beristrikan Sonia, seorang model berkulit hitam.

Piala Dunia 2010 melengkapi pencapaian Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby 1995, Piala Afrika 1996, Piala Dunia Atletik 1998, dan Piala Dunia Kriket 2003. Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma mengatakan, pengaruh Piala Dunia 2010 lebih signifikan ketimbang pemilihan umum 1994 yang mengakhiri apartheid.

Puisi William Ernest Henley, “Invictus” yang dibacakan Mandela dalam adegan penutup film Invictus, seolah kembali bergema: It matters not how strait the gait/How charged with punishments the scroll/I am the master of my fate: I am the captain of my soul.[HENDRI F. ISNAENI]



*Judul Asli: Rasisme di Titik Nol
Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-264-rasisme-di-titik-nol.html

Letakan Disi Posting Baru ya!

Penyakit dalam Dinamika Sejarah Masyarakat; sebuah Review

“Prostitution in Colonial Java", karya: John Ingleson
"Prostitution and Charity: The Magdalen Hospital, A Case Study"
karya: Stanley Nash


Direview Oleh: La Ode Rabani


Pengantar

Pada dasawarsa terakhir, masyarakat di beberapa negara dikejutkan dengan masalah penyakit kelamin sebagai akibat perilaku seks bebas dan tidak sehat . Para psikolog sibuk mencari solusi untuk menghentikan perilaku itu dengan cara setia pada pasangan sendiri dan tidak gonta-ganti pasangan. Realisasi dari upaya itu adalah berdirinya lembaga Sahaja dan Lentera. Dalam perspektif kesehatan, masyarakat diingatkan agar menggunakan kondom dan segera memeriksakan ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut dan mencegah agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Lain lagi dengan para teolog, yang menyatakan bahwa penyakit ini adalah kutukan dari sang maha pencipta karena banyak umatnya yang sudah melupakan ajaran tuhannya melalui kitab suci.

Terlepas dari itu, tulisan singkat ini akan menyoroti fenomena sosial yang bernama prostitusi sebagai peristiwa sejarah. Hal ini didasarkan pada kejadiannya pada masa lampau yakni abad ke-18 sampai awal abad ke-20. Tulisan ini akan membandingkan dua artikel mengenai prostitusi di Eropa dan di Jawa (Surabaya), suatu peristiwa dalam segi space berbeda, tetapi motifnya sama dengan formulasi berbeda.

Substansi

Untuk mengadakan perbandingan, setidaknya harus ada dua kasus yang disajikan. Dalam artikel itu, seperti diketahui bahwa prostitusi yang dikaji adalah di Eropa dan Jawa. Dengan demikian telah memenuhi syarat untuk dibandingkan.

Persamaan dari kedua artikel itu antara lain membicarakan masalah prostitusi dengan konsekuensinya pada terjadinya penyakit kelamin (sipilis), pelaku prostitusi, dan upaya perawatan (tindakan medis atau diagnosis). Sedangkan perbedaannya, terletak pada sebagian pelaku peristiwa terutama pada tindakan pencegahan, jenis perawatan, jenis pekerjaan, dan sebagainya. Upaya pencegahan di Eropa berbeda dengan di Jawa. Di Eropa seperti yang diinformasikan oleh artikel ini (Stanley Nash), bahwa para pelaku prostitusi yang terkena penyakit kelamin dimasukan pada suatu lembaga amal. Lembaga inilah yang menangani perawatan dan diajarkan prinsip-prinsip agama kristen. Selain itu, mereka juga dipekerjakan pada usaha binatu milik lembaga. Ada juga usaha jahitan, kerajinan rumah tangga, dan berbagai usaha manufaktur seperti; renda, sarung tangan sutra, sepatu, boneka, dan pakaian mereka sendiri. Sedangkan di Jawa (Indonesia) banyak ditangani melalui tindakan medis dengan mendirikan rumah sakit atau puskesmas di daerah sekitar pelabuhan dan perkebunan yang tentu saja di wilayah itu banyak tenaga kerja yang terkena penyakit sipilis (kelamin).


Komentar


Prostitusi dan penyakit yang ditimbulkannya dalam ukuran kuantitas banyak terjadi di Jawa (daerah koloni) . Kedua artikel itu tidak menjelaskan sebab-sebabnya. Padahal, kalau kita lihat, maka sebagian besar daerah koloni telah menjadi ajang praktek prostitusi, baik yang terjadi di Afrika, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Kalaupun praktek itu banyak terjadi di Jawa secara kuantitas, menurut hemat saya itu karena mobilisasi tenaga kerja yang tinggi dan faktor sarana transportasi yang terbatas untuk mengantar para tenaga kerja itu pulang ke keluarganya.

Faktor wanita sebagai pelaku juga perlu diperhatikan. Perilaku wanita yang juga membutuhkan hiburan untuk keluar dari tekanan mental (psikologis) karena berbagai sebab menjadi pendorong meningkatnya praktek prostitusi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian wanita tuna susila adalah mereka yang baru saja cerai atau ditinggalkan oleh suaminya. Sedangkan pelaku yang berusia 16 - 25 tahun kebanyakan didorong oleh faktor ikut-ikutan karena tergiur oleh materialisme.

Dalam kerangka itu, kita dapat mengatakan bahwa masalah prostitusi ditempatkan dalam kerangka salahsatu “jenis pekerjaan” yang mudah untuk memperoleh penghasilan dengan cepat. Dengan begitu wanita pekerja seks itu dengan cepat mendapatkan uang tanpa menunggu gaji harian atau bulanan seperti layaknya pekerja kebun atau tambang. Pekerjaan itu diperlancar oleh perantara (Mucikari) yang mendirikan apa yang dinamakan rumah bordil sebagai tempat untuk menjalankan praktek prostitusi.

Hal yang menarik untuk disoroti dalam perspektif sejarah adalah melihat masalah prostitusi dalam kacamata perubahan sosial ekonomi. Perubahan terjadi ketika pemerintah kolonial (di Jawa sebagai daerah koloni) berusaha mevaksinasi penyakit sipilis (penyakit kelamin) seperti yang dilakukan Raffles dengan mendirikan rumah sakit di Yogyakarta pada tahun 1811. Pada masa pemerintahan Belanda rumah sakit didirikan di Sumatra timur untuk mengobati penyakit masyarakat terutama malaria, sipilis dan jenis endemi lainnya. Apa maksud dari semua itu? Apakah sebagai salahsatu bentuk solidaritas kemanusiaan pemerintah kolonial atau ada maksud lain dibalik itu. Bagaimana dengan di Eropa terutama Inggris pada abad ke-18 dan ke-19.
Daerah koloni adalah sumber pendapatan.

Untuk kepentingan itu, maka perlu dimanfaatkan. Dalam perspektif ini dapat dijelaskan bahwa pendirian rumah sakit dan vaksinasi terhadap penduduk dan tenaga kerja merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan dalam rangka menjaga produktifitasnya guna mempertahankan stabilitas produksi. Ini berbeda dengan salahsatu point Stanley Nash yang mengkaji masalah lembaga Amal dan Rumah Sakit Magdalen di Eropa, bahwa lembaga itu berdiri karena humanitas masyarakat Eropa yang terjadi pada abad itu.

Apabila dilihat dari uraian Stanley Nash, bahwa para tuna susila itu, selain dirawat, juga dipekerjakan, maka hal tersebut adalah bagian dari ekploitasi tenaga kerja, dan ternyata lembaga yang dinamakan amal atau bentuk lain dari alasan (argumen) humanitas menjadi tidak terbukti, karena fakta menunjukan bahwa mereka juga mengambil keuntungan dari hasil pekerjaan para wanita tuna susila itu. Demikian juga di daerah koloni (Jawa dan Sumatra) menjadi sama apabila dilihat dengan kacamata ekonomi, yakni eksploitasi terhadap tenaga kerja. Apabila pekerja sehat, maka produktifitas akan tinggi, dan hasil dari pekerjaan itu akan menguntungkan lembaga (institusi atau negara, juga pribadi).

Hal lain yang menarik untuk diketengahkan adalah masalah peralihan pekerjaan pasca perawatan seperti yang terjadi pada lembaga amal dan rumah sakit Magdalen dan program kristenisasi di lembaga itu. Tentu saja dalam perspektif perubahan, jelas akan terjadi perubahan luar biasa dalam bentuk sikap dan perilaku ketika diadakan perawatan secara tertutup. Tekanan psikologis sangat mungkin terjadi akibat dari adanya adaptasi dengan lingkungan baru. Pengenal pada agama kristen akan menjadi pengalaman baru dalam gaya hidup dan perilaku sosialnya. Akan tetapi, lembaga itu, meskipun dalam laporannya menyatakan telah berhasil dengan programnya dan telah membebaskan para wanita tuna susila dari pekerjaan semula, banyak dikritik karena laporanya hanya rekayasa untuk memperoleh dana yang banyak. Indikasinya adalah keuntungan dengan memanfaatkan para tuna susila. Logika humanitas menjadi terbantah ketika ditemukan bukti bahwa dibalik humanitas ada kepentingan ekonomi yeng tersirat dan itu terbukti menjadi kenyataan.

Catatan Akhir

Catatan akhir dari tulisan ini ingin menegaskan bahwa sejarah ternyata mampu melihat berbagai kemungkinan eksplanasi terhadap suatu peristiwa. Masalah prostitusi dalam perspektif sejarah menjadi menarik bila dilihat dari kacamata ekonomi, sosial, dan politik. Sebagai bagian dari proses, maka prostitusi dalam kajian sejarah harus ditempatkan pada perspektif perubahan yang terjadi dalam lingkungan dan diri pelaku. Jadi, dalam kerangka itu, aktifitas wanita perlu mendapat tempat dalam sejarah karena mereka adalah bagian dari proses sejarah masyarakat yang kurang mendapat perhatian.

Menulis Sejarah Secara Kritis*

Oleh: Radea Juli A. Hambali

Sunan Gunung Djati-Perhelatan pemilu 2009 kian mendekati waktu pelaksanaannya. Para kontestan politik (caleg, partai) sibuk menyusun siasat pemenangan melalui lobi, koalisi, dan strategi dukung mendukung. Media cetak dan elektronik juga tampak gemerlap dan berubah menjadi arena persaingan iklan dan kampanye tentang niat dan janji menjadi yang terbaik buat rakyat. Sejatinya, fenomena ini menarik untuk ditelisik.

Melalui iklan juga promosi, para kontestan pemilu tampaknya sedang menulis sejarah baru bagi kehidupan politik di republik ini. Yang menarik, sejarah yang hendak ditulis melalui iklan atau pun kampanye itu, disamping memiliki kekhasannya masing-masing juga terlihat adanya kesamaan untuk merujuk atau mempertautkan diri dengan peristiwa atau pun tokoh besar dari sejarah masa lampau.

Ada iklan yang berhasrat membangun optimisme dengan bercermin pada pahlawan dan guru bangsa di masa lalu. Juga ada iklan tentang Garuda perkasa yang terbang di angkasa sambil menandaskan bahwa Indonesia di masa lampau adalah negeri yang jaya dan memiliki identitas bangsa yang tegas dan jelas. Juga ada ritual mengunjungi (ziarah) makam tokoh panutan yang pernah berjasa bagi republik ini.

Tiga pendekatan

Kesadaran untuk mengaitkan iklan politik dengan peristiwa ataupun tokoh masa lalu ditangkap secara jeli oleh para politisi di republik ini. Boleh jadi, para politisi kita memiliki keyakinan seperti halnya Nietzsche yang menandaskan pentingnya masa lalu sebagai modal untuk hidup secara sehat. Dan bukankah kesadaran akan sejarahlah yang membedakan manusia dan hewan?

Menurut Nietzsche ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk menulis sejarah, yaitu pendekatan monumental, antikuarian, dan pendekatan kritis. Melalui ketiganya individu ataupun kelompok masyarakat dapat menghubungkan diri dengan dan mencari manfaat dari sejarah masa lalu itu. Akan tetapi, pada waktu yang sama juga ada bahaya yang harus diperhatikan dari tiap-tiap pendekatan itu (St Sunardi, 2000).

Penulisan sejarah dengan pendekatan monumental dilakukan dengan memusatkan perhatian pada peristiwa dan capaian-capaian agung yang pernah terjadi di masa lampau. Sech das Grosse ist schon da!—lihatlah kebesaran pernah menjulang di masa lampau! Diakui, peristiwa dan capaian-capaian agung di masa lampau sering menyilaukan, menjadi magnet dan pesona. Dengannya orang mudah tergoda dan berusaha untuk kembali ke sana. Di tangan orang yang memiliki spirit militan dan pemberani, kebesaran dan keagungan masa lalu itu dapat menjadi model far excellence dan diyakini dapat dihadirkan kembali pada zaman sekarang.

Menulis sejarah dengan pendekatan monumental ini bisa menimbulkan bahaya jika ia digegenggam oleh mereka yang berbakat tapi rakus, maka perang dan revolusi bisa berkobar, dan bisa cenderung tidak adil dalam memperlakukan capaian-capaian kehidupan yang telah diraih oleh masyarakat zaman sekarang.

Adapun sejarah antikuarian ditulis untuk mencari asal-usul identitas seseorang atau kelompok dari masa lampau. Menurut St Sunardi, sejarah antikuarian muncul dari keinginan dan obsesi untuk melindungi (Bewahrend) dan menghormati (Verehrend) apa yang dianggap sebagai sumber identitas atau asal-usul (Herkunft) seseorang atau kelompok.

Melalui sejarah antikuarian, orang ataupun suatu kelompok masyarakat menemukan semacam titik sambung antara hidupnya hari ini dengan hidup pendahulu atau nenek moyang mereka di masa lampau –para pendahulu yang mereka kagumi dan hormati, para pendahulu yang dianggap sebagai sumber dan akar asal-usul hidup mereka. Menemukan titik sambung ini menjadi penting dalam rangka menciptakan identitas. Sejarah ini ditulis dengan tujuan untuk meyakinkan orang ataupun kelompok tertentu bahwa mereka berasal dari “akar” yang baik dan untuk menunjukkan bahwa kesinambungan ini masih bisa dibuktikan. Sejatinya, sejarah antikuarian memiliki fungsi untuk menciptakan identitas, kemana masa depan (Zukunft) harus diarahkan dan dijalankan.

Sejarah antikuarian memiliki bahaya. Atas nama kesetiaan terhadap sumber dan akar asal-usul, orang menjadi tidak kreatif. Hal-hal baru yang mungkin dapat diciptakan sering dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan identitas. Sebagaimana menurut Nietzsche, “sejarah antukuarian tidak tahu cara melahirkan hidup, melainkan hanya tahu memeliharanya. Oleh karena itu sejarah ini senantiasa tidak menghargai sesuatu yang mungkin bakal muncul karena sejarah ini memang tidak memiliki naluri tentang hal baru”.

Apa yang ditawarkan oleh sejarah antikuarian tidak lain hanyalah dorongan untuk menjadi epigon (peniru). Gagasan epigon muncul dari kesadaran dan pengakuan bahwa orang atau kelompok yang hidup hari ini merupakan pewaris kebudayaan. Dalam antikuarian, gerak sejarah dipahami secara linear, manusia hari ini tak lebih hanya sebagai pendatang belakangan (new comers).

Sejarah kritis

Berbeda dengan pendekatan monumental dan antikuarian, cara melihat masa lampau dengan kritis dimaksudkan untuk memandirikan manusia zaman sekarang dengan jalan memeriksa dan meneliti masa lampau secara adil. Fungsi kritis juga diperlukan agar manusia zaman sekarang benar-benar hidup di atas ingatan masa lampau yang benar dan objektif.

Menulis sejarah secara kritis berarti menghadirkan masa lalu yang pernah bertindak tidak adil dan menyeretnya ke hadapan mahkamah pengadilan guna menyingkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Ada banyak peristiwa dalam kehidupan sosial kita sebagai warisan sejarah masa lalu yang perlu diurai secara transparan dan ditemukan benang merahnya. Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, misalnya, menuntut penyelesaian secara tuntas dan segera ditemukan siapa dalang utamanya.

Pemilu 2009 dapat menjadi momentum menghadirkan optimisme baru yang karenanya akan dicatat sejarah dengan tintas emas, jika parpol dan para politisi bersedia menulis sejarah politik dan demokrasi di republik ini secara benar, adil dan objektif. Karenanya, parpol juga para politisi dituntut untuk menyajikan iklan dan promosi yang mendidik dan mencerahkan atas nama kejujuran dan ketulusan yang dipijakkan di atas niat berkhidmat untuk kepentingan rakyat banyak. Semoga!

*dimuat di Pikiran Rakyat, 13 Mater 2009

Diunduh dari: http://www.sunangunungdjati.com/blog/?p=775

20 November 2010

MASYARAKAT MISKIN DAN PEREBUTAN RUANG KOTA DI SURABAYA 1900-1960-AN

(Beginilah Cara Pak Parto Menceritakan Pengalamannya)
Senja hari Minggu 10 Oktober 2010 saya terima telepon dari Pak La Ode Rabani, mengaku dari Fakultas Ilmu Budaya Unair, minta saya ikut menjadi narasumber kuliah umum. Disebutkan temanya, kedengarannya sangat akademis, (tidak begitu jelas karena disampaikan pertelepon lisan), apa saya mampu menjadi pembicara? Yang saya ingat, diharap hadir hari Kamis 14 Oktober, jam 09.30, itu saya berminat hadir karena siang hari dan saya tidak ada acara lain (memang biasanya di rumah melulu). Saya jawab saya berminat hadir, tapi ragu apa ilmu saya sesuai dengan tema yang disebutkan. Saya hanya disuruh bercerita tentang pengalaman saya hidup di Surabaya, itu saja. Wah, pengalaman hidup saya panjang dan memang banyak yang mau saya tulis, tetapi undangan yang saya terima secara lisan itu temanya sangat kabur bagi pemikiran saya. Pak Rabani mengatakan undangan tertulis akan disampaikan besok pagi. Saya sampaikan terima kasih.
Keesokan harinya, Senin, sampai malam hari tidak ada undangan. Baru senja hari Pak Rabani menelepon, bahwa mahasiswa yang disuruh mengantar undangan baru lapor bahwa tidak bisa menemukan alamat rumah saya, maka undangan belum sampai. Pak Rabani minta alamat email saya, undangan mau diemailkan saja.

Saya biasa buka email pagi hari. Saya buka ada undangan dari Pak La Ode Rabani, M.Hum, tertulis lengkap: Kuliah umum, tema “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota Di Surabaya 1900-1960-an”, pembicara:1 Purnawan Basundoro (Dosen Prodi Ilmu Sejarah UA), 2. Suparto Brata (Budayawan dan Saksi Sejarah Kota Surabaya), 3. Johny Alfian Khusairi, M.A.(Dosen FISIP UA). Saya diharap menjadi salah satu pemateri, topiknya berkaitan dengan Pengalaman saya sebagai saksi sejarah yang mengikuti perkembangan dan menjadi bagian dari Masyarakat Kota Surabaya sejak awal kemerdekaan sampai 1960-an. Saya diharapkan menyiapkan makalah/tulisan kurang lebih 3-8 halaman sebagai pengantar diskusi. Jika tidak ada catatan, cerita tentang pengalaman saya dalam forum tersebut sangat berarti untuk mengetahui perkembangan masyarakat Kota Surabaya pada periode tersebut. Catatan harap diemailkan ke Pak Rabani. (surat email tertanggal 1 Oktober 2010).

Penasaran karena masih merasa tidak tercapai tema dan apa yang mau saya ceritakan, dan karena sempitnya waktu untuk bikin tulisan, maka saya reply mungkin saya tidak membawa catatan apa-apa, dan seperti permintaan undangan, saya cerita saja pengalaman saya. Reply saya itu berdasarkan pengalaman saya melayani para mahasiswa jurusan sejarah baik Unair maupun Unesa (juga bukan dari jurusan sejarah, maupun bukan mahasiswa, misalnya dari pelajar SMA Ciputra), yang datang berkelompok maupun perorangan, mereka langsung memberikan pertanyaan tentang bahan yang mau ditulis, saya bisa menjawab berdasarkan ingatan-ingatan saya. Yang akhir-akhir ini bahkan banyak mahasiswa Unair yang mau menulis skripsinya tentang kota Surabaya secara detail, misalnya khusus tentang Jalan Tunjungan, tentang Pasar Malam, tentang Rumah Sakit Simpang. Dan banyak lagi. Saya mampu menjawab, karena saya masih ingat (berdasar pengalaman atau kesaksian,, tapi tidak pengamatan secara teliti). Kalau seperti itu yang dimaksud di Unair tadi, saya kira saya mampu menyesuaikan diri berbicara tentang pengalaman (bukan penelitian) saya hidup di Surabaya 1950-1960.

Menutup email subuh hari itu, meskipun sudah saya reply seperti itu, saya tetap merasa tidak nyaman berbicara tanpa catatan. Saya tahu diri, lebih cepat dan jelas mengemukakan pikiran dengan jari-jemari mengetik daripada dengan bicara di bibir. Saya harus bicara dengan terencana sebagai pengantar, dan itu harus saya catat sebelumnya. Melihat pengantar tadi cukup ditulis 3-8 halaman (lihat undangan), saya pun bertekad membuat catatan. Komputer yang sudah saya matikan, saya buka lagi. Dan sayapun mengingat pengalaman saya hidup di Surabaya tahun 1950-1970. Saya ingat, saya tulis, saya cari hal-hal yang sekiranya penting dan jadi pengamatan saya, segera saya ketik. Karena itu merupakan catatan pengantar sebagai pembicara, maka bagian-bagian yang tidak saya sempat menulis secara detail, saya tulis dengan huruf lebih besar dan tebal. Saya tulis dengan cepat dan singkat, tanpa menengok dokumen, sehingga tentu saja mungkin saja salah eja atau keliru tahun. Tapi harus saya ingat masalahnya kalau nanti saya bicara sebagai pengantar. Terus terang saja, masih belum bisa menyesuaikan pemikiran diri dengan tema yang begitu bersifat akademis (“Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota Di Surabaya 1900-1960-an”). Saya hidup di Surabaya zaman Belanda, zaman Jepang, dan juga membaca buku, tentunya banyak mengetahui tentang Kotga Surabaya zaman-zaman itu, tetapi yang harus saya omongkan perkembangan Kota Surabaya sejak awal kemerdekaan sampai 1960-an. Saya menulis dengan pikiran harus cepat selesai (3 lembar saja cukup, menurut permintaan) lalu segera diemailkan, agar perkuliahan nanti tidak buta dengan apa yang saya antarkan. Begitu tulisan selesai, saya garap secara periode tahun-tahun, terus saja saya emailkan sore harinya. Direply oleh Pak Rabani, katanya tulisan saya itu merupakan dokumen yang bagus dan memberi penerangan bagi para mahasiswa nanti. Saya senang. Namun saya masih ragu, apakah yang saya tulis itu sesuai dengan tema. Yang saya tulis hanya peristiwa yang saya ingat itu peristiwa penting bagi diri saya dan Surabaya. Tidak bicara khusus tentang Rakyat Miskin, dan Perebutan Ruang.

Akhirnya Kuliah Umum hari Kamis 14 Oktober 2010 diUnair itu terselenggara. Berikut adalah naskah pengantar yang saya kirimkan ke Pak Rabani. Dan ternyata ADA yang sesuai dengan arti Rakyat Miskin danPerebutan Ruang Kota Di Surabaya 1900-1960. Ya itu saja yang saya omongkan, lebih khusus dan singkat, yang lain-lain seperti yang saya tulis itu, tidak perlu saya omongkan.


Ikhtisar Pengalaman Saya Hidup Di Surabaya 1950-1970

1950

Saya lulus SMP Negeri Tempelstraat (Jl. Kepanjen 1) Surabaya. Teman setingkat saya Cak Kadaruslan, Wardiman Djoyonegoro. Wakil Presiden Tri Sutrisno adik kelas saya. Meneruskan sekolah ke SMA 2 (VHO), bekas sekolah Belanda, kurikulum dan gurunya masih melanjutkan VHO, berbahasa Belanda, bahasa Prancis, gurunya juga Belanda. Anak pintar lebih suka melanjutkan ke SMA 1, yaitu jilmaan dari SMA swasta Dr.Sutomo. Mereka republikein, jadi minta tempat jadi nomer satu. Begitu juga SMPN Kepanjen yang berbau Belanda, dijadikan SMPN 2, sedang SMP Dr. Sutomo dinegerikan jadi SMPN 1 Jalan Pacar. Kemudian karena guru-gurunya memang berkualitas (hasil dari sekolah Belanda) maka SMAN 2 Wijayakusuma menjadi tujuan para anak yang pintar dan kaya.* Sudah ada usaha dari pemerintah membangun perumahan rakyat yang bisa dibeli secara nyicil, sehingga tercapai oleh rakyat. Yang berhasil dibangun adalah kompleks Darmorakyat (Karanggayam), Pantidarmo (Raden Saleh). * Lapangan terbang Juanda mulai dibangun oleh perusahaan Prancis. Pemerintah juga sedang merombak besar-besaran saluran air minum, juga diborong oleh perusahaan Prancis. Pipa-pipa besi yang besar-besar dikumpulkan di tanah lapang Tambakrejo (sekarang jadi mall Kapaskrampung).
Terjadi urbanisasi yang luar biasa derasnya, para pejuang dan orang sipil dari daerah pedalaman datang ke Surabaya, kekurangan tempat dan pekerjaan. Para bekas pejuang banyak menguasai gedung dan kantor. Para pemuda bekas pejuang ada yang meneruskan sekolah, dan ada yang mendirikan sekolah swasta. Tapi orang biasa yang tidak punya kekuatan pada ngebroki tanah-tanah tak bertuan. Sangat banyaknya orang masuk ke Surabaya, sehingga terjadi gubuk-gubuk pelacuran di segala tempat, antara lain: sepanjang jalan keretaapi dari Wonokromo sampai Semut. Sepanjang kali Pengampon/Pecindilan. Sepanjang Kali Wonokromo, jalan Kutai. Tambakrejo jadi kompleks pelacuran. * Bagi mereka yang berhasil bekerja, bisa menempati rumah bagus, menonton film Amerika di gedung-gedung bioskop (Capitol, Kranggan, Metropole, Rex, Luxor, Amelto. Filmnya Amerika, teks bawahnya mula-mula bahasa Belanda, kemudian bahasa Indonesia. Kendaraan umum: trem listrik di tengah kota, trem OJS dari Madura-Ujung-MasMansur-Cantian-Kebonraja-Pasarturi-Semarang-Arjuna-Diponegoro-Wonokromo-Sepanjang-Krian. Dokar. Becak. Kendaraan pribadi: sepeda, mobil (bekas) tinggalan MTD 1946, kebanyakan mobil Amerika Tidak impor mobil. Jadi yang punya mobil sangat jarang. Sepeda bermotor merk mosquito (mesinnya ditempelkan ke ban).* Walikota Dul Arnowo mengganti nama-nama jalan yang berbau Belanda. Coen Boulevard jadi Raya Dr. Sutomo, van Hogendorplaan jadi Kartini. Strippiaan jadi Kalasan. Van Sandictstraat jadi Residen Sudirman, Palmenlaan jadi Panglima Sudirman. Didaerah Jembatan Merah diubah menjadi nama-nama burung. Yang repot nama burung Kenari juga dicantumkan di sana. Padahal sudah ada Kenaristraat yang tidak diubah namanya karena itu nama tumbuhan. Akhirnya Jalan Kenari (burung) urung dipakai, diganti Jalan Penjara. Masih mengenai penggantian nama jalan oleh Walikota Dul Arnowo, baru-baru ini (2009) saya dapat kiriman buku dari Mbak Kathleen yang menyelenggarakan perpustakaan C2O di Surabaya, buku Kota Lama Kota Baru, ketika saya buka tentang penggantian nama jalan di Surabaya, nama jalan-jalan Cina dan perubahannya (halaman 571) tertulis: Chinese Tempelstraat, tahun 1949 diganti Dj.Kepandjen, tahun 1962 diganti Jl.Cokelat. Ini pasti tidak benar. Sebab tahun 1950 saya masih bersekolah di jalan yang namanya masih Tempelstraat. Tahun itu (1950) baru diganti jadi Dj. Kepandjen, dan berlaku sampai sekarang, bukan Jl.Cokelat. Jl.Cokelat memang digunakan sebagai nama jalan (mungkin tahun 1962 seperti tercantum di buku), tetapi untuk mengganti nama jalan berbau Cina: Teepekongstraat, terletak di mana di ujungnya terdapat klenteng (Chinese tempel) di daerah Songoyudan.. Juga pada halaman 563, terdapat tulisan: Tampaknya Jepang tidak punya banyak waktu untuk mendirikan simbol yang akan dikenang oleh banyak orang. Dalam masa pendudukannya yang sangat singkat, Jepang hanya sibuk dengan latihan perang. Anak-anak sekolah lebih banyak latihan baris-berbaris dan menanam dan mencari jarak (Samson, wawancara) Satu-satunya nama jalan yang diganti oleh Jepang adalah Jalan Prambanan menjadi Jalan Kenpeitai. Di jalan ini sebenarnya tidak ada markas kenpeitai dan balatentara Jepang, tetapi di jalan ini serta Kalasan, dan sebagainya merupakan pemukiman orang-orang Jepang Sakura, yaitu orang-orang Jepang yang bukan tentara tetapi sipil…… Ini juga tidak benar. Zaman Jepang saya tinggal di Jalan Kalasan 31 (dulu namanya Van Strippiaan Leusesstraat), induk semang saya (Sujohartono, sekretaris Bupati Surabaya, kantornya di Gentengkali 87) menjadi Azatjok atau RW. Saya sering-sering disuruh mengantarkan undangan untuk warga yang meliputi ke utara sampai Jl.Jolotundo (dulu Dammestraat), ke barat sampai Jl.Sawentar (dulu namanya Wenckebachstraat) dan Penataran (dulu namanya Ruysstraat), ke selatan sampai Jl. Indrakila (dulu Maarschalstraat). Jl.Prambanan termasuk wilayah RW saya, namanya dulu Kempeestraat (bukan Kenpeistraat). Wilayah WR saya itu yang sekarang jadi nama jalan dari nama candi-candi, nama-nama jalan di situ untuk nama-nama penulis buku Belanda. Jadi Kempee, Ruys, Wenckebach, Weyerman, Van Sandict, Derx, adalah nama-nama penulis buku bangsa Belanda. Saya dengar zaman dulu, belum pernah saya cek sampai sekarang. Pernah saya tanyakan kepada Pak Rob van Albada, tetapi belum dapat jawaban sampai sekarang.

1952.

Saya sudah bekerja di Kantor Telegrap Jalan Niaga 1 (sekarang Veteran) Surabaya sebagai operator teleprinter. (pengetikan jarak jauh yang akan menggantikan pengiriman telegrap sistem radio morse). Gaji saya cukup untuk hidup seorang bujang. Kontrak rumah bersama kakak di Keputran Kejambon (1952-1954) dan pindah ke Rangkah 5/23B (1954).* Ada peristiwa penting saat itu. Perayaan 10 November dirayakan besar-besaran. Seluruh kota dan penduduknya diharapkan merayakan hari itu dengan suasana seperti keadaan peristiwa 10 November 1945. Semua orang yang keluar rumah dan terlihat di jalan harus menggunakan pakaian seperti tahun 1945, pakai lencana merah-putih, pakai peci seperti Bung Tomo, berpakaian hitam-hitam. Dan ada juga peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh para pejuang atau sukarelawan, mengadakan pertempuran kecil-kecilan dengan senjata sesungguhnya. Daerah Jembatan Merah ditutup, digunakan untuk mengenang kembali pertempuran 10 November 1945. Di Hotel Majapahit kembali dilaksanakan perobekan warna biru bendera merah-putih-biru. Gedung-gedung dan trem listrik yang sudah bersih catnya, kembali dicorat-coret dengan semboyan-semboyan seperti zaman 1945. Tembok-tembok kantor jadi kotor lagi.

1954.

Teman-teman pegawai kantor telegrap seangkatan pada bermupakat dinas dengan sift tetap, yang malam ya malam terus, yang pagi ya pagi terus, yang siang ya siang terus. Saya memilih dinas jam 1300-1900. Pagi harinya saya gunakan untuk sekolah, yaitu di SMAK Sint Louis Jl. Dr.Sutomo 7 Surabaya. Hidup saya (seorang diri di Rangkah 5/23B) pagi jam 0700-1300 sudah harus masuk sekolah, 1300-1900 bekerja di kantor (Jl. Niaga), 1900 pulang ke Rangkah, beli roti di Jagalan untuk makan malam (pulang dari kantor), makan pagi (sebelum berangkat ke sekolah), dan makan siang (di kantor). Teman sekolah hampir semua orang Tionghoa (kelas saya 40 orang, orang Jawanya 7 orang, orang Menado dan Ambon 3-4 orang). Salah seorang di antaranya Johan Silas. Saya paling tua di sekolah, dan tiap hari pakai celana panjang (karena terus bekerja) sementara yang lain masih mengenakan celana pendek. SMAK Sint Louis muridnya lelaki melulu. Tahun 1954 terjadi Konperensi Asia-Afrika diselenggarakan oleh Bung Karno di Bandung. Para delegasi dari negeri Asia Afrika pada datang. Kami semua bangga. Teman-teman keturunan Tionghoa tidak suka dengan delegasi dari RRT. Mereka mengaku orang Indonesia sejati, lahir dan mencari kehidupan di Indonesia. Itulah teman-temanku di SMAK. Mereka pandai-pandai. * Oleh pemerintah dibentuk Panitia pembangunan perumahan rakyat yang diinstruksikan dari Pusat (Jakarta) terus berlanjut. Karena sulitnya perumahan yang dicapai oleh rakyat, maka diakali bisa dibangunkan rumah yang pembayarannya dicicil. Menabung dulu sampai separoh dari harga rumah, lalu bisa diperoleh rumah, ditempati, dan separohnya lagi dicicil dilanjutkan. Panitia pembangunan perumahan rakyat waktu itu berhasil berkembang di daerah Pucang (Pucang Adi, Pucang Anom, Pucang Rinenggo). Rumah-rumah tadi sudah berupa gedung (batu). Selain berkelompok Panitia Perumahan juga membangun satu-satu misalnya yang terdapat di Rangkah Besar, dan lain-lain. Ada pula kompleks perumahan yang lebih sederhana lagi, yaitu di kompleks Tambakrejo (di belakang RS Dr.Suwandi). Daerah itu dulunya daerah brok-brokan, tempat pelacuran. Mereka itu (pelacuran) dipindahkan ke daerah Bangunrejo (namanya rejo diambil dari Tambakrejo). Di bekas tempat pelacuran tadi dibangun perumahan yang lebih sederhana, dari gedeg, untuk pegawai rendahan. * Terjadi pemindahan makam WR.Supratman dari Jl.Kapasan (pertigaan dengan Kampung Seng) ke seberang makam Rangkah (Jalan Kenjeran), ternyata hasil pembangunan makam baru itu tidak sesuai dengan pembeayaannya (dikorupsi). Para seniman kecewa.

1956.

Terjadi Pekan Pemuda, di mana kekuatan partai politik PKI memperlihatkan geliatnya. * Jaarmarkt (pasar tahunan) yang dulunya diselenggarakan tiap bulan Agustus (kelahiran Ratu Wilhelmina) dilanjutkan juga tiap bulan Agustus untuk merayakan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jaarmarkt jadi pusat keramaian penyelenggaraan Pekan Pemuda. Namanya diganti Pekan Raya Surabaya (PRS=THR, sekarang Hiteck Mall). Kegiatan PRS tahun-tahun itu masih mengikuti peran Jaarmarkt zaman Belanda, dipentingkan peragaan hasil pertanian dan kegiatan budaya (tuintoon stelling, pameran hasil pekerjaan tangan seperti batik, wayang), untuk menarik penonton juga ada pertunjukan ludruk, pencak, permainan radmolen, draimolen, warung, restoran dengan musik jazz-band (saya ingat Bing Slamet menyanyi di sana dengan lagu favoritnya Begin the bequin, menirukan lagunya Bing Crosby yang sedang populer waktu itu sering terdengar di radio, dari situlah kata Bing melekat pada Bing Slamet), permainan yang mengandung pertaruhan. * Tahun 1952 ketika bekerja di kantor telegrap saya sudah mulai menulis di majalah dan suratkabar. Di sekolah SMAK, tulisan saya pamerkan pada teman-teman. Tulisan di suratkabar di Surabaya tidak mendapat honorarium, namun senang kalau bisa dimuat (dimuat tanpa diberi hr berlangsung hingga berakhirnya Orde Lama, 1965). Kalau dimuat di majalah sastra penerbitan Jakarta seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Aneka, baru dapat honorarium.

1957-1958-1959-1960.

Saya selesai sekolah SMA. Tapi tetap minta bekerja di kantor jam 1300-1900. Pagi harinya yang semula saya gunakan untuk sekolah, saya gunakan untuk pinjam buku di USIS (Jl. Pemuda) dan baca buku. Saya mulai membacai buku-buku bahasa Inggris (meskipun dengan susah payah), namun akhirnya dari USIS itu saya kenal pengarang-pengarang Amerika seperti Theodore Dreiser, John Dos Passos, Ernest Hemingway, Robert Penn Warren, John Hersey, Sinclair Lewis, Lloyd Douglas dll. * Selain itu saya juga belajar dansa di Pendidikan Umum (sekarang SMA Trimurti). Di Surabaya hari Sabtu-Minggu pasti ada band hidup, yaitu di Pemandian Tegalsari, Gedung Helendoorn (Jl. Tunjungan), dan Gedung Utama THR. Saya banyak berkenalan dengan orang-orang Ambon, baik di kantor maupun di tempat dansa. Termasuk Bob Tutopoli sering menyanyi di band hidup tempat dansa-dansi. Lagu-lagu populernya Banana Booth Song, A Place in the Sun. Dansa-dansi seperti itu memuncak sampai tahun 1958, yaitu ketika bioskop memutar film Rock Around The Clock, dan film-film Elvis Presley. Dilarang oleh Presiden Soekarno. Selain dansa-dansi juga berkembang tari Serampang 12 yang dikembangkan dari Medan. Berkembang di Jakarta, Bandung, Surabaya. Lalu diadakan lomba antarkota-kota itu. Di Surabaya (1960) juga diselenggarakan.lomba itu, istilahnya sayembara. Saya gencar sekali menulis tentang Tari Serampang 12 ini di majalah dan suratkabar di Surabaya, tapi yaitu tanpa menerima honorarium. * Tahun 1957-1958 terjadi nasionalisasi, pengusiran orang-orang Belanda. Waktu itu masih banyak orang Belanda yang menempati gedung-gedung dan kantor dagang (miliknya sejak zaman penjajahan dahulu), dan di kantor-kantor pemerintah masih banyak formulir-formulir yang berbahasa Belanda. Suratkabar bahasa Belanda juga masih sangat kuat pelengganannya (Het Soerabaiasch Nieuws Handelsblad, dan de Vrije Pers). Dinasionalisasi orang-orang Belanda harus pulang ke Negeri Belanda. Mereka pergi tentu tidak bisa bawa barang-barangnya, maka dilelang atau dirombeng. Termasuk rumah hak milik mereka dijual murah. Saya dapat beli mesin ketik Remington standard, yang lalu saya pergunakan mengetik karangan-karanganku di rumah, bebas segala waktu, tidak tergantung mesin ketik kantor. * Di kaki lima Keputeran berserakan penjual buku rombeng peninggalan Belanda dengan harga yang murah sekali, Rp 1,- Rp 1,50 Padahal gaji saya Rp 100, sebulan. Saya yang sudah terbiasa membaca buku bahasa Inggris di USIS jadi bergairah membeli buku loak dan membacanya. Banyak buku keluaran Pengquin bersampul hijau (mystery & crime) yang saya beli, yang membuat saya kenal dengan tokoh-tokoh seperti Freeman Will Crofts, Agatha Christie, Georges Simenon, Erle Stanley Garner, John Dickson Carr, dll. Nama-nama itu dan tulisannya tidak terdapat di USIS. * Tahun 1958 setelah orang Belanda diusir dari Indonesia, berdirilah Perusahaan-perusahaan Dagang Negara yang terdiri dari bekas perusahaan dagang Belanda (Javastal-stockvis, Internatio, Lindeteves, dll jadi Djaya Bhakti, Sejati Bhakti, Panca Niaga, Tjipta Niaga, dll). * Tahun 1958 didirikan Tugu Pahlawan. Semula diusulkan untuk dijadikan perumahan rakyat, tapi akhirnya dibangun Tugu Pahlawan. Tahun 1958 didirikan pabrik Semen Gresik, yang sangat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja ke sana. * Tahun 1958 diselenggarakan pemilihan umum yang pertama di Indonesia. Ketika itu tiga pemenang besar yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Masyumi. Namun sistem parlementer waktu itu bahkan tidak jalan, sehingga tahun 1959 Presiden Sukarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945. Dan selanjutnya beberapa partai dilarang antara lain PSI (Partai Sosial Indonesia) dan Masyumi. * Kehidupan pers di Surabaya tahun-tahun itu (1956-1965) mendapat subsidi kertas dari pemerintah. Yang populer waktu itu adalah Harian Umum, Suara Rakjat, Terang Bulan, Panjebar Semangat (ini berkantor dan dicetak di gedung Pers Nasional Jalan Penghela 2), Surabaja Post, Trompet Masyarakat, Liberty (ini berkantor dan dicetak di de Brantas, Jalan Alun-alun 30 Surabaya), lalu Perdamaian kantor/cetak di Jalan Pecinan Kulon (sekarang Jalan Karet), Djawa Pos (di Jalan Kembang Jepun). Subsidi kertas itu diberikan kepada penerbit surat kabar yang ikut SPS, dan penerbit buku yang ikut keanggotaan IKAPI. Banyak di antara pers yang sebenarnya dicetak hanya 20.000 exp, tapi disebutkan dicetak 30.000 exp. Kelebihan kertasnya dijual bebas, laku keras. Maka penerbit suratkabar maupun buku, kalau sudah ikut organisasi, tidak bakal bangkrut. Meskipun begitu, untuk majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat, subsidi kertas itu selalu kurang. Sebab yang dicetak per minggu adalah 80.000. Dan tersebar sampai di desa. Sedang pada penerbitan surat kabar bahasa Indonesia paling banyak tirasnya 20.000. * Surabaya Post pimpinan Abdul Azis agak lain. Dulu diterbitkan seperti format tabloid 1956, kantornya di Alun-alun 30 bersama dengan Het Soerabaiasch Nieuws Handelsblad. Ketika orang Belanda diusir dari Indonesia, suratkabarnya juga harus ditutup, Het Soerabaiasch Nieuws Handelsblad yang tirasnya lebih dari 100.000, dengan pemasukan dari iklan yang banyak sekali itu dihibahkan kepada Surabaja Post. Baik para pelengganannya yang banyak sekali itu, baik pegawainya administrasi maupun redaksi/wartawan, serta pemasukan iklannya juga, semua dihibahkan kepada Surabaja Post.. Maka Surabaja Post waktu itu koran yang paling makmur di Surabaya, di samping Panjebar Semangat.

1961-1962-1964-1965.

Sejak tahun 1958-1965 Kota Surabaya dipimpin oleh Walikota Komunis, Dr.Satrio dan Murachman. Pendudukan liar terus berkembang dengan pesat, apalagi dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia yang sangat mendukung politik sistem kerakyatan. PKI minta didirikannya angkatan bersenjata ke-5 (selain AD,AU,AL,Kepolisian). Tanah-tanah kosong segera diseroboti oleh pendudukan liar. Dulu, di sebelah timur dari rel Wonokromo-Gubeng adalah persawahan yang subur, milik BPM (minyak), Pengairan, PJKA, Baswedan. Selama tahun 1962-1964 seluruh wilayah itu (antara rel keretaapi dan Jalan Karangmenjangan-Menur-Jembatan Ijo Nginden) yang dulunya merupakan sawah subur sudah terbagi-bagi menjadi perkampungan liar dengan nama Gubeng Klingsingan, Gubeng Trowongan, Bratang, Ngagel, Krukah. (Untung di Pucang telah berdiri Perumahan Rakyat, sehingga tidak diseroboti penduduk liar. Dan Karangwismo dulu lebih dulu diduduki oleh AD, selamat dari serobotan liar). Juga sawah-sawah yang lebih ke utara dari Kedungtarukan yang semula milik PJKA juga diseroboti oleh penduduk liar: Jolotundo, Bronggalan, Ploso, Rangkah, Sidotopo, Wonokusumo. Begitu juga di daerah barat kota. Yang semula tambak tak bertuan dan pekuburan diserobot menjadi perkampungan liar seperti Bangunrejo, Kremil, Mbah Ratu, Tembok Bolong (sekarang Petemon/Kupangkrajan), Kembang Kuning. Tahun 1964 kekuatan politik PKI bertambah kuat. Banyak sekali kekuatan politik ditunjukkan dengan pentas-pentas, pertunjukan, lagu-lagu. Hari-hari ulang tahun partai dirayakan sampai 40 hari, dengan unjuk kekuatan kampanye. Lagu-lagu Genjer-genjer, Turi-turi Putih dipopulerkan sebagai kekuatan politik. Tiap ada hari peringatan nasional, diadakan unjuk kekuatan drum-band. Jor-joran drum-band. Barisan dari NU pakaiannya bagus-bagus (hijau), dari PNI hitam, dari PKI juga hitam. Dari angkatan juga bagus-bagus. Barisan PKI protes dengan demonstrasi ingin menurunkan Gubernur Jawa Timur Wiyono. Jalan Darmo diganti (oleh Walikota Murachman) dengan nama Jalan Patrice Lumumba. Pendudukan liar kian marak, antara lain sungai Gembong/Bunguran dijadikan petak-petak untuk pasar (Pasar Atom), dan merambat ke selatan Kali Pecindilan/Pengampon jadi petak-petak pelesiran. Sungai besar Gentengkali dan Peneleh sudah menjadi gedung-gedung pertokoan. Di Peneleh dibangun pertokoan di atas sungai, sehingga jalan Peneleh sudah diapit-apit oleh gedung pertokoan. * Selama itu hampir tidak ada pembangunan fisik di Surabaya. Jalan-jalan juga tidak bertambah, maupun tidak terpelihara (tidak diaspal lagi). Juga tidak membuat jalan baru. Tetapi semua itu tidak menjadikan kendala dalam berlalu-lintas, karena toh kendaraan bermotor (roda empat atau lebih) juga tidak ada. * Pasar juga masih pasar-pasar lama, seperti Pasar Pacarkeling, Genteng, Blauran, Pabean, Keputeran, Pasarkembang. Wonokromo belum jadi pasar. Terjadi pasar-pasar tumpah, artinya orang berjualan makan jalan, terjadi di sepanjang Pasar Kembang, sepanjang Jalan Pandegiling, sepanjang Jalan Ngaglik-Kapaskrampung (Kapaskrampung/Tambahrejo belum jadi pasar). Ada perayaan hari besar Maulud Nabi yang khusus dirayakan oleh penduduk Surabaya. Pada peringatan hari Maulud Nabi, maka di pasar-pasar tradisional Pabean, Pacarkeling, Blauran, Genteng, Peneleh, penuh dengan orang jualan mainan (pedang-pedangan, topeng-topengan, manten-mantenan). Pada kesempatan itu para gadis-gadis berkerudung pada keluar ke pasar. Dan para jejaka (termasuk saya) sangat senang ikut berdesakan di pasar-pasar tadi. Sangat ramai sehingga berdesakan tadi mbludag sampai ke jalan besar (Genteng Besar, Peneleh, Pabean). Perayaan Maulud Nabi dengan orang jualan mainan dan gadis-gadis keluar itu masih terjadi hingga tahun 1974 * Kekuatan Partai Komunis menggerakkan masa terus bergejolak. Pemutaran bioskop yang semula dikuasai oleh agen-agen Hollywood, didemonstrasi, dibakar (salah satunya di sudut perempatan Jl. Sumatra-Karimunjawa, milik MGM/MPEA) oleh orang-orang PKI. Presiden Sukarno berusaha keras untuk menyatukan kekuatan nasional dengan jurus-jurus Nasakom (Nasional-Agama-Komunis), namun kekuatan rakyat (komunis) minta kekuasaan lebih, sehingga pidato-pidato Presiden mengenai MANIPOL/USDEK, Jasmerah, Nawasanga tidak mampu membendung kekuatan komunis. Suratkabar Harian Rakjat tiap hari memuat berita-berita provokasi, misalnya terus-menerus memuat cerita Jagal Husein (Islam) dari Mojokerto yang katanya membantai korbannya, tiap hari ada kurban yang ditemukan dan ditulis secara detail di Harian Rakjat. Konon di desa-desa, aksi komunis ini sangat kejam, di Kanigoro (Blitar) orang yang sedang sholat subuh dibantai semua. Terjadi juga di Kediri. * Para wartawan/seniman yang tidak pro dengan komunis (antikomunis) mengadakan aksi dengan menggelar Manifesto Kebudayaan (manikebu), akibatnya dihancurkan oleh kubu komunis. Mereka dilarang bekerja, harus dipecat dari jawatannya (wartawan manikebu yang jadi kurban adalah Wiwiek Hidayat dari Antara, Hari Rek dan Purnomo Tjondronegoro dari majalah Terang Bulan, Farid Dimyati dari Harian Umum, Basoeki Rachmat dari Djaja Baja, mereka dipecat dari jabatannya sebagai wartawan). * Kegiatan seni waktu itu juga meriah, ada saling adu unggul-unggulan antara para seniman Lekra dan bukan Lekra (Islam atau nasional). Itu bisa dibuktikan tiap ada pentas seni di Balai Pemuda, baik diskusi sastra, pentas panggung, atau seni deklamasi. Seni deklamasi sering dipentaskan dan mendapat perhatian cukup meriah. Juara dari Lekra adalah Sukaris. Dari senilukis yang terkenal Marah Jibal, Darjono, Karyono JS. Begitu pula seni teater, ada lomba drama pelajar yang diadakan setiap tahun. Juga ada lomba drama untuk umum. Unair biasa mengikuti lomba drama ini, disuteradarai oleh Muktijo. Sedang di pihak lain yang terkenal Pentas 21 pimpinan Farid Dimyati (saya ikut di pentas ini). Banyak lagi kelompok drama yang lain, misalnya pimpinan Sanyoto Suwito, Hari Matrais. Pentas seni drama biasa dipanggungkan di Balai Pemuda dan di Balai Budaya (ujung utara Jalan Bubutan, sekarang jadi tempat parkir Bank Indonesia). * Di jawatan-jawatan negara (PJKA, PTT,) dibangun perserekatan buruh yang dikemudikan sentral SOBSI (komunis) dan non-komunis. Tindakan mereka sangat anarkitis. Misalnya buruh percetakan Pers Nasional di Jalan Pengenal 2 tempat koran-koran dicetak dengan mesin intertype, mesinnya dirusak karena perusahaan pers itu dianggap perusahaan kapitalis. * Akhirnya pada puncaknya terjadi pemberontakan PKI yang gagal terkenal dengan G30S/PKI. Akibat kalahnya PKI ini, di Surabaya terjadi pembalasan besar-besaran, yaitu di kampung-kampung yang dulunya terdapat orang-orang komunis (waktu jayanya kelihatan sekali tingkah polah tokoh-tokoh itu) diserbu oleh orang-orang agama yang didatangkan dari kampung lain. Sangat mengerikan. Mereka itu terang-terangan menyerbu dan mengambil orang-orang komunis tadi. Pembalasan ini juga terlihat dari Kali Brantas (Surabaya), tiap hari terdapat mayat-mayat mengapung di sana. Walikota komunis Murachman juga harus hilang. * Selama pemerintahan Orde Lama (1950-1965) tidak ada kegiatan menambah jumlah kendaraan. Tahun 1962 ada didatangkan becak-bermotor (kemudian disebut bemo) kendaraan umum roda tiga, menjalani rute Kebon Binatang-Diponegoro-Arjuno-Rajawali-Perak; dari Kebon Binatang-Darmo-Kaliasin-Tunjungan-Gemlongan-Jembatan Merah, dari Kebon Binatang-Dinoyo-Ngagel-Sumatra-Kusumabangsa-Sidotopo-Sidorame. (Maaf, saya tidak begitu hafal, karena tidak pernah naik bemo kendaraan umum ini). Selain itu memang ada bus kota, yang rutenya juga dari Kebon Binatang. Kendaraan pribadi masih banyak yang menggunakan sepeda ontel. Pengganti mosquito ada bromfiet Ducati buatan Italy, ada scooter juga dari Italy, ada sepeda motor DKW dari Jerman. Kendaraan umum kota adalah dokar, tram listrik, keretaapi OJS, kereta kosong (roda empat ditarik oleh kuda, biasanya hanya melayani pesanan), ada juga atak atau (berfungsi seperti taksi, namun amat jarang sekali). Ada pula opelet yang berfungsi dengan rute tetap seperti halnya angkutan kota sekarang. Opelet di Surabaya hanya menjalani Kapasari-Krian, atau Kapasari-Sidoarjo. (Kata opelet dari opel nama mobil buatan Jerman, let artinya kecil. Tapi yang saya lihat opelet di Surabaya seperti angkutan kota zaman sekarang. Bukan mobil Opel yang kecil). * Bus dari luar kota masuk ke Kota Surabaya terminalnya di Jembatan Merah. Dari Wonokromo menembus Jalan Ngagel, Sumatra, Gubeng, Kusumabangsa, Ambengan, Undaan Kulon, Nyamplungan, Kembang Jepun, Jembatan Merah.

1965-1973.

Setelah pemerintahan Orde Lama berakhir, Walikota Murachman hilang, penggantinya dijabat oleh komandan Korem, R. Soekotjo. R. Soekotjo ini semula diangkat menjadi PJS, kemudian menjadi Walikota resmi, kekuasaannya selama 7 tahun. Dalam 7 tahun kekuasaannya itulah R. Soekotjo betul-betul menghilangkan kesan-kesan keberhasilan kaum komunis yang lalu. Gedung pertokoan di Gentengkali dan Peneleh digusur habis, dikembalikan jadi tepi kali yang seperti semula. Menurut Undang-undang nomer 1 tahun 1957, Kota Surabaya disebut Kota Besar (disingkat KBS). Dengan Undang-undang Nomer 18 tahun 1965, sebutan KBS diubah jadi Kotapraja Surabaya (KPS). Dan terjadi penambahan wilayah 5 Kacamatan baru yang diambil dari Kabupaten Surabaya (Gresik), yaitu Tandes, Sukolilo, Rungkut, Wonocolo, Karangpilang. Sebutannya jadi Kotamadya Surabaya, atau KMS. Dengan perubahan tambahan 5 kecamatan tadi, Walikotamadya Surabaya R.Soekotjo bergerak cepat mendekatkan wilayah kecamatan baru itu ke pusat kota lama dengan mengimpreskan pelebaran jalan dari pusat kota lama menuju sampai keperbatasan kota (yang baru), misalnya jalan dari Nginden melalui Rungkut menuju tapal batas Sidoarjo, dari Karangpilang menuju Menganti, dari Pasarkembang menuju Benowo, dari Kedungcowek menuju Tambakwedi. Juga daerah yang diduduki penduduk liar ditata ulang, misalnya dibangun jalan dari Pabrik Es Petojo, melalui Darmawangsa menuju Pucang-Ngagel Jaya Selatan (sebelum dibangun jalan lurus besar itu, daerah situ kumuh dan berbelit-belit), juga dari Jalan Sulawesi lewat trowongan (Gubeng Trowongan, sekarang Kertajaya) sampai Menur (Menur sudah jalan besar). Ketika R.Soekotjo menjabat Walikotamadya (1965-1973), saya ditarik menjadi pegawai Kotamadya Surabaya (sejak 1969), jadi sedikit banyak tahu tentang kegiatan Walikotamadya. Dan saya aktip membuat tulisan di suratkabar maupun tulisan berupa buku saat menjadi pelayan Kota Surabaya waktu itu, maka tidak usah saya percakapkan saat ini. Lagi pula cerita itu termasuk riwayat Kota Surabaya 1965-an sampai sekarang, tidak masuk sawala Surabaya 1900-1960. Jadi saya akhiri saja sawala saya ini. Semoga berguna. Amin.

*Adaptasi dari Website: www.supartobrata.com
berjudul: RAKYAT MISKIN DAN PEREBUTAN RUANG KOTA DI SURABAYA 1900-1960-AN.

Kegiatan Diskusi Umum dilaksanakan kerjasama antara Himadep Ilmu Sejarah dengan Departemen Ilmu Sejarah Unair.

Pembicara: Johny Alfian Khusairi, FISIP UNAIR
Purnawan Basundoro, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada
Suparto Brata, Saksi Sejarah Kota Surabaya

Moderator: Muhamad Nilzam Ali

Sumber: http://supartobrata.com

Calo dan Sejarah Haji*

Percaloan dan penelantaran jamaah haji juga terjadi di masa kolonial.

BERKOEMPOEL, kelompok warga Cilegon, melayangkan sebuah surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal kongkolikong Johanes Gregorius Marinus Herklots alias J.G.M. Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jamaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya: pejabat itu plus keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah.

Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat ini memakai kekuasaannya: memaksa rakyat yang hendak pergi haji untuk menggunakan perusahaan Herklots. Yang tak menggunakan perusahan itu, ditahan pas-nya (izin jalan, semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah.

Dengan kongkolikong macam ini, pada musim haji 1893, Herklots berhasil menjaring lebih dari 3.000 jamaah dari, menurut J. Vrendenbregt dalam The Haddj merujuk data Indisch Verslag, keseluruhan jamaah yang berjumlah 8.092 orang.

Gubernur Jenderal, yang sudah menerima banyak keluhan soal kebusukan agen haji milik J.G.M Herklots, menerima surat ini pada pertengahan Juni 1893. Isinya, sebagaimana dikutip dari buku Berhaji Di Masa Kolonial karya Dien Majid, antara lain: “...semoea toeroet Entol Goena Djaja soedah berdjanji sama itoe toean agen Herklots, dia poenya anak (Entol Hadji Moestafa) dan mertoea (Hadji Karis) pegi di Mekkah dengan pordeo tida bajar ongkos kapal, makan dan minoem djoega pordeo dan djoega misti dapat kamar, tapi banjak sekali orang-orang jang dari district Tjilegon tida seneng menoempang di itoe kapal/agen toean Herklots, melaenkan dia orang takoet sama Kapala District Tjilegon Wedana Entol Goena Djaja...”

Gubernur Jenderal juga menerima somasi dari Konsul Belanda di Jedah tentang pungutan liar yang dilakukan agen haji Herklots. Jamaah harus membayar tiket pulang yang telah ditetapkan f.95 plus f.500 sebagai jasa bagi Herklots. Konsul memohon Gubernur Jenderal supaya mendeportasi Herklots dan mengadili kejahatannya. Meski perbuatan Herklots dikategorikan melanggar hukum tapi Gubernur Jenderal tak punya wewenang untuk mendeportasi Herklots.

Menurut Dien Majid, Konsul Belanda di Jedah lantas melobi Gubernur Jedah Ismail Haki Pasha supaya mendeportasi Herklots. Pasha tak bisa mengabulkannya dan bilang, “Herklots di sini hanya sibuk bekerja untuk melaksanakan penanganan keagamaan.”

Usaha keras Konsul untuk mendeportasi dan mengadili Herklots tak mempengaruhi bisnis haji Herklots secara keseluruhan. Herklots masih leluasa menjaring calon haji dan menebarkan tipu-tipu yang lebih parah.

Pengalaman R. Adiningrat, residen Cirebon, bisa jadi contoh. Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893, sebagaimana dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruknya menggunakan agen Herklots. Saat membeli tiket, Adiningrat dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar.”

Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba.

J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.

Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air.

Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya.

Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.

Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di lapangan terbuka tanpa fasilitas memadai.

Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit.

Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal, “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...”

Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani. [IMAM SHOFWAN]


*diadaptasi dari artikel berjudul: Calo-Calo Haji di Majalah Historia-Online.
Ini Link lengkapnya: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-344-calocalo-haji.html

Nah, Praktek Haji di Singapura sejak Jaman Kolonial KLIK DI SINI Berbagai cara ditempuh untuk menuju Mekkah. Selain ibadah, gengsi sosial naik peringkat.

19 November 2010

Menelusuri Sejarah Banjir di Batavia*

Sumber informasi dari Buku: Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir di Jakarta dari Masa ke Masa, Jakarta: Kompas, April 2010


Penanggulangan banjir sudah dilakukan sejak masa VOC, tapi air tetap merendam Jakarta.

BATAVIA, 1 Januari 1892. Selama delapan jam lebih, hujan turun begitu lebatnya. Saluran air tak mampu menampung limpahan air. Banjir pun melanda. Sejumlah rumah terendam banjir. Rel kereta api Batavia-Buitenzorg nyaris terendam di daerah sekitar Pasar Minggu.

Setahun berselang, banjir kembali melanda. Kali ini banyak perkampungan dan bagian kota yang lebih modern ikut terendam seperti Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan, dan Kemayoran. Banjir tak hanya merusak jalan-jalan di Weltevreden, “tapi juga merusak perekonomian,” tulis Restu Gunawan, penulis buku ini. Singkat kata, “banjir yang terjadi tahun 1893 mengakibatkan Batavia terendam.”

Jakarta (dulu Batavia) merupakan dataran rendah yang elevasi maksimalnya tak lebih dari tujuh meter dpl. Di banyak tempat, bahkan ada yang berada di bawah permukaan laut. Jumlahnya kira-kira mencapai 40 persen. Konsekuensinya: Jakarta langganan banjir. Selain dua banjir di atas, banjir terjadi pada 1895 dan 1899.

Pada abad berikutnya, hujan deras pada 19 Februari 1909 menyebabkan sebagian besar wilayah Batavia terendam. Harian De Locomotief sampai mengkritik pemerintah dengan tulisan berjudul “Batavia Onder Water” (BOW) alias “Batavia Di Bawah Air”. BOW jadi populer karena merupakan singkatan kantor sarana dan prasarana pemerintah (Burgelijke den Openbare Werken) yang juga menangani masalah pengairan.

Beragam upaya terus dilakukan penduduk atau instansi resmi sebagai respon atas banjir. Seiring perjalanan waktu, upaya itu berkembang dan kian terorganisasi.

Berdasarkan catatan, VOC di bawah Jan Pieterzen Coen-lah yang paling awal mengupayakan penanggulangan banjir di Batavia. Coen melakukannya dengan “menjinakkan” sungai Ciliwung, salah satu sungai utama yang melintasi Batavia, yang dianggap sebagai penyebab banjir. Caranya dengan menyodet banyak sisi badan sungai itu. Sodetan-sodetan sengaja dibuat menjadi kanal-kanal atau terusan seperti di kota-kota di Belanda. Fungsinya mereduksi beban debit air Ciliwung. Kanal-kanal itu mengalirkan air dari hulu ke hilir di Laut Jawa.

Upaya Coen tak benar-benar berhasil. Banjir tetap saja terjadi. Terlebih banyak kanal mengalami pendangkalan. Endapan material-material yang dibawa air dari hulu lah penyebabnya. Banyak kanal kemudian tak berfungsi.

Kendati upaya penanggulangan masih terus dilakukan pada masa selanjutnya, banjir tetap sulit dijinakkan.

Pada masa kolonial, pemerintah membentuk Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW) pada 1918. Setelah Departement van Verkeer en Waterstaat (Departemen Perhubungan dan Perairan) dibentuk pada 1933, penanganan banjir di Batavia diserahkan kepada Gemeentewerken –badan yang mengurusinya di tingkat kotapraja.

Penanganan banjir menjadi salah satu program kerja terpenting pemerintah kolonial. Pemerintah kotapraja pada 1910 menganggarkan 25 ribu gulden untuk menanggulangi banjir di daerah Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng. Pemerintah juga mengadakan penelitian sehubungan dengan meningkatnya penebangan hutan untuk perkebunan di daerah Bogor dan sekitarnya. Tindak lanjutnya, Herman van Breen, seorang insinyur hidrologi, ditunjuk untuk menyusun perencanaan pengairan di Batavia. Hingga akhir 1913 ada lima proyek utama yang disetujui pemerintah: pembuatan pintu air Matraman, pintu air Gusti, normalisasi Sunter, kanal banjir, dan saluran Cideng.

Puncak pengendalian banjir di Jakarta terjadi pada 1913-1930. Pada 1927 saja pemerintah mengeluarkan 288.292 gulden untuk membiayai delapan proyek. Dalam upaya tersebut, kelebihan pemerintah kolonial adalah preventif. Sedangkan kelemahannya, tulis Restu Gunawan, keterbatasan dana.

Di masa Jepang, penanggulangan banjir terbengkalai. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia sibuk dengan urusan mempertahankan kemerdekaan. Banjir hanya ditanggulangi masyarakat dengan cara-cara yang bersifat temporal dan lokal.

Masalah banjir mulai mendapat perhatian pada 1965. Pada Februari 1965, pemerintah membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir –kemudian diubah pada 1972 menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya. Tugasnya mengadakan usaha-usaha untuk mencegah dan mengendalikan banjir di Jakarta serta melakukan berbagai tindakan perbaikan pengaliran dan saluran, pembuatan tanggul, dan lain-lain. Badan-badan itu berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Pemerintah DKI sendiri hanya kebagian tanggung jawab mengurusi proyek-proyek mikro (nonstruktural); proyek makro(struktural) berada di tangan pemerintah pusat.

Pemerintah juga menggandeng pihak asing. Hasilnya antara lain pembuatan waduk dalam kota serta pembuatan saluran baru seperti saluran Cengkareng dan saluran Cakung. Pada 2000-an, pemerintah kembali mencoba menangani banjir dengan membangun Kanal Banjir Timur. Model penanggulangan dengan membuat kanal banjir, yang sebetulnya merupakan gagasan van Breen pada 1923, disangsikan dan menuai banyak kritik.

Sama seperti penanggulangan banjir masa kolonial, kelemahan masa republik juga sama: dana. Akibatnya, banyak proyek gagal dilaksanakan.

Selama hampir satu abad, tulis Gunawan, ada dua cara yang ditempuh: sistem makro dan sistem mikro. Dalam sistem makro, pembangunan kanal dan sistem polder serta pembuatan waduk penampungan cenderung dipilih. Sistem kanal tak begitu efektif lantaran kondisi topografis Jakarta yang datar sehingga aliran air tak begitu kuat. Selain itu, sampah dan sedimentasi lumpur yang besar juga menghambat aliran air. Sedangkan sistem polder terkendala oleh permukiman penduduk. Aliran air ke polder jadi tak lancar.

“Mencermati kegagalan demi kegagalan dalam pengendalian banjir,” saran Gunawan, “upaya pengendalian banjir oleh pemerintah harus dilakukan lebih konseptual dengan mengatasi akar penyebabnya, yaitu menurunnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan.” [MF MUKTHI]

*adaptasi dari judul artikel Air Mengalir Sampai Banjir yang dimuat di majalah historia-online.com.

Ini Link aslinya: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-347-air-mengalir-sampai-banjir.html

14 November 2010

Pahlawan dan Ironi Sejarah

Oleh: Abd Rahman Hamid*

Momentum otonomi daerah tampak bertaut erat dengan endemisnya pengusulan pahlawan nasional. Ada kesan bahwa suatu daerah disorot oleh pubik ketika memiliki tokoh anutan (pahlawan) sebagai bahan justifikasinya.

Tak heran jika upaya pengusulan pahlawan kian mengemuka dari berbagai daerah di tanah air, dengan ragam cara dan pendekatan. Tujuannya adalah agar identitasnya terkuak, minimal pada peringatan Hari Pahlawan Nasional setiap tanggal 10 November. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa hari pahlawan tidak dicipta untuk tujuan itu.

Sejarah bagi sebuah negara yang baru merdeka, atau masih dalam penguatan semangat kebangsaan, memiliki peran penting sebagai alat untuk meningkatkan persatuan dan pendidikan kewarganegaraan.

Dengan kata lain, sejarah adalah alat propaganda kaum nasionalis (Burke 2001). Hal itu, secara metodelogis, telah digalakkan di Jerman pada abad ke-19 oleh Leopold Von Ranke. Slogannya yang sangat terkenal adalah "no document, no history".

Dalam doktrinnya, hanya aktor yang terekam (dokumen) yang memiliki akses terhadap panggung sejarah. Aktor lainnya tetap diakui eksistensinya, tetapi tidak direkonstruksi sebagai sebuah kemestian dalam sejarah.

Momen dan tokoh tersebut telah merombak secara besar-besaran metodelogi penulisan sejarah. Bila sebelumnya dipandang bagai sebuah kronik, dan menggunakan sumber sejarah yang tidak ilmiah, maka kini kerja sejarawan meletakkan dokumen di atas segalanya. Implikasinya, adalah ruang narasi
terlampau didominasi oleh orang-orang besar, sehingga menghasilkan sejarah "orang-orang besar".


Ilustrasi: Bungtomo, salah satu pahlawan Nasional Indonesia

Sementara itu, tokoh ajuannya terutama yang memiliki visi kebangsaan. Cara kerja ini juga membuahkan kebanggaan berlebihan penikmatnya terhadap sang tokoh, berikut negara-bangsanya secara berlebihan.

Pahlawan dan Indonesia

Fenomena macam itu tampak pada panggung sejarah Indonesia di awal kemerdekaan. Penulisan sejarah dan biografi tokoh "penting" digiatkan dam rangka penguatkan semangat kebangsaan. Narasi sejarah diramu sedemikian rupa, dengan perspektif Indonesia sentris.

Tak heran, ruang historiografinya dipenuhi sejumlah tokoh besar dari berbagai daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke. Kedua daerah itu (Aceh dan Papua) mendapat perlakukan istimewa, dengan status otonomi khusus.

Pada tahun 1950-an, di Sulawesi Selatan mengemuka gerakan protes Daerah terhadap pusat. Qahhar Mudzakkar berhasil mengorganisir kesatuan-kesatuan gerilyawan kedalam satu wadah organisasi. Awalnya bernama KGSS, kemudian CTN, TKR, dan akhirnya TII (DI/TII).

Salah satu dalilnya adalah pembentukan sebuah divisi militer dengan nama (Sultan) Hasanuddin. Tokoh ini dipandang representasi tokoh kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Meskipun akhirnya upaya tersebut tidak direspons oleh pemerintah, sehingga menimbulkan pemberontakan.

Pengungkapan tokoh besar, dalam konteks itu, menjadi penting sebagai rujukan simpul politik bernama Indonesia. Itulah sebabnya, mungkin, Sultan Hasanuddin di masa Orde Baru dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, tanpa bermaksud mengabaikan sepak terjangnya melawan kolonialisme yang menjadi dasar pemahlawanan seseorang dalam pandangan pemerintah.

Sementara itu, aktor lainnya sezaman dalam irama sejarahnya, yakni Arung Palakka tereliminasi karena bekerjasama dengan pemerintah kolonial, yang menjadi pantangan seseorang menjadi pahlawan nasional.

Ironi Sejarah

Adalah sebuah kebanggan bagi suatu daerah yang memiliki pahlawan nasional. Sebab, hal itu seringkali dijadikan takaran oleh daerah lain terhadap daerah itu dalam mengindonesia. Pendeknya, pengajuan pahlawan nasional sangat penting secara sosial dan politik, baik bagi ahli waris maupun pemerintah daerah. Juga bagi negara karena telah mengukir jumlah pahlawan terbanyak, melampaui nagara adi daya seperti Amerika Serikat sekalipun.

Tetapi, mengapa pengajuannya kini makin endemis? Apakah hanya pahlawan itu saja yang patut dikenang? Lalu bagaimana dengan aktor lainnya, apakah memang Indonesia hanyalah buah tangan "orang-orang besar", tanpa ada keterlibatan "orang-orang kecil".

Dominasi pemikiran Ranke, dalam konteks itu, tampak berpengaruh dalam ranah penulisan sejarah. Upaya seleksi aktor kian mewarnai ruang kerja sejarawan. Fokusnya selalu diarahkan terhadap kaum elite, sehingga karya sejarahnya merupakan rekaman atau milik orang-orang besar, dan orang-orang kecil dilupakan.

Cara dan hasil kerja macam ini mendapat kritik keras dari Kalr Lamprecht, bahwa usaha Ranke dan Neo Ranke adalah sebuah kekolotan. Dalam nada yang sama pula,

Otto Hintze mengatakan, yang ingin diketahui bukan saja gugus dan puncak gunung tetapi kaki gunungnya; tidak cuma tinggi dan dalamnya daratan melainkan keseluruhan benuanya (Burke 2001). Ini menunjukkan bahwa tinta sejarah ala Ranke hanyalah berupa titik kecil dari realitas besar yang diabaikannya.

Dengan demikian, peran orang-orang kecil tidak boleh dilihat sebelah mata dalam merekontruksi tokoh (pahlawan) tertentu. Kedua unsur aktor harus ditempatkan bersama dan dengan peran masing-masing sesuai konteks sejarahnya.

Upaya penempatan para aktor sejarah tersebut berimplikasi secara metodelogis terhadap penulisan sejarah. Penggunaan sumber tulisan (dokumen) harus dibarengi dengan sumber lisan (oral history atau oral tradition). Sebab, jenis pertama dominan merekam aktivitas orang-orang besar, sementara orang-orang kecil redup dari sorotannya dan jejak mareka umumnya berupa ingatan kolektif (kelisanan).

Kendati demikian, terkait penggunaan sumber lisan, diperlukan kecakapan kerja dan pemahaman kontekstual sehingga pekerja sejarah tidak mudah larut dalam alur kisah pelakunya.
Akhir kata, perlu diingatkan, agar endemisnya pengusulan pahlawan nasional dewasa ini tidak disangkut pautkan secara politik dengan arus otonomi daerah, ataupun ragam pesta politik di daerah.

Bukan pula momen penguatan primordialisme. Tetapi, peringatan Hari Pahlawan tahun ini menjadi refleksi penguatan kembali jiwa kebangsaan. Juga bukan sekadar ekspresi sejarah orang-orang besar, tetapi juga ruang promosi aktor-aktor kecil yang memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah Indonesia.

*Staf Pengajar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Tulisan ini pernah dimuat di web site. Ini linknya: http://metronews.fajar.co.id/read/109457/19/pahlawan-dan-ironi-sejarah

13 November 2010

Polemik Pattimura: Sejarah Adalah Dialog Tampa Akhir

Judul Asli: Tuntaskan Polemik Pattimura

Pada edisi terbitan 6 April 2010 lalu, Tribun Timur pernah menurunkan satu berita bertajuk “Peneliti UNM: Pattimura Pahlawan Asal Wakatobi”. Peneliti yang dimaksud adalah Kepala Pusat Penelitian Budaya dan Seni Etnik Sulawesi Lembaga Penelitian UNM Dr A Halilintar Lathief. Simpulan hasil penelitiannya yang dianggap mengagetkan banyak kalangan ini, memuat pernyataan bahwa Pattimura sebenarnya adalah seorang Muslim keturunan orang Wanci, Kabupaten Wakatobi (dulu Buton), Provinsi Sulawesi Tenggara.

Keberanian seorang Halilintar membuat simpulan seperti ini, mengandalkan sumber lisan, jejak budaya, dan hasil riset beberapa peneliti lain. Bahkan peneliti yang konon telah melakukan riset setahun lebih di Wakatobi ini, menguatkan argumentasinya dengan menghubungkan nenek moyang orang Wanci adalah pelaut.

Dua pekan kemudian wacana seputar Pattimura ini, kembali mengemuka setelah harian ini kembali menurunkan opini berjudul ”Pattimura Asal Wakatobi?”. Adalah Abd. Rahman Hamid yang juga mengaku peneliti Wakatobi, lalu tampil mengkritik wacana sebelumnya dengan cukup pedas. Bahkan penulis buku “Spirit Bahari Orang Buton ini”, mencap bahwa Halilintar Lathief tak paham sejarah daerah itu.

Malahan dianggap terlalu terburu-buru melontarkan simpulan itu kepada publik meski hanya mendasarkan argumennya pada tradisi lisan. Tidak hanya itu, penulis muda ini membubuhi kritikannya dengan mengedepankan pentingnya pemahaman konteks sosial historis di balik cerita rakyat berkaitan dengan identitas Pattimura. Bahkan dianggapnya sebuah kekeliruan ketika riwayat sejarah dikonstruksi hanya mengandalkan sumber lisan.

Tak pelak lagi seorang Halilintar pun termasuk dalam deretan orang-orang yang berupaya me-Wakatobi-kan atau mem-Buton-kan Pattimura. Benarkah Halilintar telah mengabaikan konteks sosial historis dalam mengonstruksi sejarah tentang Pahlawan Pattimura ini?. Dari pertanyaan itulah saya mencoba masuk ke arus wacana seputar polemik tentang asal usul Pattimura dan mencoba menawarkan alternatif solution bagi permasalahannya.

Dengan demikian sejarah Pattimura yang kelihatannya masih abu-abu ini dapat menjadi sesuatu yang lebih jelas warna ilmiahnya. Mencermati pernyataan saudara Halilintar tentang Pattimura asal Wakatobi, saya sebagai seorang yang juga gemar meneliti sejarah justru menyambut baik. Meskipun di sisi lain, dengan perspektif berbeda Abd. Rahman Hamid yang juga boleh dianggap terlalu gegabah telah “menuduh” saudara Halilintar tidak paham sejarah daerah itu. Edward Hallet Carr, sang penulis buku “What is History?” memang pernah mengatakan sejarah itu merupakan dialog tak berkesudahan (history is an unending dialog).

Tetapi apakah sejarah mengenai asal-usul Pattimura yang telah dibuat abu-abu dan menimbulkan kepenasaranan historis publik harus dibiarkan berlanjut?. Jika polemik sekitar asal-usul tokoh Pattimura ini hanya disemayamkan bersama selimut diam kita, tentu saja akan berdampak buruk terhadap pendidikan sejarah serta menambah deretan pekerjaan rumah tadi. Dengan demikian, upaya meluruskan sejarah dan menyelesaikan dua versi berbeda dan telah dipublikasikan ini perlu diselesaikan secara ilmiah.

Seorang Halilintar yang “dituduh” oleh Rahman Hamid tidak memahami sejarah daerah itu dengan merujuk pada komentar di harian ini, boleh jadi memiliki sejumlah bukti yang melandasi argumentasinya. Apalagi dengan jelas ia mengatakan bahwa ada pendapat peneliti lain selain sumber lisan dan jejak budaya yang digunakan. Komentar ini berpotensi melahirkan beberapa kemungkinan, antara lain boleh jadi hal tersebut hanya merupakan prawacana yang sengaja digulirkan ke publik oleh Halilintar sebagai strategi untuk mengundang perhatian publik.

Akan tetapi, di balik itu ada rencana lain untuk memperkaya dan melengkapi temuannya tentang Pattimura itu. Kemudian Rahman Hamid yang tampil mengkritik bukan tidak mungkin juga memiliki sejumlah fakta dan data tentang Pattimura yang membuatnya berani melakukan bantahan tersebut. Apalagi dengan sangat vulgar mengukuhkan dirinya sebagai peneliti Wakatobi dengan menggunakan “payung akademik” Universitas Hasanuddin. Perbedaan pendapat dan polemik apalagi tentang sejarah dengan kompleksitas kerumitan masalahnya, memang sangat sulit diselesaikan di forum ilmiah “terbatas” semisal rubrik opini di koran.

Karena itu, jika memungkinkan dan sangat diperlukan ruang diskusi yang mendudukkan keduanya sebagai narasumber. Hal ini antara lain dimaksudkan sebagai upaya pencerahan atau membebaskan Pattimura dari posisi sejarahnya yang telah dibuat abu-abu oleh kedua penulis dan mengaku peneliti Wakatobi ini. Bahkan temu ilmiah menyelesaikan polemik ini, berdampak positif untuk membebaskan para peserta didik dari kesesatan berpikir dan interpretasi dalam sejarah. Selain itu, hasil diskusi yang telah mengakumulir beberapa pandangan tentang eksistensi tokoh Pattimura ini akan bermanfaat sebagai suatu pemahaman baru yang jelas di kalangan masyarakat Maluku maupun Wakatobi. Demikian pula, dapat berfungsi untuk lebih memperjelas hubungan sejarah kedua daerah ini.

Sumber: http://www.tribunnews.com/2010/07/06/tuntaskan-polemik-pattimura

Apakah dialog dan bukti sejarah menjadi solusi?