21 December 2010

Yogyakarta dan Natal pada Desember 1948*

Oleh: JAY AKBAR

Bukan manisan atau cokelat tapi bombardemen dari udara. Yogyakarta luluh lantak menjelang Natal 1948.

DI tengah prahara, pada 2 Januari 1946 sepucuk surat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX datang ke tangan Presiden Sukarno. Sultan menyampaikan Yogyakarta siap menjadi ibu kota sementara, menggantikan Jakarta yang tak aman lagi karena aksi tentara NICA. Sukarno-Hatta, menyambut baik tawaran itu. Dalam rapat kabinet 3 Januari 1946 para pemimpin republik memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta.

Seusai rapat, sore menjelang malam, gerbong-gerbong kereta kosong digerakan perlahan dari Stasiun Manggarai. Nyaris tak berbunyi. Di jalan Pegangsaan Timur 56, persis di belakang rumah Sukarno, lokomotif berhenti. Dalam gelap malam yang mencekam Sukarno, Hatta, bersama para menterinya berangkat menuju Yogyakarta.

Dua hari setelah rombongan tiba, Yogyakarta diresmikan sebagai ibukota Republik Indonesia. Sukarno menempati rumah kediaman Gubernur Yogyakarta sebagai tempat tinggal pribadi sekaligus kantor presiden. Sementara itu Wakil Presiden Moh. Hatta, menempati sebuah rumah di Jalan Reksobajan, persis di sebelah kiri Istana Presiden. Sultan Hamengkubuwono IX sendiri diangkat menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sjahrir III.

Kesetiaan Raja Yogyakarta pada Republik Indonesia sudah dibuktikan sejak usia republik masih jauh belia. Hanya berselang satu hari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Sultan Hamengkubuwono IX mengirimkan kawat kepada Sukarno-Hatta dan dr. KRT Radjiman Wediodiningrat, Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan, mengucapkan selamat atas terbentuknya Republik Indonesia.

Ucapan itu bukan sekadar basa-basi politik belaka. Pada 5 September 1945, melalui sebuah maklumat, Sultan menunjukan komitmen dan dukungan kepada Republik. Maklumat itu berbunyi wilayah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan Daerah Istimewa RI, segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengkubuwono IX, dan Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung-jawab langsung kepada Presiden RI.

Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi serangan Belanda, selaku panglima Laskar Rakyat di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX memerintahkan agar laskar menggelar latihan perang. Pada 19 Desember 1948, laskar berencana latihan perang besar-besaran. Belum lagi latihan dimulai, tiba-tiba terdengar rentetan letusan senjata dan bunyi pesawat meraung-raung di atas langit Yogyakarta. Di kediamannya, Presiden Sukarno pun sempat menanyakan apakah itu suara dari latihan perang yang sedang digelar oleh laskar. Ternyata bukan. Belanda sedang melancarkan aksi militernya yang kedua.

Tak seorang pun menduga kalau Belanda akan mengingkari janjinya dalam Perundingan Renville dengan melancarkan aksi yang mereka sebut sebagai “Aksi Polisionil” itu. Kemal Idris dalam buku Bertarung Dalam Revolusi mengisahkan kejadian itu, “… dari jauh terlihat sebuah pesawat terbang. Dalam hati saya timbul dugaan, bahwa hari itu akan ada latihan Angkatan Udara yang sebelumnya memang direncanakan.” Dengan serangan itu secara otomatis Belanda tidak lagi terikat pada Renville.

Selama masa pendudukan ini Sultan Hamengkubuwono IX berperan besar dalam menjaga semangat perjuangan rakyat melawan Belanda. Dia sumbangkan uang gulden Belanda miliknya untuk meyokong perang gerilya yang dilakukan rakyat bersama TNI. Keraton juga memberikan setidaknya 1440 pucuk senjata api dan senjata-senjata tajam seperti tombak kepada pasukan RI.

“Bantuan keuangan dari sultan tidak hanya diberikan kepada pejabat dan pegawai, tetapi juga untuk keperluan pasukan gerilya dan PMI.” Tulis Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer.

Suatu hari M. Roem pernah menanyakan kepada Sultan berapa jumlah uang yang ia sumbangkan? “ah, nggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini (sambil menirukan gerakan orang mengambil pasir dengan dua telapak tangan),” kenang Sultan kepada M. Roem dalam Tahta Untuk Rakyat. Menurut taksiran Hatta, jumlah uang yang telah disumbangkan Sultan waktu itu tidak kurang dari lima juta gulden. Hatta sudah pernah bertanya, apakah bantuan tersebut tidak perlu dihitung, agar nanti bisa dibayar kembali oleh pemerintah Indonesia? Namun Sultan, tidak pernah menjawab pertanyaan itu.

Serangan itu sedemikian keras dan bahkan sempat menciptakan perselisihan paham di antara pemimpin sipil dan militer. Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman meminta para pemimpin sipil, khususnya Sukarno-Hatta untuk meninggalkan Yogyakarta dan mempertahankan kedaulatan kemerdekaan dengan jalan senjata. Sukarno menolak dan lebih memilih jalan diplomasi.

“Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota ini dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya,” pinta Sudirman.

“Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua,” tolak Sukarno, sebagaimana ditulis dalam autobigrafinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Sudirman benar, tak berselang lama sesudah serangan tak terduga itu, Belanda berhasil menguasai lapangan udara Maguwo, tercatat 128 tentara Indonesia tewas. Selanjutnya Belanda bergerak menuju pusat kota. Sore kira-kira pukul 17.00 kolonel Van Langen, penguasa militer Belanda untuk wilayah Yogyakarta berhasil menduduki istana. Beberapa hari berikutnya para pemimpin republik: Sukarno, Hatta, Sjarir, dan Agus Salim diterbangkan ke pengasingan di Berastagi. Di kemudian hari Sukarno mengenang serangan itu: “Desember 1948, Belanda menjatuhkan hadiah Natal tepat di atas cerobong asap dapurku. Jam 5.30 di pagi hari Minggu, tanggal 19, mereka membom Yogyakarta.”

*diadaptasi dari judul asli: Kado Natal untuk Yogyakarta

Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-372-kado-natal-untuk-yogyakarta.html atau klik di SINI

13 December 2010

Resensi Buku: Misteri Tiga Orang Kiri*

Seri Buku Tempo:

Judul: Orang Kiri di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2010

Bertahun-tahun penguasa Orba menempatkan mereka (Aidit, Njoto, dan Sjam) sebagai mitos sejarah yang haram untuk diwacanakan.



SEORANG pria berparas dingin, dengan mulut berlumur asap, serius berkata, “Jawa adalah kunci…”, “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”, “Kita tak boleh terlambat…!”

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa dalam film berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI. Melalui film itu, Syu’bah berhasil menciptakan bayang-bayang di pikiran masyarakat tentang sosok Aidit: lelaki jahat penuh muslihat, haus kekuasaan, dan dengan dingin memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Tapi itu dulu saat Orde Baru masih berkuasa. Ketika tafsir sejarah tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokohnya hanya milik penguasa. Pascagerakan reformasi 1998, yang diikuti dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto, masyarakat mempertanyakan kebenaran tafsir itu. Berbagai studi tentang gerakan kiri di Indonesia bermunculan. Tak terkecuali tentang Aidit, Njoto, dan Sjam Kamaruzzaman, yang coba ditelusuri majalah Tempo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Liputan Khusus majalah itu.

Masa kecil dan muda Aidit tidaklah semengerikan yang digambarkan Orde Baru. Dia lahir di Belitung, Sumatra Selatan, pada 30 Juli 1923 dengan nama Achmad Aidit, dari keluarga terpandang dan berada. Achmad dikenang sebagai sosok abang yang pelindung. Di kampung, Achmad muda dikenal pandai bergaul dan jago berenang. Pun, seperti kebanyakan pemuda Belitung seusianya, dia rajin mengaji. Achmad bahkan terkenal sebagai tukang azan.

Garis politik Achmad terbentuk sejak dia rajin bergaul dengan buruh-buruh Gemeenschappelijke Mijnbouw Mattschappij Billiton, perusahaan timah milik Belanda, yang letaknya sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya. Tapi karier politiknya baru dimulai saat dia bergabung dengan Persatuan Timur Muda, sebuah perkumpulan pemuda yang dimotori oleh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Kecerdasan dan keluwesan Achmad segera membawanya menjadi ketua umum Pertimu. Di saat aktivitas politiknya menanjak cepat itulah Achmad Aidit mengganti nama depannya menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Menjelang proklamasi, Aidit yang tergabung dalam kelompok pemuda Asrama Mahasiswa Menteng 31, terlibat dalam aksi heroik penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Semangat revolusi Aidit membuncah ketika Musso datang dari Rusia. Baginya, kehadiran Musso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi. Selang waktu sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, pecah Peristiwa Madiun 1948. Aidit buron. Kabar tersiar dia kabur ke Vietnam Utara. Ada pula yang mengatakan dia hanya modar-mandir Jakarta-Medan.

Dua tahun kemudian Aidit muncul lagi. Bersama Njoto dan Lukman, dia mengkonsolidasikan kekuatan partai yang sempat limbung dan terpecah-belah. Dalam waktu cepat, “trisula” ini berhasil mengembalikan kebesaran partai. Tahun 1954 Aidit mengambil-alih kepemimpinan dari kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie, serta membawa PKI menjadi partai terbesar keempat dalam pemilu 1955.

Aidit bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Dia punya teori sendiri tentang Revolusi. Baginya, revolusi bisa berhasil jika disokong setidaknya 30 persen kekuatan tentara. Tapi teorinya meleset. Gerakan 30 September 1965 yang dia rencanakan gagal. Aidit tutup buku dengan cara tragis: di Solo tentara menangkapnya dan menghujaninya dengan satu magazin peluru kalashnikov.

Njoto berbeda dengan kebanyakan orang komunis. Penampilannya necis. Jiwa seninya cenderung melankolis. Meski akrab dengan pemikiran Marxis dan Leninis, Njoto tak menganggap “kapitalis” harus selalu dimusuhi. Dia belajar politik secara sembunyi-sembunyi. Keluarganya nyaris tak mengetahuinya.

Petualangan politik Njoto dimulai ketika terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember. Sampai suatu hari muncul berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, sebagai wakil ketua PKI Banyuwangi.

Njoto berkenalan dengan Aidit dan Lukman di Yoyakarta. Kesamaan ideologi membuat ketiganya cepat akrab. Njoto menjabat wakil Sekjen II lalu wakil ketua II CC PKI. Dalam prahara 30 September 1965, banyak orang tak percaya keterlibatan Njoto. John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal menulis, “Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis.” Aidit menganggap Njoto lebih Sukarnois ketimbang komunis. Sementara wartawan senior Joesoef Isak menganggap ketidaksenangan Aidit terhadap Njoto karena Njoto, yang telah beristri, memiliki kekasih, seorang perempuan asal Rusia. Bagi Aidit, perbuatan Njoto tak etis dan mengganggu citra partai. Joesoef Isak menambahkan, sejak 1964 Njoto sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partai.

Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar logika gerakan itu: “Apakah premis Letkol Untung tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup d’etat?”

Di mata anak-anaknya, Njoto dikenal sebagai sosok ayah penyayang. Di waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem atau berpakansi ke pantai. Kebahagiaan keluarga ini sirna pascaperistiwa 1965. Njoto jadi pelarian. Kabar tersiar dia ditangkap tentara dan kemudian dieksekusi mati. Sayang, keluarga Njoto tak pernah tahu jasad atau makamnya.

Tokoh PKI lain yang kerap disangkutpautkan dalam peristiwa 1965 adalah Sjam Kamaruzzaman. Sjam lelaki misterius asal Tuban, Jawa Timur. Polisi militer mencatat setidaknya terdapat lima nama alias yang dimiliki Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Moechtar, Ali Sastra, dan Karman. Sjam merupakan mozaik penting dalam prahara itu. Tapi kisah hidup Sjam lebih mirip mitos ketimbang sejarah. Bahkan banyak petinggi PKI tak tahu siapa dirinya.

Aidit mengenal Sjam ketika keduanya aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok tahun 1949. Ketika pada 1964 istri Sjam meninggal akibat tifus, Aidit makin dekat dengan Sjam. Dia meminta Sjam mengetuai sebuah organisasi rahasia PKI, yang disebut Biro Khusus. Tugas Biro Khusus mempengaruhi dan mengurus kelompok tentara yang berhaluan kiri.

Dalam operasi G30S, Aidit kurang korektif dengan laporan Sjam yang kerap tak akurat. Satu batalyon Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara yang direncanakan datang, tak pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun tak pernah ada. Dan Bung Karno, yang digadang-gadang sebagai dalil aksi, juga menolak untuk menyetujuinya. Operasi itu dapat dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam.

Kurang lebih dua tahun Sjam menjadi pelarian dengan melakukan penyamaran dari satu kota ke kota lainnya. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 9 Maret 1967, di tempat persembunyian di Cimahi, Jawa Barat. Di penjara, Sjam dikabarkan menjadi informan tentara untuk membocorkan siapa saja anggota militer yang memiliki kaitan dengan PKI.

Sama seperti Njoto, akhir riwayat Sjam tak pernah jelas. Menurut sebuah versi, Sjam dieksekusi mati pada September 1986 di Kepulauan Seribu. Tapi toh keluarga Sjam tetap tak mengetahui kebenaran versi ini.

Kisah Aidit, Njoto, dan Sjam dalam buku ini menunjukan kepada kita bahwa perjalanan hidup seorang anak manusia dalam bingkai sejarah tidaklah bisa ditempatkan secara hitam dan putih. Dan terlepas dari segala misteri serta kontroversi yang menyelimuti ketiganya, agaknya tokoh-tokoh kiri ini memiliki jalan takdir yang sama dengan sebuah ungkapan “revolusi memakan anaknya sendiri.”[JAY AKBAR]

*resensi ini bukan kitab suci sehingga semua catatan bisa diperdebatkan meski berdasar pada isi buku dan referensi lain yang terkait dengan pendapat penulis. Percaya atau tidak sepenuhnya menjadi hak pembaca.
Sumber Link: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-365-misteri-tiga-orang-kiri.html

10 December 2010

Hubungan Pangreh Praja dan Penduduk Desa di Masa Jepang*

Oleh: Sato Shigeru

Hubungan antara pangreh praja dan penduduk desa tidak pernah lancar, namun pendudukan Jepang memperparah hal ini. Meskipun demikian, cukup sederhana bila menduga bahwa sebagian besar pangreh praja bersikap otoriter dan mengabaikan kesejahteraan rakyatnya. Beberapa pangreh praja membantu penduduk desa memungut pajak pemerintah dan mendorong mereka untuk menyetorkan sebanyak mungkin makanan selama musim di luar panen. Bahkan dalam kasus bila pangreh praja mengalami konflik langsung dengan penduduk desa, tidak bisa dikatakan bahwa mereka sengaja menindas orang desa. Misalnya perintah kepada petani kaya untuk menjual panennya kepada pemerintah tidak sama dengan menindas orang desa. kebijakan Jepang sering menyentuh rakyat miskin desa secara tidak langsung dan tanpa terasa, dan karenanya pangreh praja sebagai pelaksana keputusan itu tidak bisa dianggap sepenuhnya bertanggungjawab atas dampaknya.

Namun tidak bisa dibantah bahwa hubungan antara pangreh praja dan penduduk desa dalam banyak hal memburuk karena tuntutan Jepang atas penduduk desa dan kurangnya komunikasi antara penguasa dan rakyat. Jika pangreh praja kurang memahami maksud Jepang, penduduk desa lebih-lebih. Dengan menunjuk pada situasi akhir tahun 1943 dan awal 1944, Charles van der Plas melaporkan:”Penduduk pribumi yakin bahwa orang Jepang mengapalkan sejumlah besar beras dari Jawa bagi tujuan militer; mereka menduga (jelas keliru) ini dikirim ke Tokyo” (ini merupakan laporan interogasi pada seorang romusha yang diselamatkan oleh Sekutu dan dibawa ke Australia). Dalam pandangan penduduk desa, tujuan Jepang adalah menekan mereka sebanyak mungkin dengan menggunakan pangreh praja sebagai alatnya (602).

Penulis laporan ini sangat membela posisi pangreh praja. Cukup ironis, dia membantah kritik Prawoto bahwa pangreh praja kejam dan bertindak arogan, dan khususnya tidak memperhatikan kesejahteraan penduduk desa. Seperti yang ditunjukan kutipan sebelumnya, pangreh praja mencoba melaksanakan keputusan yang keras dengan kejam. Sikap mereka terhadap penduduk desa diungkapkan dalam kritiknya terhadap bupati Indramayu yang baru, yang diangkat setelah kerusuhan. Bupati baru ini adalah seorang dokter yang bernama Moerjani, yang terlibat dalam pergerakan nasionalis non-koperasi di jaman Belanda. Gaya pemerintahan Moeljani berbeda dengan pangreh praja tradisional. Dia menyebut penduduk desa dengan menggunakan istilah saudara dan lebih memudahkan dirinya didekati oleh rakyat.

Penulis dokumen ini menyatakan:”Tidaklah tepat bagi bupati Indramayu bila menyebut dirinya bagi rakyat dengan menggunakan istilah saudara karena penggunaan istilah ini umumnya dianggap merendahkan posisi wakil pemerintah (perasaan Timur). Para pemimpin rakyat dari kalangan pergerakan sebenarnya sama seperti mereka yang duduk dalam pertemuan itu. ini hendaknya demikian, karena mereka yang membuat pidato dan yang mendengar berada pada tingkat yang sama dalam pertemuan itu. Hubungan bupati tradisional dengan rakyat sangat berbeda. Bupati menjadi bapak dan ibu rakyat dan sekaligus wakil pemerintah. Ini berarti bupati memerintah rakyat sebagai wakil negara. Di sini terletak perbedaan antara para pemimpin rakyat dari kalangan pergerakan dan para pemimpin rakyat dari kalangan pemerintah (pangreh praja)”.

Dengan menerima pandangan yang sangat otoriter ini, penulis membandingkan hubungan antara pangreh praja dan penduduk desa seperti hubungan antara bapak dan anak:”Pangreh praja melaksanakan keputusan untuk membeli padi, rakyat nmemberontak dan tuntutan mereka dikabulkan, pembelian dibatalkan, banyak pejabat pemerintah dipindahkan dan para camat dipecat. Situasi ini tentu saja keliru. Ini mirip kasus seorang anak yang menghendaki sesuatu dari orangtuanya dan ditolak, namun ketika dia menangis permintaannya dikabulkan. Anak ini akan menggunakan taktik menangis berkali-kali. Jelas permintaannya akan semakin berlebihan dan suatu hari ayahnya terpaksa menolak permintaan ini, dengan mengambil tindakan keras jika diperlukan. Kebijakan terbaik bagi ayah adalah menolak permintaan anak yang menangis karena pada tahap ini kekecewaan anak tidak akan sampai menyentuh ke hati”.

(603) Penulis menegaskan bahwa rasa kedisiplinan di antara rakyat biasa, yang merupakan hasil usaha ratusan tahun oleh pemerintah, telah dihancurkan dalam waktu singkat. Usulannya adalah memulihkan rasa disiplin di antara penduduk desa; disiplin untuk mematuhi perintah, membayar pajak dan bersedia direkrut sebagai tenaga kerja dsb. Dia percaya, disiplin ini bisa dipulihkan oleh pangreh praja yang bisa menekan rakyat. Karena itu dia menunjukan bahwa sebagian aparat kepolisian khusus hendaknya diletakan di bawah perintah pangreh praja, sehingga rakyat bisa melihat dengan mata sendiri bahwa pangreh praja saja yang menjadi tulang punggung pemerintahan militer Dai Nippon, yang masih bisa menarik seratus persen kepercayaan dan penghormatan dari rakyat.

Sejak awal masa pendudukan Jepang, pangreh praja sering memaksa penduduk desa mematuhi perintah mereka. Ketika Gerakan Tiga-A diperkenalkan dalam enam bulan pertama setelah kedatangan Jepang, misalnya mereka memaksa penduduk desa bergabung dalam gerakan itu dengan menggunakan ancaman tahanan atau dilaporkan kepada penguasa Jepang. Pelanggaran kekuasaan oleh pangreh praja ini sering dilaporkan kepada pemerintah Jepang, yang semakin khawatir bahwa tindakan di pihak para wakil pemerintah ini akan menurunkan reputasi pemerintah pendudukan. Ini mendorong mereka untuk mengajukan permintaan resmi agar tidak memancing kemarahan pada rakyat.

Permintaan ini menurut penulis tidak sah karena peraturan Hindia (hukum Belanda) yang memberi hak pangreh praja untuk terlibat dalam program keamanan, tidak secara resmi dirubah. Jadi penulis melaporkan:”Pangreh praja memiliki kekebalan untuk mendengar kata-kata atasannya Residen Cirebon yang diucapkan dalam rapat dengan para bupati dan kepala kepolisian di kantor Residen, yang menyatakan bahwa pangreh praja dari kepala desa sampai bupati bukan polisi dan karenanya tidaj diijinkan untuk menangkap orang atau melakukan aktivitas yang menjadi wewenang kepolisian”.

Argumen penulis bahwa permintaan Residen Cirebon kepada pangreh praja untuk tidak melakukan kerja keamanan adalah tidak sah dianggap keliru. Panglima pasukan pendudukan telah mengeluarkan keputusan administrasi pada tanggal 29 April 1943 di mana dia membatasi wewenang hukum bupati untuk menyusun peraturan dan penerapan denda menurut peraturan ini. Pangreh praja karenanya tidak secara sah diberi hak menjatuhkan hukuman fisik pada penduduk desa. Namun demikian pelanggaran wewenang oleh pangreh praja terus berkelanjutan selama masa pendudukan. Banyak dari mereka yang juga menerima atau meminta uang suap dari orang desa yang ingin menghindari kebijakan Jepang.

Berbagai bentuk pemerasan yang diterapkan atas penduduk desa oleh pangreh praja juga dilaporkan kepada pemerintah (604). Sikap otoriter yang digunakan oleh pangreh praja terhadap penduduk desa mungkin bersumber dari masa lalu kolonial dan sebelum kolonial, namun sangat diperparah di bawah pendudukan Jepang.


*bagian kecil dari informasi sejarah Pangreh Praja di Indonesia
Sumber: terjemahan bebas dari: BKI jilid 152, karya Sato Shigeru tahun 1996

05 December 2010

Kategorisasi Pelayaran dan Sejarahnya

La Ode Rabani


Pada perempat terakhir abad ke-l9 terjadi perubahan dalam perekonomian Indonesia. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan diterapkannya kebijakan sistem ekonomi liberal oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan ini diterapkan dalam semua sektor ekonomi terutama sektor agraris, perdagangan, dan pelayaran. Untuk sektor pelayaran liberalisasi dimulai sejak pertengahan abad ke-19.

Pembukaan beberapa pelabuhan di Hindia Belanda oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan perdagangan umum (algemeen handel) terus dibuka dan ditetapkan sesuai komoditas dan sumber ekonomi daerah. Pelabuhan Pasar Wajo yn terletak di pantai Timur Buton misalnya ditetapkan sebagai pelabuhan ekspor bagi komoditas aspal. Di sini membuktikan bahwa pelabuhan itu dibuka sesuai dengan sumber ekonomi yang terdapat di daerah itu. Di kendari ditetapkan sebagai pelabuhan ekspor impor komoditas rotan, beras, dan damar. Pembukaan pelabuhan di luar Jawa ini paling tidak sejalan dengan ekspansi kebijakan ekonomi kolonial pada periode itu.

Pemberian subsidi bagi perusahaan pelayaran yang mau megembangkan trayeknya yang sesuai dengan kepentingan ekonomi kolonial. Sebut saja masa pemerintahan Gubernur Jenderal Cores de Vries (l852-l865), Nederlandsch-Indische Stoomsvaart Maatschappij (NIStM) tahun l966-l890, dan diteruskan dengan beroperasinya kapal uap yang dikenal dengan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) adalah gambaran paling jelas dalam ekspansi ekonomi kolonial dalam suatu jaringan ekonomi luas yang diterapkan di Indonesia.

Kondisi demikian telah menunjukan adanya ekpansi teknologi navigasi untuk kepentingan ekonomi dalam bidang perdagangan dan pelayaran di Hindia Belanda yang sebelumnya diisi oleh kapal-kapal pribumi yang hanya menggunakan teknologi layar sebagai penggeraknya. Masuknya teknologi pelayaran secara langsung berpengaruh pada kondisi perahu pribumi yang sejak VOC selalu menjadi korban politik monopoli VOC dalam bidang perdagangan dan pelayaran antar pulau. Memang kebijakan monopoli sering memberi kesan akan hancurnya pesaing lain. Akan tetapi tidak demikian dengan kasus pelayaran pribumi yang hingga abad ke-20 masih tetap bertahan. Kasus perahu Shimping yang digunakan rakyat dalam perdagangan dan pelayaran di Sulawesi justru tetap bertahan dan mampu mengisi trayek yang tidak bisa dilalui oleh kapal-kapal uap kolonial.

Di samping itu justru menjadi pesuplai komoditas perdagangan dari para pedagang pribumi dengan sesekali melakukan pelayaran dan perdagangan ke rute yang dilalui oleh kapal KPM milik pemerintah Belanda.

Gerrit J. Knap mengatakan bahwa pelayaran pribumi pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 hanya berkedudukan sebagai pelengkap (supleman) belaka. Ia mengatakan bahwa: “unlike their European counterparts, indigonous vessels did not compete with steamschip and motor vessels, but clearly provided a supplementary service”.

Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh J.N.F.M A Campo dalam disertasinya bahwa:

Ekspansion of the sailing fleet was possible where it supplemented steam schiping. In certain areas sailingg ships remained indespensable for indigenous trade, either because there werw no other means of transportation or bicause low-value products could not be shipped at steamship prices”.

Barangkali pendapat dua tokoh itu dapat dikatakan ada benarnya dalam perspektif Eropa, akan tetapi, apa yang dilakukan dalam melayari jaringan perdagangan dan pelayarannya sekarang adalah hasil rintisan pelayaran tradisional atau yang kita kenal dengan kapal layar sekarang. Dalam perspektif ini kita dapat mengatakan bahwa justru perahu pribumilah yang memberikan pelajaran kepada kapal uap Belanda. Selain itu, jaringan yang telah dirintis oleh kapal pribumi dapat dikatakan memberikan sumbangsih paling besar dalam mobilitas perdagangan komoditas bagi daerah-daerah terisolir, namun kaya akan hasil bumi seperti rempah-rempah atau komoditas yang laku di pasaran

Hubungan pelayaran antar pulau, perahu layar pribumi memegang peranan penting. Ini dapat dilihat dari intensitas pelayaran dan volume muatan yang diangkut pada jalur-jalur pelayaran tertentu. Sebuah indikator yang tidak dapat dibantah, karena semakin banyak muatan dan intensifnya melakukan pelayaran, maka dipastikan aktifnya perdagangan pribumi, sehingga apa yang dianggap oleh Knaap tidak semuanya benar. Kasus pelayaran Sulawesi—Jawa, dan Jawa—Kalimantan membuktikan hal itu. KPM dan perahu pribumi sama-sama melakukan aktifitas pengangkutan pada jalur yang hampir sama, meskipun volumenya berbeda. Perbedaan ini dikarenakan karena daya tampung kapal pribumi yang relatif kecil.

Selain itu Kapal KPM tidak mungkin melayari jalur sungai kecil yang banya terjadi di beberapa daerah di Sulawesi dan Ambon. Jalur sungai Bengawan Solo dan Brantas adalah contoh yang paling jelas untuk menunjukan ketidak mampuan KPM dalam hal pelayaran sebagai penghubung antara pantai dan pedalaman.

03 December 2010

SUTAN SJAHRIR: ETOS POLITIK DAN JIWA KLASIK

Oleh : Ignas Kleden


Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das Lebenein, nie wird euch das Leben gewonnen sein--- yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Menurut pengakuannya, kalimat-kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala, jadi kita dapat menduga petikan tersebut sangat disukainya dan besar artinya buat hidupnya. Membaca tulisan-tulisan Sutan Sjahrir muncul kesan yang sangat kuat dalam diri saya bahwa bagi dia politik bukanlah perkara yang sangat digandrunginya, tetapi lebih merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Demikian pula politik untuk dia tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu, bukan machtsvorming & machtsaanwending menurut formula Bung Karno.2 Politik juga bukan persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh pelaksana money politics dewasa ini di tanah air kita. Bahkan politik juga tidak sekedar mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar, sebagaimana yang kita pelajari dari Otto von Bismarck dari Prusia.

Bagi Sjahrir politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilainilai atau Wertrationalitaet dalam pengertian Max Weber. Karena itulah politik lebih dari sekedar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral. Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller tersebut adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen --- politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.

Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik baik pada tingkat nasional mau pun pada tingkat internasional. Akan tetapi di balik kehalusan tersebut tegak sebuah keberanian yang kokoh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi. Khusus untuk para politisi muda konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada suatu keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang, karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.

Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad. Tetapi Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan, yang penuh tenaga dan determinasi tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan. Setelah Jepang menyerah kalah Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekad di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan “Merdeka atau Mati” ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan. Karena, selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih untuk berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih untuk memimpin.

Mengatakan bahwa Sjahrir melihat politik sebagai sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan bahwa dia mirip seorang politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin kekuasaan atau mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan ini tidak sesuai dengan kenyataan hidup Sjahrir, baik kalau kita melihat sepak terjangnya dalam dunia politik, mau pun kalau kita membaca tulisan-tulisannya, atau tulisan para pengamat atau kesaksian para sahabatnya. Di dasar hatinya Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, yaitu individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggungjawab terhadap cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata. Pertama, dalam negeri Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme lama dalam politik Indonesia, yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik untuk menjadi raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.

Karena itu selain revolusi nasional dibutuhkan juga suatu revolusi sosial yang dinamakannya revolusi kerakyatan. Revolusi nasional harus didahulukan, karena hanya dalam alam kemerdekaan perjuangan menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri cengkeraman kapitalisme dapat dilaksanakan. Kolonialisme Belanda, menurut Sjahrir, telah mengawinkan rasio modern dari Barat dengan feodalisme local dengan sangat cerdik, dan hasilnya adalah semacam fasisme terselubung, yang menyiapkan lahan subur untuk fasisme Jepang. Seterusnya, partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggungjawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik, dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasimenurut kehendak sang pemimpin. Demikian pun dalampolitik nasional, dia bersama Bung Hatta mendorong berkembangnya sistem multi-partai agar supaya kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan.

Kedua, secara internasional dia juga cemas melihat menguatnya fasisme yang ketika itu melebarkan sayapnya dari Spanyol, Italia, Jerman hingga ke Jepang. Dalam pandangannya feodalisme lokal mudah sekali digabungkan dengan setiap kecenderungan totaliter, karena massa rakyat yang tidak mempunyai pengertian dan keyakinan politik akan mudah saja dimobilisasi oleh seorang pemimpin politik melalui slogan, demagogi dan sedikit pengetahuan tentang psikologi massa. Baik totalitarianisme mau pun feodalisme mempunyai kesamaan watak dalam membunuh kebebasan perorangan yang pada akhirnya membuat manusia tidak lebih dari budak kekuasaan.

Kecemasannya terhadap totalitarianisme kanan yaitu fasisme tidak lebih besar atau lebih kecil dari sikap awasnya terhadap totalitarianisme kiri yaitu komunisme. Entah dari kanan atau dari kiri totalitarianisme selalu menindas kebebasan perorangan yang dianggap sepele dan tak berarti dalam berhadapan dengan suatu totalitas besar entah itu bernama negara atau diktatur protelariat. Dalam politik internasional keyakinan ini direalisasikannya dengan menolak berpihak pada dua totalitas besar pada waktu itu yaitu blok politik dan blok keamanan yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris berhadapan dengan blok kiri yang dipimpin oleh Uni Soviet.

Pembentukan Inter-Asian Relations Conference di New Dehli pada bulan April 1947, mendapat dukungan penuh dari Sjahrir dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri Indonesia ketika itu. Seperti kita tahu konferensi itu menjadi embryo suatu politik luar-negeri yang bebas dan aktif, yaitu politik yang turut bertanggungjawab terhadap perkembangan kejadian-kejadian di dunia tanpa membangun afiliasi dengan salah satu dari blok-blok yang sedang bersaing. Dengan semangat seperti itu tidaklah mengherankan kalau Sjahrir berpendapat bahwa revolusi nasional harus segera disusul oleh suatu revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari kungkungan feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersama kapitalisme yang tak terkendali.

Seterusnya, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakat-bakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan. Karena itulah, nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama yang hanya memerlukan beberapa langkah berikut untuk tiba pada fasisme. Dalam penilaian Sjahrir, inilah yang terjadi pada politik dan kepemimpinan Franco di Spanyol, Mussolini di Italia, Hitler di Jerman dan Chiang Kai Sek di Tiongkok.

Kalau dalam negeri nasionalisme harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional nasionalisme harus tunduk pada tuntutan humanisme, karena kalau tidak maka nasionalisme itu dapat menjadi sumber ketegangan dan perseteruan di antara bangsa yang satu dan bangsa lainnya. Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antar-bangsa. Pada titik ini kelihatan bahwa bagi Sjahrir politik adalah usaha dan upaya untuk mewujudkan nilainilai martabat dan kesejahteraan manusia. Akan tetapi nilai-nilai tersebut tak mungkin terwujud hanya dengan cara menghilangkan feodalisme dan menolak setiap politik yang totaliter. Tarohlah, tindakantindakan tersebut merupakan persiapan dan langkah-langkah secara negatif, maka kita dapat bertanya apa gerangan yang diusulkan Sjahrir sebagai langkah yang positif.

Jawaban Sjahrir adalah edukasi, yaitu pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya yang mungkin dikandung dalam pengertian itu. Penekanannya pada edukasi inilah yang membuat Sjahrir demikian terlibat dan bahkan terpesona oleh beberapa urusan yang tidak begitu langsung berkaitan dengan urusan politik. Di tempat pembuangannya di Banda Neira teman-temannya yang paling akrab adalah anak-anak kecil yang hampir setiap hari bermain ke rumahnya, yang bajubaju mereka dia jahit sendiri dengan mesin jahit, yang diajaknya berenang dan bermain di pantai sambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.

Mereka menjadi murid-murid pelajaran privat yang diberikannya, di mana mereka diajar membaca, menulis, berbahasa dengan benar, dan berani bertanya, dan dengan cara itu membuka pintu bagi mereka ke dunia ilmu pengetahuan. Kembali dari pembuangan Sjahrir aktif lagi dalam pergerakan dan memberi perhatian khusus kepada para pemuda yang demikian penuh semangat, yang siap berjuang sampai mati, tetapi tidak diajarkan kepandaian memimpin, dengan akibat bahwa mereka sangat pandai berbaris dan berkelahi tanpamengetahui dengan jelas untuk apa mereka harus berkelahi dan mengapa mereka harus mati dan bukannya harus hidup dan menikmati hidup mereka.

Aneh tapi nyata bahwa di tengah kesibukan sebagai orang pergerakan Sjahrir tetap memberi perhatian besar kepada perkembangan dunia ilmu pengetahuan, menulis pandangan tentang manfaat nuklir, mengikuti apa yang terjadi dalam seni dan sastra, melakukan studi-studi ilmu sosial, dan memberikan komentar tentang pemikiran-pemikiran filsafat pada masanya. Gabungan minat dan kegiatan seperti ini hanya mungkin ada pada seorang pendidik, yaitu seseorang yang merasa bertugas melakukan transfer sejumlah pengetahuan kepada orang-orang yang dididiknya dan kemudian membantu transformasi pengetahuan tersebut menjadi seperangkat nilai agar nilai-nilai itu dapat diejawantahkan dalam sikap dan perbuatan. Dalam kaitan ini politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas.

Kemandirian adalah lawan dari ketidak-matangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan. Karena itulah dia selalu menekankan pentingnya dimensi-dalam atau aspek interioritas dari kebudayaan, politik dan ilmu pengetahuan. Dalam pandangannya banyak kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu baru menjadi pemegang titel dan belum menjadi kaum intelektual. Mereka masih memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai perkara yang bersifat lahiriah belaka dan sebagai barang mati dan “bukan suatu hakekat yang hidup ..... yang senantiasa harus dipupuk dan dipelihara”. Demikian pun tentang kebudayaan dan politik Sjahrir menulis: Inilah inti persoalan: kita pada akhirnya adalah anak-anak zaman kita, dan kita mempunyai hati nurani. Sebutlah itu rasa respek terhadap diri sendiri, sebutlah itu kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, sebutlah itu dengan nama apa saja --- hati nurani itu berarti menguji diri sendiri pada pegangan batin kita, pada nilai-nilai, prinsip-prinsip, prasangka-prasangka, perasaanperasaan dan naluri-naluri.

Pada titik itu kita tahu Sjahrir lebih dari seorang Realpolitiker. Karena dalam politik tidak berlaku apa yang oleh Kant dinamakan imperatif kategoris, tetapi yang lebih dominan adalah imperatif hipotetis, yakni suatu perintah bersyarat, dan di sini syaratnya adalah akibat atau hasil yang bakal diberikan oleh pelaksanaan perintah tersebut. Pokok pertimbangan adalah apakah dengan melakukan suatu perintah seseorang akan memperoleh akibat yang dibayangkannya. Kalau seorang politikus Indonesia memperjuangkan nasib para petani dan nelayan dengan perhitungan bahwa dia akan memperoleh dukungan suara yang cukup dalam Pemilu, maka politikus ini bertindak berdasarkan imperatif hipotetis. Tindakannya ini mungkin baik dan perlu tetapi tak bisa dijadikan prinsip umum bagi tindakan orang-orang lain yang kebetulan tidak mempunyai minat untuk posisi politik.

Namun kadangkala kita bertemu juga dengan orang-orang yang berjuang matimatian untuk kelompok petani dan nelayan, meski pun tidak ada target politik padanya, semata-mata karena merasa bahwa kelompok ini layak dibela karena mereka juga mempunyai martabat dan hak-hak seperti orang-orang dari kelompok lain yang lebih beruntung. Di sini kita berjumpa dengan orang-orang yang bertindak berdasarkan imperatif kategoris, karena prinsip tindakan mereka dapat digeneralisasikan menjadi prinsip tindakan semua orang lain, dan bahkan dapat dijadikan prinsip dalam pembuatan undang-undang.10 Tidaklah mengherankan bahwa dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 22 Juli 1934 Sjahrir menulis:”Hal meletakkan suatu dasar moral bagi politik dan kebudayaan lalu bisa dianggap sebagai politik dalam pengertian yang lebih luas”. Tak perlu diuraikan panjang-lebar bahwa dalam usaha melakukan pendidikan yang menghasilkan manusia yang bebas dan mandiri, Sjahrir melihat peranan besar yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan cukup intensif dia memanfaatkan waktunya dalam tahanan, dalam pelayaran ke tempat pembuangan, dan dalam keterasingan di Digul dan Banda Neira untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia dan politik dunia melalui koran-koran yang sampai ke tangannya, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang kebetulan ada padanya.

Catatan-catatan dalam pelayaran ke Digul menunjukkan perhatian dan pengamatannya yang cermat tentang keadaan dan cara hidup orang-orang di pulau-pulau sebelah Timur, dan sangat mirip catatan etnografis seorang antropolog profesional, meski pun masih penuh dengan prasangka-prasangka Eurosentris. Demikian pula catatannya tentang sesama orang buangan di Digul menunjukkan simpati besar kepada manusia yang menderita tekanan lahir batin dan kehilangan harapan, yang kesulitan-kesulitan kejiwaan mereka dicoba dipahaminya berdasarkan pengetahuannya tentang psikologi atau psikoanalisa. Sedangkan tentang penduduk asli di Digul dia dengan hati-hati menulis: Barangkali aku akan menulis sketsa-sketsa atau studi-studi mengenai etnologi, meski pun di lain pihak aku tidak pula suka menulis secara diletantis, secara awam. Dan tulisan-tulisanku itu sudah pasti tak bisa lain daripada bersifat diletantis saja, karena buku-buku penuntun yang perlu untuk itu tidak tersedia, dan aku tidak bisa mempergunakan buku-bukuku sendiri yang masih ketinggalan di Jawa, dan yang belum juga bisa dikirimkan kemari, meski pun aku sudah berusaha untuk itu. Kawankawan yang harus menguruskannya tidak mempunyai uang untuk mengirimkannya.

Di Banda Neira dia selalu ingin bekerja sepuluh jam sehari, meski pun niat ini tidak selalu kesampaian.13 Seperti juga Soekarno di Ende-Flores membuat studi yang intensif tentang Islam dan modernisasi14, dan Hatta di Digul mengajar dan menulis tentang filsafat Yunani Antik15, maka Sjahrir pun merencanakan bacaannya secara teratur berdasarkan buku-buku yang ada. Untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu ekonomi dia membaca John Stuart Mill, menulis tinjauan budaya yang panjang dan mendalam tentang buku Huizinga, membaca Ortega Y Gasset dan Benetto Croce untuk memperdalam pengetahuannya tentang filsafat kebudayaan, menulis kritik tentang positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, membaca dengan simpati besar biografi Friedrich Engels dan Gustav Meyer, membandingkan psikologi Kant dan Goethe, menganalisa penulisan cerpen Amerika, Belanda dan Indonesia sambil memberi komentar kritis tentang majalah Poedjangga Baru 16 dan bahkan menyempatkan diri berpolemik dengan penyair J.E. Tatengteng.

Dengan minat yang sedemikian luasnya Sjahrir tidak terombang-ambing dalam berbagai aliran pemikiran, karena dia tetap berpegang pada satu fokus utama untuk menguji berbagai pandangan dan pendapat yang dihadapinya. Ada pun titik fokal yang menjadi pegangan Sjahrir adalah pertanyaan: Apakah suatu pandangan dunia, pendapat politik, paham filsafat, ajaran agama dan bahkan teori ilmu pengetahuan membantu manusia untuk mandiri dan bebas atau malah membuatnya terperangkap kembali dalam jebakan-jebakan yang dibuatnya sendiri?

Cita-cita tentang kebebasan dan kemandirian manusia inilah yang rupanya telah mendorong Sjahrir memilih sosialisme sebagai paham politiknya, yang kemudian pada tahun 1948 dijadikan dasar bagi partai politik yang didirikannya yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ahli ilmu politik dan Indonesianis terkemuka, Herbert Feith, menulis bahwa PSI merupakan jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Akan tetapi menurut pendapatnya, partai ini lebih tepat dinamakan liberal-sosialis daripada sosialdemokratis, seandainya saja istilah “liberal” dalam pemakaian bahasa politik di Indonesia tidak telanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali. Usulnya ini didasarkannya pada dua alasan. Pada satu pihak, istilah “demokrasi” tak begitu cocok karena partai ini hanya mempunyai sedikit pengikut di kalangan massa rakyat biasa.

Keanggotaannya lebih terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang berpendidikan tinggi, sementara pengaruh politiknya tidak diperoleh melalui cara-cara populer seperti rally politik atau mobilisasi. Pada pihak lainnya, partai ini memperlihatkan suatu kekhasan yang membedakannya dari parta politik lainnya, dalam perhatian besar yang diberikan kepada kebebasan individual, keterbukaan yang leluasa terhadap paham-paham intelektual di dunia, serta penolakan tegas terhadap berbagai bentuk obskurantisme, chauvinisme dan kultus pribadi. Sebetulnya benih-benih organisasi PSI sudah ada semenjak 1932, saat Sjahrir dan Hatta kembali dari studi mereka di negeri Belanda. Keduanya sepakat mendirikan PNI Baru yang bertujuan mendidik kader-kader politik, sehingga para kader ini sanggup meneruskan perjuangan kaum nasionalis, seandainya para pemimpinnya ditangkap atau dibuang. PNI Baru, seperti kita tahu, tidak mempunyai banyak waktu untuk berkiprah mewujudkan cita-cita tersebut, karena hanya dua tahun kemudian pada 1934 kedua pemimpin itu ditangkap oleh pemerintah Belanda, dibuang ke Digul dan selanjutnya ke Banda Neira dan baru dibebaskan pada 31 Januari 1942.

Pertanyaan yang menarik dan penting adalah: mengapa Sjahrir memilih sosialisme? Dilihat menurut konteks sejarahnya maka sosialisme merupakan gagasan politik kiri pada masa itu yang menjadi representasi pemikiran progresif di kalangan kaum terpelajar Indonesia dalam menghadapi kolonialisme yang dianggap sebagai perkembangan lanjut dari kapitalisme. Dengan sendirinya, orang-orang yang menolak kolonialisme akan cenderung juga menolak kapitalisme sebagai induknya. Teori imperalisme Lenin telah menarik perhatian hampir semua kalangan intelligentsia Indonesia pada tahun 1920-an dan 1930-an mulai dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Sjahrir. Dalam semangat zaman ketika itu kapitalisme dan kolonialisme dianggap kekuatan sejarah yang cenderung kepada eksploitasi manusia atas manusia dan akan menghasilkan kemakmuran dan kejayaan untuk para pemilik modal dan penderitaan untuk bagian terbesar orang-orang yang hanya mempunyai tenaga kerja.

Sebagai seorang inteligentsia terkemuka pada masanya Sjahrir terlibat dalam pemikiran yang sama. Pada Sjahrir khususnya sosialisme dibutuhkan untuk melaksanakan revolusi sosial di Indonesia untuk mengakhiri feodalisme dan mengikis benih-benih fasisme, setelah tercapai kemerdekaan nasional. Revolusi sosial ini perlu dilakukan agar feodalisme lama tidak hidup lagi setelah berakhirnya kekuasaan kolonial, tatkala para pemimpin politik bisa tergoda untuk mempergunakan ketaatan hierarkis feodal untuk tetap membelenggu rakyatnya dalam kebodohan dan ketergantungan.Maka sosial-demokrasi pada Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah “membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia”.

Tujuan seperti itu boleh dikata merupakan tujuan umum semua kelompok politik kiri. Maka Sjahrir berusaha membedakan dirinya dan partainya dari beberapa golongan lain yang juga mengklaim melaksanakan politik kiri. Terhadap golongan komunis Sjahrir menolak penggunaan kekerasan dan menolak pula pengertian diktatur proletariat sebagaimana dikonsepsikan oleh Lenin dan dipraktekkan oleh Stalin. Yaitu bahwa diktatur proletariat berarti diktatur yang dijalankan oleh partai tunggal yaitu partai komunis yang berhak memaksakan seluruh ketaatan rakyat. Paham dan praktek ini ditolak secara kategoris oleh Sjahrir, yang yakin sepenuhnya bahwa tujuan politik adalah membebaskan rakyat dari cengkeraman segala jenis totalitarianisme, agar memberi jalan kepada rakyat mencapai kemandirian dan kebebasan.21 Atas cara yang sama Sjahrir juga menolak Bolsyewisme, yang menurut pendapatnya membenarkan penggunaan kekerasan oleh beberapa orang dalam Politbiro partai komunis Uni Soviet, yang menindas semua lawan politiknya, sekali pun tidak semua lawan politik itu dapat dikelompokkan ke dalam golongan kapitalis. Karena itulah penggabungan konsep sosialisme dan konsep demokrasi merupakan suatu keharusan, sebab sosialisme menekankan perjuangan politik yang bersifat kerakyatan, sementara demokrasi menolak semua bentuk politik yang totaliter, serta menjamin terjamin kemandirian dan kebebasan setiap orang.

Di lain pihak, Sjahrir juga melihat perbedaan antara sosial-demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropah dan sosialisme kerakyatan yang berkembang di negara-negara Asia, khususnya di Indonesia. Perbedaan itu terlihat dalam dua soal utama, yaitu dalam sikap terhadap kolonialisme dan dalam pandangan tentang industrialisasi. Dalam berhadapan dengan kekuatan kolonial kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih bersedia bekerja sama dengan kaum komunis dalam melakukan akselerasi suasana revolusioner, tetapi menolak tegas penggunaan cara-cara kediktaturan. Seterusnya, dalam peralihan dari masyarakat feodal-agraris ke masyarakat industri modern, kaum sosialis kerakyatan di Asia lebih berani mendorong percepatan peralihan tersebut, sementara kaum sosial-demokrat di Eropah selalu was-was dengan peralihan yang terlalu cepat, karena khawatir bahwa kegagalan dalam peralihan tersebut akan mengundang metode paksaan dan kekerasan yang dijalankan oleh suatu diktatur yang dibenarkan oleh system komunis.

Sikap kerakyatan Sjahrir dengan komitmen kuat kepada martabat pribadi setiap orang menyebabkan kedudukan Sjahrir agak terpencil di tengah gerakan-gerakan nasionalis lainnya. Dalam berhadapan dengan rakyat bangsanya sendiri, dia enggan melakukan aksi massa seperti yang dilakukan oleh Soekarno, dan tidak tertarik juga untuk menggerakkan rakyat lewat agitasi politik sebagaimana diusulkan oleh Tan Malaka. Lain dari itu, Tan Malaka memberi penekanan utama pada kebutuhan materil. Menurut Ben Anderson hanya Tan Malaka sendiri dari antara para politisi masa itu yang terang-terangan berani menolak gagasan politik Sjahrir dan membela mobilisasi massa. Lihat Benedict Anderson “Introduction” dalam Sutan Sjahrir, Our Struggle (translated with an introduction by Benedict Anderson), Ithaca, Cornell University, 1968, sedangkan Sjahrir menekankan kesejahteraan dan sekaligus martabat manusia orang perorang. Seterusnya, sekali pun perjuangan kaum buruh dalam pandangan Sjahrir tetap mempunyai watak internasional dari perjuangan kelas kaum buruh di seluruh dunia, namun dia dengan tegas melihat perjuangan sosialis kerakyatan sebagai perjuangan nasional untuk meningkatan kesejahteraan dan martabat manusia Indonesia, dan membedakan diri dari politik partai komunis yang memperlakukan perjuangan politik mereka di Indonesia sebagai bagian dari aksi massa yang harus merebut kekuasaan nasional sebagaimana diharuskan oleh strategi internasional di bawah kendali Moskow.

Sebaliknya, terhadap kaum nasionalis yang mendewa-dewakan semangat kebangsaan Sjahrir melihat dengan cemas munculnya potensi chauvinisme yang berkerabat dekat dengan fasisme. Demikian pula rasionalisme dan modernisme yang ditawarkan oleh politiknya tampaknya terlalu sekular untuk kaum agama. Sikap kritisnya yang tegar dan komitmennya yang penuh kepada nilai-nilai martabat manusia, membuat jalan pikiran dan politiknya tidak selalu mudah dipahami. Penilaiannya tentang strategi koperasi dan non-koperasi yang dijalankan kaum nasionalis dalam berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda, mengikuti suatu logika tentang moralitas yang bahkan tidak selalu mudah untuk dipahami bahkan oleh orang-orang terpelajar pada masa itu. Dalam penilaian Sjahrir para tokoh nasionalis seperti Bung Hatta yang memilih jalan non-koperasi secara politik, sebetulnya melakukan suatu koperasi secara moral dengan pihak penjajah. Mereka yang menolak kerja sama politik dan bahkan melakukan oposisi politik pada dasarnya percaya bahwa pemerintah penjajah Belanda masih berpegang pada etika politik yang terwujud dalam hukum dan karena itu tidak akan memberangus hak-hak politik dari para pengeritik dan lawan politiknya.

Ada asumsi dan kepercayaan bahwa baik pemerintah kolonial mau pun lawan politiknya sama-sama berpegang pada suatu moralitas politik yang sama. Sebaliknya, mereka yang memilih jalan koperasi yaitu bekerja sama dengan pemerintah kolonial pada hakeketnya melakukan suatu non-koperasi secara moral, karena mereka tidak percaya lagi bahwa pemerintah penjajah dalam menjalankan politiknya masih berpegang pada suatu moralitas. Mereka tidak yakin lagi bahwa hak-hak politik para pengeritik politik colonial masih dihormati menurut nilai-nilai suatu etika politik, dan karena itu menganggap bahwa setiap perlawanan dan oposisi langsung tidak akan ditolerir dan tidak juga dilindungi oleh hukum.

Cara bernalar seperti itu jelas menunjukkan bahwa Sjahrir seorang yang terlatih berpikir dialektis. Kontradiksi yang dijumpai dalam hidupnya tidak diterima sebagai jalan buntu tetapi sebagai antitesa yang lahir dari sejarah hidupnya yang akan menggerakkan proses menuju suatu sintesa yang dapat memberi harapan baru. Ketika menerima surat keputusan dari pemerintah kolonial Belanda tentang pembuangannya ke Boven Digoel, maka jelas ada kesedihan mendalam yang dirasakannya bahwa dia akan terpisah selama bertahun-tahun dari keluarga dan kaum kerabat yang dicintainya. Akan tetapi surat keputusan dengan alasan yang tak pernah jelas itu telah diterimanya sebagai berkah yang mengatasi kebimbangan hati antara mengabdikan diri kepada keluarga atau membaktikan hidup untuk rakyat dan bangsanya. Tanpa nada pathetis yang berlebihan dia menulis dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 9 Desember 1934: Berakhirlah sekarang keragu-raguan dan rasa susah yang kualami selama dua tahun terakhir ini, dan sekarang aku tidak mau dan tidak boleh memikirkannya lagi. Seolah-olah aku diingatkan kepada bangsaku, tatkala kuterima beslit tentang pembuangan itu; diingatkan pada segala sesuatu yang mengikat aku pada nasib dan penderitaan bangsa yang berjuta-juta ini. Bukankah kesedihan pribadi kita akhirnya hanya sebagian kecil saja dari penderitaan yang besar, yang umum itu? Bukankah justru penderitaan itu merupakan ikatan kita yang semesra-mesranya dan sekuat-kuatnya? Justru sekarang--- pada saat aku barangkali harus berpisah untuk selama-lamanya dengan yang paling kucintai dan yang paling indah bagiku di dunia ini --- justru sekarang inilah aku merasa lebih terikat pada bangsaku, aku semakin mencintainya lebih daripada yang sudah-sudah.

Dalam perasaan cinta yang demikian mendalam kepada bangsanya, ternyata bahwa ada jarak kebudayaan dan jarak intelektual yang lebar antara Sjahrir dan rakyatnya. Dia kadang mengeluh bahwa cara pikirnya, alasan-alasan rasa gembira dan rasa sedihnya demikian berbeda dari yang ada pada orang-orang di sekelilingnya. Hambatan-hambatan tersebut tidak selalu dapat diatasi dan sampai tingkat tertentu menghalangi saling-pengertian di antara kedua pihak, sekali pun kedua-duanya ingin saling mendekati. Untuk yang satu Sjahrir terlalu Eropah, terlalu Belanda, terlalu banyak berpikir. Untuk Sjahrir rakyat yang dicintainya terlalu lamban, terlalu bertele-tele, dengan tingkahlaku yang tidak selalu dapat dipahami secara logis. Inilah salah satu alas an mengapa dia demikian ingin agar ada cukup waktu padanya untuk memperdalam studistudi yang bersifat antropologis dan sosiologis tentang berbagai suku bangsa di Indonesia.

Seperti kita tahu keinginan itu tak pernah kesampaian. Selagi berada dalam penjara dan di tempat pembuangan dia tidak mempunyai cukup kepustakaan yang dapat membimbingnya secara ilmiah untuk melakukan studi-studi tersebut. Setelah lepas dari pembuangan dan bebas dari tahanan dia tidak lagi mempunyai cukup waktu karena terpanggil oleh tugas-tugas politik. Seorang penulis Amerika, Charles Wolf Jr, yang menulis pengantar untuk terjemahan Inggris buku Sjahrir Out of Exile, berpendapat bahwa seandainya Sjahrir boleh memilih di antara politik dan ilmu pengetahuan dia pastilah akan memilih melakukan studi-studi yang bersifat ilmu pengetahuan.29 Namun demikian prestasi yang dicapai oleh Sjahrir dalam bidang politik sudah tercatat dalam sejarah. Dengan semua keberhasilan politiknya sebagai PerdanaMenteri pertama, sebagai ketua delegasi Indonesia ke Dewan Keamanan PBB, sebagai penasihat presiden dan kemudian sebagai pendiri partai politik, boleh dikata Sjahrir bukanlah seorang politikus yang dengan penuh gairah memilih politik sebagai bidang pengabdiannya.

Dia lebih melihat politik sebagai tanggungjawab yang tak terelakkan yang harus dipikulnya. Karena itu dia tak pernah memandang politik sebagai tujuan, dan bahkan kemerdekaan nasional tidak menjadi tujuan akhir politiknya. Kemerdekaan nasional hanyalah jalan mewujudkan martabat manusia dan kesejahteraan bagi bangsanya, sedangkan politik hanyalah jalan mencapai kemerdekaan nasional. Mengenang semua ini sekarang dan membicarakan kembali pengertian, apresiasi dan keyakinan politik seperti itu, mungkin timbul kesan betapa jauh ideal politik yang diajukan Sjahrir dari praktek politik Indonesia saat ini. Apakah Sjahrir terlalu jauh dari kita, atau kita yang terlalu jauh dari gagasan politiknya? Apakah terlalu mengawang-awang mendambakan kesejahteraan untuk semua orang tanpa terlalu banyak kemiskinan, dan kebahagiaan semua orang dalam kebebasan tanpa terlalu banyak kekangan dan hambatan?

Kebebasan dalam pengertian Sjahrir bukan sekedar kebebasan politik, tetapi keluasan dan keleluasaan jiwa, yang memandang dunia dengan gembira tanpa prasangka, yang tidak terhambat oleh kekangan dan kecurigaan-kecurigaan yang sempit. Dalam pandangan Sjahrir inilah rahasia jiwa klasik yang ada pada Yunani Antik, yang ditemukan kembali dalam renaisans Eropah, dan yang masih terlihat pada karya-karya Goethe dan Schiller. Untuk jiwa klasik dunia akan serba luas dan bukan sempit dan picik, hidup itu mulia dan tak pernah hina, seni selalu indah dan tidak jahat, dan manusia adalah makhluk penuh bakat yang harus diolah dan dikembangkan. Kebudayaan akan dibuat abadi oleh jiwa-jiwa klasik ini, politik menjadi perkara yang luhur, dan ilmu pengetahuan akan terbuka cakrawalanya seluas kaki langit karena pikiran dan jiwa sanggup menerobos batas-batasnya sendiri. Sangat mungkin Sjahrir sendiri menyadari sedari awal bahwa politik dengan muatan moral yang demikian berat, tak akan menang dalam waktu singkat, semata-mata karena tak terpikulkan dan tak selalu dapat dipahami. Akan tetapi politik dalam artian Sjahrir bukanlah suatu proyek, bukan sekedar program tetapi kehidupan itu sendiri. Partai politik Sjahrir telah kalah dan dikalahkan oleh kekuasaan politik. Namun yang tinggal pada kita adalah suatu etos politik yang memberi keyakinan bahwa martabat manusia dan jiwa klasik tak selalu dapat dimenangkan, tetapi pasti tak akan pernah dapat dikalahkan sampai tuntas buat selamanya. Dalam arti itu Sjahrir memenuhi janjinya: dia telah mempertaruhkan hidupnya, dan dia telah memenangkannya.


Sumber: http://sosialis-indonesia.org/?q=node/17

02 December 2010

BREAKING NEWS....

Informasi Tugas Pengantar Sejarah Indonesia dapat di lihat pada Menu Materi Kuliah pada Blog ini. Letaknya ada di samping kanan agak tengah. atau klik di SINI

01 December 2010

Sejarah Teknologi: Dari Batu sampai Ponsel*

Lupakan penggunaan batu, bahkan kertas, sebagai media tulis. Revolusi teknologi memberikan Anda pilihan yang lebih beragam dan praktis.


SEPANJANG sejarah, ada bermacam media untuk menulis. Media tertua untuk menulis (komunikasi) adalah batu. Teks-teks cuneiform dari Mesopotamia kuno (kini Irak), yang oleh banyak sejarawan dan arkeolog diyakini sebagai tulisan tertua, menggunakan batu sebagai medianya. Pun hieroglif di Mesir. Orang-orang Mesir kuno memahat tulisan-tulisannya di dinding makam raja atau peti matinya yang terbuat dari batu.

Penggunaan batu untuk media tulis sangat luas dilakukan. Itu dibuktikan dengan temuan inskripsi kuno di sejumlah tempat: inskripsi-inskripsi India awal, maklumat-maklumat Raja Asoka, hingga tulisan-tulisan bangsa Inca, Maya, dan Aztec.

Masa penggunaan batu terus berlanjut, beriringan dengan penggunaan lembaran-lembaran lempung (clay) yang dibakar. Tak jelas mana di antara keduanya yang lebih dulu digunakan. Penggunaan lempung untuk media komunikasi simbolik sudah ada sejak lama. Menurut Steven Roger Fischer dalam A History of Writing, pahatan paling tua mulai dikenal sejak kira-kira 100 ribu tahun silam. Namun pahatan itu hanyalah berupa ekspresi grafis, belum tulisan. Cuneiform sendiri lebih banyak dituliskan pada lempung.

“Teks-teks cuneiform dituliskan di lembaran-lembaran yang terbuat dari lempung dan dituliskan dengan menggunakan pena ilalang,” tulis Marc Van de Mieroop dalam Cuneiform Texts and the Writing of History.

Penggunaan batu terhenti seiring penemuan papirus oleh orang-orang Mesir sekitar tahun 3000 SM. Orang-orang Mesir membuatnya dari tanaman papirus, sejenis ilalang yang tumbuh di sepanjang lembah Sungai Nil. Papirus berbentuk seperti lembaran-lembaran kertas saat ini. Ia memiliki kelebihan dibandingkan batu atau lempung, yakni lebih ringan dan tak mudah patah. Selain itu, daya serap tintanya lebih kuat, sehingga tulisan di atas papirus jauh lebih awet. Tak heran jika penggunaan papirus meningkat dan meluas. Tapi Mesir memonopoli penjualan papirus karena tanaman papirus hanya tumbuh di sekitar lembah Sungai Nil. Harga papirus pun jadi mahal.

Papirus bahkan dipakai sebagai senjata politik ketika pada tahun 150 SM terjadi perseteruan antara Ptolemy V dari Mesir dan Raja Eumenes dari Pergamon (Asia Barat). Gara-garanya sepele: Ptolemy risau ketika tahu Eumenes terus menambah koleksi buku di perpustakaannya. Dia tak mau perpustakaan Eumenes akan sebaik perpustakaan miliknya. Ptolemy lalu menghentikan penjualan papirus ke Eumenes.

Ketika Romawi Barat runtuh pada abad kelima, tak ada lagi perdagangan “resmi” dengan Mesir. Papirus jadi sulit didapatkan. Banyak orang terpaksa menggunakan kertas kulit (parchment). Raja Eumenes pun membuat buku-bukunya dari parchment –kata “parchment” sendiri berasal darinya.

Di Asia Barat dan Eropa, kertas kulit terbuat dari kulit biri-biri, domba, atau sapi. Tapi di China, ia juga dibuat dari kulit tumbuhan. Tak heran bila di Eropa penggunaannya terbatas pada orang-orang kaya.

Pada tahun 105 SM, Tsai Lun di China berhasil membuat kertas “modern”, terbuat dari bambu yang mudah didapat di seantero China. Meski awalnya pembuatan kertas itu dirahasiakan, penemuan itu akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring penyebaran bangsa-bangsa China. Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah, terutama setelah kekalahan Dinasti Tang dalam Perang Arab-China (tahun 751) di Samarkand, yang memperebutkan kendali atas wilayah itu,.

Arab berhasil menawan beberapa pasukan China, beberapa di antaranya tahu cara pembuatan kertas. Sebagai konsesi atas keselamatan jiwanya, mereka membocorkan teknik pembuatan kertas. Tak lama kemudian, dunia Islam pun akrab dengan kertas. Mesir, yang semula masih menggunakan papirus, beralih ke kertas sekitar tahun 800.

Pada masa itu, akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan begitu tinggi. Buku-buku terus diproduksi. Penyebarannya pun meluas, dari Eropa Barat dan Maroko di barat hingga India di timur. Tapi orang-orang Eropa masih menggunakan kertas kulit. Mereka baru menggunakan kertas setelah pada 1200-an menaklukkan beberapa wilayah Islam di Spanyol dan merebut pabrik kertas.

Teknik pembuatan kertas makin mudah setelah pada 1799, seorang Prancis bernama Nichilas Louis Robert menemukan proses untuk membuat lembaran-lembaran kertas, yang melalui perkembangan alat ini sekarang dikenal sebagai mesin Fourdrinier. Kertas menjadi lebih murah, dan dengan cepat menyebar penggunaannya.

Di Indonesia, belum jelas media apa yang paling awal digunakan. Bila mengacu tulisan tertua yang ditemukan, batu menjadi media tertua. Yupa-yupa Raja Mulawarman dari Kutai dan prasasti-prasasti Raja Purnawarman dari Tarumanegara yang berasal dari abad kelima menjadi bukti. Sementara naskah tertua dari daun lontar adalah Arjunawiwaha, yang ditemukan di Jawa Barat, dengan angka tahun 1334/5 Masehi. Kemudian dikenal pula penggunaan kertas daluwang atau dluwang, terbuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar, terutama di Jawa pada masa Islam.

Penggunaan kertas yang kita kenal sekarang, melalui perantara para pedagang Belanda, Eropa, Arab, dan China yang mengunjungi Nusantara, tak membuat kertas lontar dan dluwang punah. Hingga abad ke-20, di Jawa, Madura, dan Bali ditemukan naskah-naskah kuno yang menggunakan daun lontar sebagai media tulis.

Kertas kini belum tergantikan, meski penggunaannya perlahan berkurang sejak kemunculan komputer.

Komputer mulai digunakan untuk beragam aktivitas, termasuk menulis dan mencetak dokumen. Lalu muncul dan berkembang produk-produk perangkat keras lainnya: ponsel, PDA, telepon pintar. Keberadaan mereka didukung oleh internet, yang bukan saja memudahkan orang berkomunikasi tapi juga menuliskan gagasan atau perasaannya dalam waktu singkat –atau sebaliknya, memperoleh informasi. Dalam istilah Bill Gates dalam wawancara dengan majalah Playboy, “Informasi berada di ujung jari Anda.”

Perangkat keras itu menjadi media tulis yang praktis. Makin jarang orang menggunakan kertas surat karena ada layanan pesan singkat (SMS), email, atau jejaring sosial macam Facebook dan Twitter. Kartu ucapan selamat tal lagi populer karena ada e-card, juga layanan SMS. Orang juga nantinya tak perlu lagi membaca buku dan koran yang tebal dan merepotkan karena ada e-book dan e-paper. Toh kertas diakui memiliki dampak buruk bagi perubahan iklim: berapa banyak pohon ditebang?

Sampai kapan kertas bertahan? Akankah penggunaannya bernasib sama seperti halnya batu, lempung, papirus atau lontar? Duapuluh tahun dari sekarang, kertas akan menjadi sejarah, ujar seorang eksekutif Microsoft dalam sebuah konferensi di San Francisco tahun 2009.

Tapi banyak orang menganggap kertas takkan punah. “Teknologi digital membuat dampak besar pada cara kita menerima informasi, membaca, dan berkomunikasi dengan orang lain,” tulis Irene Piechota dalam “Means of Human Communication Though Time” pada 2002. “Saya percaya bahwa materi cetak tradisional tak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan, tapi mereka mungkin kian terbatas oleh kemajuan teknologi.” [MF MUKTHI]

*diadaptasi dari Judul Asli: Dari Dari Batu sampai Ponsel
Sumber Link: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-359-dari-batu-sampai-ponsel.html