22 February 2011

Pedagang Kakilima Dan Informalitas Perkotaan

Oleh: Deden Rukmana
(Assistant Professor of Urban Studies and Planning at Savannah State University, Savannah GA 31404 USA)


Seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kakilima (PKL) di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.

Benarkah fenomena PKL ini sebagai wujud kurangnya lapangan kerja bagi penduduk miskin? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan kemukakan konsep informalitas perkotaan (urban informality) sebagai kerangka pikir untuk memahami fenomena PKL yang terjadi di kawasan perkotaan.

Informalitas Perkotaan

Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an. Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).

Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.

Pembahasan dikotomi tersebut acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.

Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan.

Menurut pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk miskin tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Demikian pula dengan sektor-sektor informal yang baru banyak berlokasi di pinggiran kota. Dapat dikatakan bahwa perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi informal.

Teori-teori Perkotaan

Terdapat dua teori perkotaan yang dikenal saat ini: Sekolah Chicago Sosiologi Perkotaan (the Chicago School of Urban Sociology) dan Sekolah Los Angeles Geografi Perkotaan (the Los Angeles School of Urban Geography) didasarkan pada fenomena perkotaan yang terjadi pada kota-kota di negara maju (Chicago dan Los Angeles). Kedua sekolah perkotaan ini telah mendominasi wacana dalam perkotaan dan urbanisasi, bukan hanya di Amerika Serikat dan Eropa tapi juga di negara-negara berkembang.

Sekolah Chicago Sosiologi Perkotaan yang dikembangkan pada awal tahun 1920-an menjelaskan perkembangan perkotaan dikendalikan oleh migrasi yang menghasilkan pola-pola ekologis seperti invasi, survival, asimilasi, adaptasi dan kerjasama. Sekolah Los Angeles Geografi Perkotaan digagaskan pada akhir tahun 1990-an untuk menjelaskan perkembangan metropolitan Los Angeles di era postmodern yang menekankan pentingnya peran ekonomi kapitalis dan globalisasi ekonomi politis.

Dominasi kedua sekolah perkotaan tersebut, khususnya Sekolah Chicago, dalam wacana perkembangan perkotaan di negara-negara berkembang sedikit banyak berpengaruh terhadap perencanaan tata ruang perkotaan di negara-negara tersebut. Praktek-praktek perencanaan yang direplikasi melewati dikotomi negara maju dan berkembang adalah hal lumrah terjadi. Sejauh replikasi tersebut relevan dengan kondisi negara-negara berkembang, tidaklah hal tersebut menjadi masalah. Namun tidaklah demikian dengan fenomena perkembangan sektor informal di tengah-tengah pesatnya perkembangan perkotaan di negara-negara berkembang. Kedua sekolah perkotaan tersebut tidak menjawab fenomena sektor informal di negara-negara berkembang.

Pedagang Kakilima di Perkotaan

Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.

Menjawab pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini, PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.

Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.

Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL.

Dominasi Sekolah Chicago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.

Penutup

Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL.

Untuk Mengetahui lebih jauh Urban Studies baca DISINI

Sumber: http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/

Iklan di Era Djadoel

Pada tahun 1950-an, beberapa pedagang kaki lima tiap malam menggelar lapak di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mereka menjual tangkur buaya, yang dikatakannya sebagai obat kuat dan "tahan lama". Bentuknya seperti cincin, setelah diminyaki, tengahnya dimasuki benang untuk diikatkan ke pinggang. Pengobatan yang populer di kaki lima tahun 1950-an itu, kini tidak ada lagi. Rupanya sudah kalah populer dengan pengobatan Cina. Apalagi sejak nama Mak Erot dikenal. :-D

Agak ke belakang lagi, pada zaman Belanda juga ada iklan-iklan semacam itu. Seperti di Harian Bentara Hindia (terbit 1921) ada iklan sebuah buku mengenai hubungan suami-istri. Tapi saya sendiri tidak tahu apa arti Wet dan Rrasia - judul buku itu. Buku itu dicetak tebal, kentara dari isi iklan:

"Harga satoe boekoe tebel dan format bewsar 15 goelden tambgah ongkos kirim. Pesanan yang disertakan oewangnya, ongkos kirim frij."

Masih soal iklan obat kuat, ada judul yang tidak tanggung-tanggung, "Sjorga Doenia". Coba simak isinya:

"Satoe waktoe toean perlu boeka? Adalah djagonja dalam pertoeloengan yang teroetama boeat orang lelaki jang tidak dapat perindahan tjoekoep dan sempoerna oleh orang prampoean. Tanggoeng lantes terboekti menjenangken bagi jang pake. Ini obat satu does coema F 5 (goelden) dan bisa pake 15 atawa 20 kali. Boeat yang beli 5 does bisa dapet potongan 20 persen."

Rupanya sejak tempo doeloe kaum hawa sudah mendambakan agar memiliki bentuk tubuh langsing dan indah. Simaklah iklan di Majalah Sin Po Agustus 1930:

"Mode sekarang tidak diizinkan lagi orang berperoet gendoet. Toean-toean dan njonja-njonja akan merasa girang yang kita sedia sematjam band peroet yang dinamaken MAS (Modern Abdominal Supporter). MAS dengan goemilang berhasil ilangkan peroet gendoet, peroet monjong atawa peroet yang bagaimana besar. MAS djoega bikin itu kita poenya badan jadi lempeng."

Rupanya, ketika itu istilah langsing belum dikenal. Sehingga ibu-ibu ingin sekali badannya jadi lempeng. Produk MAS yang gencar diiklankan belum tentu jelas khasiatnya. Tapi, yang pasti iklan semacam itu kini merebak di televisi. Jadi roda zaman memang selalu berputar.

Contoh iklan Jaman Dulu itu bisa di Klik di Sini

terutama yang berkaitan dengan:
1. adalah contoh beberapa iklan tempo doeloe ...
2. Iklan kap lampu di toko Tan Hok Goan pada surat kabar Pemberita Betawi, 16 Januari 1888
3. Iklan penjualan kambing Jawa penghasil susu di surat kabar Pemberita Betawi, 18 April 1885
4. klan untuk kaum wanita dewasa!
5. Iklan untuk penyakit GO (maaf deh) yang dijamin dalam satu minggu bisa sembuh!
6. Iklan hidung. Katalog ini diterbitkan pada tahun 1929 di Batavia

Atau Klik di Link di bawah ini.

Sumber: http://kotatua.blogspot.com/2006/08/iklan-djadoel.html

17 February 2011

KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JAWA DI DALAM LINGKUP PASAR

RESENSI NOVEL

- Judul : Pasar
- Pengarang : Kuntowijoyo
- Penerbit : Bentang
- Tebal Buku : 274 hlm.
- Tahun Cetak : Cetakan pertama, Maret 1994

- Ringkasan Cerita:

Pak Mantri Pasar adalah seorang yang sangat mengagungkan budaya tradisional Jawa. Dalam setiap gerak-geriknya, ia tak pernah lepas dari budaya-budaya asli Jawa. Dalam beretika, berbicara, hingga berpikir pun adat-adat Jawa selalu diutamakannya. Tanpa terkecuali. Ia memiliki bawahan bernama Paijo yang hanya seorang pemuda tidak berpendidikan. Akan tetapi, karena kedekatannya dengan Pak Mantri, pola pikirnyapun tidak jauh berbeda dengan Pak Mantri.

Cerita tersebut berawal dari kisah Pak Mantri Pasar dalam memperjuangkan pasar yang ia kelola. Peraturan pasar sangat ia junjung tinggi demi mencapai kemajuan bgi pasar yang ia kelola. Ia harus rela berangkat pagi-pagi untuk mengecek kesiapan pasar untuk digunakan para pedagang, dan lain sebagainya. Termasuk menggalangkan penarikan karcis bagi setiap pedagang yang berjualan dipasar yang ia kelola. Selain itu, ia juga memiliki peliharaan berupa burung yang setiap hari ia rawat dengan penuh kasih. Baginya, hak makhluk hidup untuk hidup sangat penting. Ia juga disegani semua orang dikampungnya. Tanpa terkecuali kepala Polisi dan Pak Camat.

Awalnya kegiatan mengelola pasar berjalan dengan tenang. Hingga akhirnya timbul sebuah konflik. Para pedagang tidak mau lagi membayar karcis. Mereka merasa dirugikan oleh tingkah burung milik Pak Mantri yang sering kali mengganggu para pedagang. Burung itu memakan barang dagangan lah, buang kotoran dimana-mana lah, intinya para pedagang merasa dirugikan akan keberadaan burung-burung itu. Sampai-sampai mereka mengancam akan membunuh semua burung-burung itu. Sontak Pak Mantri merasa sakit hatinya. Karena bagaimanapun juga burung-burung itu memiliki hak untuk hidup. Rasa sakitnya bertambah ketika Zaitun, perempuan yang sangat dipedulikannya pun ikut membenci burung-burung miliknya. Zaitun beranggapan bahwa burung tersebut pula lah yang menjadikan Bank yang ia kelola menjadi sepi penabung.

Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh tokoh lain (Kasan Ngali) dengan cara membuka pasar baru yang berada dipekarangan rumahnya yang luas. Keadaan tersebut menjadikan Pak Mantri merasa sangat terpukul. Orang-orang mulai menjauhinya. Memebencinya. Pak Mantri mulai melakukan tindakan perlawanan untuk mencegah agar pasar yang ia kelola tidak ditutup begitu saja. Ia melaporkan tindak pembangkangan para pedagang kepada petinggi-petinggi kecamatan. Termasuk kepada kepala Polisi. Ia juga melaporkan perbuatan Kasan Ngali yang dianggap tidak mendukung kemajuan pasar Negara dengan cara membuka pasar illegal dan menyuruh para pedagang untuk pergi dari pasar yang dikelola Pak Mantri.

Usaha Pak Mantri tidak sia-sia. Petinggi kecamatan meresponnya dengan baik. Kemenangan berada dipihak Pak Mantri Pasar dan anak buahnya, Paijo. Ia pun tak lagi berselisih dengan Zaitun. Akan tetapi, Zaitun–perempuan yang baik budinya dan penuh lemah lembut–harus pergi meninggalkan kampung tersebut dan meninggalkan kenangan manis disana.

- Elaborasi antara judul dan keseluruhan cerita:

Elaborasi antara judul dan keseluruhan cerita digambarkan pada kutipan awal cerita yang menggambarkan suasana pasar Gemolong.
Hari masih pagi dipasar itu. Matahari kunig kemerahan, berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam di atas los-los pasar. Di bawah pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumutan berjajar sepi. Sedikit saja orang. Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hai itu hari Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian hari pasar, pada Kliwon-lah. Namun, mereka pun bersabar menunggu datangnya kesibukan. Juga hilir mudik di jalanan berbatu di muka pasar.

Juga dijelaskan melalui konflik-konflik yang terjadi pada keseluruhan cerita yang semuanya berujung pada permasalahan pasar dan perkembangannya. Penggambaran tokoh Protagonis (Pak Mantri Pasar) pun digambarkan dengan cara melalui perkataannya, tingkah lakunya, dan pola pikirnya dalam mengelola pasar yang ia kelola. Begitu pula dengan penggambaran watak tokoh Antagonis (Kasan Ngali) yang juga dijelaskan melalui tingkah laku dan pola pikirnya yang licik dalam mengupayakan kehacuran pasar yang dikelola tokoh Protagonis.

Dapat disimpulkan bahwa keseluruhan bagian novel merupakan Elaborasi antara judul dengan keseluruhan cerita. Sehingga judul cerita sudah bisa menggambarkan isi cerita.


- Cara pengarang membuka dan menutup cerita:


Pengarang membuka cerita dengan cara menggambarkan watak tokoh utama (Pak Mantri Pasar) dengan dibarengi kalimat-kalimat yang mengandung unsur amanat. Selain itu, pengarang berusaha memulai cerita dengan cara mengemukakan inti konflik dalam cerita, yaitu pembangkangan para pedagang terhadap Pak Mantri Pasar dengan cara tidak mau membayar karcis dan menyalahkan burung milik Pak Mantri Pasar sebagai penyebab semua permasalahan tersebut. Pengarang mengguanakan pola Akibat-Sebab diawal cerita. Pada paragrap pertama dijelaskan akibatnya, para pedagang membangkang. Kemudian pada paragrap berikutnya pengarang menjelaskan sedikit demi sedikit mengenai penyebab terjadinnya konflik. Seperti aktifitas burung milik Pak Mantri yang dinilai mengganggu kegiatan pasar. Pendeskripsian setting juga merupakan salah satu cara pengarang dalam membuka cerita. Pengarang menjelaskan suasana, waktu, dan tempat dengan begitu detil. Kita dapat dengan mudah membayangkan suasana yang ada diawal cerita tersebut. Penggambaran setting tersebut tercantum dalam kutipan dibawah ini.

Hari masih pagi dipasar itu. Matahari kunig kemerahan, berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam di atas los-los pasar. Di bawah pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumutan berjajar sepi. Sedikit saja orang. Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hai itu hari Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian hari pasar, pada Kliwon-lah. Namun, mereka pun bersabar menunggu datangnya kesibukan. Juga hilir mudik di jalanan berbatu di muka pasar.

Pengarang menutup cerita dengan cara menyampaikan amanat melalui tokoh utama. Amanat yang disampaikan pada akhir cerita merupakan amanat inti dari amanat-amanat lain dalam cerita tersebut. Penulis menegaskan orang yang tingkahnya buruk pasti akan kalah. Begitupun sebaliknya, orang yang selalu berbuat baik pasti akan selalu menang.

- Konflik:

Konflik yang ada pada cerita tersebut dikembangkan secara wajar. Hubungan antara konflik yang satu dengan yang lainnya berkaitan. Berawal dari suatu hal kecil yang dikembangkan dengan perlahan kemudian menjadi konflik besar dan serius. Seperti konflik yang awalnya hanya merupakan konflik ringan seperti burung dara yang menggangu aktifitas perdagangan. Kemudian berkembang menjadi konflik yang lebih serius ketika burung-burung tersebut memakan barang dagangan para pedagang. Hingga para pedagang mulai membenci tokoh utama. Konflik tersebut berkembang menjadi konflik yang sangat serius ketika para pedagang mulai tidak mau membayar uang karcis dan ada pula sebagian yang pindah tempat untuk berdagang. Konflik yang paling menarik adalah konflik batin yang terjadi antara tokoh Protagonis dengan tokoh Antagonis dalan cerita itu. Cara penyelesaian konflik pada keseluruhan cerita cenderung sama. Setiap konflik diselesaikan dengan cara menonjolkan sifat sabar tokoh utama. Tokoh utama terkesan selalu mengalah dan menerima keadaan meskipun kadang sesekali ada hasrat ingin membalas dan membelikan kedudukan dari tertekan menjadi menekan. Seperti pada kutipan cerita dibawah ini.

Agak lambat pintu itu dibuka. Pak Mantri yang sudah bersedia untuk marah pada Zaitun itu berdiri kaku dimuka pintu. Dipikir-pikirnya perbuatannya yang akan dilakukan itu. Yah, beruntunglah pintu itu tak segera dibuka. Masih ada kesempatan bagi Pak Mantri untuk bersabar. Marah boleh, tapi jangan pada wanita. orang yang baik ialah orang yang sukar marah, dan bila sekali terlanjur marah, mudah redanya. Itulah Pak Mantri.

- Alur:

Alur yang digunakan oleh pengarang yaitu alur ganda. Pengarang menyajikan cerita dengan mengemukakan bagaimana akibat dari konflik dalam cerita. Dalam kategori ini pengarang menggunakan alur mundur. Kemudian penyebab dari konflik yang merupakan pemaparan selanjutnya berupa alur maju. Berikut kutipan mengenai alur mundur yang terdapat pada paragraf awal.
Tidak ada yang aneh di dunia. Apa pun bisa terjadi, dunia tak selebar daun kelor. Lagipula, orang-orang lain pun ikut bertanggung jawab untuk keributan itu. Karena burung-burung dara Pak Mantri Pasar, para pedagang tak mau membayar karcis. Mereka menggambarkan peristiwa itu sebagai ‘pagar makan tanaman’. Artinya, kesalahan ada dipihak Pak Mantri Pasar. Bersabarlah, segala sesuatunya akan diurutkan.

- Penggambaran peristiwa kemasyarakatan:

Dalam kaitannya dengan penggambaran peristiwa kemasyarakatan, pengarang nampaknya sangat paham dengan kehidupan sosial masyarakat Jawa. Kehidupan sosial masyarakat Jawa jelas terlihat di dalam keseluruhan cerita. Penggambaran tersebut dapat dengan mudah kita temukan dari segala aspek cerita, tokohnya, peristiwanya, bahasa yang digunakan, setting, ataupun semua aspek di dalam cerita. Cerita di dalam novel tersebut mutlak menceritakan kehidupan sosial masyarakat Jawa, tanpa ada campuran dari kehidupan sosial masyarakat daerah lain. Berikut contoh kutipan mengenai penggambaran peristiwa kemasyarakatan melalui bahasa yang digunakan dalam cerita.
Dan orang bersorak. Pemuda-pemuda berdiri ditempat duduknya. Rokok-rokok dilempar ke panggung. Lalu, suit-suit! Ai laf yu darling! Wah nek ngene aku emoh! Sewengi gak iso bubuk rek! Aku wegah mulih, yu! Kowe gelem po karo aku! Dan diantara orang yang melemparkan rokok ke panggungg itu ialah Kasan Ngali.

- Nilai positif yang bisa dipetik:

Dari awal cerita sampai ke bagian akhir cerita, banyak sekali terdapat amanat yang secara tidak langsung merupakan pesan yang disampaikan pengarang kepada para pembaca. Amanat-amanat tersebut kebanyakan disampaikan dari tokoh utama itu sendiri. Dari berbagai macam amanat yang disampaikan, tentunya mengandung nilai-nilai yang patut pembaca cernati.

Selain itu, pengarang berusaha untuk memaparkan kepada pembaca bahwa tradisi asli Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting yang bisa kita pakai sebagai modal dalam hidup bermasyarakat.

Sumber: http://achmadadieb.wordpress.com/2010/06/17/analisis-novel-%E2%80%98pasar%E2%80%99-karya-kuntowijoyo/

05 February 2011

Rokok Dalam Kebudayaan Kita

Pendahuluan

Rokok –merek dan jenis apapun, juga kretek- sudah menjadi bagian hidup bangsa kita, sejak kita belum menjadi Indonesia modern. Bagian hidup bukan sekedar gaya hidup. Perlaian antara rokok dengan kita –secara pribadi-sangat mendalam, dan merupakan hubungan psikologis yang sangat sulit dipisahkan karena ada sejenis ketergantungan. Bagi para perokok ‘sejati’ ketergantungan itu menyebabkan yang bersangkutan bisa lebih sehari tidak makan apa-apa, tetapi menjadi mustahil untuk tidak merokok.

Dengan kata lain, lebih baik, karena lebih ringan, tidak makan daripada tidak merokok. Dalam bulan-bulan puasa, mereka ini menanti tibanya saat berbuka, atau menikmati masa saur demi memuaskan diri untuk merokok,- bukan karena kelaparan dan menanti kesempatan makan.

Pada tataran kelompok, atau kebutuhan komunal, hubungan kita dengan rokok tidak kurang mendalam dibanding hubungan yang bersifat psikologis sebagaimana diuraikan di atas. Secara sosial, rokok menjadi sarana komunikasi, jembatan perkenalan dengan orang baru di dalam perjalanan kereta api, di dalam aneka macam perjamuan, di dalam rapat-rapat raksasa. Di sana kita mudah saling bertukar rokok, untuk membuka perkenalan lebih jauh.

Bagi mereka yang sudah saling mengenal dengan baik, rokok menjadi sejenis tali peneguh silaturahmi dan solidaritas sosial. Tapi rokok memiliki fungsi lebih dalam lagi. Secara spiritual-dalam ritus-ritus religi- rokok menjadi bagian dari kelengkapan sesaji. Mungkin merupakan syarat paling penting, paling menentukan?

Dengan begitu rokok menjadi bagian penting dalam ritus kolektif. Ini berarti bahwa kedudukan rokok merupakan penentu, atau penguat tradisi. Rokok, kehidupan, dalam ikatan tradisi, sudah saling mengikat satu sama lain. Di sini hendak ditegaskan bahwa rokok merupakan bagian hidup kita. Pendahuluan ringkas ini ingin segera memberi gambaran bahwa mengharamkan rokok merupakan keputusan absurd, yang dasar-dasarnya komunalitasnya rapuh, dan dalam praktek akan menjadi sebuah kemustahilan untuk diterapkan secara efektif karena bagaimana mungkin posisi moral-kalau hal itu ada- akan mengontrol seluruh penduduk?

Rara Mendut dan Rokok

Kisah klasik Rara Mendut dan warung rokoknya di pasar anyar dalam wilayah Katumenggungan Wirogunan memberi kita kesan romantis- dalam teater tradisional Jawa hal itu tampak lebih menonjol dibanding di dalam novel Romo Mangung ‘Rara Mendut’ karena puntung-puntung Rara Mendut dijual lebih mahal daripada rokok yang masih utuh. Dan para pembeli-yang gandrung memandang kecantikan si penjual rokok-memilih membeli punting. Makin pendek punting itu- artinya makin dekat ke bibir Rara Mendut harganya makin tinggi.

Rara mendut, putri boyongan dari kadipaten Pati, yang menolak diperinsteri Tumenggung Wiraguna yang sudah terlalu tua. Penolakan ini yang membuat Sang Tumenggung marah dan membebankan pajak sangat tinggi kepada Rara Mendut. Maka dibukalah pasar anyar, di mana Rara Mendut boleh berjualan rokok untuk membayar pajak tadi. Kisah ini terjadi di zaman Sultan Agung di Mataram, yang berkuata antara tahun 1613-1645. Di tahun itu rokok sudah menjadi sejenis komoditi, dan kita memperoleh kesan warung rokok Rara Mendut sukses besar.

Ini terjadi karena merokok sudah menjadi kebiasaan mendarah daging di dalam masyarakat. Dalam lakon yang didramatisir terkesan bahwa demi rokok orang rela menjual lembu, atau barang apa saja. Ada kesan bahwa merokok sudah menimbulkan-mungkin bagi sebagian orang kecanduan mendalam tapi para Sultan dan otoritas rohani di lingkungan Kraton dan di luar kraton tak ada yang merasa perlu mengeluarkan fatwa haram. Kita tidak tahu apakah di zaman itu ada urusan yang jauh lebih penting bagi hidup manusia dan masyarakat daripada mengharamkan rokok.

Pramudya dan Rokok

Di masa kecilnya, karena tekanan kemiskinan, pujangga kita, Pramudya Ananta Toer, juga harus berjualan rokok buat membantu orangtuanya. Warung rokoknya berkembang meskipun pada dasarnya para pelanggannya hanya orang kampungnya sendiri di Blora, dan orang lain yang sedang lewat di warung tersebut. Para tetangga, terutama pamannya sendiri, memperoleh perlakuan baik karena Pram memberinya kesempatan utang-ambil rokok dan membayarkan kemudian sesudah ada uang-tapi Pram tidak tekor. Dia juga berjualan di pasar malam, di mana pembeli lebih banyak dibandingkan jika dia berjualan hanya di warungnya sendiri.

Pada usia dua belasan tahun- usia sekolah lanjutan pertama- Pram juga sudah merokok. Bagi Pram merokok itu membuatnya tenang secara psikologis. Kita tidak tahu mengapa. Tetapi dalam kaitannya dengan kerja karang mengarang, merokok memberi inspirasi dan meningkatkan daya kreatifitas. Tanpa merokok, pikirannya serba buntu.

Hal ini terjadi pada banyak orang lain, selain Pram. Perokok menganggap bahwa rokok merupakan pemberi kekuatan dan berhenti merokok bukan pekerjaan mudah.

Dunia anak-anak

Anak-anak kampung nglecis meniru orang dewasa. Peniruan: sekedar merokok Kemudian memiliki tepak/slepen, rek; semua perangkat merokok komplet. Persis orang dewasa. Guru-guru keberatan. Tapi proses peniruan berjalan tanpa kontrol karena anak-anak ini tidak bersekolah. Mereka anak-anak yang ‘ingin’ cepat dewasa.

Mereka membeli tembakau. Mungkin tembakau Virginia yang dianggap terbaik. Ada pula Mbako (tembakau) Kedu. Dalam keadaan terpaksa, Mbako semprol-rontokan-rontokan tembakau seadanya yang baunya sengak-pun dirokok juga. Selain di pasar, tembakau juga bisa dibeli di warung-warung desa. Penjual tembakau melengkapinya dengan kertas (dluwang) cap Noyorono (seharusnya Noroyono), dan klembak, aluar uwur. Setelah berpuluh-puluh tahun merek noyorono itu diganti sebagaimana seharusnya, Noroyono, sebagaimana dapat dilihat pada merek kertas yang saya contohkan ini.

Kelengkapannya kadang-kadang klembak menyan, yang baunya menyengat dan konon bisa mengundang demit-demit dan lelembut. Biarpun masih kanak-kanak (pasa usia sepuluh tahun, bahkan kurang) ada yang sudah nyandu, addicted, dan gerak-gerik mereka dalam urusan rokok sangat profesional. Nglinting rokok dengan cekatan. Nyuwi klembak dengan lihai, pantas artistik. Dan menyulutnya dengan rek-kemudian rek jres) nyaris selihai orang tua.

Kertas Noyorono tidak ada, mereka menggunakan klobot. Ini semua rokok tingwe –nglinting dewe- karena anak-anak kampung tidak mampu membeli rokok bikinan pabrik. Kalau toh mereka harus beli, mungkin itu terjadi dalam beberapa bulan sekali, ketika ada tontonan ketoprak atau wayang kulit. Dari pabrik, dulu ada rokok kretek merek “klembak menyan”, yang bisa mengundang danyang-danyang dan segenap lelembut tadi.

Anak-anak kecil yang berani-berani merokok klembak menyan, dan menyedotnya, bisa hampir menyicil. Hanya orang tua dengan kualifikasi tertentu yang menggemari rokok klembak menyan. Para perokok desa umumnya penderita batuk berkepanjangan, ngikil tiap saat tapi tak satupun mendapat wangsit untuk menuding dan menyalahkan- apalagi ikut Muhammadiyah- mengharamkan rokok. Tidak ada. Selain rokok klembak menyan, ada rokok terbaik pada tahun 1960an awal yang sangat laris di kampung saya, dari kalangan pembeli petani sampai kalangan priyayi desa, namanya rokok Pompa.

Di atas sudah saya sebutkan, rokok merupakan bagian dari hidup mereka. Bahkan bagian dari kesempurnaan mereka sebagai manusia. Barang siapa tidak merokok tak dianggap lumrah. Dengan kata lain, rokoklah yang memanusiakan manusia di dalam konteks kebudayaan desa petani yang hidup dalam paguyuban dan patembayan seperti itu. Jangan salahkan anak-anak kecil yang sudah nglecis tadi sebab sikap itu hanya merupakan usaha sehat (secara kultural) dan wajar untuk segera diterima sebagai bagian dari normalitas hidup kaum laki-laki. Ni bisa disebut proses inisiasi, proses psikologis maupun sosial, menuju kedewasaan.

Orang tak perlu bodoh dengan mengajukan pertanyaan apakah seorang bocah sudah belajar merokok atau belum sebab bocah-bocah yang sudah kebanyakan nglecis, kebanyakan rokok dengan sendirinya tampak jelas pada bibir mereka yang biru. Gigi mereka yang kuning dan stalakmit di gigi mereka tebal-tebal, warnanya kuning.

Ada anak-anak yang mati karena typus, karena malaria, karena mencret dan namanya sekarang mungkin dehidrasi, tapi demi NU yang menghalalkan rokok, belum ada catatan anak-anak mati karena merokok atau kebanyakan merokok.

Orang Dewasa

Orang dewasa menjadikan rokok penguat ikatan pergaulan dan peneguh solidaritas sosial. Mustahil orang meminta uang orang lain. Tapi meminta rokok menjadi kelaziman dan bukan suatu cela. Rokok –apa lagi rokok ting we- berupa tembakau, kertas Noyorono, dan klembaknya, termasuk klembak menyan tadi, dibeber di meja atau di tikar tempat pertemuan, dan menjadi domain umum. Kesadaran: milikku-milikmu juga, milik kita bersama, tak usah lagi didalikkan dengan kata-kata tapi dilaksanakan dalam tradisi yang terbuka, berkelanjutan dan hingga kini tradisi itu bukan mati melainkan menyuburkan dari waktu-ke waktu.

Bila dulu yang dijadikan suatu common property rokok ting we, sekarang rokok pabrik, merek apa saja menjadi common property.

Tapi perlu dicatat bahwa di mana-mana- di desa maupun di kota,- di kelas bawah maupun menengah, selalu ada kecenderungan orang menyimpang, pelit, tak tahu malu, ketika ada rokok umum, yang bersangkutan bukan hanya mengambil sebatang untuk kemudian disulut seperti yang lain-lain, tetapi mengambil dua batang: satu dikantongi, satu segera dirokok. Jika keadaan memungkinkan, ketika yang dirokok habis, dia akan mengambil lagi, dan merokoknya lagi. Perilaku menyimpang macam ini lama-lama diperhatikan orang banyak, dan dititeni, supaya berhati-hati terhadap orang tersebut.

Perokok dewasa di kampung tak selalu emmbeli sendiri rokok mereka. Membeli rokok sering menjadi urusan para isteri. Setelah sang isteri menjaul hasil bumi yang ditanam sang suami di pasar desa, sang isteri bisa saja tidak membelikan sang suami oleh-oleh makanan atau sejenisnya. Tetapi menjadi kewajiban tradisional bahwa sang isteri harus membelikan rokok-tembakau dan segenap kelengkapannya tadi-untuk sang suami. Rokok bagi mereka bukan milik pribadi yang hanya digunakan demi kepentingan pribadi melainkan memiliki fungsi sosial yang jelas, seperti disebutkan di atas.

Ritus dan kepercayaan.

Kenapa di masyarakat kita ada kata pemanis kenyataan sosial, bernama uang rokok? Mungkin, sekali lagi, hal ini menandakan fungsi-fungsi sosial penting rokok seperti disebut di atas, tetapi juga ada fungsi simbolik lainnya yang diekspresikan di dalam hidup kita sehari-hari tetapi kurang begitu kita sadari makna terdalamnya. Ketika kata uang rokok disebutkan, di sana tersirat dua hal yang mungkin saling bertolak belakang: sesudah suatu kerjasama, atau sesudah pelaksanaan sebuah gotong-royong tradisional, tampil sikap modern dan bentuk-bentuk tindakan sosial yang berdasarkan pada imbalan uang-sejenis sikap kapitalistik-yang mengancam, dan sekaligus menentukan kelangsungan hidup tradisi tadi. Pelan-pelan, tanpa uang rokok itu watak gotong-royong dan kesediaan saling membantu makin surut, makin pudar.

Dalam ritus-ritus ‘agamis’ atau yang berhubungan dengan kepercayaan rokok tetap memainkan peranan penting. Tak jarang dilengkapi pula segelas kopi pahit, selain perlengkapan-perlengkapan lain yang tak boleh diabaikan. Bila kita bertanya, mengapa rokok, jawabnya mungkin sangat mencerminkan sifat dan cara pandang dalam satuan budaya yang disebut male dominated society; para dayang itu laki-laki, atau mayoritas laki-laki, dan doyan ngopi, doyan merokok, doyan kembang-kembang dan kemenyan.

Di atas sudah disebut hubungan laki-laki dan rokok. Bahkan anak-anak dan rokok. Bagi anak-anak yang ingin tampil dewasa, di desa atau di kota ada suatu proses inisiasi dengan cara merokok, karena pada dasarnya merokok itu pekerjaan orang dewasa. Sikap budaya yang penuh empati tampaknya juga menempatkan para lelembut, dunia ruh, dikuasi laki-laki. Dalam Islam hal itu juga tergambar jelas: di hari akhir kita masuk surge, dan kita akan dilihati empat puluh bidadari- semua cantik, semua remaja- dan hidup di sana hanya akan bersuka-suka. Itu sebabnya maka dalam ritus dan sesaji, rokok menjadi penting. Begitu juga kopi sebagaimana semuanya penting bagi laki-laki. Kalau ini semua akurat, urusan fidunya wal akhirah didominasi rokok, maka jalan kebudayaan yang mana yang bisa memuluskan keputusan hukum yang menganggap rokok haram?

Di Kereta/Bus saling menawari rokok

Apa arti kehidupan ini yang diharamkan? Suku-suku Indian Amerika melaksanakan upacaya mengisap pipa perdamaian-mengisap rokok juga- sebagai cara mengatur hidup adil, tenteram dan damai, yang berabad-abad mentradisi, sebagai gambaran dekatnya hubungan kejiwaan dan tradisi antara rokok dan kita seperti begitu banyak contok di masyarakat kita sendiri.

Kampanye internasional mengenai hidup sehat dan antirokok, mengapa tak lebih dipandang mendesak kampanye nikmatnya kaya dan AS jadi contoh agar kita diberi kesempatan kaya? Jangan dirampok hutan kita. Jangan dirampok freeport kita agar kita tidak miskin. Belum ada program lebih absurd daripada pemerkosaan agama agar tokoh-tokohnya mengharamkan rokok tapi tak mengaramkan strategi dagang yang tetap VOC Minded. Penjajahan macam ini dari dulu lebih haram dibandingkan dengan rokok.

(Mohamad Sobary. Seorang Budayawan). Makalah ini disampaikan sebagai bahan diskusi di acara Seminar “Kretek Dalam Perspektif Ekonomi, Politik dan Kebudayaan” yang diadakan oleh Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN) Temanggung 1 April 2010 di Hotel Cemara Baru, Jakarta Pusat.