30 September 2013

Foto di Bilik Semiotika Visual

by LOR



Sore itu, minggu terakhir  September 2013. Seperti biasa Rudy yang sedang kuliah S3 di PT ternama di Indonesia yang ada di Jogja itu akan ke Surabaya untuk urusan mahasiswanya yang butuh perhatian khusus. Bayangin aja nih mahasiswa, Risma namanya, sudah kuliah sejak 2005 silam dan baru akan diuji karya tulisnnya, akhir September 2013. Delapan tahun bro…. Dalam rangka itu Rudy ke Surabaya sebagai bentuk tanggungjawab pada mahasiswa bimbingannya ini.
      Sebelum berangkat ke stasiun, Rudy membuka arsip foto yang beberapa hari lalu ia hunting di sebuah kota kecil di sulawesi tengah, namanya kota Palu. Di kota ini bertemu dengan banyak objek yang harus direkam dengan kamera pijamannya sebelum berangkat. Foto-foto yang sempat direkam dalam perjalanan itu mulai ditatap satu per satu dan sudah menyiapkan program corell Draw versi X4 yang siap memberi kesan pada foto hasil jepreetannya.
      Mata Rudi tertuju pada satu foto yang amat loetjoe, itu paling tidak menurut Rudy Tapi belum tentu bagi yang difoto. Foto ini, bukan Rudy yang menjepreet, tapi sahabanya, namanya Adi yang dikenal semasa menjalani S2 di UGM. Rudy dan Adi sejak pertama kali bertemu sudah langsung akrab karena ditempa oleh sejarah yang sama, di daerah yang sama. Kalau nasib, pasti berbeda karena itu maunya Tuhan.
Keduanya seringkali bertemu di Forum pertemuan Ilmiah Sejarah, maklum Adi dan Rudy seprofesi, sejarawan. Rudy masih tergolong sejarawan amatiran di banding sahabatnya Adi. Adi sudah banyak menghasilkan setumpuk karya sejarah local dan tokoh, sedang Rudy belum mencapai level itu. Sekolahnya di S3 pun lebih cepat 2 tahun dari Rudy. Adi menempuh pendidikan doktornya di Universitas Ternama kedua di Kuala Lumpur. Universitas Kebangsaan Malaysia. Sedang Rudy hanya di dalam negeri, tapi no 1, bangga Rudy dalam hati.
      Foto yang menarik perhatian Rudy ini kemudian dicopy dan paste di corell Draw X4 yang sudah disiapkan. Komposisi imajinasi pun sudah dibayangkan Rudy.
Pasti tokoh dalam foto dikesankan oleh Rudy, Rudy yakin, foto dibaca dari ekspresi objek yang ada dalam foto, Rudi meminjam istilah semiotika visual yang baru dibaca sesaat sebelum meninggalkan Jogja dengan kereta api Sancaka yang terkenal se-indonesia itu.
Kata semiotika visual “selalu ada makna dari tanda yang ditangkap dalam media foto” emosi objek terekam dengan baik dari pancaran imajinasi pembacanya” imaji Rudy tertuju pada “kesan yang menempel pada foto ini. Ia adalah seseorang yang  memakai baju iklan sebuah Bank, Ia orang terpelajar, namanya si Mata Cantiq, dosen-dosennya juga sering memanggilnya begitu kalau di ruang kuliah. Teman sekelasnya mengaguminya karena kecerdasannya dan gemar membaca, ngaku Qaila, yang menganggap Si Mata Cantiq adalah malaikat yang diutus tuhan untuk menyelamatkan pendidikannya di sebuah universitas negeri di Tanah yang terkenal dengan makanan khasnya Kaledo, Palu, Sulawesi Tengah, ulas Qaila lagi.
      Gambar yang diolah Rudi sebenarnya amat sederhana, Rudy hanya menambahkan kotak dan teks dialog antara si mata Cantiq dengan penggemar ayam goreng kampong, namaya Fatimah.
Semiotika visual yang Rudy gunakan untuk memberi kesan foto tampak benar pada ekspresi objek, hidup, dan raut emosi yang memberi karakter foto itu. Rudi tidak kehilangan kata-kata dengan harapan apa yang dirasakan Rudy sama dengan yang dirasa pemeran utama, Fatimah si penggemar Ayam Goreng Kampung dan tentu saja si Mata Cantiq.
Poiter mouse Rudy mulai menari-nari di toolbar program aplikasi Corell Draw, mengatifkan fitur corell X4 yang sudah terinstal di laptop barunya yang ditunjang prosesor i5 dengan memory 4 Gigabyte itu. Mesin computer itu pasti dengan mudah melahap foto yang hanya berkapasitas 4,2 megabyte itu.
Sejurus kemudian foto itu selesai diolah, Rudy memberi teks “….hmm…sepupuku ini senang sekali pada ayam goreng kampong”, sambil melirik… Fatimah yang memang suka sekali dengan ayam goreng kampong.
Foto itu lalu diconvert Rudy ke file extension JPEG yang semua orang tau, kalau itu akan menjadi file gambar kalau sudah diolah dengan pengolah gambar semisal Corell Draw atau Photoshop.
Karena resolusinya besar, maka Rudy segera mengubah size foto itu.  Rudy hanya mengambil 17 persen saja sehingga ukurannya menjadi 720x480 pixsel,mirip ukuran video Pall HD dalam dunia videografi. Harapan Rudy jelas “mudah dan cepat segera meluncur ke media social Facebook andalannya”.
Rudy tampa berpikir panjang segera meluncurkan file olahanya itu ke Facebook. Setelah selesai, Rudy buru-buru mematikan laptop kesayangannya itu untuk segera meluncur ke stasiuan Tugu, Jogjakarta.Tempat kereta Sancaka parkir. Kereta itu yang akan membawa Rudy ke Surabaya untuk menunaikan tanggungjawabnya menguji skripsi Risma esok harinya.
Dalam perjalanan, Rudy berbekal 1 bungkus nasi Padang Untuang yang ia beli di jalan, dan sebuah novel karya Andrea Hirata, Sang Pemimpi”. Rudi membaca novel itu sampai sebelum waktu makan malamnya tiba, pukul 17.00. Kereta Sancaka pada jam itu juga akan tiba di Stasiun Solo Balapan, pukul 16.55 Waktu Jawa Tengah. Rudy sudah menyelesaikan tiga bagian dari novel bekalnya itu.
Selembar kertas tebal berukuran 20 x 5 cm yang terselip di novel sebagai penanda juga disiapkan penerbit. Tentu kertas mungil itu fungsinya menolong pembaca sebagai sela jika ada aktivitas lain yang menyela, duga Rudy.
Benar saja, kali ini Rudy ditolong kertas itu untuk memulai makan malamnya yang segera tiba itu. Kertas kecil itu pun menjalankan fungsinya dengan baik seperti dugaan Rudy, sebagai “penyela”. Titik.
Seusai makan, Rudi menyapa tetangga kursinya seorang yang berambut cepak. Dugaan Rudy jelas ia seorang militer, meski tak tahu dia dari jenis militer apa.Dalam bincang itu,Rudy memperkenalkan diri, “Mas kenalin, saya Rudy” ia pun tanpa kusuruh memperkenalkan dirinya, namanya Basyir,asal Bangkalan, sambil mengaku kerabat wakil Bupati Bangkalan Madura, Drs. H. Mundir Rofi’i.
O…oooo dari Bangkalan ya Mas?, sergah Rudy memulai pembicaraan. Basyir lalu bercerita banyak topic meski Rudy tidak memintanya.
Rudy pun menjadikan memori otaknya untuk merekam seluruh cerita Basyir dalam perjalanan menuju Madiun. Stasiun selanjutnya setelah Solo Balapan. Di stasiun Madiun, Kereta Sancaka tiba pukul 18.25, kali ini kereta Sancaka tepat waktu, tidak seperti biasanya.
Kereta sudah sampai Madiun, Rudy pamit melanjutkan bacaannya hingga Surabaya, Basyir ke kamar kecil dan sekembalinya langsung mengambil posisi “matanya merem-istirahat”. Rudy melanjutkan bacaannya, sebuah Novel karya Andrea Hirata.
      Tampa terasa, sebuah pengumuman meluncur dari speakers kereta api sancaka, “perhatian-perhatian kepada seluruh penumpang kereta api sancaka, perjalanan Anda sesaat lagi akan sampai di Stasiun Gubeng Surabaya” penguman itu dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris yang terbatah-batah.
      Stasiun Gubeng Surabaya adalah stasiuan di mana Rudy harus segera mengakhiri perjalanannya dari Jogjakarta, novel yang Rudy baca juga makin tipis alias hampir habis dibaca.Novel itu segera dimasukan ke dalam tas untuk dilanjutkan di kamar tercinta Rudy yang nyaman ber AC Daikin ¾ PK inverter dengan kursi sofa multifungsi itu, pasti salesai ini novel dibaca malam ini, aku Rudy sang peyakin.
      Sesampai di rumah, Rudi mengecek foto yang dia unggah atau upload di Facebook. Rudy juga membuka  SMS masuk dan ia“sepelekan”sepanjang perjalanan Jogja-Surabaya itu.
SMS yang dibaca pertama kali dari nomor yang tak teregister di HPnya, dari identifikasi no HP pengirim jelas sekali kali kalauu nomor tak bernama itu berasal dari salah satu provider terbesar di Indonesia, Telkomsel. Nomornya berawalan 08524******* dan memonopoli penyediaan jasa telekomunikasi di kota dan pulau-pulau kecil.
Isinya, sungguh mengagetkan Rudy. Seketika adrenalin Rudy terus naik tanpa batas. Rudy mencoba mencari penyebabnya. Dugaan Rudy pasti berhubungan dengan foto yang ia unggah sebelum berangkat ke Stasiun Tugu.
Benar saja, isi pesan singkat itu begitu memekakan telinga dan membuat debar jantung meninggi karena ancaman dahsyat itu.
”Rudy, SMS kutulis khusus untukmu, jangan ganggu pacarku, jangan mentang-metang terpelajar, lalu seenaknya kamu menjatuhkan penamu, lalu kau ambil pedang untuk merampas belahan jiwaku. Ingat! kami sudah pacaran lama sekali. Sejak 2011. Kemana-mana kuantar, tiba-tiba kau mau ambil, kau anggap apa aku ini?” bunyi SMS itu.
Sambil menetralkan adrenalin dan detakan jantungnya,  Rudy membuat segelas teh hangat dari dapur favoritenya yang berkeramik hijau daun, dan berbingkai mozaik mutiara.
Teh sudah tersedia,Rudy meneguk tehnya dan menarik napas dalam-dalam, sambil berharap efek teh mampu menetralkan detak jantungnya. Harapan Rudy sia-sia, karena sudah setengah gelas teh ia habiskan “ketenangan “ belum juga diperoleh.
Rudy teringat ajaran kyai Fathonah yang dulu ia kenal sewaktu  bertugas di Desa Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Ajaran kyai itu dipraktekan. Rudy ke kamar mandi kemudian memutar keran air yang meluncur deras dari tendon plastic merk “Penguins” yang ada di lantai tiga rumah Rudy.Rudy mulai mencuci tanganya, memasukan air ke dalam mulutnya, lalu dibuang lagi. “Oh…itu Rudy sedang berkumur-kumur dan, itu artinya Rudy sedang berwudhu”.  
Rudy melanjutkannya dengan membasuh bagian-bagian tubuhnya sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.Rudy kemudian mengambil sarung di kamar bawah rumahnya, lalu membentangkan sajadah panjang berwarna biru. Sajadah itu pemberian mahasiswanya yang sudah berangkat umroh tahun lalu.
Rudy kemudian Sholat dua rakaat, lalu naik ke kamar kesayangannya. Raut wajah Rudy sudah kelihatan tenang. Beda dengan sebelum wudhu dan sholat.
Rudi membuka Facebooknya lalu, memutuskan untuk menghapus foto yang ia posting dari Jogja itu. Rudy lalu menulis status di wall Fatimah.
“Fatimah, mohon maaf ya atas foto yang telah terpublish. Saya sudah menghapus link foto tersebut, karena takut menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh beberapa pihak. Maaf juga buat si Mata Cantiq yang juga telah menjadi salah satu bagian dari foto itu”.

Rudy pun hanyut dalam imajinasinya yang terbang kemana-mana karena foto itu.Sambil memendam rasa “impiannya” yang amat sulit diwujudkan. Di ujung imajinasinya, terselip angan, “jika tidak saat ini, Rudy ingin menunggu perpisahanmu” dan Rudy pun saat itu sudah menjadi pria sendirian".

Tepian Brantas, 30 September 2013

17 September 2013

Peran Sakura Dalam Prahara 1965

OLEH: HENDRI F. ISNAENI

Sejarawan Aiko Kurasawa ungkap peranan Jepang dalam pusaran peristiwa G30S 1965. Membuka kotak pandora.

PADA 30 September 1965, Duta Besar Shizuo Saito berada di Cilacap seusai menghadiri peresmian sebuah proyek perusahaan Jepang. Saito diangkat menjadi duta besar pada 1964. Pilihan ini tepat karena dia pernah memiliki kedudukan penting dalam Gunseikanbu Somubu (Departemen Urusan Umum) pada masa pendudukan Jepang, dan sejak itu dekat dengan Sukarno. Dia bisa bertemu Sukarno tanpa protokol.

Tanpa mengetahui apa yang terjadi di Jakarta, rombongan duta besar berangkat menuju Bandung. Setelah check in di Hotel Savoy Homann, seorang warga negara Jepang yang tinggal di Bandung memberitahu Saito bahwa telah terjadi kudeta di Jakarta. Saito segera berangkat ke Jakarta. Tengah malam dia sampai di Jakarta dan baru mendapat informasi lengkap dari stafnya.
Menurut Aiko Kurasawa, profesor emeritus Universitas Keio, Jepang, pada waktu itu, sudah lewat 24 jam setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Cukup mengherankan seorang duta besar tidak mengetahui kejadian yang begitu penting dalam waktu cukup lama. “Tetapi melihat perkembangan yang begitu cepat dan sebelumnya informasi yang beredar simpang siur, maka dapat dimaklumi tindakan sang duta besar,” kata Aiko dalam seminar di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta (17/9).

Selama peristiwa itu, walaupun Kedutaan Jepang tanpa duta besar, mereka tetap mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri di Tokyo. Dalam telegram 1 Oktober 1965pukul 12.00 siang tanggal  disebut bahwa Letnan Kolonel Untung, komandan batalion Tjakrabirawa, mengambil tindakan untuk mencegah rencana kudeta oleh Angkatan Darat. Tetapi, dalam telegram yang dikirim pada jam 20.50, disebutkan bahwa peristiwa ini sebenarnya direncanakan Partai Komunis Indonesia dan penjelasan pihak Dewan Revolusi bahwa mereka mengambil tindakan untuk mencegah kudeta oleh jenderal-jenderal itu hanya dalih belaka. Laporan ini berdasarkan informasi “sumber khusus” kedutaan. Laporan ini juga menambahkan analisis bahwa “tidak mungkin presiden bisa merebut kembali kekuasaan sebelumnya” dan “ada kemungkinan terjadi civil war.”

Sementara itu, Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato dalam catatan hariannya tanggal 2 Oktober 1965 menulis: “Sejak kemarin tidak ada lagi informasi tentang kudeta, dan kita tidak bisa menangkap situasinya. Tentu ini adalah clash antara kiri dan kanan, tetapi tidak begitu jelas pihak yang mana yang menyerang dulu.”

Pada masa awal peristiwa G30S, kebanyakan politisi dalam pemerintahan Jepang bersimpati kepada Sukarno dan berharap dia dapat mengendalikan keadaan. Perdana Menteri Sato mengirim pesan kepada Sukarno mengucupkan “rasa syukur atas keselamatan Presiden”, mengikuti pesan yang telah disampaikan sebelumnya oleh Tiongkok, Pakistan, dan Filipina.

Pesan itu langsung disampaikan oleh Duta Besar Saito pada 12 Oktober 1965. Kalimat pesannya: “Di Jepang ada pribahasa ‘sesudah hujan tanah menjadi lebih keras lagi.’ Seperti itu kami mengharapkan agar Bapak Presiden mengatasi kesulitan yang dihadapi sekarang dan basis negara RI akan menjadi lebih kuat lagi.”

“Sementara negara-negara barat tidak ada yang menyampaikan pernyataan demikian,” ujar Aiko.
Pada saat itu, pemerintah Jepang merasa perlu membantu ekonomi Indonesia dan memikirkan kemungkinan memberi bantuan pangan dan sandang senilai 2 miliar yen. Tetapi, tidak jelas bantuan tersebut ditujukan kepada Sukarno atau kepada Angkatan Darat. Bantuan sebesar itu pasti memperkuat salah satu pihak yang terlibat dalam perimbangan kekuatan. Karena sandang dan pangan kebutuhan rakyat dan tidak bersifat politik atau militer, pemerintah Jepang agak naïf dan tidak memikirkan hal itu. “Hal itu sangat berbeda dengan Amerika Serikat yang selalu berhati-hati agar bantuan mereka tidak jatuh ke tangan Sukarno,” kata Aiko.

Duta Besar Saito bertemu Sukarno pada 11 November dan terkejut mendengar ucapan Sukarno yang menghina CIA dengan mengatakan CIA membiayai propaganda pro-Amerika dengan memakai dana Rp150 juta. “Saito kecewa sikap Sukarno yang tidak mau memahami kenyataan dan memutuskan dia tidak bisa membela Sukarno lagi,” kata Aiko.

Saito menilai Sukarno terlalu dini membuat kesimpulan kepada Amerika Serikat. Cara pandang Sukarno terhadap Amerika Serikat secara tak langsung berpengaruh kepada sikap politik Jepang terhadap Sukarno. Terlebih karena Jepang kongsi Amerika Serikat.

Sejalan dengan keputusan Saito, pemerintah Jepang juga mulai mengambil sikap demikian. Padahal, Perdana Menteri Sato pernah menyatakan kepada Menteri Listrik Setiadi Reksoprodjo ketika bertugas ke Jepang, tentang kemungkinan Jepang memberikan suaka kepada Sukarno.  

Menurut Saito, Adam Malik juga pernah meminta kepadanya agar jangan memberi bantuan sebelum ada perubahan pemerintahan. Karena itu, kemungkinan besar Jepang tidak memberi bantuan apa-apa sebelum Maret 1966.

Pada awal Desember 1965, Adam Malik sendiri menerima dana sebesar Rp50 juta dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, melalui Shigetada Nishijima. Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima menjadi staf di kantor Angkatan Laut Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda dan mempunyai hubungan erat dengan para pemuda termasuk Adam Malik. Adam Malik menyerahkan dana tersebut kepada Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) yang didirikannya bersama Soeharto dan Hamengku Buwono IX. Cerita ini baru dibongkar oleh McAvoy, mantan diplomat Kedutaan Besar Amerika Serikat yang menyerahkan dana tersebut kepada Nishijima. Nishijima sendiri belum pernah mengakuinya, namun dugaan tersebut telah beredar di kalangan komunitas Jepang di Jakarta. KAP-Gestapu diketuai oleh Subchan ZE dan Harry Tjan Silalahi.

Selain dana dari Nishijima, menurut pengakuan Dewi Sukarno kepada Aiko Kurasawa, juga ada uang yang diberikan kepada Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) atas keputusan pribadi Perdana Menteri Sato. Dana ini untuk mendukung Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). KAP-Gestapu dan KAMI adalah gerakan anti-komunis yang menuntut pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga sandang-pangan.

Pada 23 Desember 1965, Duta Besar Saito bertemu dengan Sukarno dan memberikan kredit sebesar $6 juta untuk membeli kain untuk hari raya Idulfitri. Nishijima menyampaikan keberatan kepada duta besar. “Dan Duta Besar mengakui bahwa dia telah merelakan ini karena terbawa perasaan kasihan (simpati) kepada Sukarno yang terkait dengan hubungan pribadi,” kata Aiko.

Pemerintah Jepang, yang semula bersimpati kepada Sukarno, kemudian realistis dan mengharapkan adanya rezim baru yang lebih memihak barat dan berorientasi kepada pembangunan ekonomi dengan menerima modal asing. Begitu kebijakan dasar pembangunan di Indonesia berubah, pemerintah Jepang segera mengambil prakarsa membantu Soeharto membangun Orde Baru dan akhirnya menjadi donatur terbesar rezim Soeharto. Di belakang itu, terdapat keinginan kalangan bisnis Jepang yang dari dulu sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Sejak itu, politik luar negeri Jepang terhadap Indonesia lebih cenderung mengutamakan dagang ketimbang politik.

Sumber: http://historia.co.id/?c=2&d=1272

13 September 2013

Di Indonesia, Aksi Protes Sudah ada Sejak Jaman Kerajaan

Oleh: ULFA ILYAS

Aksi protes hampir terjadi setiap hari di Indonesia. Sejak reformasi digulirkan, hak menyatakan pendapat di depan umum pun diakui. Maklumlah, selama 32 tahun kekuasaan orde baru, hak itu sangat dilarang untuk dipergunakan. Meski begitu, pemerintah kita, entah yang berbaju reformis sekalipun, selalu alergi dengan aksi-aksi protes. Padahal, protes adalah hal yang lumrah dalam negara demokratis. Toh, setiap orang tidak mungkin dipaksa punya sikap dan pilihan yang sama.

Jika ditanyakan: dari mana datangnya tradisi aksi protes? Sebagian diantara kita, utamanya yang malas membuka lembaran sejarah bangsa sendiri, tentu mengira tradisi itu datang dari Eropa. Ya, bisa saja ada yang bilang, “Itu tradisi dari revolusi Perancis, Rusia, dan lain-lain.”

Tetapi, rupanya, tradisi aksi protes sudah dikenal di negara kita sejak lama. Persisnya, di jaman kerajaan dulu, atau sering disebut: Feodalisme. Mohamad Hatta, Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia yang cerdas itu, menyebut tradisi protes sebagai ‘hak rakyat Indonesia yang asli’.
Dalam tulisannya, Tuntut Kemerdekaan Pers, Bung Hatta merujuk pada dua prinsip hukum adat Indonesia: Rapat, sebagai tempat utusan rakyat mencari permufakatan, dan Hak Rakyat untuk membantah secara umum (recht op massa-protest).
Raja-raja nusantara yang paling lalim sekalipun, kata Bung Hatta, tidak pernah melanggar hak-hak rakyat tadi. Dengan demikian, hak protes sudah seperti harta pusaka bangsa Indonesia yang dipunyai sejak lama.
Langit Kresna Hariadi, yang menulis buku tentang Gajah Madah, patih Majapahit yang terkenal itu, sempat menyentil praktek aksi protes di era Majapahit. Ia menyebut tentang adanya tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa.
Dahulu, di masa Kerajaan Surakarta, misalnya, tradisi protes ini juga sudah dikenal. Kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan secara khusus. Biasanya tempat aksi protes, yang sering disebut “tapa-pepe”, sering dilakukan di alun-alun keraton.

Protes ini tidak dianggap “pembangkangan” terhadap raja. Sebab, dengan posisi raja sebagai “pengembang keadilan”—perwujudan Ratu Adil, maka aksi protes atau “tapa pepe” itu dianggap sah dan diakui sebagai hak dasar rakyat. Menariknya, sekalipun pelaku “tapa pepe” hanya perorangan, raja biasanya langsung merespon dengan memanggil dan menanyakan maksudnya.
Di luar masyarakat Jawa, tradisi protes dan kebebasan berpendapat juga dikenal oleh masyarakat Bugis. Bahkan, seperti dicatat oleh sejarahwan Bugis, Prof Dr Mattulada, hak protes dalam masyarakat Bugis sudah diatur dalam sistem norma.
Salah satu prinsip demokrasi Bugis, yang sudah dijalankan jauh sebelum Eropa mengenal kata demokrasi, adalah konsep “kedaulatan rakyat”:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat; Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum; Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan Rakyat banyak)

Orang Bugis juga sudah mengenal konsep “kemerdekaan manusia” (amaradekangeng). Ini ditulis dengan jelas dalam Lontarak, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Di situ sudah tertulis prinsip berikut:

Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.

(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan)

Dalam pengakuan mengenai “Hak Protes”, masyarakat Bugis sudah mengaturnya dalam sistim adat. Ada lima bentuk aksi protes yang dikenal oleh masyarakat Bugis:

1. Mannganro ri ade’ : hak mengajukan petisi atau permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu kehidupan rakyat. Ini adalah model aksi yang mirip dengan pengajuan petisi, pernyataan sikap, atau konferensi pers di jaman sekarang.
2. Mapputane‘ : hak untuk menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. Ini model aksi yang mirip dengan metode negosiasi di jaman sekarang.
3. Mallimpo-ade’ : protes yang dilancarkan kepada raja yang bertindak sewenang-wenang atau pejabat kerajaan lainnya. Biasanya, jalan ini ditempuh setelah metode Mapputane’ menemui kegagalan. Pelaku protes Mallimpo-ade’ tidak akan meninggalkan tempat protes sebelum permasalahannya selesai. Ini hampir mirip dengan model-model aksi pendudukan yang menginap berhari-hari bahkan berbulan-bulan di lokasi aksi.
4. Mabbarata, hak protes rakyat yang sifatnya lebih keras, yang biasanya dilakukan dengan berkumpul di balai pertemuan (barugae). Aksi protes ini biasanya akan meningkat menjadi perlawanan frontal (pemberontakan) jikalau raja tidak segera menyelesaikan tuntutan rakyat. Ini mirip dengan rapat akbar atau vergadering yang sudah dikenal sejak jaman pergerakan anti-kolonial.
5. Mallekke’ dapureng, aksi protes rakyat yang dilakukan dengan cara berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan jikalau empat metode aksi di atas gagal menghentikan kesewenang-wenangan sang Raja. Ini mirip dengan gerakan protes sekarang yang disebut “Suaka Politik” ke negara lain.

Dengan melihat sekelumit sejarah di atas, adalah sangat naïf, bahkan memalukan, jikalau pemerintah sekarang alergi dengan aksi protes. Sebab, aksi protes bukanlah sesuatu yang buruk, justru dipandang perlu untuk “menyehatkan pemerintahan”.