30 March 2014

ULANG TAHUN KOTA KENDARI YANG KOLONIAL SENTRIS

Catatan Kritis Atas Ulang Tahun Kota Kendari ke-175

Oleh: La Ode Rabani
(Department Ilmu Sejarah, FIB Universitas Airlangga)


Media di Kendari ikut meramaikan ulang tahun kota Kendari yang ke-175 yang ditandai dengan dimuatnya berita tentang refleksi perjalanan panjang kota Kendari yang didukung oleh seluruh komponen masyarakat termasuk anggota DPRD dan mereka yang mengaku sebagai peneliti sejarah kota Kendari. Kota Kendari mengalami perubahan tahun kelahiran dari 27 September 1964 (43 tahun) menjadi 9 Mei yang dihitung sejak 1831. Itu berarti Kota Kendari sudah berusia 175 tahun. Dasar penetapannya adalah hasil kajian para pakar sejarah di sebuah universitas di Sulawesi Tenggara.
Arti perubahan itu menurut hemat penulis membawa konsekuensi bagi sejarah Kota Kendari. Pertama, usia kota yang lama, tetapi tidak ada kemajuan berati. Kedua, penetapan tanggal 9 Mei mengabaikan peran unsur masyarakat lokal dalam membangun wilayah. Ketiga, penetapan hari lahir kota Kendari amat kolonial sentries, karena didasarkan atas “penemuan” teluk Kendari oleh J.N Vosmaer’s. Artinya kalau Vosmaer’s tidak menemukan Kendari, maka Kota Kendari tidak pernah dikenal.

Tua tanpa Perubahan
Kota Kendari hingga awal tahun 1990an dari sisi infrastruktur jalan belum mengalami kemajuan berarti. Berjalan-jalan di Kota Kendari tidak mungkin tersesat karena jalannya hanya satu. Di era Kaimuddin dan dilanjutkan dengan periode Ali Mazi Kota kendari baru terlihat ada gairah pembangunan infrastruktur. Moment MTQ juga mendorong percepatan infrastruktur termasuk perbaikan Bandara W.R. Monginsidi. Orientasi pembangunan sektor pertanian dan pedesaan yang digalakan di era Alala ikut menyumbang lemahnya pembangunan infrastruktur kota.
Kota lama kendari yang terletak di sekitar pelabuhan praktis tidak tersentuh pembangunan dan pemeliharaan. Berbagai bangunan warisan Belanda tidak terurus, sehingga kota lama Kendari menjadi kumuh dan termakan usia. Gairah kehidupan kota hanya ada pada glamour Kendari Beach dan pelabuhan yang tiap hari mengangkut barang dan penumpang. Pembangunan kota tidak lagi mengarah pada kota lama, tetapi ke daerah sekitar kantor Gubernur, Mandonga, arah Wua-Wua, Andonohu, dan Poasia. Pembangunan tersebut dimulai ketika Kendari menjadi Ibukota Sulawesi Tenggara pada tahun 1964.
Sejarah mencatatat bahwa selama periode VOC dan Belanda, wilayah Buton yang paling menonjol perkembangannya, karena perkembangan fasilitas kota dan adanya kesultanan yang tetap eksis hingga awal abad XX. Kuatnya kekuasaan politik Makassar dan imbas dari adanya konflik antara Buton dan Muna telah menempatkan Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara. Sebelumnya, Buton telah menjadi Ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara, ketika wilayah sulawesi tenggara masih di bawah propinsi Sulawesi Selatan.


Hari Jadi yang Kolonial Sentris
Konsekuensi kedua, penetapan tanggal 9 Mei 1831 amat buru-buru. Pertanyaan kritis yang diajukan adalah posisi Kendari yang saat itu menjadi bagian dari Celebes en Onderhoorigheden dengan ibukota Makassar. Daerah Celebes en Onderhoorigheden amat luas, dan penduduk dari berbagai daerah di Nusantara termasuk para pedagang Bugis Makassar serta peran orang Bajo (suku Laut) di daerah itu tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan identitas Kendari sebagai sebuah nama kota (wilayah). Nama Kandai adalah nama yang diberikan masyarakat lokal dan mestinya itu dihargai sebagai sebuah proses awal lahirnya kata “Kendari”.
Tidak mungkin J.N. Vosmaers dalam waktu sehari (tanggal 9 Mei 1831) langsung menemukan dan menyebut kota itu dengan “Kendari”, pasti ada proses sebelumnya yang melibatkan masyarakat lokal, kemudian masyarakat lokal melalui penguasa lokal menyetujuinya dan kenmudian istilah itu digunakan.
Pengabaian peran elite lokal dalam proses pembentukan istilah Kendari sama saja dengan menghilangkan sejarah masyarakat Kendari, termasuk atas peran mereka dalam membentuk identitas daearahnya. Hal itu sama saja mengakui bahwa Kendari tidak memiliki sejarah apa-apa tanpa kehadiran Vosmaer (Belanda). Sebuah realitas kajian historiografis yang tidak pernah bergeser atau tetap menyertakan unsur kolonial sebagai unsur utama dan penentu sejarah.
Kesan kolonial sentris di balik penetapan hari Jadi Kota Kendari amat kental, seperti terlihat pada alasan penetapan hari jadi itu, yakni ketika Vosmaer tiba di kota Kendari pada tanggal 9 Mei 1831. Jika Vosmaer tiba di di Kendari pada tahun 1831, dan Kendari telah menjadi Kota, maka masih pantas disebut sebagai penggagas lahirnya kota Kendari? Catatan dari laporan Vosmaer menunjukan adanya aktivitas perdagangan beras, teripang, dan hasil hutan di teluk Kendari sangat ramai. Kondisi demikian mestinya menjadi dasar pijakan bahwa Kendari telah menjadi kota, karena ada aktivitas perdagangan dan jasa sebagai salah satu bagian dari ciri suatu wilayah menjadi kota.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mengontrol perdagangan di teluk Kendari sebelum Vosmaer datang di daerah itu? Kekuasaan lokal atau kekuasaan asing? Dari internal Sulawesi Tenggara atau dari eksternal Sulawesi Tenggara? Maka, diskusi panjang dan intensif mestinya masih terus dilakukan sebelum ada justifikasi mengenai hari lahirnya kota yang kita sayangi tersebut dipublikasikan!
Tulisan ini hanya memberi masukan tentang perlunya unsur lokal sebagai penentu sejarah, karena kolonial datang ke suatu daerah (Kendari) memiliki tujuan ekonomi dan politik. Mereka seharusnya ditempatkan bukan sebagai penentu sejarah, tetapi mereka adalah bagian dari sejarah suatu wilayah. (diolah dari berbagai sumber)

Rapopo dan Perlawanan Diam Leluhur Jawa *

Djoko Suud Sukahar - detikNews


Rapopo. Ini permisif khas Jawa. Memaafkan yang salah. Mendoakan yang memfitnah. Sekaligus melahirkan dukungan batin siapa saja.Rapopo hakekatnya adalah sikap yang dalam kalangan Samin disebut ‘sikep’. Sikap yang mengental menjadi ideologi perlawanan diam. Perlawanan?

Kalimat ini populer berkat Jokowi. Dia jawab dengan kata-kata itu saban diserang, dikritik, atau kena fitnah. Kalimat itu berasal dari ‘ora’ (tidak), dan ‘opo-opo’ (apa-apa). Jawaban terhadap sesuatu yang mengartikan segalanya baik-baik saja. Tidak berdampak, tidak berpengaruh, dan tidak menyebabkan batinnya luka.

Kalimat ini menyiratkan keluasan hati. Meninggikan diri. Simbol dari kebesaran jiwa yang lahir dari filosofi keluhuran budi manusia Jawa. Orang yang baik itu bukan yang sombong. Bukan yang suka berkata keras. Bukan yang suka menyindir. Manusia baik itu yang meniru watak padi. Menunduk, santun, itu manusia berbudi. Sedang yang tegak mendongak berarti adigang-adigung, tidak berisi. 

Kalimat ini juga melambangkan ketidakberdayaan. Makian dan tindakan semena-mena penguasa yang tidak memungkinkan untuk dilawan disikapi dengan ‘rapopo’. Sebagai manusia spiritual dan sinkretis, kalau melawan dilakukan dengan cara santun yang tidak terkesan melawan. Maka protes dengan menjemur diri, menyakiti diri sendiri di era Mataram disebut sebagai ‘topo mepe’. Berdiam diri, bertapa, memanaskan tubuh di terik matahari.

Watak seperti ini persis seperti yang didefinisikan almarhum budayawan Kuntowijoyo. Manusia Jawa itu hakekatnya introvert. Dia tidak melawan secara fisik jika dinista. Dia merenungkan itu sebagai cobaan. Sebagai setan penguji keimanan. Maka di belakang kalimat ‘rapopo’ biasanya akan diikuti dengan kalimat tambahan,‘Gusti Allah ora sare’ (Gusti Allah tidak tidur), ‘Pengeran sing mbales’ (Tuhan yang akan membalas), atau ‘sing waras kudu ngalah’ (yang waras harus mengalah).

Sikap ini melahirkan empati dan simpati rakyat pada yang dizolimi. Apresiasi tinggi diberikan untuk mereka yang dinista. Ini dianggap sebagai representasi kedewasaan dan kearifan. Dan modal dasar bagi lahirnya seorang pemimpin budiman.

Sebaliknya, ini menimbulkan sikap antipati terhadap pihak yang melakukan penzoliman. Simpati dan antipati itu tidak terucapkan. Tidak tampil kasat mata. Hanya mengendap di hati terdalam. Menjadi catatan yang tidak terhapuskan. ‘Dititeni’. Diingat-ingat rakyat sampai kapan juga

Sikap ‘rapopo’ ini dalam sejarah mengemuka di tiga negasi rakyat yang berujung pada perlawanan diam. Samin Surosentiko dari Randublatung, memobilisasi pengikut dengan memberi ketauladanan ‘seleh sumeleh’. Arogansi penjajah disikapi pasif. Ditempeleng pipi kiri, pipi kanan minta ditampar pula agar adil. Tidak mematuhi aturan Belanda. Berkat itu rakyat dimana-mana melakukan gerakan yang membuat penjajah puyeng mengatasinya.

Perlawanan diam ini mengalir bak air bah. Tidak terlihat dan tidak bergejolak. Semuanya ‘sirep’ (tenang). Gelegak itu hanya bersemayam dalam dada rakyat. Sikap ini tampil sebagai ideologi gerakan yang disebut ‘sikep’. Belanda baru mampu membaca dan menindak gerakan itu tatkala Samin sang pioner gerakan ditahbiskan sebagai Ratu Adil. Dia ditangkap, dibuang ke Padang, dan meninggal di Tanah Minang itu.

Di era Mataram, rakyat yang teraniaya dengan pajak mencekik yang diterapkan raja akibat tekanan penjajah membuat rakyat berani melakukan protes. ‘Topo mepe’ mereka gelar. Rakyat ramai-ramai menjemur diri di alun-alun. Diam menundukkan kepala. Berharap raja yang disembah mengubah aturan yang membuatnya sengsara.

Di Solo, jargon tijitibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. (Mati satu mati semua, sejahtera satu sejahtera semua) yang didengungkan Pangeran Sambernyowo berhasil memaksa Belanda mengajak gencatan senjata. Gerakan rakyat itu melahirkan kompromi dan menghasilkan kedaulatan. Perjanjian Salatiga ditandatangani. Ini tonggak sejarah, Pangeran Sambernyowo tampil sebagai Mangkunegara pertama.

Sekarang, di masa kampanye ini, Prabowo gencar melakukan ‘penyindiran’. Ini adalah gambling yang teramat mahal. Sebab yang tidak fanatik terhadap Gerindra akan kabur merapat ke Jokowi. Menutup peluang partai ini menyeret massa mengambang yang masih ragu-ragu menjatuhkan pilihan.

Dan kerugian terbesar partai yang belum tentu mampu memenuhi presidential treshold 20% untuk mengusung capres itu adalah jika kalah dalam pemilu kali ini. Lima tahun ke depan partai ini akan kesulitan mengumpulkan pundi-pundi suara sesuai targetnya. Sebab hakekatnya, pemilu itu adalah investasi. Menyodorkan kebaikan agar kalau kalah akan meraup keuntungan di pemilu mendatang.

Benarkah begitu? Akan kita lihat sama-sama setelah pemilu ini usai.

*)Judul asli : 
Rapopo dan Perlawanan Diam

Penulis: Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta

Sumber LINK: (http://news.detik.com/read/2014/03/30/183438/2541022/103/1/rapopo-dan-perlawanan-diam)