15 October 2015

Catatan Kritis atas Wacana Perubahan nama Kota Baubau

Oleh: La Ode Rabani*

Media online Zonasultra.com menulis berita tentang hasil seminar yang mengusulkan pergantian nama kota Baubau menjadi kota Buton. Usulan lainnya untuk mengganti nama kota Baubau adalah Kota Benteng, Kota Wolio, Kota Buton, dan tetap menjadi namanya sekarang, kota Baubau.


Informasi ini menarik, tidak saja karena pergantian nama kota selalu membawa konsekuensi pada sejarah dan politik suatu kota, melainkan juga perlu mengetahui bagaimana penamaan suatu kota yang telah survive (bertahan) sejak era kerajaan sampai Kesultanan Buton. Tulisan ini menghadirkan sejumlah jawaban atas filosofi dan sejarah, mengapa dinamakan Baubau?

Penemuan Nama Baubau

Wacana penggantian nama kota Baubau tidak lepas dari sejumlah “kegelisahan” warga masyarakat dan sejumlah elite kota Baubau atas penamaan kotanya. Sejarah kotanyapun ditulis berdasarkan tafsiran logika. Sejumlah tulisan blog pribadi yang bertebaran di media online menunjukan betapa penafsiran terhadap sejarah nama kota “Baubau” tanpa dasar/fakta yang kuat. Ada yang menganggap bahwa Baubau identik dengan bau wangi karena ada salah satu pulau di sebelah timur Buton bernama Wangiwangi. Ada juga yang menganggap bahwa nama baubau karena factor bangsawan dari Sulawesi Selatan (Andi Bau). Ada yang lebih ekstrim bahwa nama Baubau sangat tidak pantas karena diasosikan sebagai kota yang bau kotor, padahal kota ini unik dan mengalami kemajuan dalam sejarahnya.

Bila boleh menerka, pergantian nama kota Baubau ke Kota Buton sebagaimana diwacanakan oleh Pemda atas nama penyesuaian dari “akan” terbentuknya Provonsi Buton Raya, hanyalah bungkus “politis” dari ketidakpahaman atas proses sejarah penamaan Baubau.

Bila membaca dokumen dan sejumlah karya yang menyebut nama baoebaoe dapat ditemukan pada tulisan A.Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenish van Boeton 1878, halaman 3-7. Ligtvoet malah merujuk pada kondisi baoe-baoe pada tahun 1876 yang menjelaskan bahwa daerah itu adalah sebuah kampung yang hanya cocok ditinggali oleh orang-orang Eropa karena terdapat sejumlah kuda, pusat pergudangan, dan tempat berlabuh yang baik untuk kepentingan perdagangan.

Ligvoet juga menjelaskan bahwa awal nama baoebaoe itu adalah sebuah tempat yang ramai muara sungai Buton. Muara ini kemudian berkembang menjadi pasar, perkampungan para pendatang dan pedagang. Informasi Ligvoet membawa kita pada pemahaman tentang memori social yang diingat dan kemudian diwariskan. Bila nama baoebaoe dibentuk dari proses sejarah yang demikian, maka kita boleh setuju, kalau nama baoe-baoe identik dengan “bau kotor” itu.

Tetapi, pernah kah kita bertanya, sejak kapan dan di mana orang-orang Eropa mau bermukim di tempat yang “kotor” di nusantara ini. Jawabannya hanya di Baoe-bau pada abad ke-19, jika pilihan kita mengenai penamaan nama baoebaoe identik dengan “kotor”. Barangkali orang-orang Eropa tidak akan mendirikan pendidikan kesehatan (Sekolah Dokter, NIAS Surabaya dan Stovia Jakarta, serta mendatangkan sejumlah tenaga medis ke Hindia Belanda (kini: Indonesia) kalau mereka mau bermukim di lokasi yang kotor seperti Baoe-baoe.

Hal yang perlu diingat dalam sejarah colonial di Buton adalah perdagangan dan “pemaksaan” atas penebangan sejumlah pohon rempah-rempah yang ada di Buton. Korte Verklaaring (perjanjian pendek) antara VOC Belanda dan Sultan Buton memaksa aktivitas ekonomi dan politik Buton “dimasukan dalam Benteng”. Sultan dan para pembesar kerajaan menerima kompesasi dari hasil penebangan pohon rempah-rempah. Para pembesar kerajaan (para bangsawan) juga dilarang melakukan perdagangan, meskipun tidak selalu berhasil. Ini artinya, peran ekonomi dan politik sultan yang dominan sebelumnya beralih ke tangan VOC Belanda. Kondisi demikian tersebut terjadi karena salah satunya ketidakmampuan Buton dalam menahan upaya penaklukan kesultanan Ternate dan Serangan kerajaan Gowa di abad XVII.

Satu hal yang menjadi pola umum pembentukan kota colonial adalah selalu mendirikan kota baru, tidak mengganggu kota atau pemukiman awal. Salah satu alasan untuk itu adalah adanya resistensi dari penguasa dan rakyat local, kecuali Baubau. Kota Baubau dibentuk dari proses yang tidak sama karena kota lama yang disebut kota Buton sebenarnya adalah pemukiman awal yang disebut dengan nama Welia (Wolio). Wilayah ini sebagaimana diisyaratkan dalam tulisan Ligvoet adalah pusat pemukiman awal di pantai Bau-bau, tepatnya di muara sungai Baubau, yang dalam catatan Ligvoet menyebut daerah ini sangat bau karena pusat pasar dan pelabuhan utama bagi perahu para pedagang yang datang ke pulau Buton.

Memilih Nama Kota Wolio atau Baubau: Mana Yang Menyatukan?

Kota Buton yang ada di dalam benteng menurut Ligvoet awalnya di sekitar muara sungai Buton (Baubau), dan dugaan penulis, wilayah itu sebagai embrio pemukiman awal yang menjadi kota Baubau. Alasan ini sejalan dengan sejarah dari kata Welia (Wolio) yang dikenal paling awal dan membentuk kesultanan Buton (mia patamiana) pada masa-masa sesudahnya. Pemukiman awal ini sering mendapat serangan bajak laut, maka pusat pemukiman dipindahkan ke daerah yang lebih tinggi di sebelah Barat permukiman awal atas saran VOC. Benteng pun didirikan untuk menahan sejumlah serangan serta melengkapinya dengan sejumlah persenjataan. Untuk menjaga keamana raja, permukiman yang kini disebut Baadia menjadi satu-satunya akses ke pusat kerajaan (keraton Buton/Wolio) merupakan tempat pemukiman penjaga keamanan kerajaan/kesultanan.

Bila bahasa bisa dianggap sebagai warisan utama dari sebuah peradaban, maka bahasa Wolio dapat menjadi bukti atas awal terbentuknya pemukiman di Baubau. Persoalannya adalah nama itu yang tetap dipertahankan Belanda untuk nama kota Baubau, bukan lagi kota Buton. Dugaan penulis adalah, terdapat konteks kesamaan yang jelas antara penamaan kota Buton dengan nama Kesultanan Buton yang pemerintahannya dijalankan di dalam benteng keraton Buton. Kalau demikian, maka wacana penggantian nama kota Baubau menjadi kota Buton bisa jadi, sama dengan yang dilakukan pemerintah kolonial belanda sejak abad XVII. Artinya, nama yang “colonial” itu tetap kita hidupkan kembali. Konsekuensinya juga jelas “membingungkan” dan bisa jadi telah membuat “bom waktu” yang bisa meledak sewaktu-waktu. Identitas Buton dan kotanya menjadi kabur, karena tidak memiliki fungsi integratif/menyatukan sejumlah perbedaan. Masyarakat Buton Timur, Buton Barat atau Buton lainnya bisa saja mengklaim diri, “kami juga Buton” dan berhak sama dengan mereka yang kini bermukim di Baubau sekarang. Kalau sudah begini, apa jadinya?

Tentu melalu kesempatan ini, saya mengusulkan nama kota Wolio, karena senapas dengan sejarah dan bahasa (wolio) yang pernah mempersatukan kawasan itu. Atau tetap menjadi kota Baubau dengan sejumlah publikasi masal atas fondasi historis mengenai proses penamaan Baubau. Ini penting untuk menjelaskan bahwa sejarah permukiman awal kota Baubau memang identik dengan aktivitas pasar dan perdagangan yang memusat sehingga kawasan itu dikenal “bau” oleh masyarakat sejak abad XVI sampai kemudian menjadi nama kota pada abad akhir abad XIX.

Mengganti nama Baubau menjadi kota Wolio sama saja mengembalikan posisi social cultural warga yang pernah hidup dalam “atap kebersamaan” di rumah Kesultanan Buton dengan agama Islam sebagai penyangga utamanya. Terlepas dari sebagian kebijakan kesultanan yang tidak menyenangkan beberapa wilayah dan masyarakatnya, nama Wolio adalah adalah identitas local yang hingga kini secara cultural sangat mengakar. Meskipun diakui juga bahwa generasi muda sudah mulai meninggalkan bahasa Wolio, tetapi tidak dengan tradisinya, misalnya penghormatan pada orang tua, dan ingat kampung halaman di saat lebaran Idul Fitri.


*(Peneliti Sejarah Kota dan Staf Pengajar Di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya).

LINK sumber at: http://arsip.kendarinews.com/content/view/21503/475/#sthash.0bi1k14h.dpuf

15 May 2015

Jalan-Jalan ke Waduk Sermo: Memori, SIlaturahmi, dan Kenangan


Liburan kali ini, saya bersama keluarga 14-5-2015, berkesempatan mengunjungi keluarga di Sentolo Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Biasanya dipanggil Mbak Ipung, warga Djogja yang berkeluarga di Kulon Progo. Perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan sepeda motor atau mobil pribadi. Karena jaraknya yang hanya memakan waktu kurang lebih satu jam saja, maka kami cukup menggunakan sepeda motor saja, maklum kami hanya bertiga dan itung-itung BBM makin mahal, efisiensi (he…he….) lebih penting lagi alasan mobilitas, dan mudah menerobos kemacetan jalur selatan Jawa, teman.


Kami memulai perjalanan dari Djokja, pukul 10.10 dan tiba di Sentolo, tempat sahabat lama, kenalan dan kemudian menjadi saudara waktu sekolah dulu pukul 11.05. Setelah berakrab-akraban, ngobrol ngalor-ngidul (basa-basi-khas Djawa), kami diajak untuk jalan-jalan ke Waduk Sermo yang dikenal seluruh Warga Djokja. .


 Pukul 13. 30 kami berangkat dari rumah dan sampai 20 menit kemudian. Waduk ini pernah saya kunjungi puluhan tahun silam, sejak masih sekolah saat perjalanan pulang dari Cilacap. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang tidak bisa kami jumpai di Kota Surabaya dan Djokja, apalagi di Makassar (he..he..maaf). Kami melewati jalanan dengan hiasan pohon jati rindang di sisi kiri dan kanan. Jalanan beraspal dan halus mempercepat kami tiba di Waduk Sermo, meskipun ada banyak bagian jalan yang mirip lagunya “ninja hatori” kartun Jepang yang paling disukai anak-anak itu”, apalagi kalau bukan decak kagum atas “tanjakan, turun seperti lembah, bukit (gunung) dilewati-- untuk kemudian sampai di Waduk Sermo. 


Sesampai di Waduk Sermo kami memperhatikan sejenak suasan sekeliling dan berpikir apa yang bisa dinikmati selain pemandangan waduknya. Seperti biasa, aturan mengunjungi dan selama berada di waduk perlu dibaca baik-baik, termasuk harga yang harus dibayar atas kunjungan kali ini. Nah, pos pertama memasuki area waduk adalah pos retribusi, untuk satu motor tidak mahal-mahal amat, dengan penumpang ayah, ibu, dan anak (1 saja) dikenai tarif  Rp. 2000/kepala-total 6.000, murah khan?. Lalu biaya parkir, sama seperti masuk mall di kota, Rp. 2.000. Jadi masih biasa, terjangkau!. Dompet masih aman.


Aturan lain, tentu seperti biasa, dilarang buang sampah sembarangan, ini perintah khas “diksi warisan Orde Baru (otoriter, memaksa, hiks.), tapi tetap saja orang membuang sampah sembarangan yang tidak pernah berubah. Coba diganti dengan diksi yang lebih menyadarkan, misalnya “Danua yang Indah ini berkat kesadaran Anda membuang sampah pada tempatnya”, terima kasih. Diksi ini panjang tapi lebih menghargai  pengunjung (ideku saja). Mungkin perlu dicoba karena diksi lama terbukti gatot alias  gagal total, Tukang kebersihan tetap saja bertambah.


Di area bergedung dengan 3 buah kursi dari semen tak tergoyahkan, kursi permenan kami istirahat sejenak untuk memandang situasi sejenak, dan sesekali menghadap ke waduk, mata saya tertuju pada satu spanduk kecul berlatar pohon, kapal dan danau dengan tulisan naik perahu, harga Rp. 8.000 rupiah perorang. Wah boleh juga nih dinikmati bersama keluarga.


Tanpa pikir panjang, kami menuju jembatan dan mengajak anggota keluarga naik langsung ke kapal. Eh…ternyata pada ragu, tidak seperti Aku yang biasa di laut yang biasa to the point. Saya baru sadar bahwa yang ada di sekeliling ini adalah “anak-anak agraris” yang tidak biasa dengan transportasi laut (kapal) dan laut dalam (danaunya lumayan banyak air, jadi cukup dalam, meskipun tidak sedalam laut Banda, Arafuru, Sulawesi, Maluku, atau laut Jawa ha…ha…).

 Rayuan pun aku mainkan untuk meyakinkan “keluarga agraris ini”. Jurus pertama, kapalnya besar, jurus kedua, airnya tenang—tidak ada ombak. Lumayanlah, pasti tidak bau laut dan memabukan. Nah, ibu-ibu udah pada yakin dengan rayuan satu dan dua. Aku pikir anak-anak ini (berdua) tidak  punya memori tetang makhluk laut, ternyata imajinasiku berubah 360 derajat.  Anak-anak malah erpikir tentang hiu ha…ha….mana ada hiu dalam danau di atas gunung (gumamku dalam hati). Jurus ketiga, saya berpikir ilmiah, dek, di danau tidak ada ikan hiu, lumba-lumba,  atau ikan laut karena airnya tawar. Jurus ini nampak berhasil ditambah lagi dengam “bumbu” di atas kapal pasti enak sambil menikmati pemandangan seluruh danau, ujarku meyakinkan anak-anak kami. Tampaknya tawaranku berhasil, kami pun turun ke kapal yang telah siap mengantar kami ke spot-spot danau Sermo yang indah ini.     


Dua menit berdiam di atas kapal yang bersandar di dermaga, sopir-istilah anak-anak yang tak sabaran untuk lekas berangkat menyalakan mesin tempel kapal “Yamaha 15 PK” kami pun berlalu dari dermaga untuk menuju spot-spot danau/Waduk Sermo. Perjalanan keliling kurang lebih 30 menit, lumayan puas. Dengan membawa kamera pocket yang dilengkapi optical zoom 10X dan resolusi 18.2 MP, serta video HD, benar-benar berfungsi optimal untuk merekam beberapa sudut danau. Oleh karena itu, tulisan ini untuk berbagi pengalaman, beserta fotonya juga dengan pembaca semua-sambil sesekali ingat-ingat “masa lalu”-nostalgila.   


Tepat, pukul 15 .00 Waktu Kulon Progo kami meninggalkan Waduk menuju kota Yogyakarta, dengan terlebih dahulu pamitan pada sahabat kami. Perjalanan menuju Djogja ditempuh 40 menit (dihitung dari rumah Mbak Ipung dan Mas Aan, bukan dari Waduk Sermo)  dengan sasaran Wr. Handayani di sisi selatan alun-alun keraton Yogyakarta. Di warung ini kami menikmati Brongkos, makanan para artis dan anak-pendiri bangsa, Guruh Sukarno Putra. Tampak artis yang pernah makan di tempat ini ada Indi Barens, Glen, dan banyak lagi. Harganya lumayan terjangkau mulai dari 11.000 – 18.000, puas dan enak pula, meski tempatnya tanpak sederhana, sesederhana harganya versi kantong artis. 

Sambil menikmati minuman sirup merah jambu, akupun membayangkan perjalananku kali ini, indah dan menyenangkan, karena bersilaturahmi dan mengajak keluarga, bergurau dengan tukang parkir, pemilik perahu, warung, penjual kue, penjual minuman, dan tentu saja menyumbang sedikit kepada negara Indonesia tercinta dan Pemda Kulon Progo Daerah Jogja Istimewa melalui BBM yang saya pakai dan biaya retribusi untuk tempat Wisata”, beserta pajak warung makan "Handayani" he…he….:D.

Sampai jumpa di liburan berikutnya.

Penulis, La Ode Rabani