15 May 2015

Jalan-Jalan ke Waduk Sermo: Memori, SIlaturahmi, dan Kenangan


Liburan kali ini, saya bersama keluarga 14-5-2015, berkesempatan mengunjungi keluarga di Sentolo Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Biasanya dipanggil Mbak Ipung, warga Djogja yang berkeluarga di Kulon Progo. Perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan sepeda motor atau mobil pribadi. Karena jaraknya yang hanya memakan waktu kurang lebih satu jam saja, maka kami cukup menggunakan sepeda motor saja, maklum kami hanya bertiga dan itung-itung BBM makin mahal, efisiensi (he…he….) lebih penting lagi alasan mobilitas, dan mudah menerobos kemacetan jalur selatan Jawa, teman.


Kami memulai perjalanan dari Djokja, pukul 10.10 dan tiba di Sentolo, tempat sahabat lama, kenalan dan kemudian menjadi saudara waktu sekolah dulu pukul 11.05. Setelah berakrab-akraban, ngobrol ngalor-ngidul (basa-basi-khas Djawa), kami diajak untuk jalan-jalan ke Waduk Sermo yang dikenal seluruh Warga Djokja. .


 Pukul 13. 30 kami berangkat dari rumah dan sampai 20 menit kemudian. Waduk ini pernah saya kunjungi puluhan tahun silam, sejak masih sekolah saat perjalanan pulang dari Cilacap. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang tidak bisa kami jumpai di Kota Surabaya dan Djokja, apalagi di Makassar (he..he..maaf). Kami melewati jalanan dengan hiasan pohon jati rindang di sisi kiri dan kanan. Jalanan beraspal dan halus mempercepat kami tiba di Waduk Sermo, meskipun ada banyak bagian jalan yang mirip lagunya “ninja hatori” kartun Jepang yang paling disukai anak-anak itu”, apalagi kalau bukan decak kagum atas “tanjakan, turun seperti lembah, bukit (gunung) dilewati-- untuk kemudian sampai di Waduk Sermo. 


Sesampai di Waduk Sermo kami memperhatikan sejenak suasan sekeliling dan berpikir apa yang bisa dinikmati selain pemandangan waduknya. Seperti biasa, aturan mengunjungi dan selama berada di waduk perlu dibaca baik-baik, termasuk harga yang harus dibayar atas kunjungan kali ini. Nah, pos pertama memasuki area waduk adalah pos retribusi, untuk satu motor tidak mahal-mahal amat, dengan penumpang ayah, ibu, dan anak (1 saja) dikenai tarif  Rp. 2000/kepala-total 6.000, murah khan?. Lalu biaya parkir, sama seperti masuk mall di kota, Rp. 2.000. Jadi masih biasa, terjangkau!. Dompet masih aman.


Aturan lain, tentu seperti biasa, dilarang buang sampah sembarangan, ini perintah khas “diksi warisan Orde Baru (otoriter, memaksa, hiks.), tapi tetap saja orang membuang sampah sembarangan yang tidak pernah berubah. Coba diganti dengan diksi yang lebih menyadarkan, misalnya “Danua yang Indah ini berkat kesadaran Anda membuang sampah pada tempatnya”, terima kasih. Diksi ini panjang tapi lebih menghargai  pengunjung (ideku saja). Mungkin perlu dicoba karena diksi lama terbukti gatot alias  gagal total, Tukang kebersihan tetap saja bertambah.


Di area bergedung dengan 3 buah kursi dari semen tak tergoyahkan, kursi permenan kami istirahat sejenak untuk memandang situasi sejenak, dan sesekali menghadap ke waduk, mata saya tertuju pada satu spanduk kecul berlatar pohon, kapal dan danau dengan tulisan naik perahu, harga Rp. 8.000 rupiah perorang. Wah boleh juga nih dinikmati bersama keluarga.


Tanpa pikir panjang, kami menuju jembatan dan mengajak anggota keluarga naik langsung ke kapal. Eh…ternyata pada ragu, tidak seperti Aku yang biasa di laut yang biasa to the point. Saya baru sadar bahwa yang ada di sekeliling ini adalah “anak-anak agraris” yang tidak biasa dengan transportasi laut (kapal) dan laut dalam (danaunya lumayan banyak air, jadi cukup dalam, meskipun tidak sedalam laut Banda, Arafuru, Sulawesi, Maluku, atau laut Jawa ha…ha…).

 Rayuan pun aku mainkan untuk meyakinkan “keluarga agraris ini”. Jurus pertama, kapalnya besar, jurus kedua, airnya tenang—tidak ada ombak. Lumayanlah, pasti tidak bau laut dan memabukan. Nah, ibu-ibu udah pada yakin dengan rayuan satu dan dua. Aku pikir anak-anak ini (berdua) tidak  punya memori tetang makhluk laut, ternyata imajinasiku berubah 360 derajat.  Anak-anak malah erpikir tentang hiu ha…ha….mana ada hiu dalam danau di atas gunung (gumamku dalam hati). Jurus ketiga, saya berpikir ilmiah, dek, di danau tidak ada ikan hiu, lumba-lumba,  atau ikan laut karena airnya tawar. Jurus ini nampak berhasil ditambah lagi dengam “bumbu” di atas kapal pasti enak sambil menikmati pemandangan seluruh danau, ujarku meyakinkan anak-anak kami. Tampaknya tawaranku berhasil, kami pun turun ke kapal yang telah siap mengantar kami ke spot-spot danau Sermo yang indah ini.     


Dua menit berdiam di atas kapal yang bersandar di dermaga, sopir-istilah anak-anak yang tak sabaran untuk lekas berangkat menyalakan mesin tempel kapal “Yamaha 15 PK” kami pun berlalu dari dermaga untuk menuju spot-spot danau/Waduk Sermo. Perjalanan keliling kurang lebih 30 menit, lumayan puas. Dengan membawa kamera pocket yang dilengkapi optical zoom 10X dan resolusi 18.2 MP, serta video HD, benar-benar berfungsi optimal untuk merekam beberapa sudut danau. Oleh karena itu, tulisan ini untuk berbagi pengalaman, beserta fotonya juga dengan pembaca semua-sambil sesekali ingat-ingat “masa lalu”-nostalgila.   


Tepat, pukul 15 .00 Waktu Kulon Progo kami meninggalkan Waduk menuju kota Yogyakarta, dengan terlebih dahulu pamitan pada sahabat kami. Perjalanan menuju Djogja ditempuh 40 menit (dihitung dari rumah Mbak Ipung dan Mas Aan, bukan dari Waduk Sermo)  dengan sasaran Wr. Handayani di sisi selatan alun-alun keraton Yogyakarta. Di warung ini kami menikmati Brongkos, makanan para artis dan anak-pendiri bangsa, Guruh Sukarno Putra. Tampak artis yang pernah makan di tempat ini ada Indi Barens, Glen, dan banyak lagi. Harganya lumayan terjangkau mulai dari 11.000 – 18.000, puas dan enak pula, meski tempatnya tanpak sederhana, sesederhana harganya versi kantong artis. 

Sambil menikmati minuman sirup merah jambu, akupun membayangkan perjalananku kali ini, indah dan menyenangkan, karena bersilaturahmi dan mengajak keluarga, bergurau dengan tukang parkir, pemilik perahu, warung, penjual kue, penjual minuman, dan tentu saja menyumbang sedikit kepada negara Indonesia tercinta dan Pemda Kulon Progo Daerah Jogja Istimewa melalui BBM yang saya pakai dan biaya retribusi untuk tempat Wisata”, beserta pajak warung makan "Handayani" he…he….:D.

Sampai jumpa di liburan berikutnya.

Penulis, La Ode Rabani