21 January 2016

TANAH WOLIO DALAM BINGKAI SEJARAH PERADABAN, WACANA, DAN RENUNGAN

Resensi buku
Karya La Ode Abdul Munafi dan Andi Tenri
diresensi oleh : La Ode Rabani*


Identias Buku
Judul    Asli       : Dinamika Tanah Wolio, Sejarah, Kontinuitas,                   dan Perubahan
ISBN                 : 978-602-70099-4-3
Penerbit             : Fahmis Pustaka
Jumlah hlm        : xv + 159
Kota Terbit        : Makassar
Tahun Terbit      : Oktober 2014


Membaca karya akademisi Buton, La Ode Abdul Munafi dan Andi Tendri ini mengingatkan saya pada goresan Mohammad Hatta dalam suatu kesempatan bahwa “membaca tanpa merenungkan adalah bagaikan makan tanpa dicerna”.  Goresan pena Hatta telah membantu memahami buku yang terdiri dari 7 tema utama ini dengan mudah.
Dengan memakai kacamata Muhamad Hatta, saya kemudian mengelomokan buku ini menjadi 3 aspek utama yaitu, satu;  sejarah dan budaya sebagai basis peradaban dalam Pembangunan Wolio. Kedua;  lingkungan, pembangunan karakter, dan politik sebagai wacana, dan ketiga; adalah  aspek harmoni, yang dalam istilah Hatta sebagai renungan. Dalam buku ini diberi tema, Sajak dan Puisi.
Buku ini berisi 7 (tujuh) tema utama, yakni 1. Historitas (Sejarah); 2. Kebudayaan; 3. Pembangunan Wawasan Maritim, 4. Lingkungan Hidup; 5. Pembangunan Karakter, 6. Politik dan Pemerintahan; 7. Sajak dan Puisi. Ketujuh tema ini dibingkai dalam sebuat tema besar yang oleh penulisnya, yakni Dinamika Tanah Wolio, Sejarah, Kontinuitas, dan Perubahan.
Aspek historis yang dipotret penulis menjadi dasar yang kuat bagi penulis dalam membangun wacana buku ini ke arah  perwujudan cita-cita Tanah Wolio sebagai negeri yang memiliki perdaban tinggi dan dibangun dalam tradisi maritime yang kuat, termasuk lingkungan alam Buton sebagai pendukungnya (hlm. 2-63). Dasar itulah yang diidentifikasi penulis untuk membangun karakter yang khas Buton, atau dalam bahasa populernya dengan karakter “ke-Butonan” yang beradab, sopan, dan santun menghargai. Pesan yang disampaikan pada bagian ini adalah perlunya nilai-nilai “ke-Butonan/Wolio” mewarnai proses politik dan kebijakan pembangunan di tanah Wolio dalam mengarungi proses transformasi yang terus berjalan (hlm. 66-133).
Pada bagian akhir tulisan, saya menganggap sebagai kata Muhammad Hatta. Renungan dalam bentuk sajak dan puisi yang dihadirkan dalam buku tidak lebih sebagai harmonisasi dari cita-cita besar yang dinginkan dan diwujudkan dalam membangun masa depan Buton. Hal ini diperkuat sebagaimana yang tersirat dalam pengantar Prof. Dr. Asmiddin yang bahwa  buku ini sebagai Jendela Tanah Wolio.
Pada titik itulah kita bisa dengan jelas menemukan kelebihan buku ini, bahwa negeri Wolio dengan segala dinamikanya menjadi salah satu aset Indonesia, tidak saja karena peradaban yang dilahirkan dan terpelihara hingga kini, tetapi juga karena memiliki sebagian sumber daya manusia dan alam yang ikut berkontribusi dalam menjaga kelangsungan ke-Indonesiaan. Masyarakat Buton sebagai salah satu negeri yang tetap memelihara tradisi maritime yang berlangsung sejak kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, buku ini patut menjadi referensi dalam membaca perubahan social, politik, dan kebudayaan di Buton dan Sulawesi Tenggara khususnya, serta Indonesia pada umumnya.
Akhirnya, saya pun mengakui bahwa buku ini juga memiliki kelemahan, di samping kelebihan-kelebihan yang saya sebutkan di atas. Kelemahan pertama tampak pada sasaran isi buku ini, yakni sama sekali tidak direncanakan sejak awal untuk dicetak sebagai sebuah buku. Banyaknya tema dalam buku menunjukan kurangnya focus dalam memotret dan merenungkan rencana buku ini.  Kelemahan kedua, pada sisi teknis di mana masih dijumpai kurangnya huruf dalam suatu kata dan penulisan. Apapun itu, kehadiran buku ini harus diapresiasi karena tidak lagi merepotkan pembaca mencari sumber aslinya yang tersebar di berbagai media dan tempat.

Selamat Membaca!