by: Haliadi Sadi (Ph.D. candidate from Universitas Kebangsaan Malaysia)
Buku ini merupakan penerbitan hasil penyelidikan di Pulau Buton atau
di Kabupaten Buton, Kota Bau-bau, dan Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara, Indonesia yang berlangsung selama dua minggu, 14
hingga 28 Pebruari 2007.
Para peneliti dari Akademi Pengkajian
Melayu Universiti Malaya ini menelusuri obyek penelitian di Pulau Buton
yang diawali di Kota Bau-bau kemudian melanjutkan ke kecamatan di
sekelilingnya antara lain Kecamatan Surawolio, Wolio, Bungi, Betoambari,
Murhum dan Kokalukuna. Mereka juga mengunjungi pulau-pulau bagian Timur
Buton di Wanci dan Kaledupa di Kabupaten Wakatobi untuk menelusuri
sumber-sumber kebudayaan Melayu Buton yang berserakan. Wilayah
Indonesia dan Malaysia oleh pelbagai penulis sejarah dikenal sebagai
satu kesatuan wilayah Melayu. Alfred Russel Wallacea yang menulis “The
Malay Archipelago,” terbit di Singapura pada 1987 melihat wilayah ini
sebagai satu kesatuan Kepulauan Melayu. Demikian pula penulis-penulis
sejarah lainnya seperti Anthony Reid, Milner, tetap melihat kawasan
Indonesia dan Malaysia sebagai satu kesatuan wilayah Komunitas Melayu.
Isi
buku ini menjadi perpaduan penulis-penulis yang ahli di bidangnya
masing-masing antara lain: Prof. Madya Dr. Ab. Razak yang fokus pada
naskah, Prof. Madya Dr. Zahir Bin Ahmad (cerita rakyat dan pantun), Puan
Nor Azlin Hamidon(bidang kesenian), Prof. Madya Nuwairi Khaza’ai dan
Cik Noriza Daud (bahasa), dan Cik Norazita Cik Din (sistem kekeluargaan
dan stratifikasi masyarakat).
Kajian Ab. Razak bertumpu pada isi
naskah berupa ilmu tasawuf, ilmu astrologi atau ilmu perbintangan,
bintang dua belas, ilmu fikah.
Sementara kajian Zahir bin Ahmad
mengenai cerita rakyat tentang asal usul masyarakat Buton serta pantun
sejarah, pantun cinta, pantun adat, pantun agama, pantun teka-teki,
pantun serapah atau mantera, pantun nasihat, pantun jenaka, dan pantun
budi (hal. 129-142).
Demikian juga dengan Puan Nor Azlin Hamidon
melihat kesenian Buton berupa tarian (Kalegoa, Lumense, Lariangi,
Balumpa, Katiba atau Pangibi, Linda, Matanda, Mancha), Gambus berpantun,
Salawat dan Qasidah, termasuk juga seni rupa Melayu Buton berupa
pembuatan tembikan, seni kuningan (perunggu), seni busana.
Prof.
Madya Nuwairi Khaza’ai dan Cik Noriza Daud menjelaskan bahasa Buton
yang terdiri atas: bahasa Wolio, Pancana, Cia-cia, Moronene, Wanci, dan
Kaledupa. Cik Norazita Cik Din menjelaskan tentang adat “rezam” berupa
upacara lingkaran hidup (mengandung, selepas bersalin, pemotongan
rambut, pemberian nama, tandaki/pakaian adat, posuo/pingitan,
kawia/perkawinan), juga menjelaskan tentang kekeluargaan, dan kuliner
atau makanan Melayu Buton (hal.99-110).
Buku yang dibagi dalam
enam bab ini membuktikan bahwa pernah hidup kebudayaan dan peradaban
Melayu di sebuah sudut negeri bernama Buton di dalam Provinsi Sulawesi
Tenggara, Indonesia. Seperti komentar tentang kue “Onde-Onde” yang
berbunyi: “Di timur dan selatan Malaysia dikenali sebagai onde-onde atau
buah melaka dikenali di utara Malaysia,” dan di Buton-pun dinamakan
sebagai onde-onde (hal.110).
Kelemahan mendasar pada buku ini
adalah lemahnya bacaan awal peneliti terhadap buku-buku sekunder hasil
penelitian tentang Buton. Buku-buku sumber sekunder tentang Buton yang
didalami dalam penelitian ini hanya bukunya Abdul Mulku Zahari yang
berjudul “Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni” yang terbit pada tahun
1977, padahal sudah banyak buku-buku Buton yang telah diterbitkan
seperti karya Michael Southon tentang Perahu Buton, Susanto Zuhdi
(Sejarah Buton), Rahim Yunus (Islam di Buton), La Ode Rabani (Kota-Kota
Pantai), Haliadi-Sadi (Islam dan Kolonialisme Belanda di Buton), dan
lain-lain.
Seandainya buku-buku ini dijadikan dasar untuk awal
kajian sebelum penelitian akan menambah semarak, menarik, dan ketajaman
pendalam tentang suasana ke-Melayu-an. Kesultanan Buton yang pernah jaya
di masa lampau.
Bagaimanapun, buku ini akan menambah argumen
tentang satu kesatuan teritorial wilayah Melayu hingga ke bahagian Timur
Nusantara, serta menjadi literatur penting bagi dua Negara untuk
melihat “kese-Rumpun-an Melayu.”
Satu kesatuan Melayu di Malaysia
dan Indonesia sebagai sebuah perspektif peradaban seharusnya menjadi
argumentasi penting dalam keserumpunan.
Hal itu dapat dibuktikan
dengan persebaran nilai-nilai kemelayuan termasuk identitas melayu yang
dimulai sejak lama, misalnya Syekh Abdul Wahid sebagai pembawa Islam
awal ke daerah ini sesungguhnya berasal dari Melayu Patani. Ulama ini
yang mengajarkan dan mengislamkan Raja Buton dan menjadi cikal bakal
berkembangnya Kesultanan Buton.
Pada naskah lama (Warkah Melayu
lama) seperti Naskah Sipanjonga diceritakan bahwa peletak awal dari
Kerajaan Buton berasal dari Melayu yang perlu pembuktian dalam sebuah
penelitian. Pada argumen ini, buku yang menarik ini akan menjadi
literatur penting sebagai dasar untuk melakukan penelitian pendalam
terhadap Melayu di wilayah Buton dan sekitarnya dan atau Melayu di
Indonesia Timur.
Buku ini sebaiknya dibaca oleh semua pihak yang
mencintai ke-Melayu-an, lebih-lebih oleh mahasiswa di Indonesia,
Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam. Pihak yang mencintai
ke-Melayu-an termasuk masyarakat umum dan pemerintah di kedua Negara
menyadari bahwa dari segi perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia
dan Malaysia serumpun Melayu.
Manfaat buku ini bagi mahasiswa di
Asia Tenggara akan semakin mempertajam wawasan satu kesatuan Melayu di
Kawasan Asia Tenggara yang memiliki memory kolektif bersama bahwa di
masa lalu kita selalu saling memerlukan antara satu dengan yang lainnya
dalam jalur sutra perdagangan maupun penyebaran agama Islam di
Nusantara. (dit/AB/ANTARA)
sumber: http://www.antarakl.com/index.php/kesra/1321-resensi-buku-satu-melayu-serumpun-indonesia-malaysia