by: Agama Ageming Aji
Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan
pedoman atau ageman yang berarti pakaian. Aji artinya raja atau mulia.
Warga negara yang mulia tentu akan memperhatikan ajaran agama, ajaran
leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab Suci. Kewibawaan seorang
pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan terbebas dari
perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan
martabatnya. Prinsip kepemimpinan terhadap orang Jawa menuntut agar
pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah
dan adiluhung di depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu
mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Mereka
inilah ynag membuat pemimpin menjadi aji 'berharga'.
Airlangga
Pengganti
Prabu Dharmawangsa Teguh adalah Airlangga. Nama kraton Medang, oleh
Airlangga dirubah menjadi kraton Kahuripan. Kata kahuripan berasal dari
kata urip yang berarti hidup. Jadi kahuripan berarti kehidupan yang
setara dengan kraton Amarta milik Pandawa. Airlangga lahir di Bali
tahun 922 Çaka atau 1000 Masehi. Ibunya bernama Mahendradata Gunapriya
Dharmaputri. Ayahnya adalah Dharma Udayana Warmadewa, raja di Bali.
Setelah dewasa diambil menantu oleh Sri Dharmawangsa Teguh. Ketika
perkawinan Airlangga berlangsung, tiba-tiba kratonnya diserang musuh.
Para pembesar negara dan raja banyak yang gugur. Airlangga bersama
pembantunya, Narotama, melarikan diri ke puncak gunung untuk mohon
perlindungan para pertapa (Zoetmulder, 1985). Putri Airlangga yang
bernama Dewi Sanggramawijaya dipersiapkan menjadi pengganti penguasa
Kahuripan namun dia menolak menjadi raja. Dia memilih menjalani hidup
sebagai pertapa di Pucangan tahun 963 Çaka. Dewi Sanggramawijaya ini
disebut juga dengan nama Dewi Kilisuci, Rara Sucian atau Rara Pucangan.
Akhirnya beliau berhasil menduduki tahta mertuanya kembali. Kehidupan
sastra budaya sangat diperhatikan. Empu Kanwa disuruh menulis Kakawin
Arjuna Wiwaha. Kraton Kahuripan kemudian dibagi menjadi dua: Kraton
Panjalu (Kediri) dengan ibukota Dahanapura. Rajanya adalah Samara
Wijaya; Kraton Jenggala, dengan rajanya bernama Garasakan. Airlangga
wafat pada tahun 10 Çaka atau 1079 Masehi. Makamnya di Tirta. Menantu
sang raja yang bernama Airlangga, putra mahkota raja Udayana dari Bali,
telah berhasil melakukan konsolidasi untuk menyelamatkan kraton warisan
mertuanya. Kraton Medang kemudian diubah namanya menjadi Kraton
Kahuripan. Ketentraman kraton dapat dipulihkan oleh Airlangga, menantu
Raja Dharmawangsa, yang berasal dari Bali putra Udayana. Pada masa Raja
Airlangga ini disusun Kitab Arjunawiwaha. Pengarangnya adalah Empu
Kanwa, sebagai persembahan pada Raja Airlangga yang berjuang memulihkan
stabilitas negara antara tahun 1028-1035 dan mengalahkan Raja Wengker.
Maklumatnya yang terakhir ditulis pada tahun 1042 Masehi (Zoetmulder,
1985: 309). Raja Airlangga bertahta sekitar tahun 941-964 Çaka atau
1019-1042 (Poerbatjaraka, 1957: 17). Raja Airlangga menjelang mangkatnya
membagi kraton menjadi dua penghubung, Jenggala dan Kediri (Zoetmulder,
1985: 22). Dua kraton ini dalam kisah-kisah kesusastraan Jawa
mengilhami para pujangga untuk menciptakan karya romantis yitu cerita
Panji. Cerita Panji mengisahkan perjalanan Panji Asmarabangun yang
menjalin asmara dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana. Ceita
ini sering dipentaskan dalam bentuk drama tradisional, yaitu
kethoprak.
Ajining Diri Saka Lathi
Setiap orang harus
memahami konsep ajining diri saka lathi yang artinya harga diri
seseorang itu dinilai dengan apa yang keluar dari lidahnya. Suara yang
manis, sopan, dan merdu bisa membuat rasa simpati. Sebaliknya, suara
yang keras, kasar, tidak memperhatikan perasaan orang lain, akan
menimbulkan masalah dan meruntuhkan harga dirinya. Penghargaan orang
terhadap orang lain banyak bersumber dari tutur kata. Apa bila tutur
kata itu mengenakkan hati, tentu orang lain akan senang, teduh, dan
dihormati. Sebaliknya tutur kata sinis, pedas, caci maki akan
mendatangkan rasa benci dari pihak lain. Dalam pergaulan
sedapat-dapatnya orang itu berbuat kebajikan dalam bertutur kata. Kata
peparah Arab: setajam-tajam pedang masih tajam lidah. Luka fisik bisa
diobati, tetapi luka hati tiada obatnya. Oleh karena itu sebelum
diucapkan, hendaknya kata-kata yang akan keluar dari mulut dipikirkan
dengan masak-masak.
Ajining Salira Saka Busana
Setiap orang
harus memahami konsep ajining sarira dumunung ing busana artinya badan
jasmani seseorang akan dihargai jika dibungkus dengan busana yang
pantas. Pantas tidak cukup berarti harus mahal dan mewah, tetapi
cukuplah sopan dan sesuai lingkungan. Masing-masing kelompok sosial
mempunyai tradisi berbusana yang berbeda. Busana kelompok tersebut
merupakan kebanggaan dan kebesaran kolektif. Seragam militer misalnya
menimbulkan rasa bangga dan gagah bagi prajurit. Pakaian adat membuat
bangga bagi suku yang bersangkutan. Oleh karena itu orang harus bisa
membawa diri dalam berpakaian. Cara berpakaian yang luwes akan membuat
mudah bergaul dengan segala lapisan sosial. Pakaian menggambarkan
jiwa seseorang yang mudah dinilai pihak lain.
Ala Ketara
Ala
artinya keburukan, ketara artinya tampak. Keburukan itu walaupun
ditutupi dengan apapun pasti lama-lama akan tampak juga, sebagaimana
bau bangkai yang busuk tidak dapat ditutupi. Bagi pihak yang merasa
dirugikan atau menjadi korban sudah tentu akan mengambil reaksi dan
pihak yang bersengaja menyembunyikan keburukan itu akhirnya hanya akan
mendapat malu. Perbuatan yang buruk, lambat atau cepat akan tercium.
Contohnya untuk kasus pembunuhan orang, lama atau cepat pasti pelakunya
dapat ditangkap, setidak-tidaknya ketahuan. Proses tersingkapnya bisa
dengan sengaja atau tidak sengaja atas petunjuk Tuhan. Orang yang
melakukan perbuatan jahat hatinya pasti akan diliputi kecemasan,
kuatir, was-was, tidak tenang dan merasa bersalah. Oleh karena itu
tidak patut keburukan macam apapun ditutupi, sebaiknya secara jantan
kita mengakui perbuatan itu agar mempermudah proses hukum.
Alon-alon Waton Kelakon
Alon-alon
berarti pelan-pelan dalam menjalankan tugas. Kelakon berarti tercapai.
Alon-alon waton kelakon mempunyai makna biar pelan asalkan kesampaian
apa yang diingini. Pengertian alon-alon di sini adalah tindakan yang
penuh dengan kecermatan dan perhitungan agar tidak tergelincir dan
terpeleset sehingga terhindar dari kerugian. Alon-alon yang benar
mengandung unsur hati-hati, teliti, sopan dan berkelanjutan. Bagi
pelakunya sering mendatangkan kritik, karena pihak pengamat melihatnya
sebagai sesuatu yang lamban mendatangkan hasil untuk dinikmati. Kalau
pekerjaan sudah selesai dan hasil telah tampak, orang lain dengan
sendirinya mengakui. Kecaman dan umpatan dengan sendirinya menghilang.
Kelakon atau kesampaian merupakan buah dari alon-alon yang benar.
Amemangun Karyenak Tyasing Sesama
Amemangun
karyenak tyasing sasama yaitu membuat hati orang lain senang lewat
tutur kata, senyum manis, salam hormat, tata bahasa, pilihan kata yang
baik, tegur sapa hangat, pujian sepantasnya, mimik muka empati dan
perilaku sopan yang dapat meringankan beban sesama hidup. Sedekah yang
murah dan mudah adalah sikap ramah-tamah. Syukur-syukur kalau mau
membagi rezeki kepada pihak yang amat membutuhkan. Amalan sedekah,
infaq, dan zakat dapat menyalurkan pemerataan. Kita sesama tahu bahwa
kesenjangan antara si kaya dan si miskin dapat menyebabkan kecemburuan
sosial. Demikianlah ungkapan amemangun karyenak tyasing sesama adalah
sebuah usaha untuk mewujudkan agar orang lain senang hati dan tentram
di samping kita. Dengan ketentraman setiap orang di sekeliling kita,
maka kita berarti telah menciptakan ketentraman masyarakat dan negara.
Ana Catur Mungkur
Konsep
ana catur mungkur artinya menghindari perdebatan atau pembicaraan yang
tidak layak. Perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya hanya menguras
tenaga dan pikiran. Bersilat lidah yang hanya mengejar kepuasan diri
berujung pada silang sengketa yang tidak menguntungkan. Ada pepatah
dikenaa iwake aja buthek banyune 'ambillah ikannya tapi jangan sampai
keruh airnya', memberi amanat agar seseorang menimbang-nimbang segala
perbuatannya. Setiap tujuan tentulah berharap baik hasilnya, namun cara
mencapainya itu jangan sampai menimbulkan kegoncangan yang dapat
memperkeruh suasana. Hal ini disebabkan disekitar lingkungan itu
masih ada pihak yang tidak terlibat tetapi ikut pula menanggung
resikonya. Ana catur mungkur berarti menghindari silat lidah, biar
keadaan dingin dulu. Bukan berarti lari dari masalah, tetapi menunda
sementara. Apalagi hanya berupa pembicaraan-pembicaraan rendah yang
tidak bermutu.
Andhap Asor
Sikap andhap asor berarti rendah
hati. Di sini harus dibedakan antara rendah hati dengan rendah diri.
Rendah hati mengandung makna tidak mau menonjolkan diri, meskipun
sebenarnya memiliki kemampuan. Sedang rendah diri mengandung makna
minder, karena eksistensi dan potensinya tidak ada. Andhap asor sejajar
maknanya dengan nglembah manah. Orang Jawa sangat mengutamakan sifat
andhap asor, bila berhubungan dengan sesama hidup. Watak andhap asor
tidak mudah dijerumuskan oleh puji-pujian. Apabila terpeleset hanya
karena gila hormat. Kalau dicela pihak lain ia tidak akan marah, justru
untuk sarana mawas diri, sehingga mampu mengadakan perbaikan. Umpatan
dan hinaan dari luar dianggap hanya sebagai kritik konstruktif.
Anteng
Anteng
bermakna tenang, halus, indah tapi berbobot. Ada pepatah: air beriak
tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan, yaitu larangan untuk
meremehkan hal-hal yang kelihatan remeh yang tak berdaya. Sikap
anteng akan menimbulkan kewibawaan dan mendatangkan rasa hormat dari
pihak lain. Dalam proses belajar mengajar, sikap anteng itu sangat
diperlukan. Guru akan merasa dihargai jika muridnya bersikap anteng.
Dengan sikap anteng berarti murid memperhatikan dan memahami ajaran
gurunya. Suasana gaduh akan membuat pelajaran tidak bisa dipahami dan
emosi mudah terbakar. Dalam forum resmi sikap anteng diperlukan demi
kelancaran hal yang sedang dibicarakan. Keputusan yang dihasilkan oleh
forum yang anteng pesertanya maka hasilnya akan lebih jernih. Dalam
kehidupan sehari-hari pribadi yang anteng bisanya mampu berpikir lebih
jernih untuk memecahkan berbagai persoalan.
Apurancang
Ketika
berhadapan dengan pemimpin, orang Jawa bertata sikap ngapurancang,
yaitu tangan hikmat sebagai tanda hormat. Penghormatan kepada pemimpin
dilakukan sebagai kewajiban supaya mendapat berkah ketentraman
karena keselarasan hidup dapat diperoleh hanya dengan berlaku
harmonis dengan lingkungan dan pamong praja. Tiap ada upacara Jawa,
para pemuda tanpa diperintah akan berbondong-bondong untuk
menyumbangkan tenaga. Kalau seorang pemuda Jawa hendak merantau
terlebih dahulu dia akan sowan, minta doa kepada pemimpinnya. Mereka
belum merasa lega sebelum menghadap pemimpin yang dianggap sebagai
sesepuh.
Arisan
Arisan sudah sangat umum di masyarakat
Indonesia. Hampir setiap kampung ada tradisi arisan, karena dapat
digunakan sebagai sarana berkumpul demi persaudaraan. Di sela-sela acara
arisan itu biasanya diselipkan acara lain yang mudah, murah meriah dan
bermanfaat. Saat arisan itulah komunikasi antar warga terjalin dengan
akrab. Dari situ pula kegiatan-kegiatan bersama dimusyawarahkan dan
dirancang. Secara umum, arisan tidak diselenggarakan dengan azas
formal, melainkan atas aspirasi murni dari warganya, minim kepentingan,
ringan, meringankan, sukarela dan terbuka bagi banyak kalangan dan
bersifat rekreatif.
Arta
Arta atau harta berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti alat. Harta dapat bermakna sesuatu yang
digunakan untuk mencapai tujuan. Apapun bentuknya arta atau harta
tetaplah hanya alat, bukan suatu tujuan. Bagi mereka yang sudah menikah
diharapkan bekerja dengan tekun agar tercukupi kebutuhannya. Kebutuhan
terpenuhi dengan harta. Anak istri yang tercukupi secara materiil
menunjukkan sikap tanggung jawab kepala rumah tangga. Kehormatan dan
kebahagiaan keluarga akan terjaga bila ekonominya tidak morat-marit.
Silang sengketa antara suami istri sering terjadi hanya karena
kekurangan harta dan mudah sekali kemarahan tersulut.
Arupadhatu
Merupakan
simbol alam atas tempat bersemayamnya manusia yang telah mencapai
kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat dan waskitha ngerti sadurunge
winarah.
Astabrata
Orang Jawa suka dengan referensi
kepemimpinan menurut Lakon Wahyu Makutharama. Lakon ini menyuratkan
kepemimpinan sosial yang terkenal dengan istilah astabrata, yang
berarti delapan prinsip meniru filsafat matahari, bulan, langit,
bintang, air, api, laut dan angin. Ajaran astabrata memberikan
kesadaran kosmis bahwa dunia dengan segala isinya mengandung pelajaran
bagi manusia yang mau merenung dan menelitinya. Norma kepemimpinan
Jawa dikenal dengan ungkapan sabda pandita ratu tan kena wola-wali.
Maksudnya seorang pemimpin harus konsekuen untuk melaksanakan dan
mewujudkan apa yang telah dikatakan. Masyarakat Jawa menyebutnya
sebagai orang yang bersifat berbudi bawa laksana yaitu teguh berpegang
pada janji.
Asta Dasa Kotamaning Prabu
Asta Dasa Kotamaning
Prabu atau 18 ilmu kepemimpinan Jawa dari jaman keemasan Kerajaan
Majapahit di bumi Nusantara ini. Ke-18 prinsip-prinsip kepemimpinan
tersebut, yakni : Wijaya, artinya seorang pemimpin harus mempunyai jiwa
yang tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam
menghadapi berbagai macam persoalan karena hanya dengan jiwa yang tenang
masalah akan dapat dipecahkan; Mantriwira, artinya seorang pemimpin
harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa
terpengaruh tekanan dari pihak manapun; Natangguan, artinya seorang
pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga
kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan
kehormatan; Satya Bakti Prabu, artinya seorang pemimpin harus memiliki
loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan
penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa; Wagmiwak, artinya seorang pemimpin
harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara
dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat
masyarakatnya; Wicaksaneng Naya, artinya seorang pemimpin harus pandai
berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat; Sarjawa Upasama,
artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong,
congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa; Dirosaha,
artinya seorang pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, pemimpin harus
memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada
kepentingan umum; Tan Satresna, maksudnya seorang pemimpin tidak boleh
memihak/pilih kasih terhadap salah satu golongan atau memihak
saudaranya, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga
dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya
untuk mensukseskan cita-cita bersama; Masihi Samasta Buwana, maksudnya
seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan
hidup sebagai karunia dari Tuhan/Hyang Widi dan mengelola sumber daya
alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat; Sih Samasta
Buwana, maksudnya seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan
masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya; Negara Gineng
Pratijna, maksudnya seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan
negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun
keluarganya; Dibyacita, maksudnya seorang pemimpin harus lapang dada dan
bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya; Sumantri,
maksudnya seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa;
Nayaken Musuh, maksudnya dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang
dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya
sendiri; Ambek Parama Arta, maksudnya seorang pemimpin harus pandai
menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi
kesejahteraan dan kepentingan umum; Waspada Purwa Arta, maksudnya
seorang pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri untuk
melakukan perbaikan; Prasaja, artinya seorang pemimpin supaya berpola
hidup sederhana, tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.
Ayem
Seorang
orang dituntut untuk mampu menciptakan suasana ayem. Suasana batin
yang tenang, tidak ambisius, menerima dan tidak terpancing oleh
perubahan yang mengagetkan disebut ayem. Hidup dipandang sebagai
menjalankan takdir Tuhan, saderma nglakoni. Tidak ada konsep kalah
menang dalam persaingan. Semua menjalani garis hidupnya masing-masing.
Dalam alam pedusunan, suasana ayem sangat menonjol. Perasaan senasib
sepenanggungan, seiring sederita, menciptakan solidaritas yang sangat
kuat yang buahnya adalah keikhlasan untuk saling membantu. Oleh sebab
itulah kekerasan jarang dijumpai di desa-Jawa, karena didorong oleh
suasana kekeluargaan yang ayem.
Ayom
Ayom berarti teduh, sejuk
dan terlindungi. Orang yang berjiwa ayom berarti bisa dijadikan
tempat berteduh, tempat berlindung yang menyejukkan. Pemimpin bagi
rakyat desa adalah pengayoman. Ia berkewajiban menciptakan rasa
ayem-ayom yang dipimpinnya. Prinsip seorang pemimpin yaitu menciptakan
kesejahteraan anak buah terlebih dahulu, baru dirinya berhak mengenyam
kenikmatan. Kalau prinsip ini tidak dilaksanakan, maka solidaritas anak
buah akan memudar dan pelan-pelan akan meninggalkan pemimpinnya, dan
dengan sendirinya mereka akan mencari pengayoman baru. Lebih
tragis lagi kalau seseorang hanya mengejar kenikmatan dan itu dilakukan
dengan penuh tipu muslihat. Pemimpin demikian hari jatuhnya tinggal
menunggu waktu. Seorang pemimpin yang tulus dan bisa memberi pengayoman
maka jika pergi akan ditangisi oleh anak buahnya. Sebaliknya pemimpin
yang tidak bisa memberi pengayoman, kepergiannya akan disambut dengan
tawa dan kelegaan hati anak buah.
Bancakan
Bancakan adalah
upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur, yaitu yang
berkaitan dengan problem dum-duman 'pembagian' terhadap kenikmatan,
kekuasaan, dan kekayaan. Maksudnya supaya terhindar dari konflik yang
disebabkan oleh pembagian yang tidak adil. Upacara bancakan sering
digunakan dalam acara bagi waris, sisa hasil usaha dan keuntungan
perusahaan. Harapannya agar masing-masing pihak merasa dihargai hak dan
jerih payahnya sehingga solidaritas anggota terjaga. Di mana-mana
solidaritas mudah dibangun dalam suasana terjepit. Akan tetapi sulit
dicapai dalam masa pembagian keuntungan karena orang cepat lupa diri,
ingin saling jegal dan cenderung menang sendiri. Upacara bancakan
dimaksudkan untuk menghindari hal tersebut.
Bathok Bolu Isi Madu
Bathok
bolu isi madu mempunyai makna orang yang tampaknya sederhana namun
memiliki bobot pribadi yang berkualitas. Bathok bolu adalah tempurung
kelapa yang jelek rupanya. Meskipun tempurung kelapa tetapi mengejutkan
karena berisi madu yang manis. Orang rendahan yang merasa tidak cantik
rupawan harus menutupi kekurangan dirinya dengan kepribadian yang
menarik, yang meliputi aspek moral, intelektual dan sosial. Moralitas
dan intelektualitas yang handal juga suatu daya tarik yang tinggi.
Keduanya mudah mengundang perhatian dan kagum dari pihak lain. Bahkan
ketajaman intelektual dapat merekrut banyak pengikut. Oleh karena itu
sebaiknya tidak mudah berburuk sangka kepada orang lain. Di balik
kekurangan fisik belum tentu kekurangan nilai dalam dirinya, siapa tahu
tersembunyi madu manis di dalamnya.
Basuki
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur menggunakan semboyan "Jer
Basuki Mawa Beya". Artinya adalah cita-cita untuk memperoleh
kesejahteraan pasti memerlukan biaya. Biaya di sini bisa berarti
tenaga, semangat dan kemauan. Di samping menunjuk pada soal
kesejahteraan, kata basuki juga mengandung makna keselamatan.
Misalnya puji memuji: manggiha basuki, mugi kalis ing sambikala.
Artinya saling mendoakan agar mendapat keselamatan terbebas dari segala
gangguan. Basuki, lestari, widada, slamet, sugeng, yuwana, raharja,
rahayu, semuanya mengandung makna harapan akan keselamatan.
Nama anak yang menggunakan istilah basuki di Jawa juga sangat banyak.
Bawa Leksana
Arti ungkapan bawa leksana adalah menepati dan
menetapi kata-kata. Sabda brahmana raja sepisan kudu dadi tan kena
wola-wali, mengandung makna bahwa perkataan ulama dan umara itu harus
bisa dipegang. Oleh karena itu sebelum diucapkan harus dipikirkan
masak-masak. Raja dan brahmana merupakan figur panutan yang diikuti
oleh banyak orang. Idiom esuk dhele sore tempe hanya patut diucapkan
oleh pedagang di pasar yang hanya mengejar laba tak memikirkan dampak
kata-katanya. Sangat berbahaya bila pemuka masyarakat cepat-cepat
berubah ucapannya hanya untuk menuruti selera sesaat. Orang yang
mencla-mencle akan menyusahkan. Lire kang bawa leksana anetepi
pangandika adalah suatu ungkapan yang penuh dengan prinsip luhur yang
perlu dipraktikkan para pemimpin.
Becik Ketitik
Becik ketitik
bermakna bahwa suatu kebenaran akhirnya pasti akan diketahui juga.
Untuk mencapai kebenaran banyak sekali halangannya. Apalagi upaya untuk
mencapai kebenaran itu bersangkut paut dengan kepentingan dan
kehormatan orang lain, tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Mereka
yang diuntungkan cenderung untuk mendukung, sementara orang yang
dirugikan akan cenderung untuk meragukan bahkan menolak. Contoh mudah
adalah penanganan hukum yang terkait kasus politik. Setelah melampaui
waktu yang panjang hingga berganti pemain dan generasi, kebenaran dan
kesalahan akan mudah tampak. Tidak sulit-sulit untuk menganalisis, mana
yang benar dan mana yang salah akan dengan mudah dilihat.
Beda
Bidang
politik senantiasa mengundang konflik. Politikus harus pandai-pandai
membawa diri dalam manajemen konflik. Di sini konsep beda harus
dipahami sebagai keniscayaan dalam kepemimpinan. Sifat kepemimpinan di
mana saja menimbulkan polarisasi dalam masyarakat, sehingga struktur
sosial terpecah-pecah. Kadang-kadang lalu membuat ketegangan,
percekcokkan, persengketaan malah lebih keras lagi peperangan. Hasilnya
dapat ditebak, banyak korban harta, benda, jiwa dan raga. Korban
politik itu membuat pilu dan sedih rasa kemanusiaan. Perbedaan yang
majemuk itu harus dikelola sebaik-baiknya sehingga tidak berubah
menjadi kerusuhan yang meluas. Apresiasi terhadap kehidupan seluruh
elemen masyarakat seabaiknya terus-menerus dilakukan agar mudah
dikaji.
Bener Ketenger
Seperti ungkapan becik ketitik,
segala tindakan yang benar itu akhirnya akan nampak dengan jelas.
Demikian juga arti dari ungkapan bener ketenger. Kebenaran yang didukung
dengan logika akan lestari. Kebenaran yang logis akan membuat rasa
kagum yang layak didukung. Para pemimpin biasanya membawa kebenaran
logis bagi pengikutnya. Hal ini karena gagasan-gagasannya yang muncul
bisa dipahami secara nalar dan oleh karena itu layak disokong. Bahkan
kebenaran yang diterima secara fanatik, pengikutnya berani berkorban
apa saja. Para pemimpin yang miskin misi dan visi lambat laun akan
ditinggalkan oleh pendukungnya. Daya tariknya akan habis karena
pribadinya tidak menjanjikan apapun untuk diikuti lagi.
Ber Budi
Maksud
ungkapan ber budi adalah sikap seorang pemimpin yang murah hati, suka
memberi ganjaran, berdana ria dan selalu memikirkan kesejahteraan
bawahan dan rakyatnya. Pemimpin memiliki kesempatan yang berlimpah
ruah untuk mengumpulkan kemakmuran, kenikmatan dan kehormatan tanpa
banyak harus bersusah payah. Namun bila hasilnya tidak disebarkan
secara merata dan adil maka kenikmatan itu akan menjelma menjadi
senjata makan tuan. Bahkan suatu saat akan menjatuhkan diri dan
martabatnya. Ungkapan ber budi maknanya asring paring dana. Tindak
kongkritnya yaitu anggeganjar saben dina yang bermakna seorang pemimpin
yang pemurah, kreatif, inovatif serta memiliki kepribadian agung.
Blaka
Blaka
artinya terbuka, tidak ditutupi, apa adanya, transparan dan tidak takut
bila diketahui semua isi hatinya. Sikap blaka biasanya diberikan
kepada orang khusus yang sudah akrab, bersahabat dan hubungannya dekat
sehingga tidak membahayakan. Orang blaka umumnya tidak memiliki maksud
tersembunyi seperti kata pepatah: ada udang di balik batu. Dia
berbicara tanpa beban, lepas dan tidak gampang marah, sehingga dalam
pergaulan mudah diterima oleh berbagai kalangan. Namun ada
kekurangannya, orang blaka kadang-kadang keceplos, yang membuat pihak
lain kaget bahkan tersinggung. Meskipun demikian orang blaka mudah minta
maaf dan memaafkan kesalahan orang lain.
Borobudur
Candi
Borobudur terletak di Magelang dengan dikelilingi gunung Merapi,
Merbabu, Sumbing, Sindoro dan Menoreh. Di dekat juga terdapat Candi
Pawon, Candi Mendut dan Candi Sewu. Ketiga candi ini adalah warisan
Dinasti Syailendra yang memerintah antara tahun 778 – abad 10 di Jawa
Tengah. Dinasti Syailendra berasal dari India. Istilah Borobudur berasal
dari kata bara = biara, budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudur
terdiri dari tiga bagian yaitu: kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu.
Brawijaya V (1468-1478)
Brawijaya
V menjadi memegang tahta Majapahit selama 10 tahun. Tidak diduga sama
sekali jika ia akan menjadi raja Majapahit yang terakhir, karena setelah
beliau, kerajaan adidaya ini melemah dan kemudian terjadi perebutan
kekuasaan kembali. Pada saat konflik di istana memuncak, di pesisir
utara Jawa, orang-orang Islam sudah semakin kuat, apalagi semenjak
datangnya para wali dan ikut mempengaruhi perkembangan masyarakat Jawa.
Pada saat pemerintahan Brawijaya V ini, kekuasaan Majapahit sudah
merosot tajam. Ia hanya mewarisi daerah Jawa bagian tengah dan timur
saja. Daerah-daerah lain sudah tidak ada kontak kekuasaan lagi. Menurut
satu riwayat, Brawijaya V meninggal ketika istana Majapahit diserang
oleh Rana Wijaya dari Keling. Kekuasaan Majapahit di tanah Jawa pun
mulai tersaingi dengan kekuatan agama baru, yakni agama Islam. Di
Gresik, muncul Kewalian Giri yang awal mulanya hanya semacam pesantren
dengan kekuasaan ilmu dan spiritual saja. Akan tetapi, lama-lama menjadi
semakin kokoh menjadi kekuatan politik juga. Daerah-daerah pesisir
menjadi tempat konsentrasi pengembangan dakwah para wali.
Kadipaten-kadipaten di pesisir utara telah diislamkan dengan baik oleh
para wali, sperti Tuban, Gresik, Sidayu, Jepara, Rembang, Demak,
Pekalongan, Cirebon dan Banten. Oleh kekuatan Islam ini, Majapahit
terdorong ke daerah Pedalaman dan semakin sulit berhubungan dengan
daerah luar. Sementara itu, agama Islam pun merangsek ke pedalaman
sehingga posisi Majapahit benar-benar menyempit dan mengecil. Prabu
Brawijaya V mungkin tidak begitu menyadari akan hal ini. Bahkan beliau
sendiri mengambil selir seorang putri Cina yang sudah masuk agama Islam.
Putri Cina tersebut mempengaruhi keagamaan Prabu Brawijaya V.
Sementara kadipaten-kadipaten di daerah pedalaman yang masih setia
dengan agama Buda, kecewa dengan Prabu Brawijaya V yang dianggap lemah.
Misalnya Kadipaten Ponorogo yang waktu itu dikuasai oleh Suryangalam
hendak memisahkan diri dengan Majapahit karena menganggap Majapahit
tidak mampu lagi dijadikan payung. Dalam kondisi politik yang demikian
para wali bertindak cepat mengambil simbol kerajaan Majapahit dan
memboyongnya ke Demak, dan mendirikan kerajaan Islam pertama kali di
Jawa.
Bre Kertawijaya (1147-1451)
Suhita digantikan oleh adik
tirinya, Kertawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah dan
pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti.
dari kitab Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti
Kertawijaya, tetapi ia berkraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai
1453. Pada waktu itu masih terjadi pergolakan keabsahan atas tahta
Majapahit. Oleh karena itu Kertawijaya mengambil langkah mengadakan
rekonsiliasi antara seluruh trah Prabu Kertarajasa, pendiri Majapahit.
Salah satu langkahnya adalah mengambil gelar Brawijaya I. Bra artinya
raja, Wijaya artinya keturunan Raden Wijaya. Langkah rekonsiliasi ini
rupanya cukup efektif, terbukti pada masa kekuasaannya ketegangan mereda
dan perang saudara redam. Pada masa kekuasaan Brawijaya I ini tidak
banyak yang diberitakan, karena pemerintahannya tidak lama, hanya empat
tahun. Pada tahun 1451 beliau meninggal dunia dan dikuburkan di
Kertawijaya pura.
Bre Pandan Salas (1466-1468)
Sesudah
Brawijaya III wafat beliau digantikan oleh Bra Pandan Salas dengan
gelar Brawijaya IV. Beliau juga menempati istana Tumapel. Baru dua tahun
lamanya ia berkuasa, kemudian menarik diri menjadi pertapa. Pada
dasarnya, Brawijaya IV ini memang bukan seorang politikus, melainkan
seorang pertapa yang lebih suka mendalami laku-laku ruhaniah menurut
agama Buda. Oleh karena itu, diangkatnya beliau menjadi raja Majapahit
tidak membuat beliau gembira. Malahan menjadi beban yang membebani
kesukaannya berulah ruhani. Karena itu baru dua tahun Brawijaya IV ini
memegang tampuk kekuasaan, segera lengser keprabon dan digantikan oleh
putranya, Brawijaya V. Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa
dan bernama resmi Singhawikramawardhana, berkraton di Tumapel selama 2
(dua) tahun. Dalam tahun 1468 ia terdesak oleh Kertabhumi (anak bungsu
Rajasawardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan
Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat
di tahun 1474.
Bre Wengker (1456-1466)
Pada tahun 1456, Bre
Wengker atau Hyang Purwawisesa diangkat menjadi raja Majapahit dan
bergelar Brawijaya III. Beliau memerintah selama 10 tahun lamanya.
Namun, Brawijaya III ini juga tidak menempati istana Majapahit,
melainkan istana Tumapel. Dalam waktu 10 tahun tersebut, Baginda
mengirimkan utusan ke Tiongkok sebanyak dua kali.
Buwuh
Buwuh
adalah menyumbangkan barang pada orang yang mempunyai hajat yang
dilakukan oleh ibu-ibu. Sewaktu pulang biasanya diberi oleh-oleh oleh
tuan rumah. Tradisi buwuh dahulu berbeda dengan tradisi sekarang yang
sumbangannya berwujud uang. Dahulu sumbangan itu berwujud bahan makanan
seperti beras, gula, tahu, tempe, teh, kopi atau mie. Sumbangan model
uang yang dimasukkan dalam amplop tidak dikenal. Kalau direnungkan
sumbangan model barang jelas lebih repot, akan tetapi lebih mengesankan.
Pada saat sekarang di mana segala sesuatunya dinilai berdasarkan nilai
uang, mungkin budaya buwuh tidak bisa dilakukan lagi, terutama di
perkotaan. Akan tetapi bisa dimodifikasi berupa souvenir yang bisa
memberikan nilai dan keakraban tersendiri. Hal ini cenderung akan
menimbulkan kreativitas.
Catur Darma Raja
Prinsip catur
darmaning raja adalah empat sifat utama bagi seorang pemimpin sebagai
panglima militer, yaitu : Jana Wisesa Suda, yaitu seorang panglima
militer hendaknya menguasai segala macam ilmu pengetahuan, baik
teknologi, kemiliteran maupun ilmu pengetahuan agama spiritual secara
teori ataupun praktek; Kaprahitaning Praja, yaitu seorang panglima harus
mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan dan berusaha mengadakan
perbaikan kondisi; Kawiryan, yaitu seorang panglima harus mempunyai
keberanian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani
karena benar dan takut karena salah; Kawibawan, yaitu seorang panglima
harus memiliki kewibawaan terhadap rakyat, sehingga setiap perintahnya
dapat dilaksanakan dan program yang direncanakan dapat terealisasi.
Catur Kamulyaning Nerpati
Catur
Kamulyaning Nerpati adalah empat sifat utama bagi seorang negarawan
yaitu : Jalma Sulaksana, yaitu seorang pemimpin hendaknya menguasai ilmu
pengetahuan baik ilmu pengetahuan dan teknologi maupun ilmu pengetahuan
agama spiritual secara teori ataupun praktek. Praja Sulaksana, yaitu
mempunyai perasaan belas kasihan kepada rakyat dan berusaha mengadakan
perbaikan kondisi masyarakat. Wirya Sulaksana, yaitu mempunyai
keberanian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani
karena benar dan takut karena salah. Wibawa Sulaksana, yaitu memiliki
kewibawaan terhadap rakyat, sehingga setiap perintahnya dapat
dilaksanakan dan program yang direncanakan dapat terealisasi.
Catur Praja Wicaksana
Catur
Praja Wisakcana adalah empat sifat dan tindakan yang bijaksana yang
hendaknya dilakukan oleh seorang pemimpin/negarawan yaitu : Sama, yaitu
selalu waspada dan siap siaga untuk menghadapi segala ancaman musuh baik
yang datang dari dalam maupun dari luar yang merongrong kewibawaan
pemimpin yang sah. Beda, yaitu memberikan perlakuan yang sama dan adil
tanpa perkecualian dalam melaksanakan peraturan bagi rakyat sehingga
tercipta kedisiplinan dan tata tertib dalam masyarakat. Dana, yaitu
mengutamakan sandang, pangan pendidikan dan papan guna menunjang
kemakmuran rakyat serta memberikan penghargaan bagi warga yang
berprestasi. Memberikan gaji bagi para pekerja sebagai balas jasa dari
pekerjaan yang dibebankan sesuai dengan peraturan yang berlaku agar
dapat mencukupi kehidupan keluarganya. Danda, yaitu menghukum dengan
adil kepada semua yang berbuat salah/melanggar hukum sesuai dengan
tingkat kesalahan yang diperbuatnya.
Catur Purusa Arta
Catur
Purusa Arta artinya empat tujuan hidup manusia. Keempat tujuan hidup
tersebut terjalin erat sehingga disebut Catur Warga. Catur berarti
empat, dan Warga berarti terjalin erat. Dalam serat suci tujuan agama
Hindu adalah Jagadita dan Moksa. Jagadita artinya kesejahteraan hidup di
dunia, dan Moksa artinya kebebasan yang kekal dan abadi adalah
bersatunya Atman dengan Tuhan. Catur Purusa Arta terdiri dari : Darma.
Darma mempunyai pengertian yang sangat luas. Darma berarti segala
perilaku yang luhur. Perilaku yang luhur ialah perilaku manusia yang
sesuai dengan ajaran agama. Ajaran agama menuntun, membina, dan mengatur
hidup manusia sehingga mencapai kesejahteraan hidup lahir dan batin.
Kewajiban untuk berbuat kebajikan adalah Darma. Jadi Darma juga berarti
kebajikan. Ada dua kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu : Swa Darma
artinya kewajiban sendiri, karen asetiap orang punya kewajibannya
sendiri-sendiri. kedua adalah Para Darma artinya menghormati dan
menghargai tugas dan kewajiban orang lain. Tidak memandang rendah
kewajiban orang lain. Dalam serat suci disebutkan manfaat Darma itu
adalah : Darma adalah alat untuk mencapai sorga dan kesempurnaan atau
moksa, Darma menghilangkan segala macam penderitaan, Darma adalah sumber
datangnya kebaikan bagi yang melaksanakannya, Darma dapat melebur
dosa-dosa, Darma adalah harta kekayaan orang yang saleh yang tidak bisa
dicuri dan dirampas, Darma adalah landasan untuk mendapatkan Arta dan
Kama. Arta. Arta disini berarti harta benda. Harta benda dapat diartikan
kekayaan. Dalam hidup ini manusia perlu harta benda. Dalam ajaran agama
Hindu, tidak dilarang untuk memiliki harta benda atau kekayaan. Asalkan
harta benda dan kekayaan itu didapat dengan jalan yang benar, jalan
yang sesuai dengan Darma. Arta atau kekayaan itu hendaknya dibagi tiga :
Untuk mencapai Darma, misalnya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti yadnya, menolong orang melarat, memperbaiki bangunan
suci dll., Sarana untuk memenuhi Kama, misalnya keperluan hidup
sehari-hari, berpakaian, olah raga, kesenian, rekreasi, dll., Sarana
melakukan usaha dalam bidang Arta agar berkembang kembali, misalnya
untuk usaha, tabungan, dan kegiatan ekonomi lainnya sehingga Arta itu
semakin berkembang; Kama Kama berarti hawa nafsu atau keinginan.
Keinginan dapat memberikan kenikmatan dan tujuan hidup. Dalam hidup ini
orang memerlukan kenikmatan dan kenikmatan itu diperoleh bila keinginan
itu sudah dipenuhi. Keinginan atau hawa nafsu ini timbul karena manusia
memiliki indra. Moksa, berarti kebebasan hidup yang kekal dan abadi.
Bebas dari semua ikatan benda-benda duniawi serta bersatunya Atman
dengan Brahman (Tuhan). Moksa adalah tujuan akhir dari kehidupan
manusia. Setiap orang wajib untuk mencapainya. Orang yang mencapai Moksa
akan terbebas dari hukum Karma Phala dan Punarbawa artinya penjelmaan
yang berulang-ulang. Moksa juga disebut Mukhti, yaitu kebabasan jiwatman
atau kebahagiaan rohani yang langsung : 1) Jiwan Mukhti adalah Moksa
yang dicapai pada waktu masih hidup, 2) Moksa adalah persatuan Atman
dengan Brahman dengan meninggalkan mayat, 3) Adi Moksa adalah persatuan
Atman dengan Brahman dengan meninggalkan abu jenasah, 4) Parama Moksa
adalah persatuan Atman dengan Brahman dengan tidak meninggalkan bekas.
Dalam ajaran agama Hindu disebutkan ada empat jalan untuk mencapai
persatuan Atman dengan Brahman yang disebut Catur Marga.
Cegah Dhahar
Cegah
dhahar berarti mengurangi makan dengan maksud mengasah ketajaman
pikiran dan kepekaan hati. Melakukan puasa dengan rutin dapat
dijadikan contoh laku cegah dhahar. Badan yang lemah karena perut kosong
lebih mudah diajak untuk berempati dan simpati dengan pihak lain.
Penderitaan orang lain akan lebih bisa dirasakan. Perasaan bebal yang
tak mau tahu akan terkikis karena dirinya sendiri juga mengalami
nestapa. Pemimpin besar masa lampau, biasanya sudah dapat mengatasi
kesulitan hidup hanya karena lapar. Dia tidak begitu mementingkan
kepentingan lahiriah yang cepat musnah dimakan waktu.
Cipta
Popularitas
istilah cipta dalam budaya Jawa terbukti dengan adanya nama Begawan
Ciptoning, yaitu nama tokoh Arjuna ketika sedang melakukan tapa brata di
Wukir Indrakila. Juga istilah keplasing cipta yaitu ketajaman nalar
menerobos batas ruang dan waktu. Istilah cipta lebih dekat pada aspek
logika, penalaran dan kebenaran. Olah pikir sama dengan olah cipta,
yaitu kegiatan pemikiran untuk memperoleh kebenaran ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kemajuan teknologi selalu didukung oleh
kebenaran ilmiah dan logis. Kalau tidak sesungguhnya perkembangan
teknologi itu tidak jauh dari ilmu pertukangan saja. Di Indonesia,
lembaga pendidikan formal dari SD sampai Perguruan Tinggi dituntut
untuk mengembangkan keilmiahan dengan cara menemukan metode baru dalam
setiap harinya.
Dana
Setiap kegiatan pasti memerlukan dana.
Begitu pentingnya dana maka harus diperhitungkan secara jeli dari mana,
bagaimana, dan ke mana dana itu diperoleh, dikelola dan dibelanjakan.
Perpecahan suatu lembaga atau organisasi kadang berawal dari rebutan
masalah dana. Pembagian keuangan yang tidak adil dan proporsional
menciptakan sengketa baik formal terang-terangan maupun tidak.
Konsentrasi pendanaan pada suatu kelompok memancing bentrok dengan
kelompok lain. Dana setiap lembaga harus dibagi secara adil, legal,
proposional dan transparan agar mengawetkan solidaritas. Kecurigaan
antar kelompok dapat dihindari dan kekompakan individu dapat lestari.
Darma
Istilah
darma sudah sangat akrab dengan telinga kita. Misalnya kata darma
melekat pada darma bakti, darma pertiwi, darma wanita, dan sebagainya.
Kata darma lebih mengacu pada kerja sosial dan nilai perjuangan demi
orang banyak. Setelah orang tercukupi kebutuhan ekonominya, dianjurkan
agar mau bekerja untuk sosial. Bila istri sudah bahagia, anak-anak
telah jadi orang, dan hidup mencapai kemapanan, sebisa-bisanya orang
mengamalkan diri dan hartanya untuk kegiatan sosial nonprofit.
Perhatian kepada dunia materi pelan-pelan harus dikurangi dan
meningkatkan darma. Orang yang banyak darma yang dilakukannya bagi
orang banyak, meskipun sudah mati, namanya tetap harum dan pantas
dikenang. Orang akan menghormati jasa-jasanya sebagaimana pepatah:
harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading,
manusia mati meninggalkan nama.
Dewan Sapta Prabu
Dewan Sapta
Prabu yang berarti dewan raja yang tujuh. Merupakan lembaga yang
memiliki kekausaan tertinggi pada jaman Majapahit. Dewan ini diketuai
oleh raja Majapahit. Dalam sidang ini, mula-mulanya duduk 7 orang
anggota keluarga Sang Prabu dan Permaisuri. Dalam masa pemerintahan
Hayam Wuruk, ditambah dengan dua orang anggota lagi, sehingga menjadi
sembilan orang. Dewan ini mengatur urusan kraton, keluarga raja,
perpindahan mahkota, kedudukan mahkota, dan ketentraman kerajaan.
Dewi Suhita (1429-1447)
Setelah
Wikrama Wardhana meninggal dunia, maka dia digantikan oleh serang
putri, Dewi Suhita. Seperti dikatakan di awal bahwa putra mahkota
meninggal dunia pada tahun 1409. Wikrama Wardhana memang memiliki
saudara laki-laki, yakni Bre Tumapel. Akan tetapi, Suhita dianggap lebih
pantas daripada Bre Tumapel. Ibu Dewi Suhita adalah Bre Mataram,
keturunan Wirabumi dengan Negarawardhani. Dengan demikian, golongan
Wirabumi sangat bersenang hati. Mereka merasa mendapat kesempatan untuk
berkuasa di kraton. Dewi Suhita banyak mengambil punggawa dari pengikut
Wirabumi. Dendam politik ini muncul kembali sehingga akhirnya, Raden
Gadjah yang dahulu membunuh Wirabumi, pada tahun 1433 mendapat
balasannya hingga tewas. Balas-membalas dendam ini rupanya membuat
suasana Majapahit semakin kacau. Dalam suasana demikian, bentangan
tangan Majapahit tidak luas lagi. Kekuasaan Majapahit semakin kecil dan
angkatan laut Majapahit juga mengecil jumlahnya. Yang memerintah
Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu Suhita
(1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa
pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia,
antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan
bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundak-undak di
lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng
gunung Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian,
tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang
memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lain-lain. Di daha ia
digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu
Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Kertabhumi dan merebut
Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan
dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya
memerintah tidak diketahui. Demikian tentang riwayat Majapahit semakin
gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa Majapahit di tahun 1522
masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke
kerajaan Islam di Demak. Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan
yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang
akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di
tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan
oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan
tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan
memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan
lamanya.
Dharmawangsa Teguh
Penerus kraton Medang
selanjutnya setelah Empu Sindok berkuasa adalah Prabu Dharmawangsa
Teguh. Rupa-rupanya Prabu Dharmawangsa Teguh juga seorang raja yang
mumpuni, cakap dan kreatif. Prabu Dharmawangsa Teguh yang memerintah
antara tahun 913-929 Çaka atau 991-1007 Masehi, pustaka sastra Jawa
berkembang pesat sekali. Karya sastra yang diproduksi antara lain Serat
Mahabharata, Uttarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa,
Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa, Mosalaparwa,
Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa, dan Kunjarakarna (Poerbatjaraka,
1995: 7-140). Cerita-cerita parwa ini merupakan derivasi dari ephos
Mahabharata. Kitab Mahabharata dikenal pada masa pemerintahan Prabu
Dharmawangsa. Mahabharata dibagi dalam 18 parwa yaitu: Adi Parwa :
berisi sejarah dan silsilah keluarga Pandawa dan Korawa, Shaba Parwa :
berisi tentang tipu daya Korawa untuk mengenyahkan Pandawa, Wana Parwa :
bercerita tentang pengembaraan para Pandawa dalam hutan, Wirata Parwa :
bercerita tentang penyamaran Pandawa di Kraton Wirata, Udyoga Parwa :
bercerita tentang usaha Pandawa untuk memperoleh haknya atas negara
Hastina, Bhisma Parwa : kisah peperangan Bhisma, Dhorna Parwa : kisah
peperangan Drona, Karna Parwa : kisah peperangan Karna, Salya Parwa :
kisah peperangan Salya, Sauptika Parwa : kisah penyerbuan Aswatama ke
Pandawa, Stri Parwa : kisah para janda pahlawan perang yang meratapi
nasib, Santi Parwa : kisah Wiyasa dan Kresna menghibur Pandawa agar mau
mengatur Hastina, Anusasana Parwa : kisah para Pandawa mendapat ajaran
ilmu pemerintahan, Aswamadika Parwa : kisah Yudhistira dinobatkan
sebagai Maharaja Hastina, Asrama Wasika Parwa : kisah akhir hidup
Destarata, Gendhari dan Kunthi, Mausala Parwa : kisah akhir hidup
Kresna, Mahaprastanika Parwa : kisah akhir hidup Pandawa, Swargarohana
Parwa : kisah masuknya para Pandawa ke dalam surga (Hazim Amir, 1994:
42-43). Serat Baratayuda Jarwa diciptakan Yasadipura I dengan inspirasi
Kakawin Mahabharata dan Kakawin Bharatayudha. Pada masa Prabu
Dharmawangsa Teguh yang bertahta antara tahun 913 – 929 Çaka atau
991-1007 Masehi, pustaka sastra Jawa berkembang sangat pesat. Kraton ini
mengalami musibah besar pada tahun 1016, yang berupa serangan dari
kraton Wora-Wari. Waktu itu yang memerintah adalah Raja Teguh
Dharmawangsa. Dalam serangan dari kraton Wora-Wari itu, raja Sri
Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa jatuh pralaya sampai gugur
dan untuk sementara kratonnya jatuh di tangan musuh. Kurban berjatuhan
dan menimbulkan porak-poranda di dalam istana.
Dhendha
Dhendha
dalam khasanah budaya hukum Jawa berarti hukuman. Ganjaran diberikan
kepada pihak yang berjasa dan dhendha dijatuhkan kepada pihak yang
melanggar aturan. Ganjaran dan dhendha atau hukuman yang setimpal adalah
cermin rasa keadilan. Sangsi yang dikenakan pada pelanggar hukum harus
bersifat edukatif agar suatu saat tidak mengulangi perbuatan serupa
dan bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat agar tidak meniru. Harus
dihindari hukuman pada seseorang yang bersifat memotong, mematikan dan
tidak memberi kesempatan untuk memperbaiki diri, kecuali pada kesalahan
berat yang tidak terampuni lagi. Hal ini dikarenakan oleh suatu
kearifan umum bahwa kebenaran dan kesalahan tidak monopoli suatu
kelompok.
Digdaya Tanpa Aji
Digdaya tanpa aji adalah orang
yang sakti mandraguna tanpa harus memiliki ajian, jimat, atau
benda-benda keramat lainnya. Dia sakti karena dirinya sendiri, bisa
karena kecerdasan, karena ketaqwaan karena keunggulan dalam hubungan
antar manusia dan lain sebagainya. Dengan demikian ia dapat menaklukkan
lawan bukan dengan kekerasan tetapi justru dengan kasih sayang.
Singkat kata, orang yang sakti sebenarnya orang yang sedikit rintangan
dari orang lain. Supaya lepas rintangan maka seseorang itu wajib
memperbanyak sahabat dengan berprinsip bahwa satu musuh sudah terlalu
banyak, apalagi dua. Orang yang menjadi musuhnya tentu akan menghalangi
kemajuannya. Orang yang banyak kawan di sana-sini akan mudah
usahanya. Setiap ada kesulitan di situ pertolongan akan datang tanpa
diundang. Alangkah mulianya orang yang digdaya tanpa aji.
Dupak Bujang
Kelas
bujang 'pelayan atau buruh' cara mengritiknya bisa dengan dupak
'tendangan'. Buruh itu tidak akan peduli apa-apa terhadap kritik keras,
meskipun dengan umpatan dan makian yang kasar. Namun yang penting
upahnya harus tetap dipenuhi. Buruh, jarwo dhosok-nya (akronim) awak
lebur ora weruh 'badan lebur tidak peduli'. Jiwa buruh sama dengan orang
yang semata-mata mengejar upah tanpa menghiraukan harga diri.
Dyah Balitung
Dyah
Balitung adalah maharaja dari kraton Mataram Kuno yang bertahta tahun
898 – 910. Dia masih keturunan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang
terkenal karena telah berhasil dalam mengembangkan seni, bahasa, budaya
dan ilmu pengetahuan (Zoetmulder, 1985). Salah satu karya sastra dari
Dinasti Syailendra ini adalah Kitab Candha Karana, sebuah buku yang
ditulis di atas daun rontal, berisi tentang ajaran moral, seni tembang,
tata bahasa dan kamus. Pada tahun 700 Çaka, Wangsa Syailendra membangun
Candi Kalasan. Pada tahun 782 – 872 dibangunlah sebuah candi megah nan
indah, yaitu Candi Prambanan yang reliefnya memuat kisah Ramayana.
Kraton Mataram Kuno ini mengalami jaman keemasan pada masa pemerintahan
Raja Balitung. Pada tahun 907 Raja Balitung menyelenggarakan pentas
seni besar-besaran, dengan menampilkan pagelaran wayang. Lakonnya Bima
Kumara dan Ramayana. Para dalang yang telah memainkan wayang diberi upah
yang layak sebagai wujud penghargaan atas profesionalitasnya. Raja
Balitung sendiri aktif dalam berolah cipta karya yang berusaha
mengembangkan kemajuan masyarakat. Hal ini merupakan prestasi sang raja
yang bersedia menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual.
Keterlibatan Raja Balitung dalam kreativitas dan sosialisasi cerita Bima
Kumara dan Ramayana sangat dominan.
Empan Papan
Sesuai waktu dan tempat. Cara menyikapi suatu persoalan hendaknya melihat waktu dan tempat.
Empu Dharmaja
Sekalipun
sudah berganti raja, kehidupan karang-mengarang di kraton Kediri tetap
semarak. Empu Dharmaja hidup pada masa pemerintahan Prabu Kameswara yang
bertahta di Kediri antara tahun 1037-1052 Çaka atau 1115-1130 Masehi.
Permaisurinya bernama Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana, putri
dari negeri Jenggala Manik (Poerbatjaraka, 1957: 22). Dalam cerita
Panji, Prabu Kameswara terkenal dengan sebutan Prabu Hinu Kertapati.
Cerita Panji ini berisi kisah romantis antara Panji Asmara Bangun dengan
Dewi Galuh Candra Kirana. Cerita Panji cukup populer di mata masyarakat
Jawa khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya. Hal ini menyebabkan
cerita Panji mengalami banyak varian akibat sering diturunkan dan
disalin dengan disesuaikan oleh suasana politik, waktu, dan keadaan
geografisnya. Karya Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin
Smaradahana dan Kakawin Bhomakawya. Manu (1984) membuat karya tulis
dengan menganalisis secara filologis terhadap eksistensi historisitas
Kakawin Smaradahana. Teeuw (1946) menganalisis Kakawin Bhomakawya juga
dengan pendekatan sastra filologis. Kitab Smaradahana menceritakan
Batara Kamajaya terbakar. Kitab Bhomakawya menceritakan peperangan
antar Prabu Kresna dengan Prabu Bhoma. Dalam cerita pewayangan, lakon
ini terkenal dengan sebutan Samba Juwing, sebuah lakon yang tragis
dan memilukan bagi pemirsanya. Ki Nartosabdo melakonkan Samba Juwing
dengan penuh penghayatan dan dapat membawa emosi penontonnya.
Empu Kanwa
Setelah
menjadi raja, Airlangga tidak lupa terhadap kehidupan sastra budaya.
Raja Airlangga memerintah di Kraton Kahuripan sekitar tahun 941-964 Çaka
atau tahun 1019-1042 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 17). Empu Kanwa
adalah pujangga kraton Kahuripan yang merupakan cendekiawan kesayangan
raja Airlangga. Empu Kanwa menyusun sebuah kitab mahakarya yang sangat
populer, yaitu Arjunawiwaha. Kakawin Arjunawiwaha termasuk sastra adi
luhung sebagai persembahan kepada yang mulia Raja Airlangga yang telah
sukses berjuang memulihkan stabilitas keamanan Negeri Medang antara
tahun 1028-1035. Heroisme raja Airlangga yang mampu membendung serangan
raja Wengker, ditulis dalam sebuah maklumat dengan angka tahun 1042
Masehi (Zoetmulder, 1985: 309). Sebagai karya agung, Kakawin
Arjunawiwaha telah mengalami proses transformasi yang panjang dalam
perkembangan kesusasteraan pewayangan sampai sekarang. Serat Wiwaha
Jarwa, Lakon Begawan Mintaraga dan Lampahan Begawan Ciptowening adalah
cerita yang digubah dari Kakawin Arjunawiwaha. Kitab Arjunawiwaha
merupakan sastra puitis pertama kali yang bertanggal. Bila dipandang
dari sudut komposisi pada umumnya dan gaya bahasanya, maka dalam syair
ini akan dijumpai dengan sebuah contoh mengenai puisi kakawin yang
mencapai puncak kesempurnaan (Zoetmulder, 1985: 302). Kakawin
Arjunawiwaha memberikan metafora heroisme Airlangga dalam perjuangan
ibarat Arjuna yang berhasil memusnahkan perusak jagad, yaitu raksasa
Niwatakawaca yang terkenal angkara murka. Dalam perjuangan itu penuh
dengan godaan baik yang berupa penderitaan atau kenikmatan yang berwujud
bidadari nan jelita. Renungan tentang kehidupan, nilai estetika, etika
filosofis banyak ditemui dalam karya Empu Kanwa itu. Dalam menciptakan
Kakawin Arjunawiwaha itu, Empu Kanwa terlibat aktif saat Airlangga
berjuang, sehingga karyanya itu penuh dengan penghayatan yang mendalam.
Serat Arjunawiwaha termasuk cerita Mahabharata bagian angka
tiga yaitu Wanaparwa. Kitab ini ditulis sekitar tahun 941-964 Çaka
(1019-1042 Masehi). Kakawin Arjunawiwaha sudah diteliti dalam bentuk
disertasi oleh Kuntoro Wiryamartana. Di samping itu dalang-dalang
sekarang juga sering melakonkan cerita itu dengan mengubah judul Lakon
Begawan Mintaraga atau Ciptowening.
Empu Manoguna
Prabu
Warsajaya juga amat peduli dengan kehidupan sastra budaya, sebaagi
tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan
seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu
Warsajaya di kraton Kediri. Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada
bagian yang sama, kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada
hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah
kesayangan Prabu Warsajaya di kraton Kediri. Karya sastra ciptaan Empu
Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab
Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada
(Poerbatjaraka, 1957: 20). Pengaruh India ke dalam sastra Jawa Kuno
memang besar, baik yang bersifat Hinduistis maupun Budhaistis. Hal ini
tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata
bahasa dan sastra Jawa Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa =
kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat
Sumanasantaka menceritakan kelahiran Prabu Dasarata, raja di Ayodya.
Empu Panuluh
Penerus
kepujanggaan Empu Sedah adalah Empu Panuluh. Empu Panuluh juga hidup
pada masa pemerintahan Prabu Jayabhaya. Dia termasuk pujangga ulung yang
produktif dalam menghasilkan berbagai karya sastra adiluhung. Karya
sastra ciptaan Empu Panuluh di antaranya: Kakawin Bharatayudha, Kakawin
Hariwangsa, dan Kakawin Gathotkacasraya. Kakawin Bharatayudha ini
merupakan ciptaan duet pujangga: Empu Sedah dan Empu Panuluh. Syair
Kakawin Bharatayudha sungguh sangat indah. Kakawin Hariwangsa ini berisi
tentang kisah percintaan antara raja Dwarawati dengan Dewi Rukmini dan
dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, yang dipersonifikasikan sebagai
tokoh agung titisan Batara Wisnu. Kakawin Gathotkacasraya ini dibuat
pada tahun 1110 Çaka atau 1188 Masehi setelah mangkatnya Prabu
Jayabhaya, yang selanjutnya kraton Kediri diperintah oleh Prabu
Jayakerta (Poerbatjaraka, 1957: 24-32). Kelebihan Empu Panuluh yang lain
adalah waskitha ngerti sadurunge winarah atau bijaksana mengerti
sebelum diajarkan. Pada masa tuanya dia benar-benar hidup prihatin,
mengurangi makan dan tidur, menghindari kenikmatan jasmani dan menjauhi
kehidupan duniawi, sehingga menjelang ajalnya pun dia sudah tanggap.
Empu Panuluh adalah pujangga yang menghormati pujangga lain dan mampu
bekerja sama antar sesama cendekiawan kraton Kediri. Kepada Empu Sedah
pendahulunya itu, Empu Panuluh banyak memuji. Di sini bisa dilihat
bahwa pada jaman kraton Kediri, transformasi pemikiran berjalan dengan
lancar sesuai dengan rencana kaderaisasi.
Empu Prapanca
Kehidupan
sastra budaya di Majapahit pun juga tampil dengan sangat semarak. Empu
Prapanca hidup pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang bertahta
tahun 1272-1311 Çaka atau 1350-1389 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 39).
Prabu Hayam Wuruk adalah raja Majapahit yang paling terkenal. Pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit mencapai jaman keemasan. Seluruh
kawasan nusantara dipersatukan di bawah panji-panji kraton Majapahit.
Karya Empu Prapanca yang kondang hingga sekarang adalah Kitab
Negarakertagama. Kitab ini menceritakan keadaan kraton Majapahit yang
sudah mencapai jaman keemasan. Empu Prapanca ini membuat Kitab
Negarakertagama pada tahun 1287 Çaka atau tahun 1365 Masehi
(Poerbatjaraka, 1957: 40). Kata pancasila yang dijadikan dasar negara
Indonesia berasal dari Kitab Negarakertagama. Para sejarahwan yang
hendak meneliti masa lalu Kraton Majapahit perlu sekali membaca
Negarakertagama, di samping perlu juga membanding-bandingkan dengan
sumber-sumber dari kitab babad. Slamet Muljono (1971) pernah menerbitkan
buku yang berisi tentang analisis Kitab Negarakertagama beserta
tafsirnya. Nama lain Negarakertagama adalah Dasawarnana. Pada tahun 1894
naskah Negarakertagama ditemukan di Pulau Lombok (Berg, 1962: 204).
Kitab Negarakertagama ditulis oleh Empu Prapanca sekitar tahun 1287 Çaka
atau 1365, pada masa Prabu Hayam Wuruk memerintah Kraton Majapahit.
Kitab lain yang ditulis pada masa Prabu Hayam Wuruk, yaitu Kitab
Arjunawijaya dan kitab Sutasoma atau Purusadasanta. Keduanya karya Empu
Tantular (Poerbatjaraka, 1957: 39-45). Negarakertagama berisi tentang
laporan perjalanan Prabu Hayam Wuruk yang sedang inspeksi ke
daerah-daerah, pedoman tata cara upacara, tuntunan budi pekerti luhur
dan metode mengatur tata pemerintahan yang baik. Serat Arjunawijaya
mengisahkan peperangan antara Prabu Dasamuka dengan Prabu Danaraja dan
Prabu Sri Arjuna Sasrabahu. Serat Sutasoma mengisahkan perjalanan
spiritual seorang pangeran dan putra mahkota kraton Hastina, putra Prabu
Mahaketu yang bernama Raden Sutasoma. Raden Sutasoma adalah titisan
Sang Hyang Budha.
Empu Sedah
Abdi dalem istana Kediri yang
perlu disebutkan di sini yaitu Empu Sedah. Empu Sedah adalah pengarang
Kakawin Bharatayudha pada tahun 1079 Çaka atau 1157 Masehi, dengan
sengkalan berbunyi sanga kuda suddha candrama (Poerbatjaraka, 1957: 24).
Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai.
Kakawin Bharatayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji
Jayabhaya, Jayabhayalaksana atau Sri Warmeswara. Prabu Jayabaya
memerintah di Kraton Kediri atau Daha tahun 1130-1157 Masehi
(Zoetmulder, 1985: 342). Prabu Jayabhaya adalah raja Kediri yang paling
masyur hingga saat ini karena keahliannya dalam dunia paranormal.
Ramalan-ramalannya kerap kali menjadi rujukan untuk memprediksi kejadian
masa depan. Kegigihan Prabu Jayabhaya dalam memajukan lapangan sastra,
budaya dan ilmu pengetahuan tidak dapat diragukan lagi. Suatu tempat
yang diyakini sebagai makam Prabu Jayabhaya di daerah Mamenang dianggap
keramat oleh masyarakat. Empu Sedah mempunyai perasaan yang peka,
terbukti dia tidak sanggup mengungkapkan gagasannya dalam Kakawin
Baratayudha. Kisah perang besar Pandawa – Korawa ini selanjutnya
diteruskan oleh Empu Panuluh. Pada kenyataanya cerita Bharatayudha
memang membawa kepedihan mendalam bagi penontonnya bila dipentaskan
dalam pertunjukan wayang purwa. Oleh karena itu sebagian orang Jawa tabu
untuk menanggap wayang dengan Lakon Bharatayudha, karena diyakini
bisa mendatangkan bencana.
Empu Sindok
Pada tahun 930 pengaruh
kekuasaan Jawa Tengah bergeser ke arah Jawa Timur. Wangsa yang sedang
memerintah semula berkedudukan di Lembah Kali Brantas, bagian hulu.
Pendirinya adalah Empu Sindok, keturunan Raja Jawa Tengah terakhir,
Wangsa Syailendra. Kraton yang baru dibangun itu bernama Medang. Di
sini Empu Sindok meneruskan cita-cita perjuangan leluhurnya, termasuk
dalam bidang kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan. Pada masa
pemerintahan Empu Sindok antara tahun 851-809 Çaka atau 929-947 Masehi,
dikaranglah sebuah kitab Budha Mahayana yang bernama Sang Hyang
Kamahayanikam. Sejaman dengan kitab ini adalah Kitab Brahmandapurana,
sebuah kitab agama Siwa (Poerbatjaraka, 1957: 5-6). J. Kats (1910)
mengatakan bahwa Serat Sang Hyang Kamahayanikam ini banyak berbahasa
Sansekerta yang dideskripsikan dalam bentuk bahasa Jawa Kuno. Cerita
tentang dewa-dewanya mirip dengan relief Candi Borobudur. Serat
Brahmandapurana berisi tentang kosmologi, kosmogoni, sejarah para resi,
dan cerita pertikaian antar kasta (Gonda, 1933: 329). Kraton yang baru
dibangun itu bernama Medang. Empu Sindok boleh dikatakan sebagai kakek
moyang, cikal bakal para raja yang berkuasa di tanah Jawa terutama dari
kraton Jawa Timur. Dari kraton Medang ini kemudian muncul kraton
Kahuripan, Daha, Jenggala, Singosari, dan Majapahit. Kraton-kraton
tersebut sangat termasyur dalam pentas sejarah nasional.
Empu Siwamurti
Pada
masa Majapahit akhir banyak dibuat arca dan relief Bima di Candi Sukuh,
yang menggambarkan cerita Bima Swarga, Bima Bungkus, dan Sudamala
(Stutterheim, 1935: 63). Kitab Nawaruci merupakan karya sastra yang
berbahasa Jawa Tengahan yaitu bahasa yang timbul pada jaman kejayaan
Majapahit. Kitab Nawaruci atau Sang Hyang Tattawajnana ditulis antara
tahun 1500-1619 Masehi oleh Empu Siwamurti (Priyohutomo, 1934: 76).
Kitab Nawaruci ini merupakan karya sastra religius yang terpengaruh
ajaran mistik Hindu. Lahirnya Kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa
penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa.
Mistik Islam yang dikenal oleh masyarakat Jawa pada waktu itu telah
memberikan inspirasi untuk digarap menjadi lakon wayang. Memang dalam
Mahabarata cerita tentang Dewaruci tidak pernah dijumpai, namun ada
cerita India yang mirip dengan Dewaruci yaitu kisah Markandeya yang
mengarungi samudera. Dalam samudera raya itu, Markandeya menemukan
seorang anak kecil dan meminta agar Markandeya masuk ke dalam tubuhnya
untuk melihat seluruh isi alam semesta. Dalam cerita Markandeya itu
disebutkan bahwa anak kecil itu adalah Narayana sebagai penjelmaan Dewa
Wisnu. Dalam cerita Markandeya itu nama Bima sama sekali tidak
disebutkan (Wibisono, 1996: 33). Namun demikian, kerangka plot ceritanya
termasuk sumber inspirasi bagi kreatifitas sastrawan lain. Diceritakan
oleh Sumarti Suprayitno dalam Serat Nawaruci, Bima berguru kepada
Pendeta Drona dengan harapan dia memperoleh air kehidupan. Atas saran
Drona, Bima meninggalkan negeri Gajahoya untuk mendatangi Sendang
Dorangga. Namun di situ Bima hanya bertemu dengan dua ekor ular.
Kemudian Bima bertarung sengit dengan dua ekor ular itu. Setelah
berhasil dikalahkan Bima, kedua ekor ular itu berubah wujud menjadi
bidadari Surasembada dan bidadari Harsanadi (Suprayitno, 1985: 2-3).
Selanjutnya Bima pergi ke wilayah Andadewa untuk mendapatkan air
kehidupan. Hanya saja, di sana dia cuma bertemu dengan raksasa
Indrabahu. Bima dan Indrabahu salah paham dan akhirnya kedua belah pihak
berkelahi. Peperangan yang sengit itu dimenangkan oleh Bima.
Terbunuhnya Indrabahu berubah wujud menjadi Bathara Indra. Pencarian air
kehidupan dilanjutkan oleh Bima. Dicarilah ke Lawana Udadhi atau laut
asin, setelah terlebih dahulu mohon ijin kepada ibu dan para saudaranya.
Dalam Lawana Udadhi itu Bima menenggelamkan diri dan bertemu dengan
Nawaruci. Nawaruci membawanya ke sebuah pulau. Di sana Bima mendapat
bermacam-macam wejangan dari Nawaruci. Bima kemudian berganti menjadi
Awirata dan selanjutnya dia meninggalkan pulau tersebut di bawah naungan
Nawaruci. Bima lalu menuju ke Siwamurti, tempat air kehidupan yang
dikawal oleh Raja Panulah. Dengan sekuat tenaga, Bima berusaha merebut
air tersebut. Dia dikejar oleh sembilan dewa. Atas restu dan bantuan
Nawaruci, Bima berhasil mendapatkan air kehidupan. Air kehidupan yang
penuh khasiat itu diserahkan kepada Drona. Kebaikan hati Bima itu masih
dicela oleh Drona. Drona belum yakin akan khasiat air tersebut. Melihat
kelakuan Drona demikian, Nawaruci mengutuknya sehingga dia terlempar
jatuh ke tengah samudera. Bima nantinya berganti nama menjadi
Angkusprona. Dia lalu bertapa di Pertiwijati. Di sini dia mampu
mengalahkan segala godaan dari Siwa. Akhirnya, Bima disucikan penuh
wibawa dan perkara berkat semedinya (Suprayitno, 1985: 2-3). Kitab
Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo pada
tahun 1934. Dalam disertasi itu dikemukakan perbandingan antara Kitab
Nawaruci dengan Kitab Dewaruci. Kesimpulannya adalah bahwa Kitab
Nawaruci itulah yang menjadi sumber dari Lakon Dewaruci yang semakin
populer dalam dunia pewayangan (Wibisono, 1996: 33). Serat Nawaruci
banyak mengandung unsur Hindu sedangkan Serat Dewaruci mulai ditambah
dengan unsur Islam.
Empu Tantular
Sebagai negara yang besar
dan terkenal Majapahit tidak ketinggalan dalam hal dunia nonmaterial
termasuk di dalamnya kesusastraan, kesenian dan kebudayaan. Peradaban
dibangun secara serius yang juga mendapat perhatian dari pihak kraton.
Empu Tantular juga abdi kraton Majapahit, semasa pemerintahan Prabu
Hayam Wuruk, Prabu Hayam Wuruk memang raja yang ahli politik,
pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan menjadi pelindung kegiatan sastra
dan budaya, sebagaimana yang tercantum dalam Serat Negarakertagama.
Karya sastra yang diciptakan oleh Empu Tantular di antaranya : Kakawin
Arjunawijaya, Kitab Sutasoma atau Purusadasanta dan Partayadnya
(Poerbatjaraka, 1957: 40-47). Kitab karya Empu Tantular diciptakan
antara tahun 1365-1389 (Zoetmulder, 1985: 430). Kitab Arjunawijaya telah
dianalisis oleh Supomo tahun 1971 dalam bentuk disertasi yang
dipertahankan di Australian National University. Ungkapan mutiara yang
terpampang dalam burung garuda yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika juga
dikutip dari Kitab Sutasoma ini. Empu Tantular pujangga Majapahit yang
beragama Budha, Empu Prapanca beragama Hindu, Empu Tantular beragama
Budha, namun kedua umat beragama ini pada jaman Majapahit dapat hidup
rukun, bekerja sama, dan damai berdampingan. Pada jaman Majapahit
perkembangan kesusasteraan juga pesat, di antaranya: Nitiçastra,
Nirarthaprakreta, Dharmaçunya, Hariçraya, Tantu Panggelaran,
Korawaçrama, dan Pararaton. Kitab-kitab ini ada yang berbahasa Jawa Kuno
dan Jawa Tengahan. Suburnya karya sastra bermutu menunjukkan masyarakat
pada jaman Majapahit betul-betul mempunyai peradaban yang maju. Pejabat
Majapahit tentu sadar arti penting sastra dalam pembentukan pribadi
yang humanis. Warisan spiritual dari Majapahit yang patut disyukuri oleh
bangsa Indonesia sekarang yaitu kata mutiara bhineka tunggal ika,
sebuah ungkapan luhur yang dapat mengokohkan persatuan dan kesatuan
nasional. Demikian pula bendera dengan warna gula kelapa yang berarti
merah putih simbol keberanian dan kesucian. Itulah pendidikan
kenegarawanan Majapahit yang akan dikenang sepanjang masa dan perlu
diturunkan dari generasi ke generasi.
Empu Triguna
Kraton
Kediri dulu memang gemar membina cendekiawan untuk berulah cipta sastra.
Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Warsajaya di Kediri
pada tahun 1026 Çaka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu
Warsajaya ini juga menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan
dinamika sastra dan budaya. Pengarang-pengarang yang berbakat diberi
fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya. Karya sastra yang telah
diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin
Kresnayana ini dalam pewayangan populer dengan Lakon Kresna Kembang atau
Narayana Maling. Ki Nartosabdo pernah mementaskan Lakon Kresnayana
dengan diganti judul menjadi Lakon Alap-Alapan Rukmini. Cerita
Kresnayana ini bisa diperbandingkan dengan relief di Candi Penataran,
Blitar, Jawa Timur.
Empu Yogiswara
Empu Yogiswara adalah
pengarang Kakawin Ramayana pada tahun 825 Çaka atau 903 Masehi. Beliau
hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung tahun 820-832 Çaka atau 898 –
910 Masehi.
Esem Bupati
Kelas yang selevel dengan bupati cara
mengritiknya cukup dengan esem 'senyuman'. Oleh karena itu seorang
bupati harus tanggap terhadap eseman rakyatnya. Kalau eseman ini saja
tidak juga ditanggapi, maka rakyat akan lebih runyam lagi dengan
memasyarakatkan kata-kata plesetan. Budaya plesetan ini boleh jadi
merupakan ekspresi puncak dari kritikan rakyat yang sudah tidak
tahan lagi terhadap sesuatu yang kurang berkenan di hatinya.
Gemah
Kata
gemah dalam jagat pakeliran berkaitan dengan kesibukan orang berniaga.
Perdagangan merupakan kegiatan perekonomian yang sangat penting. Suatu
negara yang lancar dan aman proses perdagangannya, pertanda di situ
ekonomi berjalan dengan baik dan dinamis. Pertukaran barang membuat
kehidupan menjadi bergairah dan hal ini erat hubungannya dengan
semangat kerja. Etos kerja dapat dirangsang dengan imbalan yang
memadai. Dunia perdagangan yang gemah menjanjikan hal itu. Siang malam
orang berjualan dan berniaga di pasar tidak lelah dan tidak mengantuk.
Dalam benak mereka adalah penghasilan yang bisa menghidupi dan
menyejahterakan sanak keluarga. Hujan panas tidak merongrong usahanya
untuk maju dan berkembang. Oleh karena itu wilayah kewajiban negara yang
sangat vital adalah mewujudkan keamanan perdagangan.
Gemi
Gemi
mengandung makna hemat, cermat dan bersahaja. Orang yang selalu gemi
selalu menghitung-hitung segala pengeluaran agar dapat efektif dan
efisien. Sikap gemi sama sekali berbeda dengan gaya hidup yang tamak
dan pelit. Tindakan gemi dilandasi oleh perhitungan bahwa
mengumpulkan harta itu tidak gampang. Peras keringat banting tulang pun
kadang-kadang masih gagal juga. Oleh karena itu gaya hidup
kemewah-mewahan, boros dan menghambur-hamburkan uang sangat
bertentangan dengan sikap hidup gemi. Harus dihindari anggapan hidup
boros akan mengundang rasa hormat dari orang lain. Sebenarnya sikap gemi
merupakan tindakan yang berprinsip ekonomi berdasarkan pemikiran yang
rasional, tepat sasaran dan tak mengundang kecemburuan.
Genthong kendhi
Genthong
dan kendhi merupakan simbol wadah rejeki. Kalau genthong kendhi
hampa, akan ditafsirkan keluarga petani itu akan lamban dan lambat dalam
memperoleh rejeki. Selain itu wadah yang kering juga membuat suasana
panas yang memudahkan hari untuk marah. Prinsip perempuan Jawa
terhadap kedudukan suami adalah suwarga nunut neraka katut, yaitu
suami yang jaya akan sekaligus meningkatkan kejayaan istri. Sebaliknya
suami yang jatuh, maka istri pun pasti juga merasakan kesengsaraan.
Goroh Growah
Goroh
artinya bohong, growah artinya luka, lecet, terbelah. Orang yang
berbohong lama-lama akan erosi kepercayaan dirinya. Orang yang
berbohong sekali, maka dia akan dituntut untuk berbohong lagi untuk
menutupi kebohongannya yang pertama. Bohong keduanya harus lagi
ditutupi dengan kebohongan berikutnya secara berkelanjutan. Pada suatu
saat, entah karena lupa, ceroboh, atau terlalu bodoh, maka dramanya akan
terasa janggal, simpang siur dan akhirnya akan terbongkar. Sejak itu
orang akan lepas kepercayaan dengan dirinya, meskipun omongannya tetap
nyaring namun orang lain minimal akan senyum dalam hati. Untuk diajak
kerjasama maka orang lain akan mulai pasang kuda-kuda untuk menolaknya.
Seandainya mau ia akan memperhitungkan dengan lebih cermat untung
ruginya.
Gotong Royong
Gotong-royong adalah kerja sosial yang
besar dan berat tetapi terasa ringan dan riang karena ditangani orang
banyak secara ramai-ramai. Masing-masing warga masyarakat terlibat
sesuai dengan profesi dan kemampuannya. Rasa memiliki terhadap
eksistensi negara semakin lekat dalam hati sanubari kalau warganya ikut
serta dalam mengelola negara. Gotong royong merupakan cara paling
mudah untuk memobilisasi partisipasi warga negara sehingga pemecahan
persoalan mudah dilakukan. Kehidupan masyarakat tradisional biasanya
semangat gotong royong terasa lebih kuat. Hubungan antar individu tidak
dilandasi semata-mata oleh karena untung rugi material. Hidup
memerlukan kebersamaan untuk mencapai keselarasan dan kebahagiaan.
Gremat-Gremet Waton Slamet
Gremat-gremet
berarti merayap pelan-pelan. Waton slamet berarti asal selamat.
Gremat-gremat waton slamet berarti biar lambat dalam melakukan suatu
pekerjaan secara lahiriah namun yang penting selamat. Misalnya dalam
mengendarai kendaraan biarlah agak lambat sedikit yang penting selamat
sampai tujuan. Dalam dunia karir seseorang perlu menerapkan prinsip ini.
Lawan politik selalu berusaha mencari titik lemah rivalnya dan mudah
untuk dijatuhkan. Oleh karena itu prinsip keselamatan sangat diperlukan
walaupun harus berjalan dengan lambat. Orang yang tidak mau berprinsip
seperti ini, inginnya segera naik jabatan dan memiliki kekayaan tertentu
akan mengambil jalan pintas seperti korupsi dan kolusi yang jika
ketahuan justru menjadi hancur karirnya. Hanya saja, gremat-gremet
menuntut pelakunya terampil agar berakhir baik dan membahagiakan.
Kalau tidak seseorang akan mengatakan lambat dan bodoh. Penampilan
seperti itu perlu dihindari.
Gugur Gunung
Gugur gunung
mempunyai makna kerja sosial yang harus dilakukan secara bersama-sama
untuk menyelesaikan kerja yang mahaberat seolah-olah seperti
meruntuhkan gunung. Menilik namanya, gugur gunung berarti menghancurkan
gunung. Mustahil jika seorang diri mampu merobohkan gunung yang besar.
Istilah gugur gunung memberi inspirasi dan spirit kepada orang
banyak agar tidak silau terhadap pekerjaan yang sangat berat. Mungkin
dapat dipersamakan dengan ungkapan: berat sama dipikul ringan sama
dijinjing, sebuah ungkapan luhur yang menekankan kebersamaan. Dalam
wayang lakon Rama Tambak, diceritakan pasukan kera membuat tambak
'jembatan' di samudra raya untuk menghubungkan Kerajaan Gua Kiskenda
dengan Kerajaan Alengka. Pekerjaan yang sangat dahsyat itu ternyata
bisa diselesaikan oleh para kera dengan semangat gugur gunung.
Guna
Guna
mempunyai makna pandai, indah dan bermanfaat. Orang yang guna atau
pandai, tingkah lakunya serba indah dan bermanfaat bagi orang lain.
Kagunan mempunyai arti kepandaian. Kagunan langen, kagunan beksa mrih
luhuring budaya. Kesenian, tari-tarian dan keindahan dapat menjunjung
tinggi keluhuran suatu bangsa. Kagunan yang sudah menjadi tradisi dan
mengakar kuat dihargai oleh sesama bangsa. Sejak dini usaha pengenalan
dan apresiasi terhadap kagunan perlu dilakukan. Apabila masing-masing
warga merasa memiliki maka bangsa itu akan punya harga diri dan percaya
diri yang tinggi.
Gusti Allah
Orang Jawa menyebut Tuhan dengan
istilah Gusti Allah. Dua istilah ini merupakan gabungan dari kata
bahasa Jawa dan bahasa Arab. Kata Gusti dalam bahasa Jawa berarti
pihak yang dihormati, dijunjung, dipundi-pundi dan diharapkan dapat
memberikan pengayoman dan perlindungan. Kata Gusti di sini bersifat
teologis. Dengan demikian harus dibedakan dengan kata Gusti yang
bersifat sosiologis seperti Gusti Prabu, Gusti Ratu, Gusti Pangeran yang
merupakan gelar kebangsawanan. Sedangkan kata Allah adalah adopsi dari
kata Arab yang berarti nama diri Tuhan dalam agama Islam, karena orang
Jawa mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Bahkan kalau dihitung
secara kuantitatif Suku Jawa termasuk etnis terbesar di dunia yang
beragama Islam. Oleh karena seseorang yang memahami seluk beluk
kehidupan orang Jawa tidak pernah akan berhasil tanpa menyertakan
analisis yang berkaitan dengan perkembangan Islam di Indonesia.
Antara paham Hindu Buda dengan tasawuf Islam dengan mistik kebatinan
Jawa banyak unsur persamaaannya. Bagi kalangan orang Jawa yang menganut
agama Kristen, menyebut kata Gusti Allah juga bukan sesuatu yang asing.
Apalagi antara Islam dan Kristen masih satu rumpun. Maka ketika
keduanya berkembang di tanah Jawa mudah sekali beradaptasi. Lebih dari
itu keterbukaan dan toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda
tidak sulit dilakukan.
Guyub
Guyub berarti perasaan suka rela
untuk menggabungkan diri sehingga dicapai sebuah kekompakan dalam
melakukan aktivitas kerja. Contohnya orang yang sedang punya hajat di
pedusunan, maka para tetangga dan karib kerabatnya akan dengan sukarela
membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Dalam peristiwa hajatan
atau duwe gawe, teman-teman sejawat akan membantu dana, daya dan
pikiran. Mereka justru merasa bersalah jika sampai tidak bisa
membantu. Sebegitu penting makna guyub, terutama bagi orang Jawa,
sehingga banyak orang yang sengaja membuat paguyuban dengan beraneka
ragam kegiatan. Biasanya paguyuban tidak berpikir untuk soal-soal
rumit.
Hamengku Buwana I
Sri Sultan Hamengku
Buwana I memerintah kraton Yogyakarta antara tanggal 13 Pebruari 1755 –
24 Maret 1792. Sebelumnya menjadi Sultan Yogyakarta, beliau bergelar
Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah putra Sunan Amangkurat
IV (1719 – 1726). Konflik Kasunanan Surakarta bermula pada masa
pemerintahan Sunan Paku Buwana yang bertahta antara tahun 1726 – 1749.
Pihak oposisi dipimpin oleh Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi
(Ricklefs, 1995). Perjanjian Giyanti disebut juga Babad Paliyan Negara,
membagi kraton Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Dalam Perjanjian Salatiga, Surakarta dibagi lagi dengan adanya Pura
Mangkunegaran. Kraton Yogyakarta pun akhirnya juga pecah dengan adanya
Pura Paku Alaman. Semenjak menjadi Sultan Hamengku Buwana I, beliau
aktif mengembangkan seni tari, antara lain yaitu: Beksa Lawung, Beksa
Sekar Medura, Beksa Wayang, Beksa Tameng, Wayang Wong. Seni tari yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana I bersifat gagah berani, berjiwa
kepahlawanan, sesuai dengan bakat Pangeran Mangkubumi sebagai pimpinan
prajurit yang tangguh. Dalam Babad Giyanti figur Pangeran Mangkubumi
digambarkan sebagai seorang satria agung yang tampan, cerdas, orator dan
cekatan. Penggambaran tokoh-tokoh dalam Babad Giyanti sangat hidup dan
menakjubkan.
Hamengku Buwana II
Hamengku Buwana II naik tahta
antara 2 April 1792 – 28 Juni 1812 di Kraton Ngayogyakarta. Pada saat
menjadi raja, beliau menentang kebijaksanaan Gubernur Jenderal Daendels,
yang dianggapnya kurang tahu adat tata krama. Pada bulan Desember 1810,
Daendels mengepung istana Yogyakarta dengan pasukan sebanyak 3200
orang. Daendels memaksa Sultan Hamengku Buwana II agar turun tahta.
Penggantinya adalah putranya, Hamengku Buwana III (1810 – 1811). Pada
tahun 1911 juga Hamengku Buwana II naik tahta lagi. Setahun kemudian
pada masa pemerintahan Raffles, Hamengku Buwana II diturunkan dari
tahtanya lagi. Bahkan beliau dibuang ke Pulau Penang. Kemudian yang
menjadi raja adalah putranya kembali, Hamengku Buwana III (Ricklefs,
1995). Pergolakan intern kraton Yogyakarta terjadi antara Hamengku
Buwana II dengan saudaranya, Pangeran Natakusuma. Pada akhirnya
Natakusuma melepaskan diri dari kesultanan dan mendirikan Pura Paku
Alaman dan beliau menjadi adipatinya yang pertama dan bergelar menjadi
KGPAA Paku Alam I (1813 – 1819). Karya sastra ciptaan Sultan Hamengku
Buwana II adalah Serat Surya Raja, yang menceritakan alegoris tentang
dua kraton yang kemudian bersatu di bawah pimpinan seorang raja. Serat
Surya Raja ini digubah oleh menantu Sultan, Raden Tumenggung Jayengrat,
dengan judul Babad Kraton. Hamengku Buwana II naik tahta lagi tahun
1826 – 1828 setelah dipulangkan dari pengasingan di Ambon, dengan tujuan
untuk merayu perjuangan Pangeran Diponegoro (1925 – 1930). Nampaknya
usaha Belanda ini kurang mendapat keberhasilan.
Hamengku Buwana IX (1912 - 1988)
Sri
Sultan Hamengku Buwana IX lahir tanggal 12 April 1912 di Yogyakarta.
Nama kecilnya adalah Raden Mas Dorodjatun. Beliau putra Sri Sultan
Hamengku Buwana VIII. Pendidikan beliau adalah : Taman Kanak-kanak
Trobel di Yogyakarta, Eerste Europeesche Lagere School Bisnis di
Yogyakarta, Neutrale Europeesche Lagere School di Yogyakarta, Gymnasium
Haarlem di Semarang, Leiden Rijks Universiteit di Belanda. Kariernya
yaitu : Sultan Yogyakarta 1940 – 1988, Gubernur DIY 1945 – 1988, Menteri
Negara 1945, Menteri Pertahanan 1948, Wakil Presiden 1973 – 1978. Karya
tarinya yaitu : Beksan Rara Ruruh, Rara Branyak, Prabot Dhusun, Umar
Maya – Umar Madi, Beksan Cinten, Sapta Bedhaya Manten, Wayang Golek
Menak, Joget Benawa. Beliau wafat pada tanggal 3 Oktober 1988 di kota
Washington DC Amerika Serikat. Sultan Hamengku Buwana IX telah
mewariskan budaya politik yang damai, keselasaran antara dunia modern
dengan tradisional, seni yang kreatif, diplomasi yang meyakinkan,
sikap demokrat dan merakyat, serta pembina organisasi sosial dan
olahraga yang patut diteladani.
Hyang Maha Widi
Kata Widi
berasal dari bahasa Sansekerta wed = tahu, weda = petunjuk, widya =
pengetahuan, Widi= Yang Mengetahui. Hyang Maha Widi bisa diberi makna
Yang Maha Mengetahui. Gusti Allah ora sare, pirsa satindak tanduk titahe
bermakna bahwa Tuhan tidak tidur, mengetahui segala perilaku
hamba-Nya. Oleh karena orang Jawa mudah pasrah sumarah, sabar narima
pada takdir Tuhan. Namun demikian sikap penerimaannya ini juga positif.
Bagi orang yang sejak lahir sudah miskin, mereka tidak mudah cemburu
dengan si kaya. Semua kehidupan mung saderma nglampahi.
Hyang Manon
Arti
Hyang Manon adalah Yang Maha Melihat. Segala tingkah laku manusia
dilihat dan terlihat oleh Tuhan. Baik buruk kelakuannya nanti akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan dibalas dengan balasan yang
setimpal. Kesadaran orang Jawa bahwa Tuhan Maha Melihat akan mencegah
dari perbuatan buruk meskipun orang lain tidak ada yang menyaksikan,
dia akan merasa diawasi oleh Tuhan di mana dan kapan pun. Orang akan
malu berbuat jahat biar pun tidak ada yang mengawasi.
Hyang Suksma Adiluwih
Hyang
Suksma Adiluwih artinya adalah Tuhan Yang Maha Lebih. Segala yang ada
di dunia ini selalu di bawah keberadaan Tuhan. Dengan mengakui Yang Maha
Lebih ini, orang Jawa menghindari sikap sombong. Sebaik-baik makhluk
dan sehebat-hebat ciptaan masih amat jauh dibanding dengan kekuatan
yang menciptakan. Singkat kata antara makhluk dengan yang menciptakan
memang tidak bisa dibandingkan.
Ingkang Akarya Jagad
Secara
keseluruhan makna Ingkang Akarya Jagat adalah yang membuat dunia. Alam
raya seluruhnya ini diyakini oleh orang Jawa bahwa ada yang
menciptakan. Ilmu sangkan paraning dumadi menunjukkan asal-usul
kehidupan dan tujuannya. Dunia pasti ada awalnya dan ada akhirnya. Namun
Sang Pencipta tanpa awal akhir, karena awal akhir hanya menguasai
makhluk.
Ingkang Murbeng Gesang
Arti Ingkang Murbeng Gesang
adalah yang menguasai kehidupan. Kepasrahan kepada yang menguasai hidup
ini membuat orang Jawa tidak risau terhadap segala jenis perubahan
sosial yang sedang terjadi. Dalam logika sederhana, penguasa pesti
memiliki kasih sayang terhadap yang dikuasai atau makhluknya. Duka
nestapa selalu dipahami sebagai ganjaran dari Ingkang Murbeng Gesang.
Jagong
Jagong
sebenarnya mempunyai arti duduk. Orang yang sedang jagong berarti
sedang duduk-duduk. Pengertian itu menjadi bergeser dengan makna
orang yang sedang mendatangi pesta pernikahan, khitanan, atau orang
yang baru saja melahirkan. Biasanya jagong itu dilakukan oleh
bapak-bapak atau ibu-ibu dengan berkumpul di rumah sahibul hajat untuk
ikut bergembira atau memberi doa restu kepadanya. Kegiatan jagong
dalam hal tertentu kerap dilakukan semalam suntuk atau lek-lekan. Dalam
masyarakat pedusunan tradisi jagong adalah hal yang lumrah. Bahkan
acara jagong itu merupakan sarana interaksi sosial dan rekreasi yang
murah, mudah dan meriah.
Jangka Jangkah
Jangka mempunyai makna
cita-cita, ramalan, prediksi dan antisipasi yang mengandung pengertian
menatap masa depan. Jangkah berarti melangkahkan kaki atau mulai
melangkah. Kemajuan hanya dapat dicapai dengan tangan kumrembyah, suku
jumangkah, 'tangan yang aktif dan kaki yang berjalan'. Daya upaya yang
dikerahkan akan membuat lebih dinamis dan produktif. Ada istilah sapa
obah mamah 'siapa yang bergerak mengunyah’, menunjukkan pentingnya
seseorang untuk berusaha. Cita-cita untuk menuju kesejahteraan tidak
akan tercapai mana kala orang cuma berpangku tangan, bertopang dagu dan
ogah-ogahan. Keberuntungan lebih mulia diusahakan daripada sekedar
kebetulan.
Jatmika
Jatmika adalah segala tindak-tanduk yang
berdasarkan kaidah kesusilaan, sehingga siapa saja yang menyaksikan
akan berkenan dalam hati. Dalam posisi apa pun, sikap jatmika
senantiasa membawa rasa wibawa, segan dan hormat. Bagi kalangan
bangsawan, ningrat atau priyayi, sikap jatmika akan menimbulkan rasa
simpati buat rakyat kecil. Kekaguman rakyat kecil terhadap kelas atas
karena tingkah laku yang jatmika ini. Sikap ini membuat rakyat kecil
menaruh kepercayaan. Kepercayaan termasuk modal yang ampuh untuk
menerapkan wewenang. Rakyat kecil mudah terhipnotis oleh wibawa
jatmika sang pemimpin. Sebagai contoh adalah yang ditunjukkan oleh
Presiden Soekarno. Hingga sekarang, kharisma beliau terpancar
seolah-olah beliau masih hidup dan memberikan semangat juang.
Jenang
Jenang
artinya bubur atau makanan. Arti kiasnya adalah bawah orang yang
memiliki jeneng 'nama' yang kokoh secara otomatis ia akan mendapat
jenang 'nafkah'. Jeneng harus didahulukan daripada jenang. Jangan
sebaliknya minta jenang dahulu. Nanti menimbulkan kecemburuan dan
kecurigaan. Kalau jeneng didapat, tidak usah minta-minta, jenang akan
datang dengan sendirinya. Boleh jadi jenang itu diperoleh dalam
jumlah yang berlipat-lipat dari yang diharapkan. Prinsip ini seharusnya
dipegang oleh kaum profesional yang benar-benar menekuni pekerjaan atau
usahanya. Perusahaan yang memiliki modal besar dimulai dengan berlaku
hemat. Tanpa harus mengorbankan nama baik. Dari situ modal bertambah
dan perusahaan berkembang.
Jeneng
Jeneng artinya nama. Orang
yang kondang artinya orang yang memiliki nama baik dan integritas yang
diakui. Istilah Jawanya adalah kondang kaonang, kaloka, kawentar,
kuncara, kaceluk atau tenar. Nama baik dan harum seseorang diperoleh
melalui perjuangan yang gigih. Apalagi kalau perjuangannya itu demi
kesejahteraan orang banyak. Massa akan mengingat jasa-jasanya, meskipun
dia sudah tiada. Contohnya adalah nama besar Ki Hajar Dewantara,
Cokroaminoto, Soekarno, Ahmad Dahlan dan lain sebagainya. Mereka
mempunyai jeneng yang sugeng atau langgeng. Keabadian namanya memang
sudah layak dengan perjuangannya. Bahkan sebagian besar dari mereka
tidak menikmati jerih payahnya.
Jinawi
Kata jinawi dalam
jagat pakeliran berarti apa yang dibeli harganya serba murah. Kebutuhan
hidup sehari-hari dapat dijangkau oleh masyarakat secara mudah.
Kesenjangan daya beli antara si punya dan si tidak punya tidak terlampau
lebar. Kecemburuan sosial yang berkaitan dengan daya beli membuat
orang yang merasa tidak mampu akan berbuat nekad agar dirinya dapat
mengejar ketertinggalan. Orang mau menjambret, mencopet, maling,
merampok dan merompak karena dengan jalan lumrah dirinya tidak bisa
memperjuangkannya. Negara yang memperoleh predikat jinawi, rakyatnya
akan ramah dan murah senyum. Tegur sapa sesama bukan barang mahal dan
lebih penting lagi masyarakat akan mulai memikirkan cara memaknai hidup
entah dengan berkesenian atau mengembangkan pemikiran ilmiah religius.
Kagem Negara
Orang
Jawa sangat menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
lembaga yang namanya negara. Loyalitas mereka terhadap hukum dan
pemerintah atau negara sebagaimana tercermin dalam idiom formal
mereka: desa mawa cara negara mawa tata 'desa dengan adat istiadat,
negara dengan undang-undang'. Asal demi negara, apapun yang dimiliki
bila diminta akan diserahkan. Meskipun secara material mereka sering
dirugikan, namun rasa ruginya itu akan terobati oleh ungkapan kagem
negara. Setia pada pemerintah atau pamong praja akan mendatangkan
berkah karena pemerintah dianggab sebagai lembaga yang bertanggung
jawab dalam memelihara dan mengupayakan tatanan sosial yang gemah ripah
loh jinawi karta raharja.
Kakawin Negara Kertagama
Karangan
Empu Prapanca pada tahun 1365 H. Kitab Negara Kertagama ini menceritakan
kemegahan Negeri Majapahit ketika raja Prabu Hayam Wuruk dan Mapatih
Gajah Mada berkuasa. Kitab ini merupakan intan berkilauan dalam
perpustakaan kita karena berasal dari kerajaan Indonesia kuno, ketika
matahari kebesaran nusantara bersinar terang. Kitab itu telah disalin
berulang kali. Salah satunya bagiannya adalah tiga syair yang telah
dibaca ahli sejarah berulang-ulang. Si pembaca sangat terharu akan isi
dan ikatan bahasanya yang memukau. Kitab ini merupakan testamen politik
Gajah Mada, goresan tinta sejarah yang sangat bernilai harganya. Syair
itu berisi bahwa wilayah nusantara di bawah lindungan Majapahit meliputi
delapan wilayah besar, yakni :
1. Seluruh Jawa, meliputi : Jawa, Madura, Galiyao (Kangean – Bawean)
2.
Seluruh Pulau Andalas atau Sumatra, meliputi : Lampung, Palembang,
Jambi, Karitang (Indragiri), Muara Tebo, Darmasraya (Sijunjung),
Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rekan, Kampar, Pane, Kampe, Haru,
Mandailing, Tamiang, Perlak, Barat (Aceh), Lawas (Padang Lawas), Samudra
(Aceh), Lamuri, Bantam, Barus.
3. Seluruh Pulau Tanjungnegara
atau Kalimantan, meliputi : Kapuas, Katingin, Sampit, Kutalingga
(Serawak), Kota Waringin, Sambas, Lawai (Muara Labai), Kedangdanan
(Kendangwangan), Landak, Samedang (Simpang), Tirem (Penireman), Sedu
(Serawak), Brunei, Kalka Saludung, Solot (Solok, Sulu), Pasir, Barito,
Sebuku, Tabalong (Amuntai), Tanjung Kutai, Malanau, Tanjungpuri.
4.
Seluruh Semanjung Melayu atau Malaka, meliputi : Pahang, Hujung
Medini (Johor), Lengkasuka (Kedah), Saimwang (Semang), Kelantan,
Trengganu, Nagor (Ligor), Pakamuar (Pekan Muar), Dungun (Trengganu),
Tumasik (Singapura), Sang Hyang Hujung, Kelang (Negeri Sembilan), Kedah,
Jere (Jere, Patani), Kanjap (Singkep), Niran (Karimun).
5.
Seluruh Sunda Kecil, meliputi : Bali, Bedulu, Lwagajah (Negara), Gurun
(Nusa Penida), Taliwang (Sumbawa), Sapi (Sumbawa), Sang Hyang Api
(Gunung Api Sangeang), Bima, Seram, Hutan (Sumbawa), Kedali (Buru),
Gurun (Gorong), Lombok Mirah (Lombok Barat), Sasak (Lombok Timur),
Sumba, Timor.
6. Seluruh Slawesi, meliputi : Bantanyan
(Bontain), Luwu, Udamakaraja (Talaud), Makasar, Buton, Banggai, Kunir
(Pulau Kunyit), Salaya, Solor.
7. Seluruh Maluku, meliputi : Muara (Kei), Wandan (Banda), Ambon, Ternate.
8. Seluruh Irian Barat, meliputi : Onin (utara), Seran (Selatan).
Kakawin Ramayana
Kakawin
Ramayana merupakan terjemahan karya sastra ciptaan pujangga Hindu,
Walmiki, pada permulaan masehi. Kitab Ramayana terdiri dari 7 kandha dan
24.000 seloka. Ketujuh kandha dalam Kakawin Ramayana tersebut adalah
sebagai berikut: Bala Kandha, berisi cerita tentang Prabu Dasarata, raja
di negeri Kosala yang beribukota di Ayodya. Dalam Lakon Sayembara
Widekadirja atau Sayembara Mantili, Dewi Sinta, putri Prabu Janaka
disunting oleh Rama; Ayodya Kandha, berisi kisah Rama, Sinta dan Lesmana
yang disingkirkan di hutan Dandaka (Lakon Rama Tundhung); Aranya
Kandha, berisi kisah Sinta yang diculik Rahwana (Lakon Rama Gandrung);
Sundara Kandha, berisi tentang cerita kepahlawanan Anoman yang berhasil
berjumpa dengan Dewi Sinta di Alengka (Lakon Anoman Duta); Kiskendha
Kandha, berisi kisah tentang bala tentara Rama yang menyeberangi samudra
untuk menuju ke Alengka (Lakon Rama Tambak); Yudha Kandha, berisi kisah
peperangan antara tentara Alengka dengan tentara Rama, yang berakhir
dengan kembalinya Rama Sinta ke Ayodya (Lakon Brubuh Alengka); Uttara
Kandha, berisi kisah Rama Sinta setelah kembali ke Ayodya. Rakyat Ayodya
menyangsikan kesucian Sinta lagi. Untuk membuktikan kesucian Sinta maka
dilakukan pembakaran atas diri Sinta (Sinta Obong).
Kama
Istilah
kama berkaitan dengan dunia kesenangan atau kenikmatan. Arti leksikal
kama adalah sperma. Kama salah adalah nama kecil Batara Kala yang
berarti sperma yang salah alamat. Orang yang suka bermain sperma akan
menimbulkan "Batara Kala" berserakan yang merusak harmoni kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut mudah diketemukan dalam dunia
anak-anak. Sifat kekanak-kanakan biasanya egois, mau menang sendiri,
permintaan harus dikabulkan melebihi keinginan raja. Kalau diingatkan
dia akan menangis. Bila perlu dengan mengamuk segala rupa agar
diperhatikan kehendak dan keinginannya. Orang yang terjangkit sifat
kama atau kekanak-kanakan itu hidupnya ingin selalu bersenang-senang
terus, tak mau susah dan melimpahkan penderitaan pada orang lain dengan
tega.
Kamadhatu
Merupakan simbol alam bawah, tempat
bersemayamnya manusia lumrah. Secara simbolis mengandung arti tingkat
manusia dalam usia kanak-kanak, yang masih tergoda oleh kesenangan
duniawi, bermain-main, hedonis rekreatif, dan egoistis.
Karsa
Karsa
berarti kehendak, kemauan, keinginan atau tekad bulat untuk
diwujudkan dalam kenyataan. Dengan demikian karsa berarti lebih dekat
dengan nilai perjuangan. Dalam ilmu filsafat karsa erat kaitannya
dengan nilai kebaikan. Tokoh Bima dalam wayang, menggambarkan tekad
kuat dan suci serta gigih dalam mencapai cita-cita. Lakon Bimasuci yang
mengisahkan cita-cita Bima untuk mencari air kehidupan, dilakukannya
dengan sepenuh tekad yang sangat patut diteladani. Setelah bertemu
dengan yang dicari, kemudian Bima pun menyebarkan pengalamannya pada
orang lain. Di Pertapaan Argakelasa ia membuka padepokan ilmu
pengetahuan yang digunakan untuk menyebarkan ilmu kepada orang lain.
Karta
Kata
karta diterangkan oleh Ki Dalang berkaitan dengan kemakmuran dan
aktivitas kerja. Hal ini menunjukkan suatu masyarakat yang gemar
berkarya, produktif dan sibuk kegiatan akan menjadi makmur. Petani sibuk
dengan bercocok tanam. Pedagang rajin berjualan, peternak tekun
menggembala. Kesempatan bekerja yang luas akan mengurangi angka
pelanggaran yang menjurus pada kriminalitas. Masing-masing individu
mempunyai kesempatan untuk menyumbangkan diri. Kehormatan sosial akan
membuat orang memiliki arti dalam hidupnya. Orang yang bekerja pasti
timbul harga dirinya. Status sosialnya diakui oleh lingkungan. Oleh
karena itu meledaknya pengangguran perlu dihindari.
Kasultanan Yogyakarta
Perjuangan
Pangeran Mangkubumi dalam menegakkan kebenaran dan keadilan akhirnya
membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada
tanggal 13 Februari 1755. Sejak itu Pangeran Mangkubumi resmi menjadi
sultan pertama di Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Para Sultan yang pernah memerintah di kraton Yogyakarta yaitu :
1. Hamengku Buwana I (1755 - 1792)
2. Hamengku Buwana II (1925 - 1810)
3. Hamengku Buwana III (1810 - 1813)
4. Hamengku Buwana IV (1814 - 1822)
5. Hamengku Buwana V (1822 - 1855)
6. Hamengku Buwana VI (1855 - 1877)
7. Hamengku Buwana VII (1877 - 1921)
8. Hamengku Buwana VIII (1921 - 1939)
9. Hamengku Buwana IX (1939 - 1988)
10. Hamengku Buwana X (1988 - )
Kasunanan Surakarta
Kasunanan
Surakarta telah melahirkan para raja yang aktif sekali dalam
mengembangkan sastra dan budaya. Bahkan raja sendiri terjun langsung
dlam dunia karang mengarang, sehingga para raja ini mendapat julukan
satria pinandhita. Para raja Surakarta sungguh ahli dan produktif dalam
menyebarkan gagasannya lewat karya sastra yang bermutu tinggi. Para
raja yang pernah memerintah di Kasunanan Surakarta :
1. Paku Buwana II (1726 - 1749)
2. Paku Buwana III (1749 - 1788)
3. Paku Buwana IV (1788 - 1820)
4. Paku Buwana V (1820 - 1823)
5. Paku Buwana VI (1823 - 1830)
6. Paku Buwana VII (1830 - 1858)
7. Paku Buwana VIII (1858 - 1861)
8. Paku Buwana IX (1861 - 1893)
9. Paku Buwana X (1893 - 1939)
10. Paku Buwana XI (1939 - 1944)
11. Paku Buwana XII (1944 - sekarang)
Pada
masa Kasunanan Surakarta awal gencar sekali para pujangga dan raja
melakukan penerjemahan karya asing, penyaduran sastra lama dan
menciptakan karya sastra baru. Contohnya Serat Wiwaha Jarwa karya
saduran Sinuwun Paku Buwana III dengan sengkalan: tasik sonya giri juga
yang berarti tahun 1704 Jawa atau 1778 tahun Masehi (Poerbatjaraka,
1957: 128). Serat Wiwahajarwa digubah dari Kakawin Arjunawiwaha karya
Empu Kanwa. Pada masa pemerintahan sinuwun Paku Buwana IV, beliau
menciptakan Serat Wulangreh, yang sangat terkenal di kalangan masyarakat
Jawa, serat lain karya Paku Buwana IV yaitu Wulang Sunu (Poerbatjaraka,
1959: 148-149). Pujangga besar lain yang seangkatan dengan Sinuwun Paku
Buwana IV yaitu Kyai Yasadipura I, Yasadipura II, Pangeran
Kusumadilaga, dan Kyai Sindusastra. Kyai Yasadipura I dan Yasadipura II
menciptakan karya sastra, baik yang bersifat terjemahan, saduran atau
ciptaan baru. Misalnya Arjunawiwaha Jarwa, Serat Rama Jarwa, Serat
Bratayudha, Serat Paniti Sastra, Serat Arjuna Sasra atau Lokapala, Serat
Darmasunya, Serat Dewaruci Jarwa, Serat Menak, Serat Ambia, Serat
Tajussalatin, Serat Cebolek, Serat Babad Giyanti, Serat Sasanasunu, dan
Serat Wicara Keras. Kyai Sindusastra adalah abdi dalam Kanjeng Gusti
Pangeran Purbaya atau Sinuwun Paku Buwana VII. Kyai Sindusastra membuat
karya Serat Arjuna Sasrabahu, Lakon Sugriwa Subali, Serat Partayagnya,
Partakrama, Srikandhi Maguru Manah, Sembadra Larung dan Cekel Waneng
Pati (Poerbatjaraka, 1957: 149-150). Karya-karya Sindusastra ini
bersifat saduran dan gubahan saja. Pada masa pemerintahan Sinuwun Paku
Buwana V, terbitlah mahakarya, yaitu Serat Centhini. Serat Centhini ini
dikerjakan oleh sebuah tim yang dipimpin Sinuwun Paku Buwana V sendiri.
Anggota tim itu di antaranya yaitu Kyai Yasadipura II dan Kyai Rangga
Sutrasna. Pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana VI karya sastra
yang dihasilkan tidak begitu banyak, karena beliau membantu perjuangan
Pangeran Diponegoro (1825-1830), sehingga beliau diasingkan di Ambon.
Paku Buwana memerintah antara tahun 1823-1830 dan wafat pada tahun 1849
di pengasingan (Ricklefs, 1995: 180). Pasca perang Diponegoro ini
kekuatan politik para raja Jawa, khususnya Mataram yang sudah terpecah
menjadi empat kraton kecil-kecil, mengalami kemerosotan. Ketenangan
politik ini mendorong para elit pribumi dan kaum bangsawan untuk aktif
dalam kehidupan sastra dan budaya, yang ternyata juga efektif sebagai
sarana legitimasi.
Kaya
Kaya berarti penghasilan, harta, atau
uang. Orang yang mempunyai penghasilan yang mencukupi tentu saja akan
tenang hidupnya. Sebaliknya orang yang miskin dan kekurangan akan
menderita dan tidak mendapat kehormatan. Kalau ada, kehormatan
tersebut lebih cenderung kepada belas kasihan. Di pedusunan kekayaan
yang tinggi nilainya adalah sapi. Oleh karena itu orang Jawa menyebut
sapi dengan istilah raja kaya. Orang desa kalau ingin memiliki uang
yang cukup banyak biasanya menjual sapi. Walaupun masih ada harta lain
yang nilainya lebih besar, tetapi tidak semudah menjual sapi. Agar
kekayaan dapat diperoleh secara sah, orang harus bekerja keras, tekun
dan jujur. Kekayaan merupakan salah satu lambang harga diri.
Kemitraan
Rasa
kemitraan orang Jawa terdapat pada anggapan siapa saja yang datang
dianggap sebagai saudara. Bahkan pada umumnya tiap Jawa mempunyai
anggaran khusus untuk menjamu tamu. Para pekerja rantau dan pengamen
yang menginap mendapat jaminan hidup dari Pak Lurah secara wajar. Rasa
kebersamaan masyarakat Jawa diwujudkan dalam bentuk kerja bakti,
gotong-royong, gugur gunung, sambatan, jagongan dan rewang. Apabila ada
tetangga punya hajat, tanpa diundang pun tetangga yang lain bersedia
dan siap membantu.
Kenduren
Yang dimaksud dengan kenduren
adalah upacara sedekah makanan karena seseorang telah memperoleh
anugrah atau kesuksesan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Dalam
hal ini kenduren mirip dengan cara tasyakuran. Acara kenduren bersifat
personal. Undangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan sejawat, dan
tetangga. Mereka berkumpul untuk berbagi suka. Suasananya santai,
sambil membicarakan tauladan yang bisa ditiru misalnya kenaikan
pangkat, lulus ujian, terpilih untuk mengemban amanat jabatan dan
sukses-sukses lain yang perlu dan pantas ditiru. Hidangan sedekah
kenduren menunya lebih bebas. Hampir tidak ada kewajiban menu tertentu
sehingga terbangun suasana suka dan meriah.
Kerja Bakti
Sesuai
dengan istilahnya, kerja bakti merupakan sebuah kerja sosial sebagai
wadah untuk berbakti atau melakukan pengabdian kepada masyarakat dan
negara. Misalnya kerja bakti membenahi jalan dan membersihkan selokan.
Berbeda dengan gugur gunung dan gotong royong, kerja bakti mengacu pada
pekerjaan ringan tetapi kuantitasnya banyak. Kata bakti-bekti populer
dalam bahasa Jawa. Ada ungkapan berbakti kepada nusa dan bangsa,
berbakti pada ibu pertiwi sungkem pangabekti, sembah bekti, bekti kawula
dan sebagainya, semua menunjukkan sikap rendah hati dan tunduk kepada
kepentingan orang banyak.
Kesopanan
Etika kesopanan orang Jawa
terwujud dalam istilah unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basu
krama, suba sita, etika dan sopan santun. Tata susila harus diutamakan
agar orang dapat diterima dalam pergaulan sosial secara wajar. Semakin
halus budi pekerti seseorang maka akan mendapat simpati lebih tinggi.
Orang Jawa cenderung untuk menggunakan bahasa halus bila berhadapan
dengan orang yang dihormati.
Kesusu-Kesaru
Kesusu artinya
tergesa-gesa dalam pekerjaan yang disebabkan oleh karena sering menunda
pekerjaan dan kurang cermat dalam memperhitungkan resiko. Kesaru
berarti terambil. Yang dimaksukan adalah keuntungan yang kurang
maksimal. Segala pekerjaan bila dilakukan dengan sering ditunda
penyelesaiannya tentu akan menumpuk. Sementara pekerjaan dan tugas lain
akan datang. Ketika pekerjaan banyak, masalah semakin rumit, pikiran
bertambah berat bebannya. Di sini emosi jadi mudah terpancing dan
menjadi gampang marah. Menunda adalah kebiasaan yang bodoh. Karena hanya
menunggu masalah semakin ruwet. Masalah yang ruwet mendorong orang
untuk kesusu-susu atau tergesa-gesa.
Ki Ageng Gribig
Ki Ageng
Gribig hidup pada masa pemerintahan Sinuwun Sultan Agung. Beliau adalah
murid Sunan Kalijaga yang bertugas menyebarkan agama Islam di daerah
Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Nama lain Ki Ageng Gribig yaitu Wali
Nukiba atau Wali Anom. Warisan Ki Ageng Gribig di antaranya: Masjid
Cilik, Masjid Ageng, Sendhang Suran, Sendhang Cuwet, Sendhang
Kelampeyan, Gua Belan, Loji Gabus, Masjid Gabus. Kehidupan Ki Ageng
Gribig dapat diketahui melalui Babad Jatinom. (Ensiklopedi Kebudayaan
Jawa, 1999). Masyarakat kabupaten Klaten dan sekitarnya tiap tahun
memperingati jasa Ki Ageng Gribig dengan upacara tradisional yang sangat
meriah.
Ki Ageng Pandhanaran
Banyak tokoh yang
memilih hidup sunyi senyap yang jauh dari gebyar keduniaan dan memilih
hidup menyendiri dengan cara sufi. Sebagai contoh adalah Ki Ageng
Pandhanaran. Ki Ageng Pandhanaran adalah putra Pangeran Sabrang Lor.
Beliau masih keturunan raja Majapahit. Keterangannya sebagai berikut:
Prabu Brawijaya berputra Raden Patah, Raden Patah berputra Pangeran
Sepuh atau Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Sabrang Lor berputra Made
Pandhan atau Ki Ageng Pandhanaran. Ki Ageng Pandhanaran memang sengaja
meninggalkan tahta warisan orang tuanya. Tahta Demak beliau serahkan
kepada pamannya, Sultan Trenggana. Beliau sendiri memilih hidup menjadi
juru dakwah agama. Beliau tinggal di Tembayat, Klaten, Jawa Tengah.
Beliau juga murid Sunan Kalijaga.
Ki Ageng Sela
Dari segi silsilah, Ki Ageng Sela masih keturunan raja Majapahit, Prabu
Brawijaya V. Prabu Brawijaya V menurunkan Raden Bondan Kejawen atau
Lembu Peteng. Lembu Peteng menurunkan Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa
menurunkan Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki
Ageng Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan
menurunkan Panembahan Senapati. Panembahan Senapati menurunkan para raja
Mataram. Ki Ageng Sela tinggal di Sela, Tawangharjo, Purwadadi,
Grobogan, Jawa Tengah. Beliau dikenal sebagai tokoh yang dapat menangkap
petir. Nama lain Ki Ageng Sela adalah Bagus Songgom atau Ki Ageng
Ngabdurrahman ing Sela. Dinasti Ki Ageng Sela adalah sebagai berikut:
Prabu Brawijaya berputra Raden Bondan Kejawen, Raden Bondan Kejawen
berputra Ki Ageng Getas Pandawa, Ki Ageng Getas Pandawa berputra Ki
Ageng Sela. Beliau adalah guru Mas Karebet, Jaka Tingkir atau Sultan
Hadiwijaya. Ajarannya yaitu Pepali Ki Ageng Sela atau Serat Pepali yang
berisi ajaran budi pekerti luhur. Pusakanya adalah Bendhe Ki Becak
(Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, 1999). Perkembangan selanjutnya pada tahun
1584 Adipati Sutawijaya menggeser kekuasaan Pajang beralih ke Mataram.
Ki Ageng Sela yang dianggap sebagai nenek moyang Dinasti Mataram.
Ki Ageng Suryo Mentaram
Di
antara priyayi kesultanan Yogyakarta yang melakukan kehidupan sufi
yaitu Ki Ageng Suryo Mentaram. Ki Ageng Suryo Mentaram adalah putra
ke-55 dari 79 putra Sultan Hamengku Buwana VII. Beliau hidup antara
tahun 1892-1962. Nama kecilnya adalah Bendara Raden Mas Kudiarmaji.
Bendara Raden Mas Kudiarmaji adalah murid kesayangan KH. Achmad Dahlan,
tokoh pendiri Muhammadiyah. Sejak kecil beliau suka berkontemplasi
terhadap segala perubahan hidup. Beliau meninggalkan kenikmatan duniawi,
dengan meninggalkan istana. Dia memilih hidup menjadi rakyat jelata
sebagai bakul dan petani. Setelah Sultan Hamengku Buwana VII surut ing
karedan jati, beliau melepas atribut kapangeranan. Beliau menjadi
pertapa dengan mengasingkan diri ke daerah Beringin, Salatiga, Jawa
Tengah. Di sini beliau mendapat julukan populer Ki Gedhe Suryo Mentaram
atau Ki Gedhe Bringin. Bersama tokoh lain yaitu Ki Hajar Dewantara, Ki
Sutopo Wonoboyo dan Ki Sutatmo, beliau mempelopori sarasehan Slasa
Kliwon. Dari sarasehan ini tumbuhlah gagasan untuk mendirikan perguruan
Taman Siswa di Yogyakarta. Atas jasa-jasanya ini, Ki Hajar Dewantara
memberi gelar Ki Gedhe Suryo Mentaram menjadi Ki Ageng Suryo Mentaram.
Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram yaitu: Falsafah Mulur Mungkret,
Konsep Aja Dumeh, Konsep Kramadhangsa, Aku Iki Wong Apa? Piageming
Gesang, Pangawikan Pribadi, Djiwa Persatuan dan Jiwa Buruh, Pembangunan
Djiwa Warganegara, Kawruh Begja dan Kesempurnaan, Filsafat Rasa Hidup,
Ukuran Keempat, Wejangan Pokok Ilmu Bahagia, Rasa Bebas, Mawas Dhiri,
Jimat Perang serta Rasa Manusia, Ilmu Perkawinan, Ijasah Hidup dan Rasa
Unggul, Ilmu Pendidikan dan Seni Suara. Ki Ageng Suryo Mentaram dalam
hidupnya mirip dengan tokoh Mahatma Gandhi. Beliau terbiasa dengan
celana pendek, kaos oblong, kaki telanjang dan berkain sarung. Ajarannya
sering dipaparkan dalam bentuk duduk lesehan. Hidup Ki Ageng Suryo
Mentaram seluruhnya diabdikan untuk meneliti tentang olah rasa dan olah
jiwa (Sudarso, 1999). Ki Ageng Suryo Mentaram lahir tanggal 20 Mei 1892
dan meninggal pada tanggal 18 Maret 1962. Dalam menyampaikan ajarannya,
Ki Ageng Suryo Mentaram memakai metode lesehan atau duduk di lantai.
Ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram yang terkenal di antaranya ungkapan aja
dumeh.
Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai
tokoh pendidikan yang mendirikan Perguruan Taman Siswa. Beliau hidup
antara tahun 1899 – 1959. Beliau lahir tanggal 2 Mei 1899 dengan nama
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau adalah cucu Sri Paku Alam III.
Karirnya dimulai dengan bidang jurnalistik di surat kabar Sedyo Tomo,
Midden Java, De Express, Kaoem Moeda, Oetoesan Hindia, Cahaya Timoer,
dan Het Tijdschrift. Karena-kegiatan politiknya yang menantang
pemerintahan Hindia Belanda bersama Douwes Dekker dan Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo, beliau dibuang ke negeri Belanda. Di tanah buangan ini
beliau menambah ilmu pengetahuan, dan pengalaman. Pada tahun 1918 beliau
mendirikan kantor berita Indonesische Persbureau di Belanda. Selain itu
beliau juga mengelola majalah Hindia Poetra, Dendier, dan Het
Indonesische Verbond van Studerenden. Beliau tinggal di negeri Belanda
antara tahun 1913 – 1919. Ki Hajar Dewantara sekembalinya ke Indonesia
lantas aktif di dunia pendidikan. Perguruan Taman siswa beliau didirikan
pada tahun 1923 di Yogyakarta. Sistem pendidikan di Taman Siswa
terkenal dengan nama among, yaitu prinsip-prinsip hidup: Ing ngarsa sung
tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Pada jaman Jepang
Ki Hajar Dewantara memimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat) bersama dengan
Bung Karno, Bung Hatta dan KH. Mas Mansyur yang dikenal dengan sebutan
empat serangkai. Pada jaman kemerdekaan Ki Hajar Dewantara diangkat
menjadi Menteri Pengajaran pada kabinet pertama Indonesia. Universitas
Gajah Mada pernah memberi gelar Doctor Honoris Causa pada Ki Hajar
Dewantara. Jasa beliau ini dihormati pemerintah dengan menjadikan hari
ulang tahunnya sebagai hari pendidikan nasional, tanggal 2 Mei. Karya Ki
Hajar Dewantara dalam bidang seni, sastra dan budaya di antaranya:
Kebudayaan umum, Kebudayaan Pendidikan dan Kesenian, Kebudayaan dan
Kewanitaan, Kebudayaan dan Masyarakat. Warisan Ki Hajar Dewantara yang
monumental yaitu Perguruan Taman Siswa. Perguruan ini telah mendidik
anak bangsa sejak dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.
Kader-kader beliau sangat berjiwa nasionalis yang berbudi luhur tanpa
kehilangan basis budaya asli. Ki Hajar Dewantara wafat pada tanggal 26
April 1959 atau 1376 H.
Kodrat Wiradat
Kodrat wiradat dalam
khasanah kebudayaan Jawa artinya takdir Tuhan tidak bersifat mutlak.
Manusia masih ada wewenang untuk menentukan nasip dan peruntungannya
dalam batas-batas tertentu. Seseorang mengatakan kegagalan suatu usaha
karena alasan takdir adalah argumentasi yang buruk. Boleh jadi
kegagalan itu karena ceroboh, sembrono, urakan, ugal-ugalan dan
kelalaian manusia sendiri. Hampir semua keterpurukan manusia secara
kolektif berasal dari kecerobohan manusia yang dilakukan secara
sengaja. Nasib yang kurang baik masih terbuka untuk ditingkatkan
mutunya. Bagi mereka yang cukup gigih dan kreatif tentu akan optimis
dalam menghadapi masa depan.
Kraton Demak
Setelah kraton
Majapahit redup dari panggung sejarah nasional, kemudian muncul kraton
baru yaitu kasultanan Demak, yang rajanya masih keturunan dari
Dinasti Majapahit. Sultan Demak yang pertama bernama Raden Patah atau
Sultan Syah Alam Akbar. Beliau putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit
terakhir dan ibunya adalah seorang putri dari Palembang. Para raja yang
pernah memerintah di kraton Demak yaitu :
1. Raden Patah (1478 - 1513)
2. Pati Unus (1513 - 1521)
3. Sultan Trenggana (1521 - 1546)
4. Sultan Prawata (1546 - 1561)
Kitab-kitab
yang terbit karena pengaruh agama Islam di antaranya: Het Boek van
Bonang, Een Javaans Geschrift uit de 16 Eeuw, Suluk Sukarsa,
Koja-Kojahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Nitisruti, Nitipraja,
Sewaka, Menak, Rengganis, Manik Maya, Ambiya, dan Kandha. Kraton Demak
diperintah oleh para sultan yang didukung penuh oleh para wali yaitu
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Giri, Sunan Kalijaga Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. Mereka gemar
dengan kesenian dan budaya daerah. Mereka menyempurnakan bentuk dan
lakon wayang agar tidak bertentangan dengan agama Islam (Haryanto, 1988:
201-202).
Kraton Kediri
Kraton Kediri dalam peta sejarah
nasional sangat populer. Demikian juga pengaruhnya terhadap kehidupan
sekarang sering menjadi referensi bagi masyarakat awam dalam menanggapi
fenomena kontemporer. Kadang-kadang masyarakat awam yang marjinal,
miskin dan putus asa itu bernostalgia lagi terhadap kejayaan kraton
Kediri. Mitos ratu adil yang diwakili oleh Prabu Jayabhaya kuat di
ingatan massa kejawen. Para raja yang pernah memerintah di kraton
Kediri yaitu :
1. Warsajaya (1104 - 1135)
2. Jayabhaya (1135 - 1157)
3. Sarweswara (1159 - 1161)
4. Kroncaryadhipa (1181 - 1182)
5. Kameswara (1182 - 1185)
6. Srengga Kertajaya (1194 - 1205)
7. Kertajaya (1205 - 1222)
8. Jayakatwang (1292 - 1293)
Kraton Majapahit
Kraton
Majapahit merupakan kraton nasional besar yang telah mengukir prestasi
gemilang. Di bawah kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk yang dibantu oleh
Mahapatih Gajah Mada, nusantara berhasil dipersatukan. Bahkan wilayah
Majapahit luasnya melebihi luas Indonesia sekarang. Para raja yang
pernah memerintah di kraton Majapahit yaitu :
1. Kertarajasa Jayawardhana (1294 - 1309)
2. Jayanegara (1309 - 1328)
3. Tri Bhuana Wijaya Tungga Dewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Ratu Suhita (1429 - 1447)
7. Wijaya Parakrama Wardhana (1447 - 1451)
8. Rajasa Wardhana (1451 - 1453)
9. Girisa Wardhana (1456 - 1466)
10. Singhawikrama Wardhana (1466 - 1478)
Pada
jaman Majapahit perkembangan kitab-kitab kesusastraan pesat sekali.
Misalnya Parthayadnya, Nitiçastra, Nirarthaprakreta, Dharmaçunya,
Hariçraya, Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka,
Korawaçrama, Pararaton, Dewaruci, Sudamala Kidung Subrata, Panji
Anggreni dan Sri Tanjung. Karya sastra pada jaman Majapahit itu terdiri
dari kitab-kitab Jawa Kuno yang tergolong muda dan sebagian lagi
berbahasa Jawa Tengahan. Kerajaan Majapahit memiliki struktur
pemerintahan yang hebat. D samping raja, duduk Dewan Sapta Prabu yang
terdiri dari enam orang anggota senior dan tujuh raja sendiri sekaligus
sebagai ketua. Di samping itu raja dibantu oleh empat lembaga tinggi
yakni : 1. Mahamentri Katrini, yakni Mentri Hino, Mentri Sirikan dan
Mentri Halu; 2. Dwi Darma Jaksa, yakni Darma Jaksa Kasogatan urusan
agama Buda dan Darma Jaksa Kasaiwan urusan agama Siwa. Rakawi Prapanca
yang menulis Kakawin Negara Kertagama adalah seorang Darma Jaksa Buda;
3. Sapta Pepati, adalah tujuh orang pepati, yakni lima orang pameget
agama Siwa (tirwan, kandamuhi, manghuri, jambi dan panwatan) dan dua
orang pegawai agama buda. Sapta Pepati mengurusi urusan yang berkaitan
dengan candi, perdikan desa dan segala urusaan kerohanian; Panca Ring
Wilwatikta, yakni empat orang rakryan dan seorang patih. Lima serangkai
Majapahit ini adalah kementerian negara yang berada di bawah Patih Gajah
Mada.
Kraton Mataram Kartasura
Pada masa pemerintahan
Amangkurat II, banyak terjadi huru-hara yang menyebabkan stabilitas
kraton Mataram terganggu. Oleh karena itu Amangkurat II memindahkan
ibukota Mataram ke daerah Kartasura. Ibukota baru ini diyakini akan
membawa ketenteraman dan kedamaian kraton. Para raja yang pernah
memerintah kraton Mataram Kartasura yaitu :
1. Amangkurat II (1677 - 1703)
2. Amangkurat III (1703 - 1708)
3. Paku Buwana I (1704 - 1719)
4. Amangkurat IV (1719 - 1726)
Serat
Menak merupakan karya sastra sebagai wahana dakwah Islamiyah. Kitab ini
dibuat tahun 1639 tahun Jawa, atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar,
permaisuri Sinuwun Paku Buwana I atau Pangeran Puger di kraton Kartasura
(Poerbatjaraka, 1957: 105). Cerita Menak ini berasal dari negeri Persia
dan dalam bahasa Melayu disebut Hikayat Amir Hamzah. Serat Menak
digubah ke dalam bahasa Jawa bersamaan dengan berkembangnya agama Islam.
Salah satu cabang cerita Menak yang terkenal adalah cerita Rengganis.
Cerita ini dibuat oleh Rangga Janur, pujangga Kraton Kartasura
(Poerbatjaraka, 1957: 112). Serat Rengganis mengisahkan percintaan
antara Pangeran Kelan dengan Dewi Rengganis dan Dewi Kadarmanik. Karya
sastra yang dibuat pada masa Kraton Kartasura yang lainnya adalah Serat
Manikmaya. Penciptanya yaitu Kartamursadah dari Tanah Pasundan. Para
bangsawan Priangan sering mengirim putra-putrinya ke Kraton Mataram
untuk belajar sastra dan budaya (Poerbatjaraka, 1957: 114). Serat
Manikmaya sebagian menceritakan kisah-kisah yang sudah diungkapkan dalam
Serat Tantu Panggelaran. Seangkatan dengan Serat Manikmaya, yaitu Serat
Ambiya dan Serat Kandha. Keduanya juga terbit pada jaman kraton
Kartasura. Serat Ambiya yang terpengaruh agama Islam ini menceritakan
kisah awal penciptaan dunia serta cerita sejak adanya Nabi Adam. Serat
Kandha menggabungkan antara unsur Hindu, Islam, dan Jawa. Di sana
dijumpai kisah para Nabi yang dikemas sedemikian rupa, sehingga menjadi
keunikan khas kreativitas pujangga Jawa. Kanjeng Ratu Mas Balitar
adalah garwa dalem sinuwun Paku Buwana I. Gelar Ratu Balitar lainnya
adalah Kanjeng Ratu Ibu atau Sang Aprabu Nini. Berhubung kepribadiannya
yang luhur dan agung, Ratu Balitar dihormati sebagai Putri Amardika
jimate wong nusa Jawa (Alexander Sudewa, 1995: 245). Sikap Ratu Balitar
yang bijak bestari ini mampu meredakan krisis politik yang selalu
bergolak pada masa awal kraton Kartasura dan Surakarta. Hal ini bukan
suatu kebetulan, karena beliau adalah seorang tokoh putri yang gemar
akan ilmu pengetahuan. Ratu Balitar terlibat dalam pembuatan karya
sastra yang berjudul Serat Iskandar, Serat Menak, dan Serat Yusuf. Serat
Iskandar masih berkaitan dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain berbahasa
Melayu yang pernah dianalisis oleh Siti Chamamah Soeratno (1991) dalam
bentuk disertasi. Serat Menak dan Serat Jusuf ini dibuat oleh Ratu
Balitar di samping untuk syiar Islam juga demi kemajuan pendidikan
masyarakat saat itu yang selalu menghadapi pergolakan politik. Bagi
kebanyakan para putri sekarang, kiranya ppatut apabila mau meniru
kebijaksanaan dan kepandaian Kanjeng Ratu Mas Balitar dalam menyikapi
perubahan dan pergolakan di pentas kenegaraan.
Kraton Mataram Kuno
Studi
sejarah Jawa Kuno secara tertulis dimulai tanggal 25 Maret 804, dengan
ditemukannya Prasasti Sukabumi yang berbunyi: Pada tahun 726 penanggalan
Çaka, dalam bulan Çaitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari
Haryang atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, Wage atau hari
keempat dalam minggu berhari lima, Saniscara atau hari ketujuh dalam
minggu yang berhari tujuh (Zoetmulder, 1985: 3). Keterangan ini amat
berharga berkaitan dengan validitas sumber penulisan historiografi lokal
pada khususnya, sejarah nasional pada umumnya. Sumber penulisan sejarah
Mataram Kuno yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan pada
masa Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907. Prasasti
Mantyasih menyebutkan para raja Mataram Kuno yaitu: Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya, Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai
Pananggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri
Maharaja Rakai Pikatan, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Rakai
Watuhumalang, Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung, Sri Maharaja
Rakai Daksa, Sri Maharaja Rakai Tulodhong, Sri Maharaja Rakai Wawa, Sri
Maharaja Empu Sindok. Satu hal yang cukup mengagumkan, bahwa pada jaman
Jawa Kuno dahulu pendidikan humaniora mendapat tempat utama. Soal-soal
kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional terbatas saja.
Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh umum,
lebih-lebih kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat (Zoetmulder,
1985: 179). Kesadaran mengenai makna penting kedudukan ilmu bahasa,
sastra, sejarah, antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan,
dan tata negara telah memberi inspirasi para pejabat kraton untuk
mendirikan, mengembangkan, dan membantu proses pendidikan pada saat itu
yang berwujud padepokan dan peguron. Pertumbuhan kesusasteraan Jawa
sudah dikenal secara luas dan selang waktu yang cukup lama. Karya sastra
yang paling tua adalah Serat Candakarana yang dibuat pada masa Dinasti
Syailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Çaka dan telah berhasil
membangun monumen megah berupa Candi Kalasan. Serat Candakarana ini
berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi (Poerbatjaraka,
1957: 1-2).
Kraton Mataram Islam
Kraton Mataram didirikan
oleh Ki Ageng Pemanahan dengan membuka Alas Mentaok sebagi hadiah dari
Sultan Hadiwijaya, raja Pajang. Setelah Pajang surut dari gelanggang
kekuasaan, maka Mataram menjadi penggantinya, berhubung Sutawijaya itu
juga anak angkat Sultan Pajang yang telah berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Kemudian Sutawijaya menjadi raja Mataram pertama dengan
gelar Panembahan Senapati. Dari silsilah yang lengkap dapat diketahui
bahwa Brawijaya V adalah keturunan ke-46 dari Adam, sedangkan Senapati
adalah generasi ke-52. Dan kita ketahui bahwa dia adalah raja pertama
atau pendiri kraton Mataram. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1584
Adipati Sutawijaya menggeser kekuasaan Pajang beralih ke Mataram. Dalam
bidang budaya Panembahan Senapati menyempurnakan bentuk wayang dengan
tatahan gempuran (Haryanto, 1988: 204). Pada jaman Sinuhun Sekar Seda
Krapyak, ayahanda Sultan Agung, terbit Suluk Wujil tahun 1529 Çaka atau
1607 Masehi dan Serat Nitisruti tahun 1534 Jawa atau 1612 Masehi
(Poerbatjaraka, 1957: 94-100). Jasa Panembahan Seda Krapyak (1601-1618)
dalam bidang kebudayaan adalah berusaha untuk menyusun sejarah negeri
Demak, dan penulisan beberapa kitab suluk (Ricklefs, 1974: 14). Misalnya
Suluk Wujil yang berisi wejangan mistik Sunan Bonang kepada abdi
kekasih raja Majapahit yang bernama Wujil. Serat Nitisruti ciptaan
Pangeran Karanggayam yang berisi tentang tuntutan budi pekerti luhur dan
kandungan mistik. Sultan Agung memperpadukan antara tradisi pesantren
(Islam) dengan tradisi kejawen dalam hal perhitungan tahun. Masyarakat
pesantren biasa menggunakan tahun Hijriah, masyarakat kejawen
menggunakan tahun Çaka. Pada tahun 1633 Sultan Agung berhasil menyusun
dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun baru bagi seluruh
kraton Mataram, yaitu perhitungan model ini hampir keseluruhannya
menyesuaikan dengan tahun Hijriah, berdasarkan atas perhitungan bulan.
Namun, awal perhitungan tahun Jawa ini tetap pada tahun Çaka, yaitu
tahun 78 Masehi (Bambang Kusbandrijo, 1992: 81). Kesatuan perhitungan
tahun sangat penting bagi penulisan Serat Babad. Perubahan perhitungan
itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses
Islamisasi tradisi dan kebudayaan Jawa, yang sudah terjadi sejak
berdirinya kraton Jawa Islam Demak (Darsiti Soeratman, 1990: 5). Sultan
Agung mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa. Dia mengadakan
pembaharuan tata hukum dalam usaha penyesuaian dengan hukum Islam, dan
memberi kesempatan bagi peranan para ulama dalam lapangan hukum kraton
(Van Den Berg dkk., 1954: 235). Kemudian dia mengambil gelar Susuhunan,
yang sebenarnya gelar ini bagi masyarakat Jawa diperuntukkan bagi Wali
Allah. Gelar ini kemudian dilepas pada tahun 1641 dan berganti menjadi
Sultan, setelah mendapat restu dari penguasa kota suci Mekkah (Bambang
Kusbandrijo, 1992: 82). Dinasti Mataram kenyataannya memang mampu
mengindahkan amanat Sultan Agung, karena anak cucunya banyak yang
menjadi raja sekaligus pujangga. Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga
berpredikat sebagai pujangga. Karya mistiknya yang terkenal yaitu kitab
Sastra Gendhing. Sedang Kitab Nitipraja dibuatnya pada tahun 1563 tahun
Jawa atau 1641 tahun Masehi. Serat Sastra Gendhing berisi tentang budi
pekerti luhur, mistik, dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja
berisi tentang moralitas penguasa dalam menjalankan kewajibannya, etika
bawahan kepada atasan, hubungan rakyat dengan pemerintah, agar tatanan
masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Pada jaman Sinuwun
Mangkurat, terbitlah Serat Sewaka, dengan sengkalan jalma paksa wayang
buwana yang berarti 1621 Çaka atau 1699 tahun Masehi (Poerbatjaraka,
1957: 102). Serat Sewaka ini berisi ajaran moral tentang tata cara
menjadi seorang abdi yang baik.
Kraton Pajang
Setelah
wafatanya Sultan Trenggana, kekuasaan Demak bergeser ke Pajang dengan
rajanya Mas Karebet, Joko Tingkir, atau Sultan Hadiwijaya pada tahun
1546-1586. Sultan Hadiwijaya dan para seniman menciptakan wayang Kidang
Kencana, yaitu wayang yang lebih kecil ukurannya daripada ukuran wayang
biasa (Haryanto, 1988: 203). Pada masa kejayaan Pajang, Sultan
Hadiwijaya mempunyai seorang pujangga besar yang bernama Pangeran
Karanggayam. Setelah kekuasaan Pajang bergeser ke Mataram, Pangeran
Karanggayam mengabdi kepada Panembahan Senapati dan Sinuwun Seda
Krapyak.
Kraton Singosari
Kekuasaan Kraton Kediri pindah ke
Tumapel atau Singosari pada tahun 1144 Çaka atau 1222 Masehi. Kejatuhan
kraton Kediri ini akibat perilaku raja Kediri yang bernama Kertajaya
atau Prabu Dhandhanggendhis yang terlampau sewenang-wenang terhadap
para Brahmana. Ken Arok memanfaatkan konflik vertikal horisontal kraton
Kediri untuk memperkokoh kekuatan kratonnya di Singosari. Para raja yang
pernah memerintah di kraton Singosari yaitu :
1. Ken Arok (1222 - 1247)
2. Anusapati (1247 - 1248)
3. Tohjaya (1248)
4. Wisnuwardhana (1248 - 1266)
5. Kertanegara (1266 - 1292)
Pada
jaman Ken Arok memerintah dengan gelar Prabu Girindrawangsaja, Empu
Tanakung mengarang Kitab Wrettasancaya dan Lubdhaka. Dengan demikian
Kitab Wrettasancaya dan Lubdhaka ditulis setelah kekuasaan berpindah
dari Kediri ke Tumapel sekitar tahun 1144 Çaka atau 1222 Masehi
(Poerbatjaraka, 1957: 34-37). Serat Wrettasancaya berisi tentang
pelajaran persajakan, metrum sekar ageng, dan contoh-contohnya (Kern,
1875: 67). Sebagian isi Serat Wrettasancaya itu dikutip dalam Serat
Ajipamasa karangan Ranggawarsita (Poerbatjaraka, 1957: 34). Serat
Lubdhaka berisi tentang kisah seorang pemburu yang berprofesi hina
menurut pandangan agama, namun dia dapat masuk dalam surga nirwana.
Empu Tanakung adalah pujangga istana kraton Singosari. Saat itu yang
menjadi raja yaitu Ken Arok. Ken Arok dapat berkuasa setelah
menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung dan memperistri jandanya yang
bernama Ken Dedes. Ken Dedes diyakini Ken Arok sebagai perempuan yang
menyimpan wahyu kekuasaan dan dapat menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Karya Empu Tanakung yaitu : Kakawin Wrettasancaya dan Kakawin Lubdhaka
(Poerbatjaraka, 1957: 33-37). Keduanya dipersembahkan kepada Prabu
Girindrawangsaja. Hal ini suatu kelaziman karena Empu Tanakung dalam
berkreativitas seni sastra berhutang budi kepada Ken Arok. Rupanya Ken
Arok saat itu juga bertindak sebagai raja yang suka mendukung
kreativitas seni budaya. Namun dalam hal sastra budaya kraton Singosari
kurang menghasilkan karya yang unggul. Kraton Singosari terlalu
disibukkan oleh konflik intern dan konsolidasi yang selalu gagal. Hingga
saat ini berita tentang Singosari masih berkisar antara konflik politik
yang kelabu dan kurang menggembirakan prestasinya.
Kutara Manawa
Merupakan
kitab hukum yang dipakai sebagai pedoman pada jaman Kediri dan
Majapahit. Kitab hukum ini digubah berdasarkan dua kitab Kutarasastra
dan Manawasastra, sebagai salinan Kitab Darmasastra karangan Empu Manu.
Di tanah Jawa, ada beberapa kitab hukum lain, yakni Kitab Siwasasana
karangan prabu Darmawangsa Teguh, dan Kitab Adigama karangan patih
Mangkubumi Kanaka (1413-1430).
Laku Hambeging Candra
Maknanya
seorang pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti
bulan bersinar terang benderang namun tidak panas. Bahkan terang bulan
tampak indah sekali. Orang desa menyebutnya purnama sidi.
Laku Hambeging Dahana
Maknanya
seorang pemimpin harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun
pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggungjawabkan
sehingga tidak membawa kerusakan di muka bumi.
Laku Hambeging Kartika
Maknanya
seorang pemimpin harus tetap percaya diri meskipun dalam dirinya ada
kekurangan. Ibarat bintang-bintang di angkasa, walaupun ia sangat kecil
tapi dengan optimis memancarkan cahayanya, sebagai sumbangan buat
kehidupan.
Laku Hambeging Kisma
Maknanya seorang pemimpin yang
selalu berbelas kasih dengan siapa saja. Kisma artinya tanah. Tanah
tidak mempedulikan siapa yang menginjaknya, semua dikasihani. Tanah
selalu memperlihatkan jasanya. Walaupun dicangkul, diinjak, dipupuk,
dibajak tetapi malah memberi subur dan menumbuhkan tanam-tanaman.
Filsafat tanah adalah air tuba dibalas air susu. Keburukan dibalas
kebaikan dan keluhuran.
Laku Hambeging Samirana
Maknanya
seorang pemimpin harus berjiwa teliti di mana saja berada. Baik buruk
rakyat harus diketahui oleh mata kepala sendiri, tanpa menggantungkan
laporan dari bawahan saja. Bawahan cenderung selektif dalam memberi
informasi untuk berusaha menyenangkan pimpinan.
Laku Hambeging Samodra
Maknanya
seorang pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf sebagaimana samudra raya
yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Jiwa samudra
mencerminkan pendukung pluralisme dalam hidup bermasyarakat yang
berkharakter majemuk.
Laku Hambeging Surya
Maknanya seorang
pemimpin harus memberi inspirasi pada bawahannya ibarat matahari yang
selalu menyinari bumi dan memberi energi pada setiap makhluk.
Laku Hambeging Tirta
Maknanya
seorang pemimpin harus adil seperti air yang selalu rata permukaannya.
Keadilan yang ditegakkan bisa memberi kecerahan ibarat air yang
membersihkan kotoran. Air tidak pernah emban oyot emban cindhe ‘pilih
kasih’.
Lila Legawa
Lila legawa dapat diterjemahkan dengan
rela dan ikhlas. Yakni sikap seseorang yang lapang dada, terbuka hati,
berani kehilangan, dan tidak mau menyesali kerugian atas dirinya.
Bencana, kesulitan dan cobaan dari mana pun datangnya dianggab
seolah-olah tidak pernah terjadi. Dalam tembang Jawa ada pesan lila
lamun kelangan nora gegetun, ‘rela bila kehilangan tidak menyesali,
diterima dengan hati ikhlas’. Kerugian yang terjadi karena orang lain
hatinya memaafkan. Kerugian karena lingkungan, hatinya menganggap
sesuatu yang alamiah. Kerugian karena bencana mendadak, hatinya
menganggap sudah menjadi kehendak Tuhan. Orang yang lila legawa tidak
pernah ada beban dalam pikirannya.
Layatan
Layatan adalah
ungkapan rasa simpati, empati atau bela sungkawa yang ditujukan kepada
seseorang yang sedang terkena lelayu ‘musibah kehilangan anggota
keluarganya karena meninggal dunia’. Para pelayat akan menyumbang apa
saja agar yang ditinggalkan terhibur dan ringan beban pikirannya.
Sanak famili, teman kerabat, tetangga kanan kiri, handai taulan biasanya
akan datang tanpa harus diundang. Pemberitahuan cukup dengan gethok
tular 'omongan dari mulut ke mulut', atau memukul kentongan. Suasana
layatan jauh dari sendau gurau. Semua berjalan dengan serba spontan.
Bahkan banyak hadirin yang berebut kerja. Dalam jaman modern ini,
pemberitahuan lelayu lebih kompleks caranya mengingat sanak kerabat
biasanya tersebar di berbagai tempat yang jauh. Oleh karena itu
digunakan teknologi modern seperti mengumumkan dengan pengeras suara di
masjid, pemberitahuan di media massa, faksimili, telepon dan sebagainya.
Loh
Kata
loh berarti kesuburan. Tanah yang subur dan dapat menumbuhkan segala
tanaman dengan baik disebut tanah yang loh. Di wilayah nusantara
tanahnya sangat subur. Palawija, palagandul, pala kependem di mana-mana
subur menghijau dan menentramkan mata memandang. Ketentraman ini berbuah
kenyamanan untuk setiap orang tidak akan bersaing secara tidak sehat.
Kekerasan dan kecemburuan dapat dihindari. Sebagai wilayah agraris,
maka menjadikan wilayah nusantara sebagai negara agraris maju, sejahtera
dan disegani perlu diusahakan. Tanah tumpah darah yang sudah loh perlu
manajemen oleh pemimpin negara secara profesional agar membuahkan
kemakmuran yang sesungguhnya.
Mangkunegara I
Kanjeng Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara I lahir tahun 1738 di Kartasura. Nama lainnya
yaitu Raden Mas Said dan Pangeran Sambernyawa. Beliau putra ketiga
Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura. Raden Mas Said sejak muda
sudah tampak sifat kritis dan kecerdasannya. Pada usia 16 tahun beliau
keluar dari istana karena tidak setuju dengan sistem yang ada. Ketika
terjadi pemberontakan Sunan Kuning dan laskar Cina, RM Said bergabung
melibatkan diri. Pada usia 18 tahun Raden Mas Said diangkat menjadi
panglima perang. Gelarnya Pangeran Prangwadana Pamot Besur. Pada tahun
1746 R.M. Said bergabung dengan perjuangan Pangeran Mangkubumi. Beliau
malah dijodohkan putri Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ajeng
Bruwok, Raden Ajeng Inten atau Kanjeng Ratu Bandara (Poerbatjaraka,
1957). Pada tanggal 15 Jumadil Awal 1682 H atau 4 Desember 1757 M
diadakan perundingan di Kalicacing Salatiga sejak waktu itu Raden Mas
Said diwisuda menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I
yang bertahta di Pura Mangkunegaran. Hasil karya seni Mangkunegara I
yaitu: Tari Bedhaya Anglirmendhung Senapaten, Bedhaya Dradamenta
Senapaten, Bedhaya Sukapratama, Gendhing Udan Riris, Gendhing Udan Arum,
Gendhing Kamput, Gendhing Mesem, Gendhing Carabalan Baswara, Seguran
Tulisan Pegon. Kesatuan prajurit yang telah dibangun oleh Mangkunegara I
yaitu : Ladrang Mangungkung (prajurit putri), Jayengsastra, Bijigan
Prajurit, Kepilih Prajurit, Tatramudita Prajurit, Margarudita,
Taruastra, Mijen. Dari data kesatuan prajurit itu dapat dikatakan
Mangkunegaran mempunyai sistem militer yang tangguh. KGPAA Mangkunegara
I wafat tahun 1795. Makamnya di Gunung Adeg, Mangadeg, Karanganyar,
Surakarta. Ajaran Mangkunegara I terkenal dengan sebutan Tri Dharma
yaitu rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib angrungkebi, mulat sarira
angrasa wani itu menghendaki adanya partisipasi aktif rakyat secara
langsung dalam penyelenggaraan negara. Sikap elitisme dalam sebuah
organisasi seharusnya dihindari oleh pemimpin.
Mangkunegara IV
Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV lahir pada tanggal 1 Sapar
tahun Jimakir 1738 Çaka atau 1811 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Mas
Sudiro (Kamajaya, 1992: 2). Pada usia 10 tahun beliau dititipkan pada
saudara sepupunya, KGPAA Mangkunegara III. Raden Mas Sudira diberi nama
baru yaitu RMA Gandakusuma. Karya tulis KGPAA Mangkunegara IV menurut
Kamajaya (1992) di antaranya: Serat Wedhatama, Sendhon Langen Swara,
Babad Wanagiri, Babad Giripura, Babad Tegalganda, Babad Tasikmadu, Babad
Ngalamat, Babad Serenan, Werdining Bangsal Tosan, Bendungan Tambak
Agung, Bendungan Tirtaswara, Srikaton Tawangmangu, Nyanjata Sangsam,
Wanagiri Prangwadanan, Werdining Pandel Mangkunegaran, Pasanggrahan
Langenharja, Piwulang Warayagnya, Piwulang Wirawiyata, Piwulang
Sriyatna, Piwulang Nayakawara, Piwulang Paliatma, Piwulang Salokatama,
Piwulang Darmawasita, Piwulang Salokantara, Serat Tripama, Serat
Yogatama, Serat Paraminta, Serat Paliwara, Serat Pariwara, Rerepen
Manuhara, Pralambang Rara Kenya, Pralambang Kenya Cendhala, Jaka Lala,
Prayangkara, Prayasmara, Rerepen, Dhalang, Namining Ringgit Semarang,
Sendhon Langen Swara, Sekar Ageng Citramengeng, Langen Gita, Sekar Ageng
Kumudasmara, Gendhing Walagita, Sekar Ageng Pamularsih, Gendhing
Rajaswala, Sekar Ageng Kusumastuti, Sita Mardawa, Sekar Ageng Mintajiwa,
Gendhing Puspawarna, Sekar Tengahan Palungon, Gendhing Puspanjala,
Sekar Tengahan Pranasmara, Gendhing Tarupala, Sekar Tengahan
Pangajabsih, Gendhing Puspa Giwang, Kinanthi Sekar Gadhung, Gendhing
Lebdasari, Sekar Sari Gadhing, dan Ladrang Manis Widara Kuning. Laku
dalam arti ini dilakukan pula pada waktu orang menginjak usia tua dalam
menghadapi dan mencari sampuraning pati. Contoh yang digemari sekali
oleh orang Jawa tentang laku ini adalah usaha dan perjalanan yang
dilakukan Harya Bratasena yang dengan mempertaruhkan jiwa raganya dengan
patuh menjalankan perintah gurunya Sang Hyang Drona untuk kemudian
menemukan diri-nya sendiri dalam Lakon Dewaruci. Ngelmu dan laku
merupakan sesuatu rangkaian yang mutlak dan hal ini dinyatakan di dalam
bait yang terkenal di dalam bentuk tembang Pucung, termuat dalam Serat
Wedhatama (Moertono, 1984: 162). KGPAA Mangkunegara IV wafat dalam usia
72 tahun, tepatnya tahun 1810 Jawa atau 1880 Masehi, dengan meninggakan
11 putra-putri (Kamajaya, 1992: 8). Karya-karya Mangkunegara IV hingga
sekarang masih menyebar dan berakar kuat di lingkungan kebudayaan Jawa.
Mangkunagara VII
Di
antara pada adipati di Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegara VII adalah
seorang pujangga yang aktif dalam menelurkan karya sastra pewayangan.
KGPAA Mangkunegara VII bertahta antara tahun 1916 – 1944. Beliau
produktif dalam menciptakan karya sastra yang bertopik tentang lakon
pewayangan. Lakon pewayangan dari pakem balungan untuk daerah Surakarta
bersumber dari Serat Pedhalangan Ringgit Purwa karya KGPAA Mangkunegara
VII (Soetarno, 1995: 29). Pakem Serat Pedhalangan Ringgit Purwa terdiri
dari 37 jilid, berisi 177 lakon yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu:
Cerita dewa-dewa (7 lakon), Cerita Arjuna Sasrabahu (5 lakon), Cerita
Ramayana (18 lakon), Cerita Pandawa Korawa (147 lakon) (Soetarno, 1995:
30). Karya KGPAA Mangkunegara VII di atas menjadi acuan para dalang di
daerah Surakarta dan pendukungnya. Nama kecilnya yaitu Raden Mas
Suryasuparta, putra ketiga KGPAA Mangkunegara V. Beliau lahir pada
tanggal 4 Sapar 1815 H atau 12 November 1885. Beliau wafat pada tanggal
19 Juli 1944. Rupanya Mangkunegara VII mewarisi bakat kepujanggan
kakeknya yaitu Mangkunegara IV.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana
Malik Ibrahim mempunyai beberapa nama, yaitu: Maulana Magribi, Seh
Magribi, Sunan Gresik. Beliau termasuk salah satu dari Wali Sanga yang
menyiarkan agama Islam di Gresik, Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim
masih keturunan Ali Zainal Abidin Al Husein, Ibnu Ali Ibnu Abi Thalib.
Sunan Gresik berasal dari daerah Magribi, Afrika Utara. Beliau datang ke
Indonesia pada jaman Majapahit tahun 1379 untuk syiar Islam, bersama
dengan Raja Cermin dan putra-putrinya. Raja Cermin adalah raja
Hindustan. Syeikh Maghribi wafat tahun 1419 Masehi atau 882 H. Makamnya
di Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Memayu Hayuning Bawana
Pemimpin
yang bijaksana berarti telah memayu hayuning bawana. Ayu-hayu dan
rahayu menunjuk makna keselamatan. Memayu berarti membuat selamat.
Sedangkan bawana adalah istilah lain untuk buana, dunia atau jagat.
Upaya menjaga kelestarian lingkungan adalah wujud nyata memayu
hayuning bawana. Polusi air, tanah dan udara harus dihindari demi
masa depan. Kerusakan alam membawa bencana yang amat merugikan. Banjir,
tanah longsor, kekeringan banyak disebabkan oleh tangan-tangan manusia
yang kurang memperhatikan kelestarian alam. Seandainya sejak taman
kanak-kanak ditanamkan tentang lingkungan hidup maka Indonesia akan
tampil sebagai taman sari dunia sesuai dengan konsep Jawa memayu
hayuning bawana.
Menang Tanpa Ngasorake
Setiap orang harus
berjiwa atau memiliki konsep menang tanpa ngasorake. Menang tanpa
ngasorake mempunyai arti menang tanpa mengalahkan. Menang tidak
otomatis berlawanan dengan kalah. Menjadi pemenang tidak berarti harus
mengalahkan. Pihak pemenang tidak akan merasa unggul dan sombong dan
pihak yang kalah tidak jatuh harga dirinya. Dalam dunia politik
persaingan sungguh keras. Oleh karena itu diperlukan sikap santun.
Meskipun suasana panas, namun pikiran harus dingin. Kalau bisa, meraih
kemenangan itu dengan dukungan luas. Bahkan lawan politik pun bisa
mendukung jika mereka tidak merasa terganggu dan terancam. Kemenangan
uang diperoleh tanpa harus mempermalukan lawan dan menghina pesaing
sungguh merupakan hal yang anggun sebagaimana hukum air mengalir: tidak
kalah, tidak mengalahkan, tetapi sampai tujuan.
Mendhem Jero
Mendhem
bukan berarti mabuk seperti mendem kecubung, tetapi berarti mengubur.
Jero artinya dalam. Mendhem jero maknanya mengubur dalam-dalam
keburukan dan kekurangan orang tua, aib keluarga dan kelemahan
masyarakat. Sedapat-dapatnya anak atau warga negara harus menutupi apa
yang menjadi rahasia keluarga dan masyarakat. Dalam lingkup yang
lebih luas, pemimpin yang sedang memerintah sebaiknya dapat
menyembunyikan kekurangan pemimpin terdahulu. Dengan demikian saling
dendam tidak akan terjadi. Pemimpin berikutnya tinggal melanjutkan
program yang sudah ada. Menjelek-jelekkan pendahulu sama saja dengan
melestarian dendam dan permusuhan. Prinsip mendhem jero sangat mulia
bila diterapkan dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Potret buram dan kenangan akan segera terhapus dan dapat menimbulkan
rasa optimisme baru.
Meneng
Meneng artinya diam. Namun diam
di sini bukan dalam arti tanpa sikap dan tidak tahu persoalan.
Seseorang harus diam di kala tertentu agar suasana tidak menjadi keruh.
Suasana yang panas akibat dari ucapan yang bermacam-macam menambah
potensi konflik menajam dan perselisihan meruncing. Pilihan untuk diam
merupakan sikap terbaik dan bijaksana. Di sini bisa dikatakan: diam
adalah emas. Apabila konflik memuncak dan ujung kompromi tak
diketemukan, biasanya mereka akan berpaling kepada pihak yang tidak
banyak bicara. Dan barulah pihak ini memberikan solusi yang jernih dan
efektif. Tindakan diam juga bisa digunakan untuk menghadapi orang keras.
Orang keras kalau dihadapi secara frontal akan bertambah beringas.
Dengan diam, lama-kelamaan ia akan sadar diri.
Mikul Dhuwur
Semua
orang harus bersikap mikul dhuwur. Mikul dhuwur artinya memikul
tinggi-tinggi. Arti etimologisnya bahwa seorang anak berkewajiban
mengharumkan nama ayah dan ibu serta martabat keluarga. Menghindari
perbuatan tercela dan selalu berbuat mulia adalah usaha anak dalam
rangka mikul dhuwur nama baik orang tuanya. Menjadi pelajar yang
pintar atau mahasiswa yang cerdas, menghias diri dengan sopan santun
dan ramah tamah, berprestasi dan sukses adalah wujud dari perilaku yang
menyenangkan hati orang tua. Demikian pula untuk masyarakat dan
negara, seorang warga memiliki kewajiban mengharumkan nama baiknya
dengan menjadi warga yang baik dan berprestasi gemilang di dunia
internasional.
Mituhu
Mituhu artinya berbakti, menurut,
mempercayai dan meyakini ajaran orang tua atau guru. Murid atau anak
yang baik tentu akan mituhu pada orang tua dan gurunya. Orang yang mau
mituhu terhadap ajaran luhur hidupnya beruntung. Murid yang mituhu akan
cepat meresapkan ilmu pengetahuan di otaknya. Dengan pelan-pelan dan
tertib ilmu yang diperoleh dari guru diterima dengan baik. Sedikit demi
sedikit ilmu akan berkumpul menjadi banyak. Lama-lama tanpa ada beban,
orang yang mau mituhu itu menjadi menonjol. Kecakapannya diakui oleh
orang lain. Masyarakat menggunakan kecakapan dan ketrampilannya
sehingga dia menjadi orang yang bermanfaat.
Mitayani
Mitayani
berarti dapat dipercaya karena mampu menyelesaikan pekerjaan. Segala
bentuk isi pikiran, ucapan dan perbuatan dapat dipercaya oleh orang
lain. Apa yang diperbuat senantiasa dianggab benar dan dipercaya oleh
orang lain. Supaya orang mendapat gelar mitayani, dia harus bersih,
jujur, dan bebas dari kesalahan yang fatal. Sekali berkhianat terhadap
perilakunya, saat itu juga kepercayaan orang akan buyar. Cobaan dan
godaan untuk menyeleweng memang bertubi-tubi datang justru biasanya di
saat sedang mendapat keberuntungan. Sungguh merupakan prestasi yang
tinggi, ketika seseorang tetap dikenang jasanya sepanjang masa.
Momong
Momong
artinya mengasuh, membimbing dan menjaga supaya selamat berkembang dan
tumbuh sesuai dengan harapan. Momong anak cucu berarti memelihara dan
mengarahkan anak cucu itu menuju kehidupan yang lebih baik. Pemimpin
harus bisa momong rakyatnya. Jangan sebaliknya rakyat yang harus momong
pemimpinnya. Rakyat ibarat anak yang mempunyai kharakter
bermacam-macam. Ada yang patuh, ada yang rewel. Untuk bisa momong perlu
pengalaman, pengetahuan dan pendidikan. Orang yang diasuh itu kalau
sudah berhasil akan merasa berhutang budi. Kewibawaan seorang pemimpin
akan memancar ketika rakyat yang diasuh sejahtera, makmur dan bahagia.
Bahkan sesudah wafat pun mereka tetap mengenang jasanya yang mulia itu.
Momor
Momor
artinya bergaul, berkawan dengan lingkungan sekitar. Pergaulan itu
meliputi aneka kelas sosial yang berbeda kepentingan, kegemaran dan
wataknya. Pemimpin yang sukses tentu didukung oleh berbagai golongan.
Dia mesti pintar bergaul, sehingga tidak ada satu kelompok pun yang
diasingkan. Kelompok yang diasingkan itu jiwanya akan terancam dan
cenderung untuk menyusun kekuatan. Konsolidasi kekuatan dari kelompok
oposisi ini bisa meledak sewaktu-waktu dan menimbulkan kejatuhan
seorang pemimpin. Pendekatan yang humanis terhadap semua unsur
masyarakat perlu dilakukan oleh pemimpin. Sikap momor merupakan salah
satu sikap pemimpin yang luwes.
Momot
Momot adalah memuat
rupa-rupa beban atau akomodatif. Apa saja dan kapan saja beban dapat
tertampung serta diwadahi sehingga tidak ada yang tercecer. Seorang
pemimpin yang berjiwa momot akan menampung segala aspirasi. Dia terbuka
atas kritikan dan usulan. Mereka yang berada pada posisi oposan pun
mendapat perhatian dan santunan. Pemimpin yang bijaksana tentu mampu
meredam konflik, gejolak dan menangani berbagai perbedaan secara
akomodatif. Azas profesionalisme yang menghendaki kepakaran dan
keahlian sangat dihargai. Sikap momot memang memerlukan kesabaran dan
ketabahan untuk menghadapi khalayak yang beragam. Masyarakat tentu
menghendaki pemimpin yang akomodatif.
Muksa
Pada usia senja,
maut hampir menjemput, orang harus mawas diri. Segala rupa yang menjerat
diri seperti harta dan pesona duniawi harus ditinggalkan. Pikiran dan
perasaan harus dikerahkan pada alam kelanggengan dan bekal kelak hidup
di alam akhirat, supaya akhir hidupnya benar-benar muksa atau khusnul
khatimah. Persaingan duniawi yang berujung pada konflik dan kekerasan
lebih baik dijauhi. Lengser keprabon madeg pandhita 'melepas tahta
menjadi pendeta'. Kesibukannya adalah ibadah dan mendidik anak muda
menjadi insan yang tangguh di kemudian hari, suatu pengalaman yang
diwariskan pada generasi di bawahnya.
Narima ing Pandum
Setiap
manusia diberi anugrah oleh Tuhan. Namun antara manusia yang satu
dengan yang lain mempunyai bagian yang berbeda-beda. Orang Jawa
menyebut beda-beda panduming dumadi. Kesadaran akan perbedaan bagian
itu disebut narima ing pandum. Kesadaran ini sangat penting buat
pengendalian diri. Kepada si kaya tidak akan pernah iri dan kepada si
miskin tidak akan pernah sombong dan berbuat menghina, menghardik dan
merendahkan. Ukuran penghargaan seseorang tidak semata-mata karena
hasil materi, tetapi lebih dititiktekankan pada aspek usaha dan
prosesnya. Dengan sikap narima ing pandum, seseorang tidak akan ngoyo
dalam mengajar harta benda. Di sini yang dipentingkan kerja dan pasrah
kepada panduming dumadi.
Nastiti
Nastiti berkaitan dengan
tindakan seseorang dalam mempergunakan harta bendanya. Orang Jawa
sangat perhitungan dalam mempergunakan hartanya. Harta benda yang
dikumpulkan dengan peras keringat itu dikelola agar pengeluaran tidak
melampaui pemasukan sehingga menimbulkan banyak utang. Berbeda dengan
gemi yang lebih condong kepada asal-usul harta, maka nastiti
cenderung kepada bagaimana pemakaiannya. Sama-sama keluar uang akan
lebih puas kalau mendapat untung yang lebih banyak. Sekali lagi gemi
nastiti tidak mengandung unsur pelit, bakhil dan tamak. Keduanya tetap
menggunakan pertimbangan rasional. Harta benda yang dikeluarkan dengan
sia-sia dan tidak jelas arahnya akan mengundang kesengsaraan secara
material. Apalagi penggunaan harta benda orang banyak dengan ceroboh,
tentu akan membuat susah dan kesulitan.
Ngati-ati
Sikap
ngati-ati adalah keputusan pikiran dan perasaan yang berusaha untuk
menghindari resiko terburuk baik bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain. Kecelakaan di jalan raya adalah terjadi karena faktor kurang
hati-hati. Perhitungan rasional antara sebab dan akibat tidak menjadi
bahan pertimbangan. Dorongan emosional untuk mengambil jalan pintas,
cepat dan mudah akan menyebabkan perilaku ingin mendominasi orang lain.
Bahwa tindakannya itu berbahaya, dia tidak peduli sama sekali. Main
petasan yang beresiko kebakaran juga kurang dipikirkan pelakunya.
Perbuatan yang hanya menekankan faktor rasionalitas kadang-kadang juga
menyakitkan. Terjadinya penindasan di depan mata kalau hanya ditinjau
dari segi rasional kepentingan, tentu mengandung perasaan kurang
simpati dari orang lain. Apalagi ketika menjadi seorang pemimpin
ngati-ati dalam mengambil kebijakan adalah sangat penting agar
kebijakan itu benar-benar bijak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.
Ngelmu Laku
Ngelmu laku sebenarnya berasal dari
nasehat dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV. Ngelmu iku
kelakone kanthi laku 'ilmu itu tercapainya hanya dengan menjalani
hidup'. Lekase lawan kas berarti bermula dari kas. Kas artinya
nyantosani atau memberi kesentausaan. Setya budya pangekese dur angkara
atau setia pada darma itu dapat menghindari sifat angkara murka.
Orang yang mau nglakoni berarti dirinya bersedia untuk menjalankan
prihatin, mempersakit diri, menghajar jiwa-raga dengan maksud mengolah
dan mempertajam rasa batin.
Ngidoni Srengenge
Tradisi kritik
terhadap kepemimpinan yang dilakukan secara terang-terangan dalam
budaya Jawa dinilai terlalu banyak menanggung resiko. Pancaran
kepemimpinan diibaratkan dengan cahaya matahari. Orang yang mengritik
secara vulgar dan konfrontatif sama halnya dengan ngidoni srengenge
'meludahi matahari'. Sudah pasti ludahnya akan hanya mengenai muka
sendiri. Memang dalam budaya Jawa dikenal tradisi pepe 'berjemur' di
alun-alun antara dua ringin kembar. Tetapi itu bukan bersifat
kritikan. Pepe hanya salah satu usaha permintaan keadilan warga
kerajaan yang teraniaya oleh aparat bawahan raja. Beruntung jika raja
memiliki belas kasihan, jika tidak, bukan menjadi tanggungan berat bagi
raja.
Nglurug Tanpa Bala
Nglurug tanpa bala maksudnya
mendatangi lawan tanpa mengerahkan massa. Pemimpin politik, tokoh adat,
dan pemuka agama pasti mempunyai pengikut. Kalau ada suatu masalah
selalu mengerahkan massa, maka yang akan terjadi adalah konflik dan
bentrok antar pengikut. Pemimpin yang menghindari pengerahan massa dan
tidak pamer pengikut sebenarnya lebih efektif dan terhormat karena
terhindar dari adanya korban dan perpecahan. Sementara itu orang lain
yang melihatnya pun tidak merasa takut, terancam dan kuatir. Baginya
yang terpenting adalah segala maksud tercapai. Esensi diplomat ulung
memang menekankan hasil dengan cara menekankan hasil yang damai.
Efektifitas dan efisiensi seorang diplomat dapat dicapai dengan
menghindari pengorbanan.
Nulada Laku Utama
Nulada laku utama
artinya menauladani perbuatan yang utama. Setiap komunitas pasti
memiliki tokoh tauladan yang bisa dijadikan panutan. Panutan masyarakat
biasanya orang yang baik hati, luhur budi pekertinya, menyejukkan dan
siap sewaktu-waktu dimintai pertolongan. Khalayak ramai berduyun-duyun
minta nasehat dan bimbingan. Kalau punya hajat, pergi jauh, kesedihan,
panutan itulah yang akan membantunya. Masyarakat sering memuji tokoh
panutannya ketika sudah meninggal, bahkan kadang melebih-lebihkan. Pada
tingkat tertentu panutan utama itu dianggab masih hidup arwahnya,
sehingga perlu dimintai berkahnya.
Nyandhangi
Nyandhangi
berarti memberi pakaian. Kata ini diperuntukkan bagi suami kepada
istrinya. Seorang suami berkewajiban memberikan sandang yang layak
kepada istri semampunya. Dalam makna luas, setiap orang berkewajiban
mewujudkan kesejahteraan, perlindungan, pengayoman dan kesejukan kepada
rakyatnya yang disimbolkan dengan memberi sandang. Keperluan "sandang"
bagi rakyat harus didahulukan daripada untuk dirinya sendiri. Anggota
suatu kelompok akan setia, taat, dan mendukung kepada pembesarnya yang
telah memperhatikan kesejahteraannya. Apabila kepentingan anggota
terabaikan, mereka akan mencabut dukungan kepada pemimpinnya itu.
Nyandhingi
Setiap
suami, selain nyandhangi juga berkewajiban nyandhingi kepada istrinya.
Istri yang disandhingi tentu akan merasa senang, aman dan bahagia.
Demikian juga seorang pemimpin dalam masyarakat Jawa kepada rakyatnya.
Ia harus mampu menciptakan suasana sejuk, tentram, aman dan damai.
Dengan mendekati anak buah, akan mudah menangkap aspirasinya dengan
tepat. Arti kata nyandhingi adalah sikap seorang pemimpin yang selalu
hadir di tengah-tengah rakyatnya. Konsep seia sekata sehina semalu
yang bersifat egaliter akan sangat mudah untuk diterapkan. Kalau
pemimpin bertindak hanya berdasarkan laporan bawahan saja, akan punya
peluang lebar untuk terjerumus karena laporan bawahan biasanya bersifat
ABS (asal bapak senang). Kehadiran pemimpin selalu ditunggu-tunggu oleh
rakyatnya. Apabila rakyat sedang kesusahan akan sejuk hatinya bila
sang pemimpin mau menjenguk dan memperhatikannya.
Nyelengi
Nyelengi
bermakna menabung. Celengan berarti tabungan. Suka nyelengi berarti
suka menabung yang merupakan pengendalian diri dari jiwa konsumerisme
dan hidup boros demi masa depan seperti kata pepatah: sedia payung
sebelum hujan. Masyarakat pedusunan mengajari anak-anaknya menabung
dengan memasukkan uang pecahan logam ke dalam bumbung atau bambu, atau
gerabah kecil. Setelah terkumpul banyak dan dalam jangka waktu lama,
baru tabungan itu dibuka. Rasa puas dan bangga akan mengiringi proses
bongkar uang tersebut. Ketika bumbung penuh uang, si penabung merasa
dirinya mampu mengendalikan nafsu konsumtif. Semboyan rajin pangkal
pandai, hemat pangkal kaya dapat dimulai dengan tradisi nyelengi. Jiwa
konsumerisme tinggi dapat dicegah dengan menabung. Menabung secara
nonmaterial pun bisa dikatakan sebagai nyelengi. Misalnya nyelengi amal
kabecikan 'menabung amal kebajikan'.
Padha Gulangen ing Kalbu
Pada
gulangen ing kalbu artinya setiap orang hendaknya suka merenung,
kontemplasi, refleksi dan mempertajam batin agar hati lebih peka
terhadap lingkungan sekitar. Kepekaan ini diperlukan oleh setiap orang
agar cepat tanggap dalam menghadapi persoalan yang terjadi. Pemimpin
yang tumpul pikiran dan keras hatinya tentu akan berbuat otoriter dan
semaunya. Apabila kehendaknya tidak dituruti, dia akan cepat marah.
Bawahan dan rakyatnya dicurigai bila perlu diperangi. Refleksi dan
introspeksi akan mencegah perbuatan yang tak terkendali. Segala tindakan
harus diukur baik dan buruknya.
Pakarti
Pakarti adalah
berhubungan dengan hasil kerja. Karya diperoleh melalui kerja dan
perjuangan yang gigih, tak kenal menyerah dan prosesnya memerlukan waktu
yang panjang. Kemajuan suatu bangsa salah satu tolok ukurnya adalah
mutu karya yang dihasilkan. Bahkan karya itu merupakan merk yang mahal
harganya. Orang luar mudah memberikan pengakuan dan penghormatan.
Dalam diplomasi dan percaturan dunia dengan hadirnya karya unggulan
akan diperhitungkan dan disegani. Bangsa yang banyak karyanya akan
banyak devisanya pula sehingga otomatis sejahtera penduduknya.
Pendidikan yang mengarah pada kualitas dan kuantitas karya perlu
diberikan pada anak-anak. Setiap insan didik hendaknya diarahkan
kepada hasil karya, agar mereka mempunyai rencana yang rapi menyongsong
masa depan.
Pakerti
Kata pakerti berkaitan dengan orang yang
tekun bekerja. Orang yang tekun dengan pekerjaannya akan memiliki
harga diri dan kepuasan batin yang tinggi. Pekerjaan yang dilakukan
dengan istiqamah dan profesional akan mendapat pengakuan dari
masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap pekerja, karyawan, buruh,
kuli, dan pegawai harus ditindaklanjuti dengan kebijakan membuka
kesempatan kerja dan lapangan usaha. Apabila seseorang diakui
keberadaannya karena di luar prestasi kerja, di situ akan terjadi
pelanggaran. Tindakan kebut-kebutan, ugal-ugalan, mabuk, pornografi
adalah salah satu perilaku seseorang yang menghendaki pengakuan di
luar prestasi kerja. Hanya saja mereka salah jalur, keliru dan
menyesatkan diri dan lingkungannya.
Paku Alam I (1764 – 1829)
Atas
keputusan Gubernur Jenderal Raffles kontrak politik dengan Gubernur
Inggris dilakukan pada tanggal 1 dan 7 Maret 1813. Residen Yogyakarta
yang bernama John Crawford atas nama Thomas Stanford Raffles mengadakan
kontrak politik dengan Paku Alam I. Salah satu pasalnya berbunyi bahwa
“karena gubernur Inggris sepenuhnya yakin tentang kesetiaan dan
jasa-jasa Pangeran Paku Alam, maka gubernur Inggris akan memberi
perlindungan secara langsung kepada Sri Paku Alam dan keluarganya”.
Bendara Pangeran Harya Natakusuma lahir tanggal 21 Maret 1764 di
Yogyakarta. Nama kecilnya adalah BRMH Suyadi. Ayahnya yaitu Sri Sultan
Hamengku Buwana I dan ibunya Bendara Raden Ayu Srenggana. Beliau
diwisuda menjadi KGPAA Paku Alam I pada tanggal 29 Juni 1813. KGPAA Paku
Alam I wafat tanggal 14 Oktober 1829. Makamnya di Hastana Kota Gedhe
Yogyakarta.
Paku Alam II
Kanjeng Raden Tumenggung
Natadiningrat adalah putra sulung Sri Paku Alam I. Beliau lahir pada
tanggal 25 Juni 1786. Beliau diwisuda menjadi Sri Paku alam II pada
tanggal 4 Oktober 1829. Sebelum beliau naik tahta mendapat gelar Kanjeng
Pangeran Harya Suryaningrat. Karya beliau yaitu: Serat Baratayuda,
Serat Dewaruci, Beksan Bandayuda, Ladrang Anom, Lawung Ageng, Gadhung
Melathi, Puspawarna, Masjid Paku alaman. KRT Natadiningrat wafat tanggal
23 Juni 1858. Makamnya di Kotagedhe, Yogyakarta.
Paku Alam V
BRMH
Notowilyo adalah putra Sri Paku Alam II. Ibunya bernama Resminingdyah.
Beliau lahir tanggal 23 Juni 1833. Sebagai putra mahkota beliau mendapat
gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Praba Suryadilaga. Kemudian
diwisuda menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Arya Paku Alam V. Karyanya
yaitu : Cerita Babad Segaluh, Cerita Banjaransari, Mainan Gula Ganti,
Jalungan, Gobag Sodor. BRMH Notowilyo wafat pada tanggal 6 Nopember
1900. Makamnya di Astana Giriganda, Kaligenting, Temon, Kulon Progo.
Paku Alam VII
Raden
Mas Surarja lahir tahun 1882 di Yogyakarta. Ayahnya adalah Sri Paku
Alaman VI. Ibunya adalah Gusti Timur. Beliau naik tahta tahun 1906
dengan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam VII.
Permaisurinya adalah Gusti Bendara Raden Ajeng Retna Puwasa, putri
Sinuwun Paku Buwana X. Karya seninya yaitu: Wayang Rama, Biografi Paku
Alam I – VI. Beliau wafat pada tahun 1837. Makamnya di Hastana
Girigondo, Kaliginting, Temon, Yogyakarta. Beliau sangat memperhatikan
kesejahteraan rakyatnya, terutama kalangan petani.
Paku Buwana III
Paku
Buwana III memerintah di Kasunanan Surakarta pada tahun 1749-1788.
Ibukota Mataram dipindahkan oleh Paku Buwana II dari Kartasura ke
Surakarta tahun 1743 (De Graaf, 1984: 264). Saat itu kraton Kartasura
penuh dengan konflik keras yang terjadi antar keluarga istana. Pada masa
pemerintahan Paku Buwana III ini terjadi proses sejarah Palihan Negari
pembagian kraton menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755.
Babad Giyanti secara cermat melukiskan peristiwa historis itu (Ricklefs,
1995: 84). Sinuwun Paku Buwana III aktif dalam mengembangkan sastra dan
budaya. Karya Paku Buwana III yaitu Serat Wiwaha Jarwa dengan
sengkalan: Tasik sonya giri juga yang berarti tahun 1704 Jawa atau 1778
tahun Masehi. Di samping itu, Paku Buwana III juga ikut menyempurnakan
Serat Iskandar dengan wajah baru. Dalam bidang kesenian, beliau aktif
melestarikan tari ritual kenegaraan, yaitu Bedhaya Ketawang, yang
diperagakan oleh sembilan penari putri. Perkembangan sastra Jawa semakin
pesat setelah ketegangan politik yang berakar dari konflik intern
keluarga kraton mereda sejak diadakan Perjanjian Giyanti dan Salatiga.
Paku Buwana III ikut terlibat aktif dalam proses perdamaian itu.
Kemahiran Paku Buwana III dalam soal sastra budaya diwariskan kepada
putranya yang bernama Sunan Bagus atau Paku Buwana IV yang juga menjadi
pujangga ulung.
Paku Buwana IV
Sinuwun Paku Buwana IV
bertahta di Surakarta antara tahun 1788-1820. Gelar lainnya yaitu Sunan
Bagus, karena wajahnya memang tampan, lagi pula beliau memegang kendali
pemerintahan dalam usia yang sangat muda, yaitu 19 tahun. Nama kecilnya
adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Warisan yang dibangun oleh Paku
Buwana IV di antaranya: Masjid Agung, Gerbang Sri Manganti, Dalem Ageng
Prabasugasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung Sasana
Sewaka, Bangsal Ageng Marcukundha, dan Kori Kamandhungan. Hasil karyanya
dalam bidang kesusasteraan di antaranya: Serat Wulangreh, Serat Wulang
Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla
Mataram, Cipta Waskitha, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat
Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna-Muni. Paku Buwana IV dalam pandangan
masyarakat Jawa namanya harum sekali.
Paku Buwana V
Pada masa
pemerintahan Sinuwun Paku Buwana V, terbitlah Serat Centhini. Serat
Centhini ini dikerjakan oleh sebuah tim yang dipimpin Sinuwun Paku
Buwana V sendiri. Anggota tim itu di antaranya yaitu Kyai Yasadipura II
dan Kyai Rangga Sutresna.
Paku Buwana IX
Sinuwun Paku Buwana
IX adalah putra kelima Paku Buwana VI. Ibunya bernama GKR Hemas. Beliau
lahir pada hari Rabu Kliwon tanggal 7 Saban 1758 H atau 22 Desember 1830
M. Ketika lahir, Paku Buwana VI sudah diasingkan ke Ambon, karena
terlibat mendukung perjuangan Diponegoro. Pada tanggal 30 Desember 1861
beliau diangkat menjadi Paku Buwana IX. Sebagai raja beliau juga aktif
menulis karya sastra, di antaranya: Wulang Putri, Serat Jayeng Sastra,
Serat Darmarini, Serat Wirayatna, Serat Darmaduhita, Serat Menak Cina,
Jayeng Sari, Wulang Dalem Paku Buwana IX, Serat Wira Iswara. Beliau
wafat pada tanggal 17 Maret 1893. Makamnya di Imogiri Yogyakarta. Paku
Buwana IX mempunyai 2 permaisuri: 1) GKR Paku Buwana, dan 2) K.Rt.
Maduretna. Selain garwa prameswari beliau mempunyai selir sebanyak 53
orang, yang berputra 29 orang. Seluruh putranya berjumlah 58 orang
(Partini, 2000).
Paku Buwana X (1893 – 1939)
Sinuwun Paku
Buwana X bertahta di Surakarta Hadiningrat antara tahun 1893 - 1939.
Beliau adalah putra Sinuwun Paku Buwana IX. Kawula negari Surakarta
memberi gelar Sampeyan Dalem Hingkang Minulya Saha Wicaksana Kanjeng
Susuhunan Paku Buwana X. Seni ketoprak hasil karya RMT Wreksodiningrat
mendapat dukungan penuh dari Sinuwun. Paku Buwana X lahir pada tanggal
21 Rejeb 1795 atau 29 Nopember 1866. Nama kecilnya adalah Bendara Raden
Mas Gusti Sayidin Malikulkhusna. Ibunya bernama Gusti Kanjeng Ratu Paku
Buwana. Sejak lahir diambil anak oleh eyang dalem Gusti Kanjeng Ratu
Agung, permaisuri Sinuwun Paku Buwana VI. Menginjak umur 3 tahun, BRM
Gusti Sayidin Malikulkhusna diangkat menjadi putra mahkota, dengan gelar
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Sudibya Raja Putra Narendra Mataram
Ingkang Kaping V ing Nagara Surakarta Hadiningrat. Gerakan nasional
yang tumbuh di Solo, yaitu Syarikat Islam sangat didukung oleh Paku
Buwana X. Pendidikan pada masa itu pun berkembang pesat. Surat kabar
juga hidup dengan subur, dengan beraneka ragam penerbitan yang maju
idealismenya. Setelah wafat pada bulan Pebruari 1939, masyarakat
Surakarta menganggap Sri Susuhunan Paku Buwana X sebagai raja terakhir.
Saat beliau mangkat, suasana menjadi tidhem premanem, hening, sunyi,
senyap, bahkan angin dan dedaunan tidak bergerak seolah-olah ikut
berduka.
Panca Pandawa
Disamping beberapa hal yang telah
diuraikan tadi, seorang pemimpin hendaknya juga mampu mempersatukan 5
(lima) sifat-sifat utama luhur yang dimiliki oleh Panca Pandawa
(Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) yakni : Aji, Giri, Jaya,
Nangga dan Priyambada, yang mengandung maksud : Ngesthi aji, yakni
mencari ilmu pengetahuan suci, artinya bijaksana dan mahir dalam segala
ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan suci (Weda) atau agama
(sifat Yudistira); Ngesthi Giri atau mencari kekuatan seperti gunung,
artinya kuat iman, teguh, tangguh dalam menegakkan kebenaran serta tabah
dan tegar dalam menghadapi segala kendala rintangan ataupun penderitaan
(sifat Bima); Ngesthi Jaya atau mencari kemenangan, artinya dapat
menundukkan musuh-musuhnya dan segala sifat-sifat buruk yang ada dalam
dirinya, serta sempurna lahir dan batin (sifat Arjuna); Ngesthi nangga,
mencari ketangguhan dan tanggap dalam segala keadaan serta tahu membawa
diri, sehingga tidak mudah terjerumus dalam kehancuran atau hal-hal
yang merugikan (sifat Nakula); Ngesthi priyambada, artinya selalu
memberikan rasa kebahagiaan, ketentraman serta kedamaian lahir dan batin
kepada masyarakat (sifat Sadewa).
Panca Tata Upaya
Panca tata
upaya adalah lima macam upaya yang harus dimiliki dan dilakukan seorang
birokrasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi
tanggung-jawabnya atau dalam menghadapi persoalan kenegaraan. Ajaran ini
terdapat dalam prasasti Siwa Budagama Tatwa memuat sebagai berikut :
Lokika Wisaya, artinya setia tindakan dan ucapan seorang birokrat harus
dipertimbangkan sebelumnya secara akal sehat, ilmiah dan logis serta
tidak boleh berucap berdasarkan emosi semata. Maya Tata Upaya, artinya
seorang birokrat harus melakukan upaya dalam mengumpulkan data atau
permasalahan yang belum jelas faktanya sehingga didapat informasi yang
akurat; Upeksa Tata Upaya, artinya seorang birokrat harus berusaha untuk
meneliti dan menganalisa secara mendalam semua informasi yang diperoleh
guna dapat memecahkan masalah secara proporsional dan menarik
kesimpulan yang obyektif. Indra Jala Wisaya, artinya seorang birokrat
hendaknya senantiasa berusaha untuk mencari jalan keluar terhadap setiap
permasalahan yang dihadapi secara maksimal dan berpihak kepada
kepentingan rakyat. Wikrama Wisaya, artinya seorang birokrat hendaknya
berupaya untuk melaksanakan semua usaha yang telah
diprogramkan/dirumuskan untuk mencapai tujuan, yakni kesejahteraan lahir
batin.
Panca Titi Darmaning Prabu
Prabu
Arjuna Sasrabahu dalam pewayangan merumuskan ilmu kepemimpinan yang
dikenal dengan panca titi darmaning prabu atau lima kewajiban sang
pemimpin yang terdiri dari : Handayani Hanyakra Purana, maksudnya
seorang pemimpin senantiasa memberikan dorongan, motivasi dan kesempatan
bagi para Generasi Mudanya atau anggotanya untuk melangkah ke depan
tanpa ragu-ragu. Madya Hanyakrabawa, maksudnya seorang pemimpin di
tengah-tengah masyarakatnya senantiasa berkonsolidasi memberikan
bimbingan dan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat yang
mengutamakan kepentingan masyarakat. Ngarsa Hanyakrabawa, maksudnya
seorang pemimpin sebagai seorang yang terdepan dan terpandang senantiasa
memberikan panutan-panutan yang baik sehingga dapat dijadikan suri
tauladan bagi masyarakatnya. Nir bala wikara, maksudnya seorang pemimpin
tidaklah selalu menggunakan kekuatan atau kekuasaan di dalam
mengalahkan musuh-musuh atau saingan politiknya. Namun berusaha
menggunakan pendekatan pikiran, lobi, sehingga dapat menyadarkan dan
disegani pesaing-pesaingnya. Ngarsa dana upaya, maksudnya pemimpin
sebagai seorang ksatria senantiasa berada terdepan dalam mengorbankan
tenaga, waktu, materi, pikiran, bahkan jiwanya sekalipun untuk
kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.
Panjang
Dalam
suluk pedalangan diterangkan : panjang dawa pocapane berarti mempunyai
sejarah yang lama. Suatu bangsa yang akar historisnya dapat ditelusuri
akan menambah kepercayaan diri yang kuat. Dengan membandingkan
peristiwa lalu dan peristiwa yang sedang berlangsung akan mudah
mencari jalan keluar dari setiap persoalan yang memiliki nilai kesamaan.
Kegagalan dan keberhasilan masa lalu akan memberikan pelajaran yang
sangat berharga. Sebab-sebab kegagalan dan keberhasilan itu ada yang
karena kesengajaan dan ada yang karena kebetulan. Faktor kesengajaan
perlu dikelola dengan sebaik-baiknya.
Pangeran Diponegoro
Keluarga
kesultanan Yogyakarta selalu mewarisi jiwa kepahlawanan. Di antaranya
yaitu Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro adalah putra Sinuwun
Hamengku Buwana III, Sultan Yogyakarta, dari garwa selir yang bernama
Raden Ajeng Mangkarawati. Beliau sangat disayangi oleh eyang buyutnya,
Sultan Hamengku Buwana I atau Sultan Swargi. Nama kecilnya adalah Raden
Ontowiryo, yang lahir tanggal 11 Nopember 1785. Sejak kanak-kanak
Diponegoro ikut eyang putrinya, Kanjeng Ratu Ageng, di luar istana,
yaitu daerah Tegalrejo. Pada tanggal 6 Desember 1922 adik Pangeran
Diponegoro, Sultan Hamengku Buwana IV atau Sultan Jarot wafat. Putra
mahkotanya yang bernama Pangeran Menol masih sangat muda, lahir tanggal
25 Januari 1910. Hanya alasan konsitutional, Pangeran Menol yang masih
balita ini diwisuda menjadi Sultan Hamengku Buwana V, dengan bimbingan
Dewan Wali yang terdiri dari: Kanjeng Ratu Ageng (nenek), Kanjeng Ratu
Kencana (ibu), Pangeran Mangkubumi (putra HB II), Diponegoro (paman),
Patih Danureja. Dewan perwalian Kraton itu mudah menimbulkan konflik
intern, karena ternyata Patih Danureja sangat dominatif atas dukungan
penuh pemerintahan Hindia Belanda. Puncak dari ketegangan ini membuat
pecahnya Perang Diponegoro yang terjadi antara tahun 1825-1830
(Ricklefs, 1995). Pada tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro ditangkap di
Magelang sewaktu mengadakan perundingan dengan Belanda. Diponegoro
kemudian dibuang ke Menado. Dari Menado kemudian dipindahkan ke Makassar
sampai saat wafatnya, tanggal 8 Januari 1855. Selama dalam pengasingan
itu Pangeran Diponegoro aktif menulis karangan, yaitu: Babad Diponegoro
I, yang ditulis di Menado, Babad Diponegoro II, yang ditulis di
Ujungpandang. Makam Diponegoro di Makasar sangat dihormati oleh
masyarakat setempat. Demikianlah Diponegoro bukan saja figur lokal,
tetapi merupakan pahlawan yang pantas disegani dan diteladani oleh
setiap anak bangsa di seluruh tanah air.
Pangeran Panjangmas
Pada
jaman Mataram ada seorang seniman dhalang yang terkenal bernama
Pangeran Panjangmas. Pangeran Panjangmas adalah abdi dalem carik pada
masa pemerintahan Sinuwun Anyakrawati atau Panembahan Krapyak, raja
Mataram (1601 – 1613). Panembahan Krapyak meminta Pangeran Panjangmas
agar menulis Babad Demak. Saat itu Pangeran Panjangmas merupakan tokoh
seniman, sastrawan dan budayawan. Keturunan Pangeran Panjangmas banyak
yang menjadi dalang terkenal di kawasan Jawa Tengah. Dalang keturunan
Pangeran Panjangmas di antaranya: Marajaya, menurunkan dalang di daerah
Wedhi, Gantiwarno dan Prambanan; Marasanta, menurunkan dalang daerah
Wonogiri; Mayalesana, menurunkan dalang daerah Ceper, Delanggu dan
Pedan. Hingga saat ini banyak seniman dalang merasa beruntung apabila
dirinya masih keturunan Pangeran Panjangmas.
Pasir
Dalam
bahasa pedalangan pasir dimaknai samudra. Pencipta kata pasir ini
tentu berdasarkan realita bahwa nusantara memiliki wilayah yang
sebagian besar adalah samudra raya. Harus diakui bahwa samudra atau
lautan merupakan sumber kekayaan alam yang berlimpah ruah. Di sana
terdapat sumber daya laut yang sangat besar dan merupakan jalur
perdagangan, pelayaran dan pelabuhan. Bahan tambang juga banyak
terdapat di dalam laut. Produksi garam besar-besaran hanya bisa
dilakukan di sekitar laut. Demikian pula keanekaragaman hayati,
tumbuh-tumbuhan laut dan ikan-ikan tentu bisa mendatangkan kemakmuran.
Oleh karena itu penting untuk masyarakat dan negara menguasai
teknologi dan ilmu kelautan. Konsep pasir perlu mendapat pemaknaan lebih
luas agar bisa mendatangkan keuntungan lebih banyak.
Pasrah Sumarah
Sikap
pasrah orang Jawa sangat menguntungkan. Mereka tidak pernah menuntut
macam-macam kepada pemerintah. Hampir secara penuh mereka menyerahkan
kedaulatannya kepada pemimpin. Bagi mereka pemimpin adalah orang yang
dapat menjamin keamanan dan ketentraman. Bila ketentraman dan keamanan
sudah mereka dapatkan, maka mereka tidak akan menuntut lebih.
Sebenarnya sikap sabar nrima, pasrah sumarah, itu sudah lama
berlangsungnya. Masyarakat kota yang modern mungkin heran mengapa
orang Jawa bersikap seperti itu. Keadaan yang kurang menguntungkan
secara ekonomi tidak dirasakan sebagai malapetaka. Sistem kepercayaan
orang Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindakannya. Semua hajatan
penting mesti dicarikan hari pasaran yang baik. Tidak sembarang
hari digunakan untuk perhelatan. Begitu religiusnya, maka di daerah
pedusunan itu banyak dijumpai upacara tradisional yang berhubungan
dengan sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pathet Manyura
Merupakan
jenis gending untuk mengiringi dalam adegan pewayangan. Periode ini
berlangsung dari pukul 03:00-06.00, ditandai dengan gunungan (kayon)
condong ke kanan. Pathet manyura ini dibagi menjadi tiga jejeran yaitu:
a. Jejer Manyura. Tokoh utama adegan ini sudah berhasil dan mengetahui
dengan jelas akan tujuan hidupnya. Mereka sudah dekat dengan sesuatu
yang dicita-citakan; b. Adegan Perang Brubuh, yaitu suatu adegan perang
yang diakhiri dengan suatu kemenangan dan banyak jatuh korban. Adegan
ini melambangkan suatu tataran manusia yang sudah dapat menyingkirkan
segala hambatan hingga berhasil mencapai tujuannya; c. Tancep Kayon,
penutup pergelaran wayang tersebut, diadakan tarian Bima atau Bayu yang
berarti angin atau nafas. Kemudian gunungan (kayon) ditancapkan di
tengah tengah kelir lagi. Adegan yang terakhir ini melambang-kan proses
maut, jiwa meninggalkan alam fana dan menuju kepada kehidupan alam
baqa, kekal dan abadi . Wedharan pada pathet manyura berupa nasihat atau
pernyataan pada jejeran menjelang perang brubuh. Setelah mendapatkan
pengetahuan dan penghayatan dari wejangan pathet sanga seorang satria
lalu memperlihat-kan kemampuannya untuk memberantas dur angkara.
Tindakan yang dilakukan tanpa marah, tanpa pamrih yang melihat pada
dirinya. Pathet manyura ditandai dengan posisi kayon sedikit miring ke
kiri. Hal ini melambangkan bahwa manusia harus beramal, sehingga
kehidupannya akan berbuah kebahagiaan.
Pathet Nem
Merupakan
jenis gending untuk mengiringi dalam adegan pewayangan. Gending ini
berangkat dari ajaran yang bersumber pada lingkungan hidup lahir dan
sebagian dari lingkungan hidup batin. Gambaran alam benda dan alam
biologis di dalam janturan jejeran. Pada penggambaran keadaan alam ini
diharapkan selalu mengingat kesatuan hidup, meliputi manusia, alam
sekitarnya dan kekuasaan Tuhan. Periode yang berlangsung pukul
21.00-24.00 ini melambangkan masa kanak-kanak. Sesuai dengan suasana
tersebut, maka gamelan dan lagu dalam pathet nem ini ditandai dengan
kayon (gunungan) ditancapkan cenderung ke kiri. Periode pathet nem ini
dibagi menjadi 6 adegan (jejeran) yaitu : a. Jejeran raja yang
dilanjutkan dengan adegan kedhatonan. Setelah selesai bersidang raja
diterima permaisuri untuk bersantap bersama. Jejeran ini melambangkan
bayi yang mulai diterima dan diasuh kembali oleh ibunya; b. Adegan
paseban jawi, melambangkan seorang anak yang sudah mulai mengenal dunia
luar; c. Adegan jaranan (pasukan binatang, gajah, babi hutan). Adegan
itu melambangkan watak anak yang belum dewasa dan biasa mempunyai sifat
seperti binatang. Anak itu tidak memperhatikan aturan yang ada, tetapi
hanya memikirkan diri sendiri; d. Adegan Perang Ampyak (menghadapi
rintangan) melambangkan perjalanan seorang anak yang sudah beranjak
dewasa yang mulai menghadapi banyak kesukaran dan hambatan, namun dapat
dilaluinya dengan aman; e. Adegan sabrangan (raksasa), melambangkan
seorang anak yang sudah dewasa tetapi watak-wataknya masih banyak
didominasi oleh keangkaraan, emosi dan nafsu; f. Adegan Perang Gagal,
suatu perang yang belum diakhiri suatu kemenangan, kekalahan, hanya
berpapasan saja, atau masing-masing mencari jalan lain. Adegan ini
me-lambangkan suatu tataran hidup manusia masih dalam fase ragu-ragu,
belum mantap, karena belum ada suatu tujuan yang pasti .
Pathet Sanga
Merupakan
jenis gending untuk mengiringi dalam adegan pewayangan. Periode ini
berlangsung pada pukul 24.00-03.00 dengan ditandai gunungan yang berdiri
tegak di tengah-tengah kelir seperti pada waktu mulai pergelaran.
Pathet sanga ini dibagi menjadi tiga jejeran yaitu : a. Adegan
bambangan, yaitu adegan seorang satria ber-ada di tengah hutan atau
sedang menghadap pendeta. Adegan ini melambangkan manusia yang sudah
mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan; b. Adegan Perang
Kembang,Yaitu adegan perang antara raksasa Cakil berwarna kuning, Rambut
Geni ber-warna merah, Pragalba berwarna hitam, Galiuk berwar-na hijau,
melawan seorang satria yang diiringi panakawan. Adegan ini melambangkan
suatu tataran manusia yang sudah mulai mampu dan berani mengalahkan
nafsu angkara murka (sufiah, lawamah, amarah dan mutmainah); c. Adegan
Jejer Sintren, Yaitu suatu adegan seorang satria yang sudah menetapkan
pilihannya dalam menempuh jalan hidupnya. Wejangan pada pathet sanga ini
disampaikan kepada seorang satria oleh dewa, pendeta, pertapa, Semar
atau pinisepuh lainnya. Wejangan berisikan kesadaran dalam ngudi
kasampurnan.
Patih Gajah Mada
Dalam berbagai kepustakaan,
Gajah Mada disebut juga dengan nama Empu Mada, Jaya Mada, atau Dirada
Mada. Menurut Agama, namanya adalah Lembu Muksa yang merupakan
penjelmaan Dewa Wisnu. Gajah Mada artinya gajah yang tangkas, cerdik dan
energik. Barangkali pula, nama Gajah Mada hanya merupakan nama sebutan
saja, sedangkan nama kecilnya tidak diketahui dengan pasti. Gajah Mada
mengabdi sebagai punggawa kerajaan selama lebih dari 40 tahun. Ia
wujudkan cita-cita besarnya dengan seluruh kekuatan yang dia miliki. Ia
mendidik putra-putra Majapahit menjadi prajurit yang cerdas dan tangkas.
Ia ajar pada sarjana wirotama menjadi tamtama yang berhati mulia dan
berwatak satria. Ia gembleng para abdi negara di bawah kekuasaannya
menjadi abdi yang jujur dan setia. Gajah Mada sendiri adalah prajurit
dan politikus pilih tanding sehingga berhasil mencapai kedudukan tinggi
dan terhormat di sisi raja. Kitab Pararaton memuat sedikit sejarah
tentang Gajah Mada. Gajah Mada dilukiskan sebagai pemuda sakti berhati
bijak yang berhasil menjaga tahta yang hampir runtuh, bahkan
menegakkannya dengan kokoh. Dialah tokoh pertama kali yang berhasil
mempersatukan kepulauan nusantara di bawah satu payung agung bernama
kerajaan Majapahit. Awal karir politik Gajah Mada adalah sebagai
seorang kepala Prajurit Bayangkara. Sebagai kepala prajurit, ia sangat
cakap dan disegani lawan. Ketika ia berhasil mencapai kemenangan dalam
peperangan, maka ia diangkat sebagai seorang kepala daerah. Pengabdian
Gajah Mada sudah dimulai pada masa pemerintahan Prabu Jayanegara
(1309-1328). Di bawah raja Prabu Jayanegara ini, Gajah Mada menunjukkan
banyak jasa istimewa, sehingga karir politiknya selalu menanjak. Dari
waktu 11 tahun, yakni tahun 1319-1330, kiprahnya mendapat perhatian dari
pemerintahan pusat. Kebijaksanaan Gajah Mada dalam mengatasi berbagai
persoalan semakin lama semakin tersohor ke pemerintahan pusat, sehingga
pada tahun 1330 ia ditarik untuk menguatkan pemerintahan Majapahit
dengan dilantik sebagai Patih Mangkubumi. Pada saat menjabat sebagai
Patih Mangkubumi yang menggantikan Arya Tadah ini, Gajah Mada berhasil
mempersatukan kepulauan nusantara. Pada tahun 1319, ia diangkat sebagai
bekel pasukan bayangkara raja. Tidak lama setelah ia diangkat sebagai
bekel tersebut, terjadi terjadi pemberontakan besar yang menggoyangkan
pemerintahan. Pada saat genting tersebut, Gajah Mada mengambil peran
yang sangat sentral. Kebijaksanaannya dalam mengatasi berbagai pihak
yang bertikai berkenan di hati Prabu Jayanegara. Pada tahun 1364, Gajah
Mada meninggal dunia. Akan tetapi, di manakah beliau dikuburkan tiada
yang tahu. Menurut sebagian sumber sejarah, beliau muksa di daerah
Blitar. Namun benarkah informasi tersebut masih menjadi pertanyaan
hingga saat ini. Beliau adalah tokoh yang menyejarah dengan gemilang,
namun di mana beliau lahir dan dikuburkan tidak pernah diketahui. Hanya
perjuangan dan cita-citanya yang tetap besar sepanjang masa, melekat di
kalbu rakyat, menghunjam di jantung bumi. Ia mendapat tempat yang paling
terhormat dalam sejarah perjuangan nusantara.
Pekerti
Pekerti
bersinonim dengan sopan santun, unggah-ungguh, tata krama, etika dan
moral. Pekerti merupakan aturan seseorang dalam menentukan tingkah
lakunya secara pribadi. Baik buruk tingkah aku seseorang inilah yang
dinamakan pekerti. Istilah pekerti ingkang becik berarti tabiat yang
baik. Ukurannya yaitu sejauh mana tindakan yang diputuskan itu
bermanfaat bagi orang lain. Dalam hal ini termasuk juga apakah akibat
dari tindakannya itu akan merugikan pihak lain. Pekerti yang baik, dan
luhur senantiasa berguna dan menyejukkan semua pihak. Sejak di usia
anak-anak, hendaknya ditanamkan soal keutamaan budi pekerti luhur
sehingga setelah dewasa sudah terbiasa dengan tindakan yang dilandasi
pertimbangan baik dan buruk. Kelakuan buruk orang dewasa biasanya
akibat masa muda yang kurang terdidik.
Perwira
Perwira adalah
pahlawan yang selalu siap menegakkan kebenaran dan keadilan. Kebenaran
berkaitan dengan olah pikir, kemampuan, penalaran dan kegiatan
keilmuan. Keadilan menyangkut keseimbangan, kesetaraan, dan kenyamanan
hidup bersama. Seorang perwira jauh berbeda dengan prajurit. Seorang
perwira diharap mempunyai bermacam-macam kemampuan. Seorang perwira
juga seorang konseptor, administrator, dan operator di lapangan. Otak
perwira harus encer, tangannya harus cekatan, dan kakinya harus cepat
melangkah. Kegagahan perwira tampak pada visi dan misi, intelektualitas,
moral, ilmu-amaliah, dan iman-ihsannya sehingga patut diteladani.
Pesunen Sariranira
Arti
pesunen sariranira adalah agar seseorang mampu mengendalikan nafsu
dirinya. Seorang pemimpin banyak kesempatan untuk berbuat baik
seharusnya digunakan sebaik mungkin, jangan mengikuti hawa nafsu yang
bisa merusak ke jurang kenistaan. Pemimpin memiliki banyak kesempatan
untuk melakukan apa saja dan di situ pula godaan datang bertubi-tubi dan
bermacam-macam. Kadang-kadang godaan itu hadir seolah-olah barang yang
penuh daya pesona. Sebenarnya cuma maya dan menipu indra. Pengendalian
diri dengan mengekang hawa nafsu termasuk cara yang dapat menghalau
godaan yang menyesatkan. Kalau kuat godaan cita-cita akan tercapai.
Dalam Lakon wahyu cakraningrat, karena Abimanyu kuat dalam menghadapi
semua cobaan maka ia berhasil mendapatkan wahyu tersebut. Dalam Lakon
Bimasuci, Bima pun berhasil mendapatkan air perwita sari karena ia kuat
melawan segala halangan dan rintangan.
Petung Butuh
Petung
adalah musyawarah untuk memutuskan suatu acara penting dalam sebuah
keluarga. Misalnya petung butuh adalah rapat yang membahas anggaran
keluarga. Ada lagi petung yang sangat penting, yaitu petung dina.
Petung dina lazim dilakukan untuk menentukan hari baik untuk suatu
acara hajatan, misalnya hari pernikahan. Untuk mencari hari yang tepat
itu diperlukan pertimbangan sesepuh yang bijak dan dianggab pintar.
Orang yang diajak petung biasanya merasa dihargai. Dirinya diperlukan,
diperhatikan, dihargai, dan dianggab ada yang akhirnya nanti mendukung
kekompakan.
Prabu Jayabaya
Di antara raja Kediri, Prabu
Jayabhayalah yang paling terkenal. Prabu Jayabaya adalah raja di Kediri
yang paling terkenal. Beliau memerintah antara 1130 – 1157 M. Pada jaman
Prabu Jayabaya ini tumbuh pesat kegiatan tulis menulis, di antaranya:
Empu Sedah mengarang Kakawin Bharatayudha, Empu Panuluh mengarang
Kakawin Bharatayudha, Hariwangsa dan Gathotkacasraya. Dukungan spiritual
dan material dari Prabu Jayabhaya dalam hal kesusastraan dan
kebudayaan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh
ke depan menjadikan Prabu Jayabhaya layak dikenang sepanjang masa.
Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu
menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana
dan adil terhadap rakyatnya. Sampai saat ini ramalan Prabu Jayabaya
sering menjadi rujukan untuk menganalisis perisitiwa kontemporer. Kalau
ada keadaan kacau, masyarakat sering merujuk pada ramalan Jayabaya,
tanpa mau meneliti apakah ramalan itu benar-benar dari Prabu Jayabaya
atau sekedar omong kosong. Pada saat-saat tertentu makam Jayabhaya di
daerah Mamenang, Kediri banyak dikunjungi oleh para peziarah dengan
bermacam-macam tujuan. Yang jelas para peziarah itu meyakini bahwa
Prabu jayabhaya mampu menangkap keluh-kesahnya. Bahkan bila perlu mereka
datang minta doa restu agar cita-citanya dapat terkabul.
Pranata Mangsa
Di
balik keluguannya ternyata orang Jawa sangat paham terhadap
pergantian musim atau pranata mangsa. Mereka mengerti sekali soal
pergantian musim terutama berkaitan dengan masa tanam, dan masa panen
(musim hujan, kemarau, labuh, mareng).
Prasaja
Prasaja
mempunyai banyak arti yaitu terbuka, hidup seadanya dan sederhana. Hidup
prasaja bukan berarti kekurangan dan miskin, tetapi berusaha
menyesuaikan dengan lingkungan. Orang yang menjalani hidup prasaja
tidak mau menonjolkan diri, bermewah-mewahan dan menghindari pamer. Dia
mampu bertingkah laku andhap asor, mengendalikan keinginan, suka
mengalah, namun dalam hal prestasi mau berjuang secara sungguh-sungguh.
Kerja keras dan jujur senantiasa menyertai kehidupan yang prasaja.
Mencari uang itu sulit, mengumpulkan harta kekayaan itu memerlukan
perjuangan yang gigih dan kerja keras yang tekun. Hidup prasaja
memerlukan kehati-hatian.
Prasasti Mantyasih
Prasasti Mantyasih
yang berangka tahun 907 ditulis atas perintah raja Balitung. Prasasti
ini memuat kondisi politik dan silsilah raja Mataram Kuno: “Rahyang ta
rumuhun ri medang ri poh pitu, Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Sri
Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja
Rakai Warah, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri Maharaja Rakai Pikatan, Sri
Raja Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan kemudian
disusul oleh raja yang sedang memerintah yaitu Sri Maharaja Rakai
Watukumara Dyah Balitung Dharmodaya Makasambhu.
Pulung
Kepemimpinan
dalam pandangan budaya Jawa diperoleh melalui proses turunnya wahyu,
pulung atau ndaru. Di desa-desa sewaktu terjadi pemilihan kepala desa
(pilkades), para calon kades itu biasanya saling berebut pulung. Mereka
datang ke dukun-dukun, orang tua, atau tempat keramat semacam kuburan
leluhur hanya demi mewujudkan impiannya untuk mendapatkan pulung
kepemimpinan tersebut.
Punjung
Arti kata punjung adalah luhur
kewibawaannya. Kewibawaan suatu negara diperoleh dari pengakuan rakyat
dalam negeri dan pengakuan kedaulatan dari negara-negara lain. Rakyat
yang sejahtera lahir batin dan negara tetangga yang mendapatkan hutang
budi merupakan modal pokok suatu negara untuk tampil terkemuka mendapat
pengakuan dan kewibawaan. Lain halnya dengan suatu negara yang
dirundung gejolak politik, kerusuhan, kemiskinan dan kesengsaraan
warganya, tentu saja rakyat akan melakukan upaya-upaya penggulingan
kekuasaan dan negara lain sulit mengakui kewibawaannya. Boleh jadi malah
menjadi cibiran bangsa manca. Negara seperti itu tidak bisa dibanggakan
lagi. Oleh karena itu sedapat-dapatnya masing-masing warga mau aktif
dan kompetitif dalam membangun kemakmuran negara. Pemimpin negara
juga dituntut memiliki visi yang cerdas, tidak korup dan memiliki
supremasi hukum.
Pura Mangkunegaran
Setelah Perjanjian
Salatiga ditandatangani, maka secara resmi berdirilah Pura
Mangkunegaran. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa sebagi
pendirinya menjadi adipati pertama kali dengan gelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Para adipati yang pernah
memerintah di Pura Mangkunegaran yaitu :
1. Mangkunegara I (1757 - 1795)
2. Mangkunegara II (1795 - 1835)
3. Mangkunegara III (1835 - 1852)
4. Mangkunegara IV (1852 - 1880)
5. Mangkunegara V (1880 - 1896)
6. Mangkunegara VI (1896 - 1916)
7. Mangkunegara VII (1916 - 1944)
8. Mangkunegara VIII (1944 - 1981)
9. Mangkunegara IX (1987 - Sekarang)
Pura Pakualaman
Kadipaten
Paku Alaman secara administratif terlepas dari kekuasaan kesultanan
Yogyakarta. Para adipati yang pernah memerintah di Pura Paku Alaman:
1. Paku Alam I (1813 - 1829)
2. Paku Alam II (1829 - 1858)
3. Paku Alam III (1859 - 1864)
4. Paku Alam IV (1864 - 1878)
5. Paku Alam V (1878 - 1900)
6. Paku Alam VI (1900 - 1903)
7. Paku Alam VII (1903 - 1938)
8. Paku Alam VIII (1938 - 1998)
Purun
Purun
berarti kemauan, kehendak, tekad, semangat dalam menyelesaikan suatu
kerja berat. Kemauan kuat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau
masalah sangat vital dan merupakan perbuatan mulia. Para pelajar yang
mempunyai kemauan keras untuk belajar tentu akan disukai oleh gurunya.
Teman-temannya pun akan segan terhadapnya. Lebih-lebih lagi kemauan
keras sangat penting untuk meraih cita-cita. Penghormatan dari orang
lain akan muncul dengan sendirinya. Di mana-mana ia, akan selalu menjadi
buah bibir. Itulah wujud dari nama harum karena purun 'kemauan yang
kuat'. Rangkaian kata guna, kaya lan purun dapat dijumpai dalam Serat
Tripama karya Mangkunegara IV yang menceritakan kisah Patih Suwanda atau
Raden Sumantri. Patih Suwanda selalu sukses dalam menjalankan tugas.
Raden Panji Notoroto
Di
kalangan budayawan dan politikus Jawa Raden Panji Notoroto sudah tidak
asing lagi. Beliau adalah seorang ahli kebatinan dan sastrawan yang
aktif menulis. Karangan R.P. Notoroto di antaranya: Serat Bayanullah,
Musyawaratan Para Wali, Kancil Kridhamartana, Serat Purwakanthi. Murid
R.P. Notoroto yang cerdas dan unggul adalah Ki Kusumowicitro, pendiri
gerakan kebatinan Hardapusara. Ki Kusumowicitro mempunyai murid Ki
Sujonorejo. Riwayat hidup Raden Panji Notoroto ditulis dalam buku
Falsafah Siti Jenar oleh Brata Kesawa, seorang asisten wedana di Ngijon,
Sleman, Yogyakarta. Beliau pernah mengabdi kepada Sinuwun Hamengku
Buwana V, VI dan VII di Kraton Yogyakarta. Beliau banyak menyelamatkan
naskah-naskah Jawa lama dengan digubah dan disalin dalam bentuk yang
baru, sehingga bisa dinikmati oleh khalayak yang lebih luas.
Raden Wijaya
Raden
Wijaya menjadi raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Kertarajasa
Jayawardhana (1293-1309). Ia mempunyai 4 (empat) isteri, di mana yang
tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan yang termuda bernama Gayatri
yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah berlangsungnya
raja-raja Majapahit selanjutnya. Raden Wijaya memerintah dengan tegas
dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip
Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan
Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan
sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai
Blambangan. Majapahit berdiri tahun 1294, dua tahun sesudah runtuhnya
kerajaan Singosari (1222-1292). Kerajaan Singasari berpusat di kota
Malang sekarang ini. Kerajaan ini runtuh akibat serangan dari Kediri
pada masa Prabu Jayakatwang. Maka turunan raja pertama, Rajasa atau Ken
Arok (1222-1227) sampai raja yang terakhir yakni Kertanegara (1268-1292)
habis sudah. Setelah dua tahun, Kerajaan Kediri di bawah Prabu
Jayakatwang sempat memimpin tanah Jawa. Akan tetapi, rupanya
pemerintahan Jayakatwang kurang legitimit di mata rakyat karena Prabu
Jayakatwang bukan keturunan Ken Arok, sehingga ia kesulitan melakukan
dalam konsolidasi pemerintahan. Bisa dikatakan, pada masa tahun
1292-1293 ini tanah Jawa sedang mengalami pancaroba. Kerajaan Majapahit
sangat besar peranan dan artinya dalam sejarah persatuan nusantara.
Raharja
Raharja
berarti jauh dari kejahatan. Semua orang patuh pada hukum. Pencuri dan
pencopet, maling dan kecu tidak mendapat tempat. Harta dan
kekayaan, ternak dan hasil pertanian aman ditaruh di mana saja, tidak
ada kejahilan dan kejahatan yang mengganggu. Mereka yang kecukupan
membantu yang kurang kecukupan. Hal ini menjadikan yang kekurangan
kerjanya menjadi lebih giat untuk mengejar ketinggalan. Antara kekayaan
dan kemiskinan terjadi saling pengertian. Mereka tahu posisi dan
kedudukannya sehingga hubungan harmonis terpelihara. Penonjolan
kemewahan oleh yang kaya tidak terjadi dan meminta-minta oleh yang
melarat tidak terlihat.
Rahayu
Setiap kali para orator bahasa
Jawa mau mengakhiri pembicaraan, senantiasa terdengar ungkapan: mugi
rahayu ingkang sami pinanggih. Artinya semoga selalu bertemu dalam
keselamatan. Rahayu di sini juga mengandung makna doa selamat.
Ayu-hayu-rahayu adalah kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya
keselamatan. Wanita ayu adalah wanita yang bisa menghadirkan suasana
keselamatan, kesejukan dan kedamaian. Demikian juga kata
hayu-dirgahayu adalah ungkapan yang menghendaki datangnya keselamatan.
Untuk anak putri sering diberi nama rahayu. Misalnya Nanik Rahayu,
Sulastri Rahayu, Prapti Rahayu dan Sulistya Rahayu. Harapannya agar si
anak mendapat kecantikan fisik dan kecantikan batin, sehingga
kehadirannya membawa keindahan dan kedamaian.
Rakai Pikatan
Rakai
Pikatan memerintah Kraton Mataram Hindu sekitar tahun 998 Çaka atau 856
Masehi. Istrinya adalah putri Raja Samaratungga yang bernama
Pramodhawardhani. Pada jaman pemerintahan Rakai Pikatan itu dibangun
Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang. Prasasti yang mengungkapkan
tentang Candi Prambanan yaitu Prasasti Siwagraha yang berangka tahun 778
Çaka atau 856 Masehi, yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan (Moertjipto
& Bambang Prasetyo, 1994: 30). Sekarang prasasti itu disimpan di
Musium Pusat Jakarta. Nama Rakai Pikatan juga disebut dalam Prasasti
Mantyasih. Begitu terkenalnya, Rakai Pikatan mendapat julukan
Jatiningrat.
Rame ing Gawe
Ungkapan rame ing gawe mengandung
maksud suka bekerja atau cepat kaki ringan tangan. Orang yang berjiwa
rame ing gawe selalu menggunakan maksudnya untuk bekerja serta pantang
menganggur. Negara akan maju dan berkembang dengan keringat orang yang
suka bekerja. Produktivitas kerja akan menolong orang lain untuk
sama-sama merasakan rembesan keringat hasil kerjanya. Di mana-mana
saja orang dapat memberi kalau dia mempunyai. Kalau tidak punya maka apa
yang lantas akan diberikan, selain kerja yang tekun? Kerja keras juga
merupakan sarana untuk berbuat baik dan berguna bagi masyarakat dan
merupakan perilaku yang teramat mulia. Orang akan menghargai pihak lain
yang mau bekerja dengan tekun dan tulus. Orang yang rame ing gawe tidak
akan merongrong pihak lain, apalagi jika diimbangi dengan sikap sepi
ing pamrih, tidak mengharapkan balas jasa.
Ranggawarsita
Raden
Ngabehi Ranggawarsita lahir pada hari Senin Legi, 10 Dulkaidah, tahun
Be, 1728 Jawa atau 15 Maret 1802 Masehi. Beliau adalah putra sulung Mas
Pajangswara yang berpangkat jajar, kemudian naik pangkatnya menjadi
carik atau juru tulis di Kadipaten Anom (Kamajaya, 1985: 13). Nama
mudanya yaitu Bagus Burham. Bagus Burham menjelang usia 12 tahun dikirim
ke suatu pesantren untuk memperdalam pendidikannya. Tempat pesantrennya
adalah pondok pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo yang diasuh oleh kyai
ternama, yaitu Imam Kasan Besari (Drewes, 1974: 202). Imam Besari masih
menantu Sri Sunan Paku Buwana IV di Surakarta. Sesudah belajar agama di
Ponorogo itu, Bagus Burham memperluas ilmunya dengan mengembara. Dalam
laku pengembaraannya itu Bagus Burham juga berusaha untuk berdialog di
berbagai tempat dengan guru-guru tersohor. Kegiatannya ini dilakukan
sampai menyeberang ke Pulau Bali (Simuh, 1988: 39). Pada tahun 1845
beliau diangkat menjadi pegawai di istana sebagai pujangga kraton
Surakarta. Selama hidupnya beliau mengabdi kepada 5 raja, Sinuwun Paku
Buwana V – IX. Loyalitas beliau terhadap profesinya ditunjukkan dengan
sejumlah karya-karyanya yang bermutu tinggi. Karya tulis Raden Ngabehi
Ranggawarsita di antaranya: Serat Wirid, Hidayat Jati, Suluk Saloka
Jiwa, Suluk Supanalaya, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Suksma
Lelana, Serat Paramayoga, Serat Jayengbaya, Serat Jayengtilam, Pustaka
Raja Purwa, Kalatidha, Sabdatama, Sabdajati, Cemporet, Joko Lodhang,
Wedharaga, Wedhapurwaka, Sabdapranawa, Sadu Budi, Jitapsara, Candrarini,
dan Witaradya. Silsilah R. Ng. Ranggawarsita dari pihak ayah menurut
Komite Ranggawarsitan (1933: 6) yaitu: Pujangga kraton
Kartasura-Surakarta, Raden Ngabehi Yasadipura berputra Raden Tumenggung
Sastranagara atau Yasadipura II, Yasadipura II menurunkan Mas Ngabehi
Ranggawarsita atau Mas Pajangswara, Mas Pajangswara menurunkan Raden
Ngabehi Ranggawarsita. Silsilah R. Ng. Ranggawarsita dari garis
keturunan ibu menurut Komite Ranggawarsitan III (1933: 7) yaitu:
Pujangga Pajang, Pangeran Tumenggung Sujanapura atau Pangeran
Karanggayam menurunkan Raden Wangsabaya, Raden Tumenggung Wangsabaya
menurunkan Kyai Ageng Wanabaya, Kyai Ageng Wanabaya menurunkan Kyai
Ageng Nayamenggala, Kyai Ageng Nayamenggala menurunkan Kyai Ageng
Nayatruna atau Ngabehi Sudiradirja I. Ngabehi Sudiradirja I menurunkan
Ngabehi Sudiradirja II atau Sudiradirja Gantang, Sudiradirja Gantang
menurunkan Nyai Ageng Pajangswara, Nyai Ageng Pajangswara menurunkan R.
Ng. Ranggawarsita. Pujangga sejak jaman pemerintahan Pajang sampai
Surakarta di antaranya: Pangeran Tumenggung Sujanapura atau Pangeran
Karanggayam, Ngabehi Dhadhaptulis, Tumenggung Jayaprana, Tumenggung
Sujanapura, Tumenggung Surawadi, Ngabehi Saralathi, Ngabehi Wirasastra,
Kyai Ageng Buyut, Tumenggung Janur, Tumenggung Tirtawiguna, Pangeran
Wijil, Pangeran Sastrawijaya, Kyai Yasadipura I, Kyai Yasadipura II, R.
Ng. Ranggawarsita. Mereka yang bergelar pangeran dan tumenggung
berpangkat bupati. Mereka yang bergelar ngabehi berpangkat kliwon atau
bupati anom (Komite Ranggawarsitan, 1933: 8-9). Ranggawarsita wafat pada
tahun 1873, dimakamkan di Palas, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah berdekatan
dengan makam orang tuanya. Sampai kini makamnya banyak dijadikan tempat
ziarah yang amat keramat oleh masyarakat. Ranggawarsita termasuk
seorang pujangga yang peka terhadap permasalahan sosial. Jaman Kali atau
Kaliyuga yang oleh Ranggawarsita lebih populer disebut dengan istilah
jaman edan merupakan sindiran pada kekacauan waktu itu. Ranggawarsita
melalui Serat Kalatidha di atas memberi peringatan kepada manusia agar
dirinya selalu eling lan waspada, mau mengendalikan diri, tidak terbawa
arus sehingga suatu saat dirinya mendapat ketentraman lahir dan batin.
Keadaan masyarakat yang penuh kekacauan hendaknya diselesaikan dengan
arif bijaksana, sehingga tidak malah menambah beban sosial. Di samping
itu manusia perlu berserah diri kepada Allah Yang Mahakuasa.
Rasa
Rasa
dalam budaya Jawa mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Adanya
istilah bawa rasa, angon rasa, rasa pangrasa menunjukkan orang Jawa
sangat peduli dengan aspek perasaan. Dalam istilah kefilsafatan rasa
dekat dengan konsep estetika. Menjaga perasaan berarti menghormati batin
orang lain agar tidak sakit hati dan terluka. Pikiran, ucapan dan
tindakan yang selalu angon rasa berarti berhati-hati terhadap apapun
produk ucapan dan sikap, jangan sampai mengganggu perasaan orang lain.
Orang yang egois dan materialis sulit sekali memahami perasaan orang
lain. Tentu saja, sikap yang kurang memperhatikan orang lain akan
membuat persahabatan menjadi mudah renggang. Persaudaraan yang hanya
dilandasi pikiran untung rugi biasanya tidak akan langgeng.
Rembug Desa
Rembugan
berasal dari kata rembug yang artinya omong-omong. Orang yang rembugan
berarti melakukan aktivitas omong-omong dengan topik tertentu. Dalam
pedusunan dikenal dengan istilah rembug desa yaitu musyawarah yang
diikuti seluruh warga desa. Mereka bebas mengemukakan aspirasinya demi
menuntaskan permasalahan bersama. Keputusan yang diambil berdasarkan
suara mufakat. Tidak ada yang merasa dipinggirkan. Semua keinginan
sebisa-bisa ditampung dan dihormati. Pemimpin Jawa penting untuk suka
mengajak rembugan warga agar mereka merasa dilibatkan. Dengan diajak
rembugan maka warga akan mau berpartisipasi aktif dalam mendukung
setiap program pembangunan. Kalau pemimpin tidak mau mengadakan
rembugan, maka oposisi akan datang menghadang.
Rewang
Rewang
berarti membantu orang lain, namun sudah menjurus pada pekerjaan
profesional. Dalam istilah pedusunan menunjuk pada urusan membantu
pekerjaan rumah tangga. Tugas pokok seorang rewang adalah membantu
pekerjaan rumah tangga pada suatu keluarga. Hubungan antara juragan dan
rewang masih melibatkan unsur emosionalitas. Kadang-kadang jaringan
keluarga rewang juga membantu pekerjaan rumah tangga sang majikan.
Penggajian sering di atas atau melebihi harapan si rewang. Keduanya
sudah terjalin sikap saling percaya. Sifat kerja seorang rewang berbeda
betul dengan cara kerja karyawan, buruh atau pegawai. Cara kerja rewang
lebih tulus, sungguh-sungguh, tanpa pamrih dan tanggung jawabnya jauh
lebih besar.
Rikat
Rikat berarti cepat dalam melakukan segala
pekerjaan. Kalau orang lain dapat melakukan pekerjaan satu maka ia harus
dapat melakukan dua atau lebih. Kemajuan bangsa tentu saja harus
didukung oleh warganya yang bekerja secara rikat, supaya produksinya
berlipat ganda. Sungguh suatu tragedi bila ada kelompok bangsa yang
warganya lamban dalam bekerja dan menjadi beban negara lain.
Permasalahan bangsa akan semakin menumpuk. Orang yang rikat bekerja
tidak berarti grusa-grusu 'terburu-buru', asal-asalan dan ceroboh. Untuk
bisa rikat segalanya harus diperhitungkan secara njlimet ‘detail’,
tepat dan efektif dan efisien. Dengan demikian rikat dapat digolongkan
menjadi etika dan etos kerja.
Ripah
Kata ripah diterangkan Ki
Dalang dengan pengertian mengacu kepada keramaian suatu negara. Karena
negara memiliki daya pikat, maka banyak orang manca berkunjung dan
berbondong-bondong untuk mencari penghidupan atau sekedar berdarma
wisata ke situ. Di mana saja yang banyak dituju orang biasanya di
situ banyak rezeki. Hal ini sebagaimana pepatah: ada gula ada semut.
Namun untuk mengelola gula diperlukan ilmu pengetahuan, pengalaman,
ketrampilan dan kebijaksanaan yang memadai. Kesejahteraan merupakan hal
yang membuat orang tergerak untuk meraihnya. Beruntunglah wilayah atau
negara yang dapat mewujudkannya.
Rukun
Rukun adalah kesatuan
perasaan antar individu dalam melaksanakan sebuah visi bersama dengan
menyingkirkan segala jenis pertengkaran dan pertentangan. Dalam bahasa
Jawa rukun kuwi angedohi padu don rukun itu menjauhkan pertengkaran'.
Misalnya cekcok antara suami istri yang berlarut-larut diharap
oleh banyak pihak agar bisa rukun kembali. Rukun merupakan syarat
mutlak untuk memperoleh keadaan rumah tangga yang harmonis. Ada
ungkapan Jawa demikian: crah agawe bubrah rukun agawe santosa
'pertikaian membuat perceraian, rukun membangun kekuatan'. Pertengkaran
antara individu atau kelompok sesungguhnya akan menguras banyak
enerji. Tenaga yang terbang sia-sia akan menunda proses produksi apa
saja. Kemunduran suatu bangsa disebabkan karena antar unsurnya tidak
rukun.
Rupadhatu
Merupakan simbol alam antara tempat
bersemayamnya manusia yang sudah mencapai tingkat kedewasaan. Manusia
yang bertanggung jawab, sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai
cita-cita, seimbang, dan humanistik.
Sabar Drana
Sikap sabar
drana adalah kemampuan dalam mengendalikan diri berkaitan antara
harapan dengan kenyataan tidak sejalan. Cita-cita yang mulia sering
kali tertunda dari waktu yang direncanakan. Tujuan luhur pun kerap kali
meleset karena suatu hak yang tidak diduga. Orang Jawa sangat
menghargai seseorang yang bisa mengendalikan emosi sinamun ing
samudana, sesadone adu manis. Biarpun tidak cocok hatinya, bahkan
sampai tingkat marah, tetapi tetap menyembunyikan perasaan lewat senyum
manis dikulum. Kemarahan yang diledakkan memang saru ‘jorok’. Nafsu
amarah bila dituruti tidak akan pernah puas.
Sabda Pandhita Ratu
Sabda
pandhita ratu tan kena wola-wali adalah konsep segala perkataan raja
sebagai undang-undang negara. Oleh karena itu apapun kata raja harus
dilaksanakan oleh rakyat. Demikian pula raja tidak boleh sembarangan
dalam bersabda dan tidak boleh berubah-ubah. Jejer pertama dalam adegan
pewayangan, Ki Dalang mesti mengawali pagelarannya dengan melukiskan
keindahan, kemakmuran dan kewibawaan suatu negara. Cara pelukisan semua
negara dan rajanya boleh dikatakan stereotip. Untuk negara pasti
menggunakan lukisan ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh
jinawi tata tentrem karta raharja 'suatu negara yang terbentang luas
lautan dan pegunungannya, ramai pelabuhan dan perdagangannya, murah
sandang pangan, subur makmur tertib tentram damai jauh dari laku
kejahatan'. Tidak ada dalang menceritakan keburukan atau cacat suatu
negara. Jadi imajinasi orang Jawa terhadap lembaga negara akan selalu
indah, makmur, dan serba membahagiakan. Sedangkan lukisan yang
menunjukkan kewibawaan, keagungan, dan kebijaksanaan raja diceritakan:
narendra ingkang kinasih dewa, kinawula ing widadari, cinedhak ing
brahmana, lan kinacek sesamaning narendra. Narendra guna ing aguna tan
ngendhak gunaning janma, paring payung kang kudanan, paring teken kang
kelunyon, paring obor kang kepetengan 'Raja yang dikasihi para dewa,
diperhamba bidadari, dekat dengan ulama, dan disegani sesama raja.
Raja yang menguasai pengetahuan luas namun tak merendahkan pengetahuan
orang lain, memberi payung siapa yang kehujanan, memberi tongkat orang
yang kelicinan, memberi pelita orang yang kegelapan'. Di situ kepala
negara atau raja dilukiskan sebagai orang yang adil berwibawa, murah
hati pada rakyat dan dicintai para ulama. Oleh karena itu imajinasi
orang Jawa terhadap pemegang kepemimpinan adalah mengayomi.
Sad Guna Upaya
Sad
Guna Upaya artinya enam macam upaya luhur yang harus dikuasai oleh
seorang pemimpin. Ajaran ini terdapat dalam serat Niti Sastra yang
memuat sebagai berikut : Winarya Wasesa, artinya cakap dan bijak dalam
memimpin sehingga memuaskan semua pihak. Gasraya Wasesa, artinya
kemampuan untuk menghadapi musuh yang kuat dan tangguh dengan
menggunakan strategi/muslihat dalam berdiplomasi atau perang. Stana
Wasesa, artinya dapat menjaga hubungan dan perdamaian dengan baik dan
memprioritaskan tentaranya untuk menjaga kedaulatan negara dan menjaga
perdamaian serta menghindari peperangan. Sidi Wasesa, artinya pemimpin
harus mempunyai kemampuan untuk menjalin persahabatan dengan rakyat,
sesama dan negara tetangga. Wigraha Wasesa, artinya kemampuan untuk
memilah-milah persoalan dan mampu untuk mempertahankan hubungan baik.
Wibawa Wasesa, artinya pemimpin memiliki kewibawaan atau disegani baik
oleh rakyat, negara tetangga ataupun musuh-musuhnya.
Sad Guna Weweka
Adalah
enam macam musuh dalam diri manusia. Enam macam musuh yang harus
dihilangkan dan dimusnahkan dari diri setiap manusia. Karena manusia
mempunyai pikiran, maka ia mempunyai cita-cita. Bahagia bila
cita-citanya tercapai dan derita bila cita-citanya tidak tercapai.
Cita-cita inilah yang dapat menyelewengkan tindakannya dari tujuan
hidup, yaitu kelangsungan hidup pribadinya dan jenisnya. Bila
cita-citanya gagal, orang sering bersikap nekad, bahkan bersedia untuk
bunuh diri, Ini jelas bertentangan dengan tujuan hidup. Jadi cita-cita
itu menyebabkan orang tergelincir dari rel tujuan hidup. Apabila orang
mencita-citakan sesuatu, tetapi tidak mengerti cara bagaimana
mencapainya, sering ia berpantang tidur atau berpantang hubungan
istri/suami. Padahal semua yang dipantangnya merupakan kebutuhan hidup.
Maka pantangan tadi ialah tindakan menyimpang dari jalan tujuan hidup.
Adapun keenam musuh yang dimaksud adalah: Masarya (iri hati) Perasaan
iri hati timbul, karena seseorang tidak senang melihat orang lain yang
lebih dari padanya atau menyamai dirinya. Ia tidak senang melihat orang
lain bahagia atau lebih beruntung darinya. Orang demikian merasakan
dirinya dikalahkan, lebih rendah, malang, dll. Akibatnya muncul rencana
jahat, untuk mencelakakan orang yang dianggap menyaingi dirinya. Kama
(hawa nafsu) Hawa nafsu ada dalam diri manusia, dan menjadi musuh bagi
setiap orang. Nafsu yang tidak terkendalikan akan membawa manusia ke
jurang neraka. Loba (tamak, rakus) Loba atau tamak menyebabkan orang
tidak peRenah merasa puas akan sesuatu. Orang loba ingin selalu memiliki
sesuatu yang banyak dari apa yang telah dimiliki. Orang seperti ini
akan selalu gelisah karena didorong oleh kelobaannya. Kroda (marah)
Kemarahan timbul karena pengaruh perasaan loba yang tidak dapat
dikendalikan, sehingga timbul rasa jengkel, muak, tersinggung, dll.
Orang yang suka marah tidak baik, sebab kemarahan menyebabkan orang
menderita, dan pada umumnya orang tidak senang dimarahi. Sehingga orang
yang sering marah, tidak akan disenangi orang lain. Moha (kebingungan)
Kebingungan dapat membuat pikiran menjadi gelap, karena pikiran gelap
sehingga tidak dapat membedakan perbuatan yang baik dan buruk. Biasanya
lebih cenderung untuk melaksanakan perbuatan yang terkutuk, seperti
membunuh orang, atau membunuh diri sendiri. Untuk menghindari
kebingungan dalam menghadapi segala persoalan, maka perlu pengendalian
pikiran, kuatkan iman, dan harus memiliki rasa pasrah. Mada (mabuk)
Mabuk karena minuman keras, terlalu banyak minum. Mmabuk dapat berakibat
jelek seperti, merusak tubuh, merusak urat saraf, dll.
Sad Paramuka
Prinsip
kesucian Gajah Mada salah satunya dilukiskan oleh Prapanca dalam laku
enam pembunuhan kejam. Keenam macam pembunuhan kejam itu adalah : Agnida
(suka membakar milik orang lain) Milik orang lain adalah bukan milik
sendiri, tetapi merupakan hak milik orang, dan orang lain pulalah yang
mempergunakan dan memeliharanya. Semua orang patut menghormati milik
orang lain. Tapi seringkali ajaran yang baik ini dinodai orang, karena
perasaan iri hati, dengki, sentimen pribadi, dll, yang menyebabkan orang
demikian melakukan perbuatan yang terlarang seperti membakar milik
orang lain. Perbuatan ini adalah perbuatan kejam, karena itu kendalikan
dan kontrollah perasaan dan hindari perbuatan-perbuatan yang terlarang
ini. Wisada (suka meracun) Perbuatan meracun adalah suatu perbuatan
jahat dan terkutuk, perbuatan ini disertai perencanaan untuk membunuh
orang dengan mempergunakan alat berupa benda atau obat keras/cetik yang
disebut racun. Orang melakukannya karena perasaan dendam, benci, dan
menganggap oran glain itu musuh yang harus disingkirkan. Itulah sebabnya
perbuatan ini sangat dilarang dan seharusnya tidak boleh dilakukan.
Atarwa (melakukan ilmu hitam) Ilmu hitam (black magic) adalah ilmu yang
dipergunakan untuk membuat orang lain menderita sakit, gila, dll. Ini
dilakukan karena ia merasa kecewa, merasa dihina, sakit hati, dendam,
putus asa, dll. Perbuatan seperti ini sangat dilarang oleh agama. Itulah
sebabnya, ilmu hitam seyogyanya dihindari, karena berakibat menimbulkan
dosa bagi pelakunya. Sastraghna (mengamuk) Mengamuk adalah perbuatan
orang yang sedang bingung, putus asa, karena tidak daapt mencairkan
suatu masalah, yang menyebabkan buntunya pikiran dan hilangnya
kesadaran. Perbuatan ini dapat menimbulkan kepanikan bahkan pembunuhan.
Orang yang mengamuk umumnya nekat, biasanya diakibatkan oleh pergaulan
yang tidak baik. Oleh karena itu carilah pergaulan yang baik dari
orang0orang yang berbudi luhur. Dratikrama (suka memperkosa) Memperkosa
adalah perbuatan yang dilakukan tanpa adanya persetujuan antara kedua
belah pihak. Perbautan memperkosa sama dengan perbuatan binatang, karena
binatang melakukan kehendaknya hanya berdasarkan nafsunya saja. Manusia
yang berbuat demikian berarti kesadaran pikirannya hilang, karena nafsu
yang tidak terkendalikan. Ia lupa dengan rasa malu, harga diri, nama
baik keluarga. Perbuatan ini tidak mungkin akan membahagiakan, bahkan
sebaliknya seringkali menimbulkan kesengsaraan. Raja Pisuna (suka
memfitnah) Memfitnah berarti membunuh orang. Memfitnah orang disaat
gawat dan panik, dapat membuat hilangnya nyawa seseorang yang tidak
bersalah. Perbuatan ini dilakukan oleh orang yang memiliki perasaan
benci dan dendam pada seseorang. Oleh karena itu jauhi dan hindarilah
perbuatan-perbuatan rajapisuna atau memfitnah itu.
Sadumuk Bathuk
Sadumuk
bathuk artinya selebar dahi. Konsep sedumuk bathuk mempunyai makna yang
sangat dalam. Meskipun hanya selebar dahi, tetapi di dahi itu terdapat
otak di mana kreasi, inovasi, dan produksi seorang manusia
dikembangkan. Otak harus diisi dengan bermacam-macam ilmu pengetahuan
agar mudah digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan hidup. Tidak
hanya persoalan diri sendiri tetapi juga permasalahan kemasyarakatan.
Orang yang mempunyai otak yang encer atau brilian akan mampu
menyelesaikan banyak persoalan yang rumit sehingga sangat bermanfaat
bagi orang lain. Dibanding dengan makluk lain, manusia memiliki
kelebihan akal atau otak. Di sini pula yang membuat manusia terhormat.
Kalau otaknya tidak jalan, maka pasti masa depan seseorang akan
suram.
Sama
Istilah sama atau persamaan cenderung pada
pengertian egalitarianisme. Hanya saja istilah sama dalam bahasa
diplomasi politik Jawa lebih mengacu pada status sosial seseorang. Dalam
kisah pewayangan, lakon Sumantri Ngenger, setelah Sumantri merasa
dirinya mencukupi kekuatannya, dia mau menantang rajanya, yaitu Prabu
Arjuna Sasrabahu. Raja dan bawahan statusnya tidak seimbang. Prabu
Arjuna Sasrabahu mau melayani setelah Sumantri ngrasuk busana keprabon
'memakai busana raja' seperti dirinya agar anggapan yang berkembang
adalah raja berperang sesama raja, bukan dengan bawahan. Dalam
diplomasi pun prinsip sama derajat harus digunakan. Kejelasan status
berpengaruh pada diplomasi dan hasilnya. Kalau tidak hati-hati, seorang
diplomat akan jatuh harga diri dan martabatnya.
Sanyari Bumi
Sanyari
bumi bisa diterjemahkan dengan sejengkal tanah. Tanah harus dikelola
sebaik-baiknya agar bisa bermanfaat. Di atas tanah yang dimilikinya
kedaulatan seseorang atau suatu bangsa bersandar. Tanah merupakan modal
utama dan sangat berharga bukan saja bagi para petani namun juga semua
orang. Sistem tumpang sari bagi petani adalah contoh pemanfaat tanah
secara optimal. Adanya pola warung hidup, yaitu sekitar rumah ditanami
sayur-mayur dan tanaman obat-obatan juga merupakan contoh pemanfaatan
tanah yang efektif. Dengan demikian pengelolaan tanah sangat penting,
harus dihindari konflik atas pemilikan dan pengusahaan tanah. Jika
tanah hak milik diganggu sebagaimana dalam masa kolonial, maka harus
dibela dan direbut kembali dengan darah juang dan seluruh kekuatan.
Sareh Pikoleh
Sareh
artinya sabar, pelan-pelan, tenang, hati-hati dan perasaan mengendap
ketika mengerjakan sesuatu hal. Orang yang sareh memperhitungkan
secara cermat sehingga dirinya terhindar dari kejatuhan. Kata pikoleh
berarti hasil atau akibat dari suatu pekerjaan. Maka, kata majemuk sareh
pikoleh ini merupakan hukum sebab akibat. Orang yang mengerjakan tugas
dengan sareh akan memperoleh hasil yang baik, sesuai dengan rencana
semula. Kalau sampai meleset pun tidak rugi sekali. Supaya dapat berlaku
sareh seseorang harus berlatih dalam kehidupan sehari-hari. Kalau
sudah terbiasa, untuk melakukan sareh itu tidak sulit karena sudah
berjalan dengan sendirinya. Hasilnya pun akan datang tak mengecewakan.
Samaratungga
Samaratungga
adalah raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra, penganut agama Budha
Mahayana. Raja Samaratungga ini mempunyai karya monumental, yaitu Candi
Borobudur.
Sambatan
Sambatan berasal dari kata dasar sambat
yang berarti mengeluh. Jadi sambatan berarti keluhan. Dalam konteks
kerja, sambatan mengandung arti membantu untuk mengurangi beban keluhan
karena pekerjaan yang banyak. Pada jaman dulu, orang yang sedang
punya hajatan mantu, tetangga kanan kiri sebagian menyumbangkan tenaga
mencari kayu bakar ke hutan, mengumpulkan daun jati untuk bungkus
makanan, membantu menyembelih hewan dan memasak makanan dan sebagainya.
Demikian juga ketika tetangganya mendirikan rumah, menguburkan jenazah
dan lain sebagainya. Semangat hidup sosial yang harmonis bisa dipupuk
dengan cara sambatan. Sambatan mengacu kepada semangat hidup senasip
sepenanggungan.
Sang Hyang Surya Candra
Begitu dekatnya dengan
alam, orang Jawa menyebut matahari dengan Sang Hyang Surya, bulan
disebut Sang Hyang Candra, dan angin disebut Sang Hyang Bayu. Semua
penyebutan itu bersifat penghormatan. Kalau ada gerhana matahari atau
bulan, orang Jawa mengira bahwa matahari atau bulan itu dimakan oleh
raksasa. Semua orang lantas melakukan kothekan dengan memukul lesung
dan kenthongan dengan maksud agar raksasa itu segara melepaskan matahari
dari mulutnya. Sebagian besar orang Jawa mata pencahariannya adalah
bercocok tanam, yang selalu berkaitan dengan tanah. Tanah dalam bahasa
krama adalah siti dengan akronim isine bulu bekti. Banyak upacara
tradisional yang bertujuan untuk menghormati tanah. Contohnya upacara
babak bumi.
Sasmita Narendra
Untuk narendra atau raja, kritik
tidak diekspresikan dengan senyuman atau kata-kata denotatif, tetapi
dengan sasmita 'lambang atau simbol halus yang bermakna konotatif'.
Ambil contoh rangkaian kata-kata kali ilang kedhunge, pasar ilang
kumandhange 'sungai hilang kedalamannya, pasar hilang keramaiannya'.
Sesungguhnya idiom itu memiliki makna kiasan yang dalam. Seorang kepala
negara yang berbudi bawa leksana harus mampu mengungkap dan menangkap
makna simbolik seperti itu. Sasmita atau kritik dilakukan dengan tepat
oleh Pujangga Yasadipura lewat Serat Wicara Keras-nya dan Ranggawarsita
melalui Serat Kalatida-nya. Demikian pula Ki Dalang dengan
gara-gara-nya. Ketiga contoh tersebut memuat kritik terhadap
ketimpangan masyarakat dan kesewenangan kepemimpinan yang dilakukan
dengan cara yang sangat halus dan hati-hati.
Sayuk
Sayuk
adalah tekad manunggalnya perasaan antar individu atau kelompok
dalam menuntaskan kerja sama. Biasanya kata ini disertai dengan kata
rukun. Dalam tembang Jawa ada ungkapan sayuk-sayuk rukun bebarengan
sakancane 'manunggal rukun bersama dengan teman-temannya'. Kata sayuk
juga dapat berarti melakukan kerja bareng dalam suasana gembira
ria. Kegembiraan karena tindakan sayuk ini jarang berakhir dengan
rebutan hasil yang bisa melahirkan cekcok. Di sini kerja karena
sayuk memang benar-benar ikhlas tanpa pamrih. Bahkan di antara mereka
saling menyerahkan hasil kenikmatannya. Begitu indahnya konsep sayuk
itu, tidak mengherankan kalau banyak orang yang kangen dan rindu,
meskipun kadang kala rugi materi sebagaimana dalam ungkapan: rame ing
gawe sepi ing pamrih 'ramai bekerja, sepi berpamrih'.
Seh Siti Jenar
Seorang
tokoh mistik Jawa yang populer dan kontroversial hingga saat ini adalah
Seh Siti Jenar. Nama Seh Siti Jenar yang lain adalah Seh Lemah Bang,
Siti Abrit Siti Brit, dan Siti Rekta. Seh Siti Jenar pernah mendapat
wejangan dari Nabi Kilir, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang. Konon
ceritanya, Sunan Bonang memberi wejangan kelas tinggi, ilmu Hakikat atau
ilmu kesempurnaan kepada Sunan Kalijaga. Begitu pentingnya ilmu ini,
maka dicari tempat yang sangat sepi. Sunan Bonang memilih di atas perahu
di tengah lautan untuk mbabar kawruh ini, dengan harapan agar dalam
membeberkan ilmunya itu tidak akan menggoncangkan dunia. Karena perahu
tadi ada bagiannya yang bocor, maka Sunan Kalijaga menambalnya dengan
tanah liat. Di tengah-tengah kesunyian yang hening itu, Sunan Bonang
memberikan ilmu hakikatnya. Tiba-tiba ada seekor cacing dari tanah liat
itu yang berubah menjadi manusia, karena mendengarkan ilmu Sunan Bonang.
Manusia baru itu diberi nama Siti Jenar oleh Sunan Bonang dan diakui
sebagai muridnya. Seh Siti Jenar akhirnya menjadi tokoh yang cerdas dan
terkenal ilmunya. Siti Jenar kemudian mendirikan peguron. Murid-muridnya
yaitu Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir dan Pangeran Panggung. Di
peguron-nya itu rupanya Seh Siti Jenar mengembangkan ilmu dengan aliran
wahdatul wujud (kesatuan wujud) dengan melakukan ittihad (persatuan
mutlak). Ajaran kesatuan mutlak (ittihad) itu bagaikan api dengan
nyalanya, laut dengan ombaknya, dan kembang dengan sarinya. Ajaran ini
adalah pengaruh tasawuf Ibnu Arabi (1165 – 1240) dan Al Hallaj (858 –
922). Ajaran Seh Siti Jenar ini mendapat reaksi keras dari para wali.
Seh Lemah Abang ini juga bergelar Prabu Satmata atau Raja yang tampak
oleh mata. Seh Siti Jenar itu masih berpengaruh pada aliran kebatinan
dan kejawen, yaitu konsep manunggaling kawula gusti. Pada waktu Seh Siti
Jenar dijatuhi hukuman mati oleh para wali, dengan atas nama demi
ketentraman Demak dan Raden Patah, tiba-tiba jenazah Seh Siti Jenar
darahnya berubah menjadi putih. Orang yang melihat kejadian itu
menafsirkan bahwa sesungguhnya Siti Jenar tidak bersalah. Ajarannya itu
benar. Hanya kesalahpahaman saja yang membuat tragedi di atas. Menurut
Seh Siti Jenar bagi mereka yang telah menemukan kesatuan dengan hakikat
hidup atau dzat Tuhan, segala peribadatan adalah kepalsuan. Karena Tuhan
bebas dari hukum kealaman, maka manusia yang telah menyatu dengan dzat
Tuhan, dia akan mencapai keabadian yang tidak akan mengalami kerusakan.
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Seh Siti Jenar disebut dengan
uninong aning unong. Ajaran Seh Siti Jenar menarik dikaji karena saat
itu ajarannya benar-benar mengguncangkan kekuasaan kesultanan Demak
yang didukung oleh ahli syariat yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga.
Sembada
Sembada
berarti berperilaku yang sesuai dengan kemampuan, perkataan, serba
cukup, cocok dengan kenyataan dan selalu mengambil keputusan tanpa
merepotkan orang lain. Orang yang sembada berarti segalanya sudah
ditakar, diukur dan dikira-kira. Banyak orang yang suka menutupi
kekurangan diri dengan berbuat berlebihan, sehingga pada ujung-ujungnya
menimbulkan kesulitan. Berperilaku mewah agar mendapat wah, itu sama
halnya dengan menabung masalah. Penampilan mewah boleh-boleh saja
tetapi harus sembada dengan menakar diri. Prinsip sembada ini bila
dilanggar maka seseorang akan kecele, kewirangan, dan menjadi buah
bibir buruk bagi orang yang iri. Kadang-kadang menjadi luapan balas
dendam dengan mengejek.
Seni Rakyat
Salah satu penyebab
orang Jawa mudah mengendalikan emosinya adalah karena cinta pada seni
halus. Seni halus yang dimaksud adalah kethoprak dan wayang.
Keduanya boleh di kata relatif halus daripada seni lainnya. yang hanya
mengutamakan kesemarakan lahiriah. Di pelosok pedesaan dalam
masyarakat Jawa orang akan betah duduk bersila semalam suntuk saat
menonton pertunjukan wayang purwa. Adegan demi adegan mereka ikuti
dengan serius untuk mendapat pencerahan batin. Wayang seolah-olah
merupakan bumbu rohani masyarakat. Berbeda dengan pentas seni lainnya
seperti jathilan, tayuban, ledhek, dan ronggeng, sulit kiranya
pertunjukan wayang akan menimbulkan kerusuhan. Suguhan pentas wayang
purwa yang adiluhung tidak mendorong pemirsanya untuk bertindak
beringas, kasar dan brutal.
Sepi ing Pamrih
Sepi ing pamrih
artinya mengosongkan ambisi pribadi yang dapat merugikan orang lain.
Orang yang terlalu banyak ambisi biasanya akan melakukan tindakan yang
tega mengorbankan orang lain. Menjegal dan menyepak pada kawan seiring
dan menjilat pada atasan adalah contoh buruk orang yang berambisi
tinggi dengan memakai jalan ilegal. Karir yang diperoleh dengan mamakai
orang lain sebagai tumbal tentu akan mendapat reaksi perlawanan.
Rongrongan demi rongrongan akan menggerogoti legitimasinya. Seseorang
yang secara ikhlas menjalankan tugas, beban hidupnya sangat ringan. Jika
sukses ia akan bersikap wajar dan bila gagal dia tak patah arang.
Pujian dan caci maki dianggab bukan faktor penentu oleh karena itu
disikapi biasa-biasa saja.
Serat Ambiya
Yasadipura juga
menggubah Ambiya dengan sengkalan: Janma tri goraning aji yang berarti
1731 tahun Jawa. Kisahnya tentang kehidupan para nabi. Serat Ambiya
berisi tentang Tuhan dalam menciptakan dunia, Nabi Adam dan Hawa.
Selanjutnya Serat Ambiya juga mengisahkan kehidupan Nabi Idris, Nabi Nuh
dan keturunan para nabi. Orang memperkirakan bahwa Kitab Ambiya itu
dibuat pada awal jaman Surakarta. Hanya saja, cerita ini masuk ke Tanah
Jawa jauh lebih awal lagi, yaitu kira-kira sebelum jaman Kartasura. Isi
cerita Kitab Ambiya ini memperkaya batin orang Jawa waktu itu, karena
visi ceritanya tentang kehidupan sangat menonjol. Dengan demikian proses
penyebaran Islam lewat karya sastra yang dilakukan oleh Yasadipura
dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan.
Serat Arjunawiwaha Jarwa
Serat
Arjunawiwaha Jarwa ini merupakan gubahan dari Kakawin Arjunawiwaha
karya Empu Kanwa. Kakawin Arjunawiwaha yang berbahasa Jawa Kuno
dialihbahasakan ke dalam bentuk bahasa Jawa Baru, sehingga isinya lebih
mudah dicerna oleh kalangan yang lebih luas. Poerbatjaraka (1952: 130)
mengatakan bahwa Serat Arjunawiwaha Jarwa ini bahasanya lebih bagus bila
dibanding dengan bahasa Wiwaha Jarwa yang digubah oleh Sinuwun Paku
Buwana III. Kitab Arjunawiwaha bagi orang Jawa dianggap sebagai karya
sastra bermutu tinggi, yang mengandung nilai etik filosofis. Cerita
Arjunawiwaha setelah digubah oleh Yasadipura I ke dalam bentuk bahasa
Jawa modern menjadi sangat populer dan mendapatkan apresiasi dari
masyarakat Jawa. Palmer pada tahun 1868 telah menerbitkan Arjunawiwaha
karya Yasadipura I. Seno Sastraamidjaya (1968) juga menulis tentang
cerita Arjunawiwaha dalam bahasa Indonesia dengan judul: Sekelumit Umur
Filosofis Cerita Arjunawiwaha. Sanusi Pane, seorang tokoh jaman Pujangga
Baru, juga menulis cerita dengan judul Arjunawiwaha. Kitab Arjunawiwaha
ini dalam pentas pertunjukan wayang kulit purwa lebih terkenal dengan
nama Lakon Mintaraga atau Begawan Ciptowening. Dalang-dalang terkenal
seperti Almarhum Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudharsono, Ki
Timbul Hadiprayitno, Ki Hadi Sugito, dan Ki Panut Darmoko sering
menampilkan Lakon Begawan Ciptowening dengan penuh penghayatan. Kuntara
Wiryamartana (1987) telah membuat karya ilmiah berupa disertasi dengan
judul Arjunawiwaha : Transformasi Teks Jawa Lewat Tanggapan dan
Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Dalam disertasi itu disertakan
pula analisis, perbandingan, suntingan teks, dan terjemahannya.
Serat Babad Giyanti
Serat
Babad Giyanti disebut juga dengan nama Babad Paliyan Nagari. Babad
Giyanti menceritakan pembagian kraton Mataram menjadi dua yaitu:
Surakarta dan Yogyakarta. Menurut Poerbatjaraka (1958: 145) Serat Babad
Giyanti ini bahasanya sangat hidup dan pelukisan masing-masing tokohnya
juga hidup sekali; Ricklefs (1955: 84) menyatakan bahwa Babad Giyanti
merupakan dokumen sejarah yang teliti yang mencakup kurun waktu antara
tahun 1746-1760. Babad Giyanti telah dicetak oleh H. Burning tahun 1885,
1886, 1892 sebanyak empat jilid. Balai Pustaka menerbitkan sebanyak 21
jilid. Pembagian kraton Mataram menjadi dua itu tampak terasa hingga
sekarang. Segala bentuk kehidupan hampir juga terjadi dikotomi, gaya
Surakarta dan gaya Yogyakarta. Mulai dari mode pakaian, peralatan
upacara, dan kajian seni selalu bersaing keras yang kadang-kadang dapat
menimbulkan persengketaan, meskipun berawal dari hal-hal yang bersifat
sepele. Demi nasionalisme dan persatuan masalah ini seharusnya mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh.
Serat Bima Suci
Serat Bima
Suci merupakan karya Yasadipura I yang memenuhi standar etika, estetika,
kebaikan dan keindahan. Ramuan antara unsur Hindu, Jawa, dan Islam yang
penuh dengan makna simbolik membuatnya menjadi bahan kontemplasi bagi
kalangan kebatinan dan kasepuhan yang berlaku relatif lestari. Bentuk
penulisan Serat Bima Suci sesuai dengan tradisi pada masa itu adalah
dalam bentuk têmbang macapat. Sebelumnya sastra Jawa kebanyakan ditulis
dengan mengikuti metrum kakawin dan kidung. Konvensi metrum macapat di
dalamnya termasuk guru wilangan, guru lagu, guru gatra, pedhotan,
sengkalan dan sasmita tembang. Masing-masing unsur itu mengandung makna
simbolik. Kata serat mempunyai beragam arti. Serat yang berarti tulisan,
menandakan bahwa budaya membaca kehidupan dan merekamnya dalam bentuk
deretan aksara adalah ciri dinamika suatu masyarakat yang menyejarah
dalam hal pengelolaan informasi. Serat yang berarti goresan alamiah pada
sebuah kayu yang menunjukkan bahwa pernik-pernik dunia akan tetap
anggun bagaimana pun keadaannya, asalkan hukum daur ulang berjalan
normal. Begitu populernya kata serat, sehingga digunakannya untuk
memberi nama-nama kitab yang bernilai. Secara historis Serat Bima Suci
berkaitan dengan Kitab Nawaruci yang ditulis pada jaman Majapahit yang
bercorak Hindu. Kitab ini oleh Yasadipura digubah menjadi Serat Bima
Suci yang sudah dipengaruhi unsur Islam. Sesudah Yasadipura I wafat,
Serat Bima Suci terus disalin oleh beberapa tangan, sehingga
keberadaannya menjadi banyak variasi. Adanya banyak variasi tidak perlu
dirisaukan, justru patut disyukuri karena membuktikan bahwa masyarakat
cukup responsif dan apresiatif. Pengalaman historis dapat memberi
hikmah, bahwa perilaku bersama yang mengabaikan fungsi etika hanya akan
membawa bencana yang menyengsarakan kehidupan. Pengajaran sejarah
menjadi lebih inspiratif, persuasif, dan rekreatif apabil disajikan
dengan logika sebab akibat, yang mengatakan bahwa kesalahan pada
akhirnya digeser oleh kebenaran. Manusia yang tertarik pada masa lampau
yang gemilang rasa-rasanya bebas masalah, membanggakan dan menyenangkan.
Keemasan kraton Majapahit dengan rajanya Prabu Hayam Wuruk dan
Mahapatih Gajahmada, misalnya, akan memberi sikap hormat inspiratif
buat generasi sekarang yang mempelajari sejarah. Kegigihan Pangeran
Diponegoro dalam mengusir penjajah memberi semangat patriotisme dan
nasionalisme. Sebagai karya etik filosofis, Serat Bima Suci mengandung
unsur filsafat ketuhanan, filsafat sosial, filsafat manusia, filsafat
moral, dan filsafat keindahan. Unsur-unsur kefilsafatan itu semua secara
hirarkis piramidal memberi sinyal adanya keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan. Apabila diteliti, sejarah sosial di Jawa
pada masa lampau begitu nampak anggun dan agung, asal unsur-unsur
kefilsafatan di atas telah membudaya dan diwujudkan dalam perilaku
kehidupan sehari-hari. Cara pandang terhadap unsur-unsur kefilsafatan
yang meliputi ketuhanan, kemasyarakatan, kemanusiaan, kesusilaan, dan
keindahan secara imbang dan utuh ternyata membuahkan ketentraman dan
kedamaian. Jika prinsip tersebut dilanggar, ternyata berdampak pada
kekacauan, kegalauan, kekerasan dan kesedihan yang sangat mahal
ongkosnya. Orang Jawa gemar akan kehidupan yang penuh dengan perlambang,
pasemon atau simbol. Simbol itu mencakup dalam kaitannya dengan bahasa,
religi, dan tradisi. Cerita pewayangan itu sangat menarik karena di
dalamnya kaya simbolisme. Demikian juga Serat Bima Suci, makna-makna
simboliknya senantiasa kontekstual dan multi interpretasi. Tokoh Bima
yang dipersonifikasikan sebagai tokoh satria pinandhita atau profesional
sufistik, keberadaannya sarat perlambang. Makna yang dikandung dalam
manunggaling kawula gusti, satria pinandita, mati sajroning ngaurip,
pramana, dan pancamaya cukup mendapat tempat di hati orang Jawa.
Simbol-simbol di balik ungkapan itu terdapat refleksi dan kontemplasi
atas segala yang ada, demi kesempurnaan hidup. Dari dan ke mana
kehidupan itu harus diarahkan, biar tidak terjerumus dalam limbah
kehinaan. Cerita Bima Suci menguraikan ungkapan di atas secara tersirat
dan tersurat.
Serat Bratayuda Jarwa
Serat Bratayuda Jarwa
digubah oleh Yasadipura I dari Kakawin Bharatayudha karya Empu Sedah dan
Empu Panuluh pada jaman Jayabaya di Kediri. Poerbatjaraka (1952: 134)
menyatakan bahwa masyarakat Jawa wajib mengucapkan terima kasih kepada
Yasadipura I yang sudi menggarap kitab-kitab kuno menjadi bacaan baru
yang mudah dimengerti oleh generasi kemudian. Kakawin Bharatayudha
memang ditulis oleh dua pujangga: Empu Sedah dan Empu Panuluh. Empu
Sedah sudah keburu wafat sebelum menyelesaikan karyanya. Empu Panuluh
kemudian melanjutkan pekerjaan Empu Sedah untuk menuntaskan Kakawin
Bharatayudha. Serat Baratayuda berisi tentang kisah pertempuran antara
Pandawa dan Korawa. Keduanya masih keturunan keluarga Bharata. Cerita
ini aslinya berasal dari epos sansekerta Mahabharata. Karkono (1972)
menulis cerita Baratayuda sebanyak tujuh jilid. Siswaharsoyo (1957) juga
menulis cerita serupa dengan judul Babad Baratayuda. Cerita ini juga
diuraikan panjang lebar oleh Ki Padmosukotjo (1985) dalam bukunya yang
berjudul Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita. Kebanyakan keluarga Jawa
menghindari lakon Baratayuda dalam pergelaran wayang, karena seolah-olah
jika mementaskan lakon Baratayuda dapat mendatangkan mala petaka di
kemudian hari.
Serat Cebolek
Serat Cebolek ini menceritakan
kisah Haji Mutamangkin yang bernama Ki Cebolek. Dia dituduh oleh para
ulama yang dipimpin oleh Katib Anom Kudus sebagai Haji yang melanggar
syariat Islam. Dia diadili pada masa Sunan Paku Buwana I, tetapi
mendapat pengampunan (Poerbatjaraka, 1957: 144). Serat Cebolek
menyangkut perselisihan agama tahun 1720-1730 (Ricklefs, 1995: 84).
Cerita Cebolek yang berisi tentang pertentangan paham ini diilhami oleh
cerita simbolik dengan dihukum matinya Seh Siti Jenar, Sunan Panggung,
Ki Bebeluk, dan Seh Amongraga. Semua dituduh karena menyebarkan ajaran
sesat yang dapat meresahkan masyarakat, yaitu paham wahdatul wujud,
manunggaling kawula Gusti, kesatuan manusia dengan Tuhan, dan mengaku
sebagai Tuhan. Peristiwa Seh Siti Jenar terjadi pada jaman Giripura,
Sunan Panggung terjadi pada jaman Kraton Demak, dan Ki Bebeluk terjadi
pada jaman Pajang, dan Seh Amongraga terjadi pada jaman Mataram dengan
rajanya Sultan Agung. Soebardi menulis tentang Serat Cebolek di
Australian National University tahun 1967. Kuntowijoyo (1991) juga
menulis Serat Cebolek dalam bukunya yang berjudul Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi, dengan pendekatan historis diakronis. Dengan
demikian Serat Cebolek dapat dijadikan salah satu referensi dalam
penulisan sejarah asal mula terjadinya konflik antara kaum syariat
dengan gerakan tarekat.
Serat Menak
Serat Menak merupakan
karya besar Yasadipura I yang jumlahnya mencapai 46 jilid setelah
diterbitkan oleh Percetakan Balai Pustaka, sehingga perlu ketekunan
dalam mempelajarinya. Penciptaan serat-serat Menak itu di antaranya :
Menak Lare, Menak Malebari, Menak Biraji, Menak Kaos, Menak Lahat, Menak
Kuristam, Menak Gandrung, Menak Purwakandha, Menak Kanin, Menak Kuwari,
Menak Serandhil, Menak Sulub, Menak Ngrajak, Menak Demis, Menak Cina,
Menak Taslamat, Menak Kanjun, Menak Kustup, Menak Kala Kodrat, Menak
Sorangan, Menak Jamintoran, dan Menak Jaminambar. Serat Menak merupakan
saduran dari Hikayat Amir Hamzah (Ricklefs, 1995: 84). Serat Menak yang
digubah Yasadipura itu, induknya berasal dari Tanah Parsi. Mula-mula
cerita itu ditulis dalam bahasa Melayu dengan judul Hikayat Amir Hamzah.
Kemudian digubah ke dalam bahasa Jawa dengan judul Serat Menak. Materi
yang digunakan sebagai permulaan cerita adalah perihal Nabi Muhammad saw
yang bertanya kepada Baginda Abbas, bagaimanakah kisah Ambyah yang
terdapat dalam Kitab Menak dengan gelar Wong Agung? Baginda Ambyah itu
saudara Baginda Abbas, yang masih paman Nabi Muhammad saw (Waston, 1997:
42-43). Karya Yasadipura I itu telah diterbitkan oleh Raden Ngabehi
Joyosubroto sebanyak 7 jilid, yang diterbitkan oleh Percetakan Van Dorp
Semarang, pada tahun 1923. Serat Menak juga diterbitkan oleh Balai
Pustaka sebanyak 46 jilid pada tahun 1933 dan 1941 (Soebardi, 1975: 23).
Serat Menak merupakan kepustakaan Islam yang bersumber dari tradisi
cerita Timur Tengah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengetahuan
Yasadipura tentang kitab-kitab Arab cukup luas. Yasadipura selalu ingin
menciptakan suasana harmonis antara posisi agama dengan posisi budaya,
Islam dengan kejawen, sehingga tidak akan terjadi konflik keras dalam
masyarakat.
Serat Panitisastra
Serat Panitisastra digubah oleh
Yasadipura I dan Yasadipura II dari Serat Nitisastra (Poerbatjaraka,
1952: 135). Serat Panitisastra memuat ajaran moral yang luhur. Varian
Serat Panitisastra yaitu Panitisastra gubahan Paku Buwana V,
Panitisastra gubahan Sastra Nagara, Panitisastra gubahan Sastrawiguna,
Panitisastra Sekar Ageng, Panitisastra Jarwa, Panitisastra Jarwa dan
Panitisastra Kawi Kajarwan (Alexander Sudewa, 1989: VIII). Raffles
(1830) pernah menerjemahkan 13 bait dari Serat Panitisastra. Mounier,
seorang penerjemah Injil di Surakarta pada pertengahan abad XIX
menerjemahkan seluruh Kitab Panitisastra ke dalam bahasa Belanda yang
dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Neerlands Indië tahun 1843
(Alexander Sudewa, 1989: 8). Kenyataan di atas menunjukkan bahwa Serat
Panitisastra mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam membina budi
pekerti masyarakat. Bahkan penguasa asing pun sangat berkenan untuk
mengkaji ajaran moral yang dikandung dalam Serat Panitisastra.
Serat Rama Jarwa
Serat
Rama Jarwa merupakan gubahan Yasadipura I dari Kakawin Ramayana yang
berbahasa Jawa Kuno. Poerbatjaraka (1952: 130) mengungkapkan bahwa Serat
Rama Jarwa termasuk sangat bagus untuk dewasa ini, meskipun dalam
menggubahnya ada kekurangan sana sini. Kakawin Ramayana yang berbahasa
Jawa Kuno ditulis antara 898-910 Masehi, yaitu pada masa pemerintahan
Mataram Hindu yang rajanya bernama Dyah Balitung. Keindahan Kakawin
Ramayana dipuji oleh Poerbatjaraka yang mengatakan bahwa seumur hidup
dia belum membaca kitab Jawa yang kehebatannya melebihi Kitab Ramayana.
Winter telah menerbitkan Serat Rama dengan diberi kata pengantar yang
menguraikan isi ringkas kandungan yang terdapat dalam Serat Rama.
Cetakan Serat Rama yang dikerjakan oleh Winter tersebut melalui penerbit
Van Dorp Semarang tahun 1875 dan 1884 Masehi. Balai Pustaka menerbitkan
juga Serat Rama pada tahun 1925. Padmosoekotjo (1985) dalam bukunya
yang berjudul silsilah Wayang Purwa Mawa Carita jilid II menempatkan
cerita Rama itu dengan bahasan dan bahasa yeng mengagumkan keindahannya.
Tradisi pewayangan dalam pentas wayang kulit purwa kerap menampilkan
lakon yang bersumber dari Serat Rama, misalnya: Rama Tambak, Rama Nitik,
dan Rama Nitis. Di kompleks Candi Prambanan bahkan secara rutin
dipentaskan sendratari Ramayana.
Serat Tajussalatin
Induk
Serat Tajussalatin berasal dari bahasa Melayu yang bernama: Mahkota
Segala Raja-raja. Serat ini digubah Yasadipura I pada tahun Jawa 1726
berbentuk tembang macapat (Poerbatjaraka, 1957: 143). Kitab Tajussalatin
yang berbahasa Melayu itu ditulis oleh Bukhari dari Johor. Kitab ini
berisi tentang ajaran moral dan tanggung jawab seorang raja, pejabat
pemerintah, dan masyarakat umum. Kandungan filosofis Kitab Tajussalatin
banyak dikenal di lingkungan masyarakat Melayu Sumatra dan Jawa. Serat
Tajussalatin karya Yasadipura itu telah dicetak di Semarang tahun 1873
dan 1875, di Surakarta tahun 1905 dan 1922. Adi S. Dipodjojo dan Endang
Daruni Asdi (1999) menerbitkan kitab Tajussalatin dengan disertai teks
yang berhuruf Melayu Arab, alih huruf latin, deskripsi, analisis, dan
interpretasinya. Serat Tajussalatin ini kandungan filosofisnya dapat
digunakan sebagai perekat nasionalisme yang ada di kepulauan nusantara.
Dengan demikian kontak budaya nusantara sebenarnya sudah berjalan selama
berabad-abad. Salah satu caranya yaitu lewat penerbitan dan
penerjemahan karya sastra.
Serat Wulangreh
Serat
Wulangreh sampai sekarang sangat populer di lingkungan kebudayaan Jawa.
Orang Jawa sangat memperhatikan ajaran-ajaran dalam Serat Wulangreh itu
untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketajaman moral dan
intelektual diperlukan agar manusia tepat dalam meniti karier hidup.
Sinuwun Pakubuwana IV memberi petunjuk orang yang mencari ilmu. Serat
Wulangreh juga mengajarkan bahwa orang yang mengajarkan ilmu hendaknya
juga berlandaskan dalil, hadis, ijma dan qiyas. Hal ini tentunya sesuai
dengan tradisi yang diajarkan oleh pendidikan agama. Kalau tidak ada
kaitannya dengan keempat landasan tersebut, maka pengetahuan yang
diajarkan itu bisa terjerumus ke jurang kesesatan.
Setya
Setiap
orang harus memiliki jiwa setya. Setya artinya setia atau loyal.
Memiliki dedikasi dan menjadikan dedikasi itu sebagai kehormatan
dirinya. Orang yang setia pada janji berarti memenuhi janji itu dan
tidak melanggarnya. Orang yang loyal pada atasan, adalah orang yang
taat, hormat dan mematuhi perintahnya. Apabila atasan mendapat cobaan,
ia juga ikut prihatin. Kalau atasannya jatuh, maka ia berusaha untuk
menghibur. Duka atau suka dia akan tetap loyal. Kesetiaan yang murni,
tulus dan jujur memiliki nilai yang tinggi. Kesetiaan tidak dapat
ditukar dengan kenikmatan lahiriah. Jabatan dan harta benda tidak dapat
menggoyahkan kesetiaan yang tulus pada seseorang. Kesetiaan merupakan
simpul kehormatan yang perlu dijaga.
Sindusastra
Salah satu
pujangga Kasunanan Surakarta yang luas pergaulannya adalah Kyai
Sindusastra. Kyai Sindusastra juga pujangga kraton Yogyakarta yang dekat
dengan Pangeran Purbaya atau Sinuwun Paku Buwana VII. Karya-karyanya
yaitu: Serat Arjuna Sasrabahu, Lakon Sugriwa Subali, Serat Partayadnya,
Srikandi Maguru Manah, Sembadra Larung, Cekel Waneng Pati, dan Parta
Krama. Sindusastra juga pengarang yang menggubah karya sebelumnya. Hanya
perlu diketahui bahwa untuk mengubah suatu karya sastra diperlukan
keahlian khusus yang tidak mudah. Penggubah mesti mengetahui latar
belakang sosiohistoris dan kultural penciptaan karya yang digubahnya
itu, sehingga mutunya menjadi lebih hidup. Pada masa Kasunanan Surakarta
itu pertumbuhan sastra budaya memang mencapai puncak-puncaknya.
Produktivitas dan kreativitas karang-mengarang tumbuh dengan pesat.
Slamet
Kata
slamet di tengah-tengah pergaulan orang Jawa sangat populer. Pengertian
slamet adalah selamat dan terbebas dari segala aral rintangan. Begitu
populernya sehingga banyak orang Jawa memberi nama anaknya dengan kata
slamet. Misalnya Slamet Sutrisno, Slamet Raharja, Slamet Riyadi, dan
sebagainya. Maksud utama pemberian nama demikian adalah agar anaknya
mendapat keselamatan dan kedamaian hidup. Dalam pergaulan sehari-hari
sering terdengar, "Piye kabare? Rak pada slamet ta?" Secara umum kata
slamet digunakan untuk melukiskan keadaan, pemberian nama anak,
menanyakan kabar seseorang dan menyebut suatu jenis upacara. Karena
keselamatan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia baik
di dunia apalagi di akhirat.
Slametan
Slametan adalah upacara
sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon
keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan.
Biasanya untuk hajatan keberangkatan naik haji ke tanah suci,
keberangkatan anak yang mau sekolah ke luar daerah, pendirian sebuah
rumah baru, dan sebagainya. Harapan pada masa depan yang lebih
cemerlang, di samping harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah
rasional dan yang serba kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan
adikodrati atau supranatural yang bersifat spiritual. Upacara slametan
termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapat ridha dari
Tuhan. Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh
kehidupan di pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakini bahwa slametan
adalah syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan
ketidakberkahan atau kecelakaan.
Songsong Gilap Payung Agung
Wewenang
atau kepemimpinan yang bersumber dari pulung atau wahyu itulah yang
menyebabkan kepemimpinan berubah menjadi magis, wingit, angker, gaib
dan serba supranatural. Salah satu bukti pusat kepemimpinan yang
berwajah wingit adalah sebagian besar pendapa kabupaten di Jawa. Di
sana akan kita temukan beberapa simbol yang mendukung sifat
keangkerannya, misalnya lampu yang sengaja dipasang nyala redup dan
suram, pajangan pusaka tombak, keris, songsong gilap payung agung,
patung Dwarapala dan sebagainya. Pulung sebagai sumber kepemimpinan
diyakini hanya melekat pada satu orang. Pulung atau wahyu tidak
terbagi-bagi dan tetap utuh wujudnya. Dengan demikian seseorang yang
telah mendapatkan pulung kepemimpinan itu tidak mempunyai kewajiban
moral bagi dirinya untuk mengadakan distribusi wewenang. Mereka percaya
bahwa kepemimpinan yang terbagi-bagi akan mengganggu harmoni alam.
Kepemimpinan yang otoriter diperkenankan asal tetap pada landasan
ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana.
Sopan Santun
Setiap
anggota masyarakat, apalagi seorang pemimpin harus berlaku sopan
santun. Sumber malapetaka yang berasal dari mulut kadang-kadang lebih
menyakitkan. Oleh karena itu kesopan-santunan dalam bertutur kata
sangat perlu diperhatikan agar masing-masing pihak tetap terjaga
kehormatannya. Kata-kata kasar, misuh, memaki-maki dan menghina sungguh
dapat menjadi penghalang seseorang dalam menjalin persahabatan.
Apabila terlanjur menyakitkan orang lain maka kata-kata itu tak dapat
ditarik kembali. Ucapan minta maaf atau nyuwun pangapura tidak cukup
mengobati sakit hati yang terluka. Hal inilah yang mendasari arti
penting dalam bertutur kata dengan sopan. Sopan santun dalam berbicara
pengaruhnya sangat besar terhadap kehidupan seseorang.
Sosrokartono
Sosrokartono
suka dengan lambang Sang Alif beliau mendapat gelar Joko Pring dan
Mandor Klungsu. Rumusan ilmunya Catur Murti, yang merupakan integrasi
antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Beliau sangat dikenal di
kalangan ahli kejawen. Raden Mas Sosrokartono adalah kakak kandung
Raden Ajeng Kartini, yang lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Beliau
hidup antara tahun 1877-1952. Beliau termasuk pakar kebatinan dan filsuf
yang menguasai 17 bahasa Eropa, 9 bahasa Timur, dan 18 bahasa daerah.
Di Eropa beliau dikenal sebagai dukun pengobatan nonmedis. Selama 29
tahun beliau bermukim di luar negeri. Pada tahun 1925, beliau kembali ke
tanah air dan tinggal di Bandung. Bersama dengan tokoh pergerakan
nasional seperti Bung Karno, Mr. Sunaryo, Dr. Samsi, Usman Sastroamijoyo
beliau mengajar di Perguruan Taman Siswa cabang Bandung. Buku-buku yang
memuat ajaran Sosrokartono di antaranya: Ajaran-ajaran Almarhum Drs.
Sosrokartono, Jasane Jiwa Besar Kartono – Kartini, Mawas Candhi
Borobudur. Ucapan-ucapan Raden Mas Sosrokartono yang terkenal yaitu:
Sugih tanpa bandha, Menang tanpa ngasorake, Nglurug tanpa bala, Digdaya
tanpa aji. Pada saat-saat tertentu ungkapan di atas sangat disukai
oleh berbagai kalangan karena meneunjukkan sikap yang kompromis dan
akomodatif. Pihak yang menang tidak merasa unggul dan sebaliknya pihak
yang kalah tidak merasa dihina.
Sudanen Guling
Arti
sudanen guling adalah mengurangi aktivitas tidur. Jika tidur terlalu
banyak maka hidup menjadi tidak produktif. Tidur melebihi jam waktu
normal itu bahkan membuat diri kurang tahan terhadap serangan penyakit
baik fisik maupun mental. Setiap orang harus gesit, trampil dan
menggunakan waktu secara efisien. Cara paling praktis dan penting adalah
mengurangi aktivitas tidur. Dalam ajaran kitab Jawa kuno, waktu yang
tidak tepat untuk tidur yaitu saat matahari terbit hingga bedhug dheng
'matahari di atas tepat'. Badan akan terasa lemah lunglai jika tidur
di saat tersebut, karena waktu itu adalah saat orang seharusnya
bekerja. Saat yang tidak tepat untuk tidur lagi yaitu waktu seperempat
siang hingga matahari terbenam. Kebiasaan tidur saat tersebut akan
membuat pikiran tumpul. Bila bangun akan tampak kebingungan dan
linglung.
Sugih Tanpa Banda
Sugih tanpa banda mempunyai makna
harfiah kaya tanpa harta. Hal ini menunjukkan Kekayaan tidak diukur
dengan kepemilikan harta saja. Kekayaan hati dan kekayaan persaudaraan
adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan orang Jawa. Berlandaskan
prinsip itu sebenarnya dapat menjadi kaya asalkan hatinya sudah
memiliki sikap nrima, tidak membanding-mbandingkan dengan orang yang
secara material di atasnya. Kalau menoleh seseorang yang berada di
bawahnya, maka sebenarnya masih banyak orang yang jauh lebih miskin.
Jika mau bersikap seperti itu maka seseorang akan merasa kaya, karena
toh kekayaan tidak ada batasnya, orang akan selalu merasa kekurangan.
Apalagi kalau mempunyai kawan yang beraneka ragam. Sewaktu dalam
kesulitan banyak yang mau mengulurkan tangan untuk memberi pertolongan.
Kadang-kadang tanpa diminta pun mereka berbondong-bondong membantu.
Orang tersebut akan sangat berbahagia.
Sugeng
Apabila ada
sebuah resepsi pada keluarga Jawa, dengan mudah di sana ditemukan
jajaran kata "Sugeng Rawuh", yang berarti selamat datang yang ditujukan
kepada para tamu. Kata sugeng itu merupakan bentuk krama dari akad
slamet sehingga terkesan lebih halus. Untuk sapaan hangat dan hormat,
kata sugeng digunakan demikian, "Sugeng rawuhipun, Pak." Dan pihak yang
disapa akan menjawab singkat, "Injih, pengestunipun." Kata sugeng
memang dapat menciptakan suasana hangat, hormat dan hikmat. Kata sugeng
untuk memberi nama orang misalnya Sugeng Santosa, Sugeng Hartono,
Sugeng Pamungkas, dan lain-lain.
Sultan Agung
Sultan Agung
adalah raja Mataram yang paling terkenal. Beliau termasuk pahlawan yang
gigih menentang praktek penjajahan Belanda. Dua kali Sultan Agung
menyerang VOC di Batavia, yaitu tahun 1628 dan 1629 (Ricklefs, 1995:
67). Wawasan politik Sultan Agung sangat luas dan jauh ke depan. Konsep
politiknya yaitu doktrin keagungbinataraan yang berarti bahwa kekuasaan
raja Mataram harus merupakan ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,
dan tidak terbagi-bagi (Moedjanto, 1994: 160). Keunggulan lain Sultan
Agung yaitu kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomasi dengan kraton
luar Jawa. Kesungguhannya dalam mengembangkan kebudayaan terlihat dalam
penulisan tarikh Jawa, babad, dan pembangunan makam di atas bukit
(Moedjanto, 1994: 157). Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapat
julukan sebagai pujangga. Karya mistiknya yaitu Sastra Gendhing, Kitab
Nitisastra, dan Serat Pangracutan. Pada jaman Sultan Agung pulalah, ada
penyesuaian kalender Jawa dengan kalender Islam. Silang sengketa antara
paham kejawen dengan keislaman dapat dikompromikan secara gemilang oleh
Sultan Agung. Kalenderisasi baru ini berlangsung tahun 1633 (Bambang
Kusbandrijo, 1992: 81). Sultan Agung mendorong proses Islamisasi
kebudayaan Jawa. Dia melakukan pembaharuan dalam bidang hukum yang
disesuaikan dengan hukum Islam, melembagakan kedudukan ulama secara
proporsional, dan mengembangkan karya sastra Islam. Sultan Agung wafat
pada tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri. Kompleks makam Imogiri hingga
kini merupakan tempat peristirahatan terakhir raja-raja Surakarta dan
Yogyakarta.
Sumantri Ngenger
Loyalitas pada negara dalam
pewayangan terdapat pada lakon Sumantri Ngenger. Di situ tokoh
Sumantri, seorang anak desa ingin mengabdikan diri kepada kerajaan
Maespati yang diperintah oleh Prabu Arjuna Sasrabahu. Kesetiaan dan
keteladanan Sumantri pada negara dilukiskan oleh Mangkunegara IV dalam
Serat Tripama. Salah satu petikan syairnya “.... aran Patih Suwanda,
lelabuhanipun, kang ginelung tripakara, guna kaya purune antepi, nuhoni
trah utama” '...namanya Patih Suwanda (gelar Sumantri), jasanya terikat
tiga hal: kepandaian, kesaktian dan semangat mantab memenuhi keturunan
utama'. Nilai kesetiaan yang tinggi terhadap negara itu kadang-kadang
membuat seseorang harus menentukan keputusan yang kontroversial. Hal
yang cukup dilematis ini juga dialami oleh Sumantri sewaktu dia
dihadapkan pada dua pilihan: mengabdi negara atau mengorbankan adiknya,
Sukasarana. Keputusan Sumantri ternyata lebih berpihak kepada
kepentingan negara meskipun harus kehilangan adiknya. Lakon Sumantri
Ngenger tersebut mempengaruhi jalan pikiran sebagian besar orang
Jawa bahwa urusan negara lebih utama daripada sekedar kepentingan
keluarga.
Sumpah Palapa Gajah Mada
Setelah menjabat sebagai
Patih Mangkubumi, Gajah Mada menjabarkan agenda politiknya dalam sidang
ketatanegaraan Majapahit. Seluruh gagasannya mendapat dukungan dari
Prabu Hayam Wuruk dan para punggawa dan panglima-panglima prajurit.
Dengan dukungan itu, Gajah Mada semakin tertantang untuk mewujudkan ide
besar tersebut. Ide besar yang diusung Gajah Mada tiada lain adalah
politik persatuan nusantara. Kerajaan-kerajaan dan wilaah-wilayah kecil
yang tercerai-berai dalam kepingan-kepingan akan dipersatukan di bawah
payung negara Majapahit yang agung. Sebagai pimpinan pelaksanaan politik
persatuan nusantara tersebut tentu saja Gajah Mada pribadi. Sebelum
menjalankan tugas, atas dukungan penuh para petinggi Majapahit dan
seluruh rakyat, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang sampai saat ini
terkenal dengan nama Sumpah Palapa. Sumpah tersebut berbunyi, “Saya
baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jikalau nusantara sudah takluk
di bawah kekuasaan negara Majapahit”. Seluruh kerajaan nusantara yang
menjadi target penyerangana dalah Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru,
Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik. Makna sumpah
tersebut ialah belum akan minum air buah kelapa sebagai simbol
kemewahan, sebelum cita-cita berhasil. Gajah Mada selalu berpuasa sampai
cita-cita tersebut terlaksana dengan gemilang.
Sunan Ampel
Anggota
Dewan Wali Sanga berikutnya adalah Sunan Ampel. Sunan Ampel lahir pada
tahun 1401. Nama kecilnya adalah Raden Rakhmat. Beliau adalah putra Raja
Campa. Raden Rakhmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Tuban,
yang menurunkan 4 putra: Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri Nyai Ageng Maloka, Dewi Sarah (istri
Sunan Kalijaga), Beliau mendirikan Pondok Pesantren di Ampeldenta,
Surabaya. Kader Sunan Ampel di antaranya: Raden Paku (Sunan Giri), Raden
Makdum (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (Raja
Demak), Sunan Kalijaga (Menantu), Maulana Iskak (Blambangan). Sewaktu
pembangunan Masjid Agung Demak pada tahun 1401 Çaka atau 1479 Masehi,
beliau berpartisipasi aktif. Untuk menghormati jasa-jasa Sunan Ampel
dalam menyiarkan agama Islam, nama beliau diabadikan oleh IAIN Sunan
Ampel, Surabaya. Sunan Ampel inilah yang menjadi penerus perjuangan
perintis dakwah Islam, Maulana Malik Ibrahim. Dalam syiarnya Sunan Ampel
selalu menggunakan idiom-idiom budaya lokal. Puji-pujian yang merupakan
ciri khas sastra pesantren berkembang di Ampeldenta. masyarakat Jawa
Timur sangat menghormati Sunan Ampel. Bahkan ketika ada konflik antar
warga di Madura, Haji M. Noer, mantan Gubernur Jawa Timur dapat
mendamaikan pihak-pihak yang bertikai itu di depan makam Sunan Ampel.
Sunan Bonang
Salah
satu wali yang menjadi guru Sunan Kalijaga adalah Sunan Bonang. Sunan
Bonang adalah putra sulung Sunan Ampel. Sunan Drajat atau Syarifuddin
itu termasuk adiknya. Adik bungsunya yang bernama Dewi Sarah menikah
dengan Sunan Kalijaga. Nama lain Sunan Bonang yaitu Raden Makdum atau
Maulana Makdum Ibrahim. Beliau juga hidup di sekitar jaman akhir kraton
Majapahit ± 1400 Çaka atau 1478 Masehi (Ensiklopedi Islam, 1985). Dalam
bidang sastra Budaya beliau sumbangannya yaitu: membantu Raden Patah,
ikut mendirikan Masjid Demak, dakwah melalui pewayangan, menyempurnakan
instrumen gamelan, terutama bonang, kenong dan kempul, Tembang macapat,
Suluk Wujil. Sunan Bonang termasuk Wali Sanga yang sukses dalam
menyiarkan agama Islam. Ajaran Sunan Bonang disampaikan dengan
pesan-pesan simbolik yang harus ditafsirkan secara jernih.
Sunan Drajat
Anggota
Dewan Wali Sanga yang perlu diketahui juga adalah Sunan Drajat. Kata
drajat berasal dari bahasa Arab yaitu darajah yang berarti kualitas
tingkatan. Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Nama lainnya yaitu
Syarifuddin dan Raden Qosim. Beliau hidup pada jaman Majapahit akhir,
sekitar tahun 1400 Çaka atau 1478 Masehi. Pada masa akhir Majapahit itu
terjadi krisis sosial ekonomi dan politik. Sunan Drajat menjadi juru
bicara yang membela rakyat tertindas. Beliau mengecam tindakan elit
politik waktu itu yang hanya mengejar kekuasaan demi kenikmatan pribadi.
Dalam bidang sastra budaya beliau menciptakan: berpartisipasi dalam
pembangunan Masjid Demak, membantu Raden Patah, Tembang Pangkur. Sunan
Drajat menghendaki keselarasan lahir batin, jasmani rohani, dunia
akhirat supaya hidupnya sejahtera. Hidup di dunia yang fana ini harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya, yaitu untuk beramal saleh.
Sunan Giri
Di
daerah Gresik dan sekitarnya, Dinasti Giri sangat dihormati dan
ditaati. Bahkan untuk urusan politik pun diserahkan kepada Dinasti Giri,
sehingga di sana juga berdiri sebuah komunitas yang mirip kraton. Pada
masa Mataram, Dinasti Giri ini merupakan oposisi yang cukup merisaukan
para penguasa Mataram. Dinasti Giri ini mendapat sokongan dari para
pedagang-pedagang di sepanjang pantai utara Jawa. Sunan Giri adalah
salah satu dari Wali Sanga, yang bertugas menyiarkan agama Islam di
kawasan Jawa Timur, tepatnya di daerah Gresik. Beliau hidup antara tahun
1365 – 1428. Ayahnya bernama Maulana Iskak, berasal dari Pasai. Ibunya
bernama Sekardhadhu, putri raja Blambangan, Prabu Minaksembuyu. Nama
kecil Sunan Giri adalah Jaka Samudra. Masa kecilnya diasuh oleh janda
kaya raya, Nyai Gedhe Pinatik. Menjelang dewasa Jaka Samudra berguru
kepada Sunan Ampel. Jaka Samudra diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan
gelar Raden Paku. Bersama Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Paku
pergi haji ke Mekkah. Di sana Raden Paku berjumpa dengan ayahnya,
Maulana Iskak yang sudah bergelar Seh Awalul Islam. Sepulang dari Mekkah
Raden Paku mendirikan pesantren di Giri, Gresik, sehingga orang
menyebutnya sebagai Sunan Giri. Dakwah Islamnya menggunakan jalur
budaya, Sunan Giri menciptakan : Permainan jetungan, Jamuran, Gula
ganti, Cublak-cublak suweng, Tembang Asmarandana, Tembang Pocung.
Sunan Gunung Jati
Masyarakat
Cirebon dan sekitarnya sangat menghormati Sunan Gunung Jati. Banyak
peziarah yang mendatangi makamnya. Di Jakarta berdiri pula IAIN Syarif
Hidayatullah untuk mengenang jasa Sunan Gunung Jati dalam menyiarkan
agama Islam. Nama lain Sunan Gunung Jati adalah: Syarif Hidayatullah,
Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Ismail, Said Kamil, Maulana Seh
Makdum Rahmatullah. Menginjak dewasa beliau pergi ke Mekkah untuk
memperdalam ilmu agama selama tiga tahun. Waktu itu Bangsa Portugis
sudah menguasai Malaka tahun 1511. Kemudian beliau merantau ke Jawa,
yaitu Kraton Demak. Di Demak beliau diterima dengan tangan terbuka oleh
Sultan Trenggana yang memerintah antara tahun 1521-1546. Kepribadian
Fatahillah semakin menarik Sultan Trenggana sehingga beliau dikawinkan
dengan adiknya, putri Demak (Hoesein, 1913). Ekspansi Portugis ke
daerah Jawa Barat kurang berkenan di hati kraton Demak. Di bawah
pimpinan Syarif Hidayatullah, Demak membendung Portugal di Jawa Barat.
Pada tahun 1526 Brantas dapat dikuasai Demak. Pada tahun 1527 Sunda
Kelapa dapat dikendalikan Fatahillah memindahkan Cirebon. Kraton Banten
diperintah oleh putra Fatahillah, Sultan Hasanudin. Fatahillah lantas
tinggal di Cirebon untuk menyiarkan Agama Islam. Beliau wafat pada tahun
1570 di Gunung Jati. Oleh karena itu beliau lebih populer disebut
sebagai Sunan Gunung Jati. Beliau merupakan salah satu peletak pondasi
syiar agama Islam di daerah Jawa Barat.
Sunan Kalijaga
Di
antara anggota Dewan Wali, Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling
populer di mata orang Jawa. Bahkan sebagian orang Jawa menganggab
sebagai guru agung dan suci di tanah Jawa. Sunan Kalijaga mempunyai
nama kecil Raden Mas Syahid. Beliau putra Tumenggung Wilwatikta, bupati
Tuban. Ibunya bernama Dewi Nawangrum. Beliau mempunyai isteri yang
bernama Dewi Sarah dan berputra tiga orang: Raden Umar Said atau Sunan
Muria, Dewi Rukayah, Dewi Sofiyati. Pada masa mudanya Raden Mas Syahid
gemar berjudi dan merampok. Karena saktinya beliau mendapat julukan
Lokajaya (Marsono, 1996). Suatu saat beliau bertemu dengan Sunan Bonang.
Beliau disuruh menjaga tongkat di tepi kali. Maka beliau digelari Sunan
Kalijaga. Gelar kewaliannya adalah Seh Malaya, yang artinya berkelana.
Karya-karya beliau di antaranya yaitu: tiang Masjid Demak yang terbuat
dari tatal, Gamelan Nagawilaga, Gamelan Guntur Madu, Gamelan Nyai
Sekati, Gamelan Kyai Sekati, Wayang Kulit Purwa, Baju Takwa, Tembang
Dhandhanggula, Kain Batik, Syair puji-pujian pesantren.
Sunan Kudus
Di
Kabupaten Kudus, Jawa tengah, juga berdiri sebuah padepokan keislaman
yang cukup terkenal. Pendirinya adalah Sunan Kudus. Sunan Kudus atau
Jakfar Shaddiq adalah ulama besar, salah satu dari Wali Sanga, yang
bertugas melakukan syiar Islam di sekitar daerah Kudus, Jawa Tengah.
Beliau lahir pada pertengahan abad 15 Masehi atau 9 Hijrah. Ayahnya
bernama Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan,
Blora. Beliau masih mempunyai garis keturunan dengan Husain bin Ali.
Kakek Sunan Kudus adalah saudara Sunan Ampel, sehingga masih ada
hubungan perrtalian darah. Sunan Kudus menciptakan karya sastra dan
budaya: Tembang Maskumambang, Tembang Mijil, Masjid Menara Kudus. Sunan
Kudus wafat tahun 1550 Masehi atau 960 Hijrah dan dimakamkan di Kudus.
Di pintu makam Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka
tahun 1895 Jawa atau 1296 Hijriyah atau 1878 Masehi.
Sunan Muria
Deretan
anggota Dewan Wali Sanga yang lain adalah Sunan Muria. Sunan Muria
adalah putra Sunan Kalijaga. Ibunya bernama Dewi Sarah. Istrinya bernama
Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus. Putranya bernama Pangeran
Santri. Nama kecil Sunan Muria adalah Raden Umar Saidi, Raden Said dan
Raden Prawata. Disebut Sunan Muria karena wilayah syiar Islamnya
meliputi lingkungan Gunung Muria. Karya Sunan Muria di antaranya:
Tembang Sinom, Tembang Kinanthi. Sunan Muria ikut memindahkan Pesantren
Ampeldenta ke Demak. Makamnya terletak di Gunung Muria. Pengaruh Sunan
Muria hingga saat ini masih besar. Pada waktu tertentu masih banyak
yang ngalap berkah di makam Sunan Muria.
Sunan Panggung
Sunan
Panggung dihukum oleh kraton Demak dengan dibakar hidup-hidup karena
dianggap telah melanggar sarak dan menyebarkan ajaran sesat. Saat itu
Sunan Panggung memang memimpin barisan oposisi yang selalu mengkritik
kebijaksanaan Sultan Demak yang selalu didukung oleh para wali. Kraton
Demak berdiri kokoh salah satunya karena sokongan cendekiawan yang
tergabung dalam Dewan Wali Sanga. Kitab-kitab yang terbit pada jaman ini
yaitu: 1) Suluk Sunan Bonang, 2) Suluk Sukarsa, 3) Suluk Malang
Sumirang, 4) Koja-Kojahan, dan 5) Niti Sruti. Pengertian Wali Sanga
dapat dipahami secara denotatif maupun konotatif. Dalam pengertian
denotatif nama Wali Sanga berarti sejumlah guru besar atau ulama yang
diberi tugas untuk dakwah dalam wilayah tertentu. Dalam pengertian
konotatif bahwa seseorang yang mampu mengendalikan babahan hawa sanga (9
lubang pada diri manusia), maka dia akan memperoleh predikat kewalian
yang mulia dan Selamat dunia akhirat.
Tanggab Sasmita
Tanggap
sasmita adalah responsif terhadap informasi simbolik. Orang yang
tanggap sasmita mempunyai perasaan yang halus sehingga dirinya mudah
menyesuaikan diri. Tanda-tanda yang bersifat semiotis memerlukan
ketajaman perasaan untuk menangkap maknanya. Tinggi rendahnya
kepemimpinan Jawa salah satunya ditandai dengan kemampuannya dalam
mengolah isyarat alamiah. Bahkan untuk memberi instruksi pun
kadang-kadang lebih mengena dengan pasemon atau perlambang. Semiotika
Jawa mengandung makna yang menekankan pada perasaan. Ada ungkapan ing
sasmita amrih lantip berarti supaya dapat menangkap arti simbolik
dengan ketajaman batin.
Tat Twam Asi
Tat
twam asi artinya; Dikaulah itu, Dikaulah itu, semua makhluk adalah
engkau. Engkaulah awal mula roh dan zat semua makhluk. Aku ini adalah
makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwatmaku dan prakrtiku
tunggal dengan jiwatma semua makhluk, dan Dikau sebagai sumberku dan
sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau; aku adalah
Brahma.
Tata
Kata berjenjang tata-titi, tatas-titis,
tatag-tutug berkaitan dengan komitmen suatu komunitas dalam ketaatan
hukum dan norma yang telah disepakati bersama. Konvensi dan aturan
main bersama harus dilaksanakan sebaik-baiknya agar keserasian dan
keselarasan tetap terjaga. Pelanggaran terhadap tata tertib akan menunda
keberhasilan. Di samping diri sendiri rugi, orang lain pun akan terkena
dampaknya. Apabila pelanggaran itu dilakukan oleh orang banyak dan hal
itu dianggab biasa berarti masyarakat itu telah menabung masalah. Suatu
saat masalah itu akan membengkak dan berbuah pada penderitaan. Banyak
contoh bahwa masyarakat yang menjunjung ketertiban akan unggul,
produktif dan kompetitif. Dan banyak contoh pula masyarakat yang tak
mengindahkan normanya sendiri akan jalan di tempat bahkan jumud
'mundur'.
Tata Krama
Setiap anggota masyarakat, apalagi
seorang pemimpin harus memiliki tata krama. Tata krama berkaitan dengan
cara mengerjakan sesuatu agar pantas dan tidak menyinggung perasaan
orang lain. Tata krama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang
bermakna berjalan. Hal-hal yang ada hubungannya dengan perjalanan hidup
perlu berpedoman dengan tata krama. Perjalanan hidup manusia secara
bersama-sama akan harmonis hanya bila diatur dengan tata krama. Oleh
karena itu setiap sendi kehidupan yang meliputi bidang politik,
ekonomi, sosial, dan kebudayaan akan berlaku secara alamiah, anggun dan
tertib asalkan masing-masing berpegang teguh pada tata krama. Dampak
dari pelanggaran tata krama adalah kerugian pada diri sendiri,
terutama yang tampak secara fisik karena pelanggaran tata krama mudah
dilihat oleh mata.
Tatag
Tatag mengandung makna percaya diri,
kukuh kemauan, berani dan tidak mengenal ragu. Ragu terhadap resiko
besar yang dihadapi. Resiko yang besar berbanding lurus dengan
keuntungan seorang pebisnis atau tingkat kemajuan karir seseorang
pegawai. Melakukan pekerjaan dengan tatag berarti melakukannya dengan
sungguh-sungguh, rasional dan maksimal agar berhasil sesuai dengan
harapan. Kejadian yang menyedihkan seperti terjadinya kecelakaan, bagi
yang tidak tatag mungkin malah membahayakan diri dan orang lain.
Profesi kedokteran membutuhkan pribadi yang tatag. Sikap tatag jauh dari
perilaku grusa-grusu, ceroboh atau emosional.
Tatas
Tatas
mengandung makna tuntas, selesai, rampung dengan sempurna atau
paripurna. Sungguh mulia orang yang dapat menyelesaikan suatu pekerjaan
dengan tuntas atau sempurna. Kecuali optimal, orang tersebut akan puas
jiwanya. Pekerjaan yang belum selesai dan ditinggalkan ibarat bangunan
yang mengkrak. Sepet dipandang mata dan tidak memberikan daya guna.
Atau seperti makanan yang tidak matang, tidak enak dimakan dan kadang
menimbulkan penyakit. Lebih jauh yang menjalankan pekerjaan itu tidak
memiliki tanggung jawab. Pekerjaan dilakukan asal-asalan yang hanya
menghitung untung rugi. Tidak ada perasaan bersalah dan malu sedikit pun
dilihat orang. Sikap demikian disebut ndableg yang mengundang
kejengkelan dari pihak lain. Proyek-proyek bangunan negara yang cepat
rusak dan kadang ditinggal di tengah jalan sering dijumpai. Di samping
mengganggu pemandangan, juga hanya menghambur-hamburkan uang. Oleh
karena itu prinsip yang harus dimiliki setiap orang khususnya pemimpin
adalah mengerjakan sesuatu secara paripurna atau tatas.
Tekan
Tekan
berarti kesampaian. Teken, tekun dan tekan merupakan deretan kata
berjenjang. Siapa yang mau tekun, maka ia akan mendapat teken dan ia
akan segera tekan atau kesampaian apa yang menjadi idamannya. Proses
yang panjang yang harus dilalui seseorang agar sampai pada tekan,
penuh duri, derita, duka dan nestapa yang senantiasa mengiringi. Dari
laku tekun saja membutuhkan waktu yang tidak pendek. Kemudian mendapat
teken yang bukan berarti halangan dan cobaan usai. Teken yang
digunakan itu harus digunakan secara sebaik-baiknya agar sampai tanpa
meleset. Setelah proses demi proses dijalani, barulah tekan atau
berhasil.
Teken
Teken secara harfiah bermakna tongkat yang
digunakan sebagai penegak orang yang sedang berjalan. Biasanya teken
dipakai orang yang sudah lanjut usia. Dalam konteks piwulang dan pasemon
atau ajaran moral simbolik, kata teken berarti pedoman, petunjuk dan
tuntunan hidup. Dapat juga berarti sebagai alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan. Orang yang mendapat teken adalah orang yang mendapat
alat demi mencapai cita-cita hidupnya. Agar mendapat teken seseorang
harus tekun. Dengan begitu teken berarti buah dari perbuatan tekun.
Bagaimana pun juga ketekunan yang telah melekat pada diri seseorang,
lama-lama orang tersebut akan diakui oleh masyarakat umum. Teken atau
fasilitas itu akan didukung oleh publik.
Tekun
Tekun
mempunyai pengertian mengerjakan sesuatu dengan rajin, ulet dan tidak
mudah putus asa atau putus di tengah jalan. Orang yang tekun tidak
goyah oleh godaan dan kritikan orang lain yang tidak mendukungnya.
Ketekunan terhadap suatu pekerjaan membuat bahagia orang yang
mengerjakan. Orang lain yang memperhatikan pun akan ikut senang. Dari
sini lama-kelamaan mengundang rasa hormat. Bila perlu banyak orang
sanggup membiayai pekerjaan yang ditekuni itu. Kepercayaan umum pada
profesi seseorang bisa lewat jalan tekun. Pikiran yang kurang cerdas
dapat ditutupi dengan ketekunan. Malah banyak orang tekun lebih sukses
dibanding dengan orang yang cerdas tapi malas.
Telaten
Kata
telaten mengandung makna sikap rajin, tekun, kontinyu dan ajeg. Orang
yang telaten tidak mudah putus asa, patah arang, nglokro, mutung, bosan
atau jenuh. Ungkapan sing telaten bakal panen artinya siapa
yang rajin bakal memetik buahnya. Kecerdasan yang didukung oleh sikap
telaten akan memperoleh kesuksesan yang gemilang. Orang yang cerdas
tetapi malas, maka suksesnya akan selalu tertunda. Sebaliknya orang yang
pas-pasan, namun gigih, tekun dan telaten lama-kelamaan hasilnya akan
nampak. Oleh karena itu sebaiknya orang tidak usah minder, kecil hati,
rendah diri dan malu terhadap tingkat kecerdasannya yang penting rajin,
ulet, telaten dan tertib.
Tentrem
Kata tentrem berarti
tentram, aman, tenang, damai dan dapat membahagiakan lahir maupun
batin. Kata tentrem lebih menunjuk pada aspek kejiwaan. Untuk mencapai
suasana tentrem, maka antar unsur masyarakat harus menghormati hak
dan kewajiban orang lain, terbuka, toleran, tenggang rasa, tepa selira,
tahu diri, mawas diri, introspeksi, kompromis dan humanis. Di sini
pengendalian diri terhadap pergaulan sangat diperlukan. Masyarakat yang
tentram akan membuat hidup kerasan dan betah. Dalam suasana tentram,
tidak akan pernah orang merasa dihina dan diremehkan, apalagi merasa
terancam harta dan jiwanya.
Tepa Selira
Di pedusunan orang
bertempat tinggal dengan derajat kerenggangan yang cukup jauh. Jarak
yang lebar itu dimaksudkan agar tidak terjadi persinggungan
kepentingan. Dampaknya pada perilaku adalah sikap toleransi. Segala
kejadian di luar dirinya dibiarkan saja berjalan secara alami. Orang
mudah untuk memaafkan kesalahan pihak lain. Bahkan ada kecenderungan
kuat untuk menutup-nutupi kesalahan pemimpinnya. Korupsi yang
dilakukan sang pemimipin kadang-kadang dipahami sebagai uang lelah
raja.
Titi
Titi atau teliti adalah sikap seseorang yang
cermat, jeli dalam menyelesaikan segala pekerjaan. Ketelitian ini sangat
penting untuk menunjang kesuksesan dengan hasil yang memuaskan seperti
yang diharapkan. Ketelitian waktu memungkinkan sukses tidak tertunda.
Ketelitian tempat, memungkinkan pekerjaan selalu terarah. Ketelitian
alat, memungkinkan terhindar dari senjata makan tuan. Ketelitian kerja,
membuat pekerjaan menjadi sempurna. Banyak orang yang celaka karena
alatnya sendiri. Contoh gampang adalah kecelakaan di jalan raya
dikarenakan orang tidak teliti terhadap alat, tempat dan cara kerja.
Musibah karena waktu contohnya adalah orang yang tertinggal pesawat atau
kereta. Kalau itu terjadi betapa ruginya orang tersebut. Dana, daya,
tenaga, pikiran dan waktu terbuang sia-sia. Sekali lagi ketelitian
terhadap segala hal sangat penting untuk meraih sukses hidup.
Titis
Kata
titis mengandung makna tepat sasaran, efektif dan efisien sesuai dengan
harapan yang telah diprogram. Kejelian dan ketelitian seseorang
mempunyai andil besar dalam menyukseskan cita-cita. Tindakan yang titis
akan membuat decak kagum, hormat dan bangga dari pihak lain. Dari sini
akan muncul kepercayaan dan memupuk kewibawaan. Kebesaran seseorang
berawal dari tindakan yang titis. Sejak dini semua orang harus berlatih.
Agar seseorang dapat bertindak titis memerlukan proses yang panjang,
tekun dan tidak mengenal putus asa. Belajar terus-menerus dan sering
dibutuhkan kesabaran dan ketabahan.
Titen
Kata titen berarti
selalu ingat, tidak mudah melupakan sesuatu, jeli dan teliti. Sikap
titen diperoleh dengan cara menganggab setiap hal walaupun sangat kecil
menjadi sesuatu yang penting. Seseorang yang suka meremehkan
kejadian-kejadian yang umum dia akan kehilangan pengetahuan yang
bersifat alamiah. Dia akan mengamati semata, hanya berdasarkan untung
rugi, suka benci dan kepentingan pribadi belaka. Kebodohan seseorang
kemungkinan besar berpangkal dari sikap tidak mau titen. Tinenana wong
cidra mangsa langgenga adalah pepatah yang berarti ingatlah bahwa
orang yang suka khianat tak akan selamat. Ungkapan itu berdasarkan
kejadian-kejadian buruk yang dilakukan seseorang yang akan berakibat
penderitaan, kesengsaraan, dan kerugian terhadap banyak orang.
Trampil
Trampil
adalah keahlian dalam menangani pekerjaan. Ketrampilan merupakan
kemampuan kerja yang diperoleh melalui latihan dan belajar yang tekun.
Ketrampilan seseorang dapat digunakan sebagai bekal untuk mencari
nafkah. Orang yang kurang jeli dalam analisis suatu masalah, maka
dirinya harus mengimbangi dengan ketrampilan karena ketrampilan lebih
bersifat teknis. Pendeknya, kalau pikirannya kurang cemerlang maka
tangannya harus cekatan. Konsistensi terhadap suatu jenis pekerjaan
akan mengantarkan seseorang kepada taraf profesionalisme yang tangguh.
Latihan dan kebiasaan yang terus-menerus akan dengan sendirinya memupuk
profesionalisme.
Trengginas
Trengginas adalah kemampuan
kerja dan kecakapan menghindari rintangan dan hambatan. Dengan
trengginas kerugian dapat ditekan dan kesulitan dapat dipermudah.
Jeratan dapat dilepaskan dan penghambat justru akan menjadi pendukung.
Pekerjaan apa saja mesti ada tantangan dan hambatan. Seorang pekerja
profesional tidak akan mengeluh hanya karena hambatan. Baginya
kegagalan harus dicegah, kerugian harus dihindari, persoalan harus
dipecahkan dengan mengerahkan segala daya upaya tanpa mengenal sifat
putus asa. Orang besar dan terkenal bermula dari tekad kuatnya dalam
mencapai cita-cita. Duka nestapa, peluh air mata merupakan pupuk hidup
yang menyegarkan semangat juang.
Tri Hita Wacana
Tri hita
wacana adalah tiga penyebab bahagia, atau dengan kata lain tiga hubungan
yang harmonis yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan. Tri hita wacana
terdiri dari : hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan,
hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, hubungan
yang harmonis antara manusia dengan alam atau lingkungannya. Ketiga
hubungan yang harmonis ini, yang diyakini akan membawa kebahagiaan dalam
kehidupan ini yang diwujudkan dalam tiga unsur, yaitu: Parahyangan
atau tempat suci, Pawongan atau manusia itu sendiri, Palemahan atau alam
semesta atau lingkungan.
Tri Jana Upaya
Tri
jana upaya adalah tiga macam cara bagi seorang pemimpin untuk
menghubungkan atau mendekatkan diri dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Ada dua cara hidup hewan, yang satu menyendiri seperti tokek, gangsir,
dan yang lain berkelompok seperti lebah dan sebagainya. Cara hidup
demikian sesuai dengan hukum alam, karenanya tidak dapat diubah. Lebah
jika dipisahkan pasti mati. Sebaliknya gangsir, jika dikelompokkan pasti
mati. Sebab dalam kelompok, gangsir selalu berkelahi. Maka bila diubah
cara hidupnya, hewan tersebut tidak dapat melangsungkan hidup pribadinya
dan jenisnya. Manusia termasuk jenis yang cara hidupnya berkelompok,
jadi serupa dengan jenis lebah. Dalam kelompok, orang saling memberi dan
mengambil kefaedahan masing-masing. Tindakan tersebut dinamakan gotong
royong atau kemasyarakatan. Adapun cara bertindak untuk saling memberi
dan mengambil faedah masing-masing ialah sebagai berikut: Misalnya
tukang besi, pekerjaannya tidak lain hanya memukuli besi. Namun ia makan
nasi walaupun tidak menanam padi. Ini hanya mungkin karena adanya
saling memberi dan mengambil faedah masing-masing, antara pak tani dan
si tukang besi. Tukang besi memperoleh padi dari pak tani dan pak tani
memperoleh pacul dari tukang besi. Saling memperoleh kefaedahan di atas,
memungkinkan masing-masing pihak merasa cukup dan enak. Ada contoh lain
yang lebih jelas lagi. Misalnya ada nasi sepiring, orang bertanya,
"Siapakah yang mengadakannya?" Bila dijawab bahwa pak tanilah yang
mengadakannya karena ia yang menanam padi, maka jawaban itu kurang
tepat; karena pak tani tidak dapat menanam padi tanpa pacul, garu dan
bajak. Bajak dibuat oleh tukang kayu. Karena itu tukang kayu pun turut
mengadakan sepiring nasi itu. Bajak tanpa mata-bajak tidak dapat
dipakai. Karena mata-bajak dari besi itu dibuat oleh tukang besi, maka
tukang besi pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Apabila pembagian
aliran air untuk sawah tidak teratur, maka padi tidak akan tumbuh.
Karena itu, pengatur aliran air pun turut mengadakan sepiring nasi itu.
Apabila di antara petani timbul perselisihan dan tidak ada yang
mendamaikan, maka mereka tidak sempat menanam padi. Dalam perselisihan
itu jaksalah yang mendamaikan mereka. Ini berarti, jaksa pun turut
mengadakan sepiring nasi itu. Rupa Upaya, artinya seorang pemimpin
harus dapat mengenali atau mengamati wajah masyarakat yang dipimpinnya.
Wajah masyarakat dapat menggambarkan apakah rakyat yang bersangkutan
dalam keadaan senang, sejahtera atau kesusahan. Pemimpin yang dapat
mengetahui keadaan masyarakatnya dengan baik akan lebih mudah dapat
mengatasi permasalahannya yang dihadapi rakyatnya. Wamsa Upaya, artinya
seorang pemimpin harus dapat mengetahui susunan stratifikasi sosial
masyarakatnya. Seorang pemimpin yang mengenali adat istiadat
masyarakatnya dengan baik akan lebih mudah dapat menentukan sistem
pendekatan atau motivasi yang harus digunakan dalam mencapai dan
mendorong pembangunan menuju kemajuan. Guna Upaya, artinya seorang
pemimpin hendaknya mengetahui tingkat intelektual masyarakatnya termasuk
keterampilan dan skill. Dengan mengetahui tingkat kemampuan
masyarakatnya seorang pemimpin akan lebih mudah berkomunikasi serta
menawarkan ide-ide kepada rakyatnya. Dengan demikian program-program
pembangunan akan lebih cepat terealisasi. Disamping program pemenuhan
sandang, pangan dan papan, seorang pemimpin harus memprioritaskan
program pendidikan kepada rakyatnya, sehingga terjadi keseimbangan
antara pembangunan fisik dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
dalam rangka membangun nusa dan bangsa di masa depan.
Tri Parama Arta
Tri
Parama arta artinya tiga macam perbuatan untuk mengusahakan
kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri Pararta terdiri dari : a.
Cinta kasih artinya menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana
mengasihi diri sendiri. Manusia harus saling asah, saling asih, dan
saling asuh. Tujuannya agar terwujud kerukunan, kedamaian, dan
keharmonisan dalam hidup ini. b. Punia, Punia artinya perwujudan cinta
kasih dengan wujud saling menolong dengan memberikan sesuatu atau harta
benda yang manusia miliki secara ikhlas, dan berguna bagi yang diberi.
Manusia harus melakukan dana punia. Walaupun pemberian itu berjumlah
kecil, tetapi diberikan dengan hati suci dan ikhlas, maka pemberian itu
akan membawa kebaikan yang tidak ternilai. Yang penting pemberian itu
diberikan dengan ikhlas, dan pada waktu, tempat, dan pada orang yang
tepat, tanpa mengharapkan balasan. c. Bakti, Bakti artinya perwujudan
hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru, dan
pemerintah. Dalam ajaran Hindu salah satu jalan untuk mengadakan
hubungan dengan Tuhan yaitu dengan Bakti Marga yaitu cara atau jalan
untuk melakukan hubungan kepada Tuhan dengan jalan sujud bakti
kepada-Nya.
Tri Rena Tata
Tri rena tata berasal dari kata tri
yang berarti tiga dan rena yang berarti hutang. Jadi tri rena tata
artinya tiga hutang yang dimiliki oleh manusia. Manusia adalah makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia sebagai anggota
masyarakat selalu hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Mereka
saling memerlukan dan membutuhkan satu sama lainnya. Dengan hidup
bersama dan berkelompok mereka saling keterikatan yang disebabkan oleh
adanya rasa kasih sayang dan tolong-menolong. Mereka akan merasa berdosa
bila tidak dapat membalas budi orang yang telah menolongnya. Manusia
disebutkan memiliki tiga hutang yang terdiri dari : a. Tuhan, artinya
hutang jiwa kepada Tuhan. Tuhan memberi hidup kepada semua makhluk yang
ada di dunia ini. b. Hutang jasa kepada leluhur yakni orang tua dan
nenek moyang yang telah disucikan. c. Hutang ilmu pengetahuan kepada
para guru. Para guru adalah orang yang bijaksana dan menurunkan ilmunya
kepada siswanya.
Tutug
Tutug adalah kelanjutan dari sikap
tatag. Kata tutug mengacu pada keberhasilan kerja sebagai hadiah dari
tindakan tatag, sehingga bagi yang melakukannya memperoleh kepuasan
jiwani. Ada satu hal yang selalu membuat repot ketika pekerjaan tidak
tutug. Tidak jarang mereka yang dulunya terlibat lantas mengaku paling
berjasa, sehingga menjadikan solidaritas terpecah-belah. Tinggal
menunggu pembagian kenikmatan saja banyak di antara kita tidak bisa.
Antara satu dengan yang lain berebut tulang-belulang. Ini sudah sering
terjadi. Alangkah mulianya kalau masing-masing pihak mengikis
ambisinya. Pada akhirnya semua orang akan tahu, mana yang emas mana yang
loyang, sebuah seleksi alam.
Unggah-Ungguh
Selain tata krama,
sopan santun, juga perlu dipahami istilah unggah-ungguh. Konsep luhur
unggah-ungguh dan munggah-mungguh berkaitan dengan hubungan bersama
orang lain yang tetap memperhatikan empan papan ‘waktu dan tempat’,
posisi, status, jabatan dan kedudukan seseorang. Di dalam masyarakat di
mana saja selalu ada kelas sosial. Kelas sosial mempunyai tata
interaksi yang berbeda-beda. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
dalam berbahasa pun senantiasa ada tingkat-tingkat kebahasaan yang
disepakati secara umum. Kalau ada yang melanggar secara informal, maka
pasti ada sangsi sosialnya. Memperlakukan seseorang sesuai dengan
kedudukan dan status serta derajat dan martabatnya, merupakan tindakan
yang mulia, karena seperti dianggab mempunyai unggah-ungguh.
Wahyu Cakraningrat
Dalam
pewayangan, lakon yang menceritakan pulung kepemimpinan dilukiskan
dengan memperoleh wahyu cakraningrat. Siapa saja yang memperoleh wahyu
cakraningrat, maka dia dan keturunannya akan berhak menduduki tahta
kepemimpinan. Tiga pangeran putra mahkota dalam pewayangan yaitu
Lesmana dari Hastina, Samba dari Dwarawati, dan Abimanyu dari Amarta
bersaing sengit dalam memperebutkan wahyu cakraningrat agar tergenggam
di tangannya. Karena Lesmana dan Samba tidak kuat menerima cobaan
berupa wanita cantik, maka hanya Abimanyu yang kemudian berhasil
memperolehnya. Akhirnya memang hanya Abimanyu yang bisa menurunkan
raja di Hastina, yaitu Prabu Parikesit. Lakon wahyu cakraningrat ini di
masyarakat Jawa sangat populer. Lurah, camat, bupati yang terpilih
seringkali menanggap wayang dengan lakon tersebut. Harapannya mereka
akan memerintah dan menerapkan kepemimpinan mirip Prabu Parikesit yang
terkenal berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan. Sedangkan buat
masyarakat yang diperintah akan mengakui eksistensi kepemimpinannya.
Agaknya wahyu cakraningrat merupakan salah satu sarana yang ampuh
sebagai sumber legitimasi kepemimpinan.
Wani Ngalah
Wani
ngalah berbeda dengan kalah. Wani ngalah hanya berusaha menyenangkan
pihak lain. Orang yang suka mengalah biasanya selalu menjaga perasaan
orang lain agar tidak tersinggung. Pribadi yang baik tidak malu untuk
wani ngalah ‘berani mengalah’. Prinsip orang yang wani ngalah adalah
menang ora kondhang, kalah wirang. Bahkan semua orang Jawa mengakui
orang padu don (bertengkar mulut) itu ibarat perang. Dalam perang
berlaku prinsip: yang menang menjadi pindang, yang kalah menjadi rempah.
Kedua-duanya pasti saling merugi, tak ada untung. Untuk bisa wani
ngalah, seseorang harus bersedia menyingkirkan egoismenya. Bagi yang
terlampau peduli gengsi, sikap wani ngalah tentu sangat berat untuk
dilakukan. Demi harga diri lebih baik kalah wang daripada kalah wong.
Berani berlaku garang walaupun keadaannya garing ‘kering’.
Widada
Widada
juga mengandung makna selamat. Hanya saja kata widada digunakan dalam
suasana yang formal keistanaan serta lebih estetis dan puitis (bahasa
Kawi). Kata widada yang bernilai estetis dan puitis lantas digunakan
untuk memberi nama anak laki-laki, misalnya Jatmika Widada, Budi
Widada, Jaka Widada, Endar Widada, dan sebagainya. Semuanya bermaksud
agar anaknya mendapatkan keselamatan dan kewibawaan. Selain untuk nama
orang, percakapan resmi dalam istana serta upacara, kata widada tidak
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kata keseharian orang
lebih biasa dengan istilah slamet yang merupakan tataran bahasa ngoko.
Wikrama Wardhana (1389-1429)
Wikrama
Wardhana adalah putra Prabu Hayam Wuruk. Salah satu putra beliau yang
lain adalah Wirabumi. Wirabumi diberi kekuasaan di daerah bagian Jawa
Timur. Mula-mula Wirabumi menerima pembagian ini, akan tetapi lama-lama
ia ingin memiliki tahta Majapahit juga. Pertengkaran terjadi sejak tahun
1399. Waktu itu, putra mahkota yang bernama Hyang Wekas meninggal
dunia. Ibunya adalah putri Prabu Hayam Wuruk, oleh karena itu ia berhak
atas tahta. Oleh karena ia meninggal dunia, maka Wirabumi semakin dekat
dengan istana, karena dia merasa patut menjunjung mahkota. Ia
mengobarkan pendukungnya untuk ikut mendorong dirinya ke puncak tahta.
Perseteruan ini membuat udara di ibukota Majapahit tidak sejuk lagi.
Tipu muslihat di mana-mana dan muaranya selalu dituduhkan kepada intrik
di antara kedua pewaris tahta.
Wilujeng
Salah satu gendhing
yang terkenal dalam kerawitan yaitu gendhing ladrang wilujeng. Lagu
ini memberi suasana damai, ayem, tentrem, dan tenang. Ladrang wilujeng
ini cocok untuk mengisi suasana santai namun agung dan hikmat. Kata
wilujeng juga dapat digunakan untuk sapaan hangat bernada halus,
"Kepripun Mas kabaripun?" Maka akan dijawab, "Pangestunipun, dhawah
wilujeng." Secara umum kata wilujeng bermakna selamat juga. Hanya saja
kata ini jarang digunakan untuk memberi nama anak. Wilujengan berarti
selamatan, yang sejajar maknanya dengan slametan. Dengan wilujengan atau
selamatan itu, mereka berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dalam
kehidupannya diberikan keselamatan dan kesejahteraan, terbebas dari
malapetaka, terhindar dari hal-hal yang menjebak mereka sehingga gagal
meraih kebahagiaan hidup dunia dan akherat.
Wiratama
Wiratama
berasal dari kata wira yang artinya gagah berani dan utama yang
artinya juga utama. Wiratama berarti gagah berani melakukan kebajikan,
atau satria agung yang gagah berani membela kebenaran dan keadilan.
Orang yang berjiwa wiratama berarti mementingkan kepentingan orang
banyak. Dirinya merasa bermakna hidupnya apabila bermanfaat bagi
masyarakat umum. Tenaga dan pikirannya disumbangkan kepada khalayak.
Cepat kaki ringan tangan dalam beraktivitas sosial dan peduli dengan
nasip orang lain yang membuatnya populer.
Secara alamiah pemimpin
akan muncul dari orang-orang yang peduli terhadap orang lain dan
memperhatikan kepentingan umum. Akhirnya kepemimpinan yang demikian itu
akan diakui.
Wukir
Dalam pewayangan dikenal adanya dasa nama
atau kumpulam istilah. Dasa nama dari wukir adalah gunung, arga, redi
dan prawata. Adanya pegunungan menambah kesuburan tanah. Hutan
belantaranya memuat kekayaan hewani dan nabati. Kayu-kayuan yang sangat
mahal harganya terdapat di hutan. Sebagai contoh kayu Jati di
Pegunungan Kendheng di Jawa dan rotan di hutan Kalimantan. Pengelolaan
hutan yang terbuka, adil, dan teratur tentu membuka lebar-lebar
kesempatan pemakmuran rakyat. Hanya saja yang perlu dihindari adalah
monopoli pengelolaan hutan yang berbuntut kesenjangan dan persengketaan
yang tidak menguntungkan. Wukir juga bermakna pegunungan yang indah.
Negara atau wilayah yang memiliki deretan pegunungan tentu akan
menyajikan penorama indah dan udara sejuk yang membuat betah dan nyaman
orang tinggal di sana. Apalagi dalam jaman modern di mana pariwisata
sangat digemari, maka tentu keindahan panorama pegunungan akan menambah
devisa negara dan kemakmuran rakyat, sebagai contoh Pegunungan Bromo di
Jawa Timur.
Yasadipura I
Salah satu tokoh sastrawan yang amat
penting dalam masa penggubahan karya-karya yang berbahasa Jawa Kuno ke
dalam bahasa Jawa Baru adalah Yasadipura I (Soepomo Suryohudoyo, 1980:
34). Pujangga besar Kyai Yasadipura I lahir di Pengging tahun 1729. Nama
lainnya yaitu Bagus Banjar, Jaka Subuh dan Jenal Ngalim. Ayahnya
bernama Raden Tumenggung Paduranegara, Bupati daerah Pengging. Pada usia
8 tahun beliau dikirim ke pesantren di daerah Kedu. Beliau mempelajari
ilmu agama Islam, tasawuf dan kebatinan. Setelah usia 14 tahun beliau
tamat belajar dan magang sebagai abdi dalem Kraton Kartasura. Karena
bakatnya dalam dunia karang mengarang besar, maka beliau dinobatkan
sebagai pujangga istana. Ini terjadi setelah berakhirnya Geger Pacinan.
Ketika ibukota Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta, Yasadipura
pun ikut boyongan dan bertempat tinggal di kawasan Kedung Kol, yang
terletak di daerah Pasar Kliwon, sebelah timur benteng Kasunanan
Surakarta. Daerah ini nantinya terkenal dengan sebutan kampung
Yasadipuran. Di sini Yasadipura bermukim beserta istri, anak dan
cucunya. Salah satu cucu Yasadipura yang sebagai pujangga agung adalah
Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Yasadipura II
Kyai Yasadipura II
adalah putra Kyai Yasadipura I. Nama lainnya yaitu Raden Tumenggung
Sastranagara. Raden Tumenggung Sastranagara berputra Raden Mas
Pajangswara berputra Raden Mas Ngabehi Ranggawarsita. Dengan demikian
Ranggawarsita adalah cucu Kyai Yasadipura II dan cicit Kyai Yasadipura
I. Karya tulis Kyai Yasadipura II di antaranya: Serat Centhini, Serat
Darmasurya, Serat Sasana Sunu, Serat Wicara Keras, Serat Panitisastra
Jarwa, Serat Arjuna Sasra atau Lokapala, Serat Ambiya, Serat Dewaruci,
Serat Babad Prayut, dan Serat Babad Pakepung. Kyai Yasadipura II sangat
dicintai dan berteman akrab dengan Sinuwun Paku Buwana V, yang ketika
masih menjadi putra mahkota bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.
Hampir tiap buah tangan Kyai Yasadipura II selalu atas ijin dan
dukungan Pangeran Adipati Anom. Bersama dengan Pangeran Adipati Anom dan
Kyai Rangga Sutrasna, Kyai Yasadipura II menggarap Serat Centhini.
Beliau menjadi pujangga selama 43 tahun. Beliau termasuk pujangga
beruntung karena secara langsung mendapat bimbingan dari sang ayah,
Yasadipura I.
Sumber: http://putripandanwangi.blogspot.com/2008/02/javanese-encyclopedia.html
No comments:
Post a Comment