Resensi
buku
Karya
La Ode Abdul Munafi dan Andi Tenri
diresensi oleh : La Ode Rabani*
Identias Buku
Judul Asli : Dinamika Tanah Wolio, Sejarah,
Kontinuitas, dan Perubahan
ISBN :
978-602-70099-4-3
Penerbit : Fahmis Pustaka
Jumlah hlm : xv + 159
Kota Terbit : Makassar
Tahun Terbit : Oktober 2014
Membaca karya akademisi Buton, La Ode Abdul Munafi dan
Andi Tendri ini mengingatkan saya pada goresan Mohammad Hatta dalam suatu
kesempatan bahwa “membaca tanpa
merenungkan adalah bagaikan makan tanpa dicerna”. Goresan pena Hatta telah membantu memahami
buku yang terdiri dari 7 tema utama ini dengan mudah.
Dengan memakai kacamata Muhamad Hatta, saya kemudian
mengelomokan buku ini menjadi 3 aspek utama yaitu, satu; sejarah
dan budaya sebagai basis peradaban dalam Pembangunan Wolio. Kedua; lingkungan,
pembangunan karakter, dan politik sebagai wacana, dan ketiga; adalah aspek
harmoni, yang dalam istilah Hatta sebagai renungan. Dalam buku ini diberi
tema, Sajak dan Puisi.
Buku ini berisi 7 (tujuh) tema utama, yakni 1.
Historitas (Sejarah); 2. Kebudayaan; 3. Pembangunan Wawasan Maritim, 4.
Lingkungan Hidup; 5. Pembangunan Karakter, 6. Politik dan Pemerintahan; 7.
Sajak dan Puisi. Ketujuh tema ini dibingkai dalam sebuat tema besar yang oleh
penulisnya, yakni Dinamika Tanah Wolio, Sejarah, Kontinuitas, dan Perubahan.
Aspek historis yang dipotret penulis menjadi dasar
yang kuat bagi penulis dalam membangun wacana buku ini ke arah perwujudan cita-cita Tanah Wolio sebagai
negeri yang memiliki perdaban tinggi dan dibangun dalam tradisi maritime yang
kuat, termasuk lingkungan alam Buton sebagai pendukungnya (hlm. 2-63). Dasar
itulah yang diidentifikasi penulis untuk membangun karakter yang khas Buton,
atau dalam bahasa populernya dengan karakter “ke-Butonan” yang beradab, sopan,
dan santun menghargai. Pesan yang disampaikan pada bagian ini adalah perlunya
nilai-nilai “ke-Butonan/Wolio” mewarnai proses politik dan kebijakan
pembangunan di tanah Wolio dalam mengarungi proses transformasi yang terus
berjalan (hlm. 66-133).
Pada bagian akhir tulisan, saya menganggap sebagai
kata Muhammad Hatta. Renungan dalam bentuk sajak dan puisi yang dihadirkan
dalam buku tidak lebih sebagai harmonisasi dari cita-cita besar yang dinginkan
dan diwujudkan dalam membangun masa depan Buton. Hal ini diperkuat sebagaimana
yang tersirat dalam pengantar Prof. Dr. Asmiddin yang bahwa buku ini sebagai Jendela Tanah Wolio.
Pada titik itulah kita bisa dengan jelas menemukan
kelebihan buku ini, bahwa negeri Wolio dengan segala dinamikanya menjadi salah
satu aset Indonesia, tidak saja karena peradaban yang dilahirkan dan
terpelihara hingga kini, tetapi juga karena memiliki sebagian sumber daya
manusia dan alam yang ikut berkontribusi dalam menjaga kelangsungan
ke-Indonesiaan. Masyarakat Buton sebagai salah satu negeri yang tetap
memelihara tradisi maritime yang berlangsung sejak kerajaan Sriwijaya. Oleh
karena itu, buku ini patut menjadi referensi dalam membaca perubahan social,
politik, dan kebudayaan di Buton dan Sulawesi Tenggara khususnya, serta
Indonesia pada umumnya.
Akhirnya, saya pun mengakui bahwa buku ini juga
memiliki kelemahan, di samping kelebihan-kelebihan yang saya sebutkan di atas.
Kelemahan pertama tampak pada sasaran isi buku ini, yakni sama sekali tidak
direncanakan sejak awal untuk dicetak sebagai sebuah buku. Banyaknya tema dalam
buku menunjukan kurangnya focus dalam memotret dan merenungkan rencana buku
ini. Kelemahan kedua, pada sisi teknis
di mana masih dijumpai kurangnya huruf dalam suatu kata dan penulisan. Apapun
itu, kehadiran buku ini harus diapresiasi karena tidak lagi merepotkan pembaca
mencari sumber aslinya yang tersebar di berbagai media dan tempat.Selamat Membaca!