Puluhan tahun silam, untuk pertama kalinya menikmati udara
Trenggalek. Tujuannya saat itu adalah menyusuri bagian Selatan Pulau Jawa yang
terkenal itu, paling tidak untuk seorang anak kampung terlalu lama di desa nan
jauh dari hiruk pikuk kota.
Hari ini, 8 Maret 2018, ingatan puluhan tahun silam itu
hadir ketika keinginan menghargai sejarah diri dengan godaan antara rasa lapar.
Suasananya pun mendukung karena pagi tadi sarapan nasi kuning di Stasiun Tugu,
Yogyakarta, lalu makan siang di Warteg Tegal, tepat di depan Apartemen
Gunawangsa Manyar di Kota Surabaya, lalu makan malam di Madiun. Kebayang muter2nya. Jarak Jogja dengan Surabaya di atas 300an Km, lalu Surabaya ke Madiun di atas 150 km. lumayan, untung tidak jalan kaki. Ada kereta api yang mengantar.
Makan malamnya terasa spesial, tidak hanya karena sejarah
yang terjadi hari ini, tetapi karena ingatan tentang Trenggalek. Iya, Tulisannya
khas Trenggalek. Saya tergoda setelah
memilih beberapa daftar menu yang terpampang dalam deretan warung Makan di
Stasiun Madiun. Saya lalu masuk dan mencoba dengan penuh teliti, di mana makanan yang tertulis khas Trenggalek seperti tulisan besar dalam spanduk di depan warung.
Ibu setengah baya menunjuk ke suatu baskom berisi santan
dengan hiasan daun bawang dan dengan taburan bawang goreng. Imajiku seperti mengatakan rasa--
seperti makanan “mewah” di kampungku, ayam
kampung dibakar, lalu dimasak dengan santan”, wah Dahsyat! nih, seperti menikmati kebersamaan dengan keluarga memakan
makanan begini saat di kampung, di sebuah desa di tengah pulau yang tumbuh di
Laut Banda.
Karena saya
merasa masakan enak dan secara emosional mirip masakan di kampungku saat Idul
Fitri atau peristiwa keagamaan lainnya, maka saya memutuskan untuk satu bungkus
lagi. Soal harga luar biasa: ayamnya saja yang telah diolah dengan penuh bumbu
Rp.13.000, nasi uduk yang menjadi temannya 3.000/porsi yang bebas ambil sendiri
(pool murahnya), lalu teh manis dengan gelas besar juga 3 ribu, jadi hanya Rp. 19.000
saja makan malamku. Nah, kalau ditambah dengan yang saya bungkus maka totalnya
32 ribu saja, tentu saja ini murah, karena sudah ayamnya enak, penuh bumbu
rempah, pelayananya ramah, tehnya juga manis dan panasnya pas untuk penumpang
yang baru saja turun dari Kereta Api Bangunkarta, pokoknya puas. Untuk para gadis,
mungkin bisa melirik salah satu putra yang menjadi waitersnya, relatif ganteng,
namun itu soal selera saja, karena kalau sama yang nulis bisa 11-15 gitu, ha…ha…
Intinya, kalau ke Madiun, boleh mencoba kuliner enak ini, dan
ada no teleponnya di spanduk. dan ada nagka yang hilang yakni angka satu. kalau pusan, nomor itu ditambahi angka satu, maksudnya he...h...he...Menurutku dan seleraku, pas bangat untuk dinikmati,
selaras dengan rasa hati, kapan-kapan aku mampir lagi.