Sore itu, minggu
terakhir September 2013. Seperti biasa
Rudy yang sedang kuliah S3 di PT ternama di Indonesia yang ada di Jogja itu
akan ke Surabaya untuk urusan mahasiswanya yang butuh perhatian khusus. Bayangin
aja nih mahasiswa, Risma namanya, sudah kuliah sejak 2005 silam dan baru akan
diuji karya tulisnnya, akhir September 2013. Delapan tahun bro…. Dalam rangka
itu Rudy ke Surabaya sebagai bentuk tanggungjawab pada mahasiswa bimbingannya
ini.
Sebelum
berangkat ke stasiun, Rudy membuka arsip foto yang beberapa hari lalu ia hunting
di sebuah kota kecil di sulawesi tengah, namanya kota Palu. Di kota ini bertemu
dengan banyak objek yang harus direkam dengan kamera pijamannya sebelum
berangkat. Foto-foto yang sempat direkam dalam perjalanan itu mulai ditatap
satu per satu dan sudah menyiapkan program
corell Draw versi X4 yang siap
memberi kesan pada foto hasil jepreetannya.
Mata
Rudi tertuju pada satu foto yang amat loetjoe, itu paling tidak menurut Rudy Tapi
belum tentu bagi yang difoto. Foto ini, bukan Rudy yang menjepreet, tapi
sahabanya, namanya Adi yang dikenal semasa menjalani S2 di UGM. Rudy dan Adi
sejak pertama kali bertemu sudah langsung akrab karena ditempa oleh sejarah
yang sama, di daerah yang sama. Kalau nasib, pasti berbeda karena itu maunya
Tuhan.
Keduanya
seringkali bertemu di Forum pertemuan Ilmiah Sejarah, maklum Adi dan Rudy
seprofesi, sejarawan. Rudy masih
tergolong sejarawan amatiran di banding sahabatnya Adi. Adi sudah banyak
menghasilkan setumpuk karya sejarah local dan tokoh, sedang Rudy belum mencapai
level itu. Sekolahnya di S3 pun lebih cepat 2 tahun dari Rudy. Adi menempuh
pendidikan doktornya di Universitas Ternama kedua di Kuala Lumpur. Universitas
Kebangsaan Malaysia. Sedang Rudy hanya di dalam negeri, tapi no 1, bangga Rudy
dalam hati.
Foto
yang menarik perhatian Rudy ini kemudian dicopy dan paste di corell Draw X4
yang sudah disiapkan. Komposisi imajinasi pun sudah dibayangkan Rudy.
Pasti tokoh dalam
foto dikesankan oleh Rudy, Rudy yakin, foto dibaca dari ekspresi objek yang ada
dalam foto, Rudi meminjam istilah semiotika
visual yang baru dibaca sesaat sebelum meninggalkan Jogja dengan kereta api
Sancaka yang terkenal se-indonesia itu.
Kata semiotika
visual “selalu ada makna dari tanda yang ditangkap dalam media foto” emosi objek
terekam dengan baik dari pancaran imajinasi pembacanya” imaji Rudy tertuju pada
“kesan yang menempel pada foto ini. Ia adalah seseorang yang memakai baju iklan sebuah Bank, Ia orang
terpelajar, namanya si Mata Cantiq, dosen-dosennya juga sering memanggilnya
begitu kalau di ruang kuliah. Teman sekelasnya mengaguminya karena
kecerdasannya dan gemar membaca, ngaku Qaila, yang menganggap Si Mata Cantiq adalah malaikat yang
diutus tuhan untuk menyelamatkan pendidikannya di sebuah universitas negeri di
Tanah yang terkenal dengan makanan khasnya Kaledo, Palu, Sulawesi Tengah, ulas Qaila
lagi.
Gambar
yang diolah Rudi sebenarnya amat sederhana, Rudy hanya menambahkan kotak dan
teks dialog antara si mata Cantiq dengan penggemar ayam goreng kampong, namaya
Fatimah.
Semiotika visual
yang Rudy gunakan untuk memberi kesan foto tampak benar pada ekspresi objek,
hidup, dan raut emosi yang memberi karakter foto itu. Rudi tidak kehilangan
kata-kata dengan harapan apa yang dirasakan Rudy sama dengan yang dirasa
pemeran utama, Fatimah si penggemar Ayam Goreng Kampung dan tentu saja si Mata
Cantiq.
Poiter mouse Rudy
mulai menari-nari di toolbar program aplikasi Corell Draw, mengatifkan fitur corell X4 yang sudah terinstal di
laptop barunya yang ditunjang prosesor i5 dengan memory 4 Gigabyte itu. Mesin computer itu pasti dengan mudah melahap foto
yang hanya berkapasitas 4,2 megabyte itu.
Sejurus kemudian
foto itu selesai diolah, Rudy memberi teks “….hmm…sepupuku ini senang sekali pada ayam goreng kampong”, sambil
melirik… Fatimah yang memang suka sekali dengan ayam goreng kampong.
Foto itu lalu diconvert Rudy ke file extension JPEG yang semua orang tau, kalau itu akan menjadi
file gambar kalau sudah diolah dengan pengolah gambar semisal Corell Draw atau
Photoshop.
Karena resolusinya
besar, maka Rudy segera mengubah size
foto itu. Rudy hanya mengambil 17 persen
saja sehingga ukurannya menjadi 720x480 pixsel,mirip
ukuran video Pall HD dalam dunia videografi. Harapan Rudy jelas “mudah
dan cepat segera meluncur ke media social
Facebook andalannya”.
Rudy tampa
berpikir panjang segera meluncurkan file olahanya itu ke Facebook. Setelah selesai, Rudy buru-buru mematikan laptop
kesayangannya itu untuk segera meluncur ke stasiuan Tugu, Jogjakarta.Tempat
kereta Sancaka parkir. Kereta itu yang akan membawa Rudy ke Surabaya untuk
menunaikan tanggungjawabnya menguji skripsi Risma esok harinya.
Dalam perjalanan,
Rudy berbekal 1 bungkus nasi Padang Untuang
yang ia beli di jalan, dan sebuah novel karya Andrea Hirata, Sang Pemimpi”. Rudi membaca novel itu
sampai sebelum waktu makan malamnya tiba, pukul 17.00. Kereta Sancaka pada jam itu
juga akan tiba di Stasiun Solo Balapan, pukul 16.55 Waktu Jawa Tengah. Rudy
sudah menyelesaikan tiga bagian dari novel bekalnya itu.
Selembar kertas
tebal berukuran 20 x 5 cm yang terselip di novel sebagai penanda juga disiapkan
penerbit. Tentu kertas mungil itu fungsinya menolong pembaca sebagai sela jika
ada aktivitas lain yang menyela, duga Rudy.
Benar saja, kali
ini Rudy ditolong kertas itu untuk memulai makan malamnya yang segera tiba itu.
Kertas kecil itu pun menjalankan fungsinya dengan baik seperti dugaan Rudy, sebagai
“penyela”. Titik.
Seusai makan, Rudi
menyapa tetangga kursinya seorang yang berambut cepak. Dugaan Rudy jelas ia seorang militer, meski tak tahu dia
dari jenis militer apa.Dalam bincang itu,Rudy memperkenalkan diri, “Mas
kenalin, saya Rudy” ia pun tanpa kusuruh memperkenalkan dirinya, namanya
Basyir,asal Bangkalan, sambil mengaku kerabat wakil Bupati Bangkalan Madura,
Drs. H. Mundir Rofi’i.
O…oooo dari
Bangkalan ya Mas?, sergah Rudy memulai pembicaraan. Basyir lalu bercerita
banyak topic meski Rudy tidak memintanya.
Rudy pun
menjadikan memori otaknya untuk merekam seluruh cerita Basyir dalam perjalanan
menuju Madiun. Stasiun selanjutnya setelah Solo Balapan. Di stasiun Madiun,
Kereta Sancaka tiba pukul 18.25, kali ini kereta Sancaka tepat waktu, tidak
seperti biasanya.
Kereta sudah
sampai Madiun, Rudy pamit melanjutkan bacaannya hingga Surabaya, Basyir ke
kamar kecil dan sekembalinya langsung mengambil posisi “matanya
merem-istirahat”. Rudy melanjutkan bacaannya, sebuah Novel karya Andrea Hirata.
Tampa
terasa, sebuah pengumuman meluncur dari speakers kereta api sancaka, “perhatian-perhatian kepada seluruh penumpang
kereta api sancaka, perjalanan Anda sesaat lagi akan sampai di Stasiun Gubeng
Surabaya” penguman itu dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris yang
terbatah-batah.
Stasiun
Gubeng Surabaya adalah stasiuan di mana Rudy harus segera mengakhiri perjalanannya
dari Jogjakarta, novel yang Rudy baca juga makin tipis alias hampir habis
dibaca.Novel itu segera dimasukan ke dalam tas untuk dilanjutkan di kamar
tercinta Rudy yang nyaman ber AC Daikin
¾ PK inverter dengan kursi sofa multifungsi itu, pasti salesai ini novel dibaca
malam ini, aku Rudy sang peyakin.
Sesampai
di rumah, Rudi mengecek foto yang dia unggah atau upload di Facebook. Rudy juga membuka SMS masuk dan ia“sepelekan”sepanjang perjalanan
Jogja-Surabaya itu.
SMS yang dibaca pertama
kali dari nomor yang tak teregister di HPnya, dari identifikasi no HP pengirim
jelas sekali kali kalauu nomor tak bernama itu berasal dari salah satu provider
terbesar di Indonesia, Telkomsel. Nomornya berawalan 08524******* dan memonopoli
penyediaan jasa telekomunikasi di kota dan pulau-pulau kecil.
Isinya, sungguh mengagetkan
Rudy. Seketika adrenalin Rudy terus naik tanpa batas. Rudy mencoba mencari
penyebabnya. Dugaan Rudy pasti berhubungan dengan foto yang ia unggah sebelum
berangkat ke Stasiun Tugu.
Benar saja, isi
pesan singkat itu begitu memekakan telinga dan membuat debar jantung meninggi
karena ancaman dahsyat itu.
”Rudy, SMS kutulis
khusus untukmu, jangan ganggu pacarku, jangan mentang-metang terpelajar, lalu
seenaknya kamu menjatuhkan penamu, lalu kau ambil pedang untuk merampas belahan
jiwaku. Ingat! kami sudah pacaran
lama sekali. Sejak 2011. Kemana-mana kuantar, tiba-tiba kau mau ambil, kau
anggap apa aku ini?” bunyi SMS itu.
Sambil menetralkan
adrenalin dan detakan
jantungnya, Rudy membuat segelas teh hangat
dari dapur favoritenya yang berkeramik hijau daun, dan berbingkai mozaik mutiara.
Teh sudah
tersedia,Rudy meneguk tehnya dan menarik napas dalam-dalam, sambil berharap
efek teh mampu menetralkan detak jantungnya. Harapan Rudy sia-sia, karena sudah
setengah gelas teh ia habiskan “ketenangan “ belum juga diperoleh.
Rudy teringat
ajaran kyai Fathonah yang dulu ia kenal sewaktu
bertugas di Desa Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Ajaran kyai itu dipraktekan.
Rudy ke kamar mandi kemudian memutar keran air yang meluncur deras dari tendon plastic
merk “Penguins” yang ada di lantai
tiga rumah Rudy.Rudy mulai mencuci tanganya, memasukan air ke dalam mulutnya,
lalu dibuang lagi. “Oh…itu Rudy sedang berkumur-kumur dan, itu artinya Rudy
sedang berwudhu”.
Rudy
melanjutkannya dengan membasuh bagian-bagian tubuhnya sesuai yang diajarkan
Nabi Muhammad SAW.Rudy kemudian mengambil sarung di kamar bawah rumahnya, lalu
membentangkan sajadah panjang berwarna biru. Sajadah itu pemberian mahasiswanya
yang sudah berangkat umroh tahun lalu.
Rudy kemudian
Sholat dua rakaat, lalu naik ke kamar kesayangannya. Raut wajah Rudy sudah
kelihatan tenang. Beda dengan sebelum wudhu dan sholat.
Rudi membuka Facebooknya
lalu, memutuskan untuk menghapus foto yang ia posting dari Jogja itu. Rudy lalu
menulis status di wall Fatimah.
“Fatimah, mohon maaf ya
atas foto yang telah terpublish. Saya sudah menghapus link foto tersebut, karena
takut menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh beberapa pihak. Maaf juga
buat si Mata Cantiq yang juga telah menjadi salah satu bagian dari foto itu”.
Rudy pun hanyut dalam
imajinasinya yang terbang kemana-mana karena foto itu.Sambil memendam rasa “impiannya”
yang amat sulit diwujudkan. Di ujung imajinasinya, terselip angan, “jika tidak
saat ini, Rudy ingin menunggu perpisahanmu” dan Rudy pun saat itu sudah menjadi
pria sendirian".
Tepian Brantas, 30 September 2013