(Beginilah Cara Pak Parto Menceritakan Pengalamannya)
Senja hari Minggu 10 Oktober 2010 saya terima telepon dari Pak La Ode Rabani, mengaku dari Fakultas Ilmu Budaya Unair, minta saya ikut menjadi narasumber kuliah umum. Disebutkan temanya, kedengarannya sangat akademis, (tidak begitu jelas karena disampaikan pertelepon lisan), apa saya mampu menjadi pembicara? Yang saya ingat, diharap hadir hari Kamis 14 Oktober, jam 09.30, itu saya berminat hadir karena siang hari dan saya tidak ada acara lain (memang biasanya di rumah melulu). Saya jawab saya berminat hadir, tapi ragu apa ilmu saya sesuai dengan tema yang disebutkan. Saya hanya disuruh bercerita tentang pengalaman saya hidup di Surabaya, itu saja. Wah, pengalaman hidup saya panjang dan memang banyak yang mau saya tulis, tetapi undangan yang saya terima secara lisan itu temanya sangat kabur bagi pemikiran saya. Pak Rabani mengatakan undangan tertulis akan disampaikan besok pagi. Saya sampaikan terima kasih.
Keesokan harinya, Senin, sampai malam hari tidak ada undangan. Baru senja hari Pak Rabani menelepon, bahwa mahasiswa yang disuruh mengantar undangan baru lapor bahwa tidak bisa menemukan alamat rumah saya, maka undangan belum sampai. Pak Rabani minta alamat email saya, undangan mau diemailkan saja.
Saya biasa buka email pagi hari. Saya buka ada undangan dari Pak La Ode Rabani, M.Hum, tertulis lengkap: Kuliah umum, tema “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota Di Surabaya 1900-1960-an”, pembicara:1 Purnawan Basundoro (Dosen Prodi Ilmu Sejarah UA), 2. Suparto Brata (Budayawan dan Saksi Sejarah Kota Surabaya), 3. Johny Alfian Khusairi, M.A.(Dosen FISIP UA). Saya diharap menjadi salah satu pemateri, topiknya berkaitan dengan Pengalaman saya sebagai saksi sejarah yang mengikuti perkembangan dan menjadi bagian dari Masyarakat Kota Surabaya sejak awal kemerdekaan sampai 1960-an. Saya diharapkan menyiapkan makalah/tulisan kurang lebih 3-8 halaman sebagai pengantar diskusi. Jika tidak ada catatan, cerita tentang pengalaman saya dalam forum tersebut sangat berarti untuk mengetahui perkembangan masyarakat Kota Surabaya pada periode tersebut. Catatan harap diemailkan ke Pak Rabani. (surat email tertanggal 1 Oktober 2010).
Penasaran karena masih merasa tidak tercapai tema dan apa yang mau saya ceritakan, dan karena sempitnya waktu untuk bikin tulisan, maka saya reply mungkin saya tidak membawa catatan apa-apa, dan seperti permintaan undangan, saya cerita saja pengalaman saya. Reply saya itu berdasarkan pengalaman saya melayani para mahasiswa jurusan sejarah baik Unair maupun Unesa (juga bukan dari jurusan sejarah, maupun bukan mahasiswa, misalnya dari pelajar SMA Ciputra), yang datang berkelompok maupun perorangan, mereka langsung memberikan pertanyaan tentang bahan yang mau ditulis, saya bisa menjawab berdasarkan ingatan-ingatan saya. Yang akhir-akhir ini bahkan banyak mahasiswa Unair yang mau menulis skripsinya tentang kota Surabaya secara detail, misalnya khusus tentang Jalan Tunjungan, tentang Pasar Malam, tentang Rumah Sakit Simpang. Dan banyak lagi. Saya mampu menjawab, karena saya masih ingat (berdasar pengalaman atau kesaksian,, tapi tidak pengamatan secara teliti). Kalau seperti itu yang dimaksud di Unair tadi, saya kira saya mampu menyesuaikan diri berbicara tentang pengalaman (bukan penelitian) saya hidup di Surabaya 1950-1960.
Menutup email subuh hari itu, meskipun sudah saya reply seperti itu, saya tetap merasa tidak nyaman berbicara tanpa catatan. Saya tahu diri, lebih cepat dan jelas mengemukakan pikiran dengan jari-jemari mengetik daripada dengan bicara di bibir. Saya harus bicara dengan terencana sebagai pengantar, dan itu harus saya catat sebelumnya. Melihat pengantar tadi cukup ditulis 3-8 halaman (lihat undangan), saya pun bertekad membuat catatan. Komputer yang sudah saya matikan, saya buka lagi. Dan sayapun mengingat pengalaman saya hidup di Surabaya tahun 1950-1970. Saya ingat, saya tulis, saya cari hal-hal yang sekiranya penting dan jadi pengamatan saya, segera saya ketik. Karena itu merupakan catatan pengantar sebagai pembicara, maka bagian-bagian yang tidak saya sempat menulis secara detail, saya tulis dengan huruf lebih besar dan tebal. Saya tulis dengan cepat dan singkat, tanpa menengok dokumen, sehingga tentu saja mungkin saja salah eja atau keliru tahun. Tapi harus saya ingat masalahnya kalau nanti saya bicara sebagai pengantar. Terus terang saja, masih belum bisa menyesuaikan pemikiran diri dengan tema yang begitu bersifat akademis (“Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota Di Surabaya 1900-1960-an”). Saya hidup di Surabaya zaman Belanda, zaman Jepang, dan juga membaca buku, tentunya banyak mengetahui tentang Kotga Surabaya zaman-zaman itu, tetapi yang harus saya omongkan perkembangan Kota Surabaya sejak awal kemerdekaan sampai 1960-an. Saya menulis dengan pikiran harus cepat selesai (3 lembar saja cukup, menurut permintaan) lalu segera diemailkan, agar perkuliahan nanti tidak buta dengan apa yang saya antarkan. Begitu tulisan selesai, saya garap secara periode tahun-tahun, terus saja saya emailkan sore harinya. Direply oleh Pak Rabani, katanya tulisan saya itu merupakan dokumen yang bagus dan memberi penerangan bagi para mahasiswa nanti. Saya senang. Namun saya masih ragu, apakah yang saya tulis itu sesuai dengan tema. Yang saya tulis hanya peristiwa yang saya ingat itu peristiwa penting bagi diri saya dan Surabaya. Tidak bicara khusus tentang Rakyat Miskin, dan Perebutan Ruang.
Akhirnya Kuliah Umum hari Kamis 14 Oktober 2010 diUnair itu terselenggara. Berikut adalah naskah pengantar yang saya kirimkan ke Pak Rabani. Dan ternyata ADA yang sesuai dengan arti Rakyat Miskin danPerebutan Ruang Kota Di Surabaya 1900-1960. Ya itu saja yang saya omongkan, lebih khusus dan singkat, yang lain-lain seperti yang saya tulis itu, tidak perlu saya omongkan.
Ikhtisar Pengalaman Saya Hidup Di Surabaya 1950-1970
1950
Saya lulus SMP Negeri Tempelstraat (Jl. Kepanjen 1) Surabaya. Teman setingkat saya Cak Kadaruslan, Wardiman Djoyonegoro. Wakil Presiden Tri Sutrisno adik kelas saya. Meneruskan sekolah ke SMA 2 (VHO), bekas sekolah Belanda, kurikulum dan gurunya masih melanjutkan VHO, berbahasa Belanda, bahasa Prancis, gurunya juga Belanda. Anak pintar lebih suka melanjutkan ke SMA 1, yaitu jilmaan dari SMA swasta Dr.Sutomo. Mereka republikein, jadi minta tempat jadi nomer satu. Begitu juga SMPN Kepanjen yang berbau Belanda, dijadikan SMPN 2, sedang SMP Dr. Sutomo dinegerikan jadi SMPN 1 Jalan Pacar. Kemudian karena guru-gurunya memang berkualitas (hasil dari sekolah Belanda) maka SMAN 2 Wijayakusuma menjadi tujuan para anak yang pintar dan kaya.* Sudah ada usaha dari pemerintah membangun perumahan rakyat yang bisa dibeli secara nyicil, sehingga tercapai oleh rakyat. Yang berhasil dibangun adalah kompleks Darmorakyat (Karanggayam), Pantidarmo (Raden Saleh). * Lapangan terbang Juanda mulai dibangun oleh perusahaan Prancis. Pemerintah juga sedang merombak besar-besaran saluran air minum, juga diborong oleh perusahaan Prancis. Pipa-pipa besi yang besar-besar dikumpulkan di tanah lapang Tambakrejo (sekarang jadi mall Kapaskrampung).
Terjadi urbanisasi yang luar biasa derasnya, para pejuang dan orang sipil dari daerah pedalaman datang ke Surabaya, kekurangan tempat dan pekerjaan. Para bekas pejuang banyak menguasai gedung dan kantor. Para pemuda bekas pejuang ada yang meneruskan sekolah, dan ada yang mendirikan sekolah swasta. Tapi orang biasa yang tidak punya kekuatan pada ngebroki tanah-tanah tak bertuan. Sangat banyaknya orang masuk ke Surabaya, sehingga terjadi gubuk-gubuk pelacuran di segala tempat, antara lain: sepanjang jalan keretaapi dari Wonokromo sampai Semut. Sepanjang kali Pengampon/Pecindilan. Sepanjang Kali Wonokromo, jalan Kutai. Tambakrejo jadi kompleks pelacuran. * Bagi mereka yang berhasil bekerja, bisa menempati rumah bagus, menonton film Amerika di gedung-gedung bioskop (Capitol, Kranggan, Metropole, Rex, Luxor, Amelto. Filmnya Amerika, teks bawahnya mula-mula bahasa Belanda, kemudian bahasa Indonesia. Kendaraan umum: trem listrik di tengah kota, trem OJS dari Madura-Ujung-MasMansur-Cantian-Kebonraja-Pasarturi-Semarang-Arjuna-Diponegoro-Wonokromo-Sepanjang-Krian. Dokar. Becak. Kendaraan pribadi: sepeda, mobil (bekas) tinggalan MTD 1946, kebanyakan mobil Amerika Tidak impor mobil. Jadi yang punya mobil sangat jarang. Sepeda bermotor merk mosquito (mesinnya ditempelkan ke ban).* Walikota Dul Arnowo mengganti nama-nama jalan yang berbau Belanda. Coen Boulevard jadi Raya Dr. Sutomo, van Hogendorplaan jadi Kartini. Strippiaan jadi Kalasan. Van Sandictstraat jadi Residen Sudirman, Palmenlaan jadi Panglima Sudirman. Didaerah Jembatan Merah diubah menjadi nama-nama burung. Yang repot nama burung Kenari juga dicantumkan di sana. Padahal sudah ada Kenaristraat yang tidak diubah namanya karena itu nama tumbuhan. Akhirnya Jalan Kenari (burung) urung dipakai, diganti Jalan Penjara. Masih mengenai penggantian nama jalan oleh Walikota Dul Arnowo, baru-baru ini (2009) saya dapat kiriman buku dari Mbak Kathleen yang menyelenggarakan perpustakaan C2O di Surabaya, buku Kota Lama Kota Baru, ketika saya buka tentang penggantian nama jalan di Surabaya, nama jalan-jalan Cina dan perubahannya (halaman 571) tertulis: Chinese Tempelstraat, tahun 1949 diganti Dj.Kepandjen, tahun 1962 diganti Jl.Cokelat. Ini pasti tidak benar. Sebab tahun 1950 saya masih bersekolah di jalan yang namanya masih Tempelstraat. Tahun itu (1950) baru diganti jadi Dj. Kepandjen, dan berlaku sampai sekarang, bukan Jl.Cokelat. Jl.Cokelat memang digunakan sebagai nama jalan (mungkin tahun 1962 seperti tercantum di buku), tetapi untuk mengganti nama jalan berbau Cina: Teepekongstraat, terletak di mana di ujungnya terdapat klenteng (Chinese tempel) di daerah Songoyudan.. Juga pada halaman 563, terdapat tulisan: Tampaknya Jepang tidak punya banyak waktu untuk mendirikan simbol yang akan dikenang oleh banyak orang. Dalam masa pendudukannya yang sangat singkat, Jepang hanya sibuk dengan latihan perang. Anak-anak sekolah lebih banyak latihan baris-berbaris dan menanam dan mencari jarak (Samson, wawancara) Satu-satunya nama jalan yang diganti oleh Jepang adalah Jalan Prambanan menjadi Jalan Kenpeitai. Di jalan ini sebenarnya tidak ada markas kenpeitai dan balatentara Jepang, tetapi di jalan ini serta Kalasan, dan sebagainya merupakan pemukiman orang-orang Jepang Sakura, yaitu orang-orang Jepang yang bukan tentara tetapi sipil…… Ini juga tidak benar. Zaman Jepang saya tinggal di Jalan Kalasan 31 (dulu namanya Van Strippiaan Leusesstraat), induk semang saya (Sujohartono, sekretaris Bupati Surabaya, kantornya di Gentengkali 87) menjadi Azatjok atau RW. Saya sering-sering disuruh mengantarkan undangan untuk warga yang meliputi ke utara sampai Jl.Jolotundo (dulu Dammestraat), ke barat sampai Jl.Sawentar (dulu namanya Wenckebachstraat) dan Penataran (dulu namanya Ruysstraat), ke selatan sampai Jl. Indrakila (dulu Maarschalstraat). Jl.Prambanan termasuk wilayah RW saya, namanya dulu Kempeestraat (bukan Kenpeistraat). Wilayah WR saya itu yang sekarang jadi nama jalan dari nama candi-candi, nama-nama jalan di situ untuk nama-nama penulis buku Belanda. Jadi Kempee, Ruys, Wenckebach, Weyerman, Van Sandict, Derx, adalah nama-nama penulis buku bangsa Belanda. Saya dengar zaman dulu, belum pernah saya cek sampai sekarang. Pernah saya tanyakan kepada Pak Rob van Albada, tetapi belum dapat jawaban sampai sekarang.
1952.
Saya sudah bekerja di Kantor Telegrap Jalan Niaga 1 (sekarang Veteran) Surabaya sebagai operator teleprinter. (pengetikan jarak jauh yang akan menggantikan pengiriman telegrap sistem radio morse). Gaji saya cukup untuk hidup seorang bujang. Kontrak rumah bersama kakak di Keputran Kejambon (1952-1954) dan pindah ke Rangkah 5/23B (1954).* Ada peristiwa penting saat itu. Perayaan 10 November dirayakan besar-besaran. Seluruh kota dan penduduknya diharapkan merayakan hari itu dengan suasana seperti keadaan peristiwa 10 November 1945. Semua orang yang keluar rumah dan terlihat di jalan harus menggunakan pakaian seperti tahun 1945, pakai lencana merah-putih, pakai peci seperti Bung Tomo, berpakaian hitam-hitam. Dan ada juga peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh para pejuang atau sukarelawan, mengadakan pertempuran kecil-kecilan dengan senjata sesungguhnya. Daerah Jembatan Merah ditutup, digunakan untuk mengenang kembali pertempuran 10 November 1945. Di Hotel Majapahit kembali dilaksanakan perobekan warna biru bendera merah-putih-biru. Gedung-gedung dan trem listrik yang sudah bersih catnya, kembali dicorat-coret dengan semboyan-semboyan seperti zaman 1945. Tembok-tembok kantor jadi kotor lagi.
1954.
Teman-teman pegawai kantor telegrap seangkatan pada bermupakat dinas dengan sift tetap, yang malam ya malam terus, yang pagi ya pagi terus, yang siang ya siang terus. Saya memilih dinas jam 1300-1900. Pagi harinya saya gunakan untuk sekolah, yaitu di SMAK Sint Louis Jl. Dr.Sutomo 7 Surabaya. Hidup saya (seorang diri di Rangkah 5/23B) pagi jam 0700-1300 sudah harus masuk sekolah, 1300-1900 bekerja di kantor (Jl. Niaga), 1900 pulang ke Rangkah, beli roti di Jagalan untuk makan malam (pulang dari kantor), makan pagi (sebelum berangkat ke sekolah), dan makan siang (di kantor). Teman sekolah hampir semua orang Tionghoa (kelas saya 40 orang, orang Jawanya 7 orang, orang Menado dan Ambon 3-4 orang). Salah seorang di antaranya Johan Silas. Saya paling tua di sekolah, dan tiap hari pakai celana panjang (karena terus bekerja) sementara yang lain masih mengenakan celana pendek. SMAK Sint Louis muridnya lelaki melulu. Tahun 1954 terjadi Konperensi Asia-Afrika diselenggarakan oleh Bung Karno di Bandung. Para delegasi dari negeri Asia Afrika pada datang. Kami semua bangga. Teman-teman keturunan Tionghoa tidak suka dengan delegasi dari RRT. Mereka mengaku orang Indonesia sejati, lahir dan mencari kehidupan di Indonesia. Itulah teman-temanku di SMAK. Mereka pandai-pandai. * Oleh pemerintah dibentuk Panitia pembangunan perumahan rakyat yang diinstruksikan dari Pusat (Jakarta) terus berlanjut. Karena sulitnya perumahan yang dicapai oleh rakyat, maka diakali bisa dibangunkan rumah yang pembayarannya dicicil. Menabung dulu sampai separoh dari harga rumah, lalu bisa diperoleh rumah, ditempati, dan separohnya lagi dicicil dilanjutkan. Panitia pembangunan perumahan rakyat waktu itu berhasil berkembang di daerah Pucang (Pucang Adi, Pucang Anom, Pucang Rinenggo). Rumah-rumah tadi sudah berupa gedung (batu). Selain berkelompok Panitia Perumahan juga membangun satu-satu misalnya yang terdapat di Rangkah Besar, dan lain-lain. Ada pula kompleks perumahan yang lebih sederhana lagi, yaitu di kompleks Tambakrejo (di belakang RS Dr.Suwandi). Daerah itu dulunya daerah brok-brokan, tempat pelacuran. Mereka itu (pelacuran) dipindahkan ke daerah Bangunrejo (namanya rejo diambil dari Tambakrejo). Di bekas tempat pelacuran tadi dibangun perumahan yang lebih sederhana, dari gedeg, untuk pegawai rendahan. * Terjadi pemindahan makam WR.Supratman dari Jl.Kapasan (pertigaan dengan Kampung Seng) ke seberang makam Rangkah (Jalan Kenjeran), ternyata hasil pembangunan makam baru itu tidak sesuai dengan pembeayaannya (dikorupsi). Para seniman kecewa.
1956.
Terjadi Pekan Pemuda, di mana kekuatan partai politik PKI memperlihatkan geliatnya. * Jaarmarkt (pasar tahunan) yang dulunya diselenggarakan tiap bulan Agustus (kelahiran Ratu Wilhelmina) dilanjutkan juga tiap bulan Agustus untuk merayakan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jaarmarkt jadi pusat keramaian penyelenggaraan Pekan Pemuda. Namanya diganti Pekan Raya Surabaya (PRS=THR, sekarang Hiteck Mall). Kegiatan PRS tahun-tahun itu masih mengikuti peran Jaarmarkt zaman Belanda, dipentingkan peragaan hasil pertanian dan kegiatan budaya (tuintoon stelling, pameran hasil pekerjaan tangan seperti batik, wayang), untuk menarik penonton juga ada pertunjukan ludruk, pencak, permainan radmolen, draimolen, warung, restoran dengan musik jazz-band (saya ingat Bing Slamet menyanyi di sana dengan lagu favoritnya Begin the bequin, menirukan lagunya Bing Crosby yang sedang populer waktu itu sering terdengar di radio, dari situlah kata Bing melekat pada Bing Slamet), permainan yang mengandung pertaruhan. * Tahun 1952 ketika bekerja di kantor telegrap saya sudah mulai menulis di majalah dan suratkabar. Di sekolah SMAK, tulisan saya pamerkan pada teman-teman. Tulisan di suratkabar di Surabaya tidak mendapat honorarium, namun senang kalau bisa dimuat (dimuat tanpa diberi hr berlangsung hingga berakhirnya Orde Lama, 1965). Kalau dimuat di majalah sastra penerbitan Jakarta seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Aneka, baru dapat honorarium.
1957-1958-1959-1960.
Saya selesai sekolah SMA. Tapi tetap minta bekerja di kantor jam 1300-1900. Pagi harinya yang semula saya gunakan untuk sekolah, saya gunakan untuk pinjam buku di USIS (Jl. Pemuda) dan baca buku. Saya mulai membacai buku-buku bahasa Inggris (meskipun dengan susah payah), namun akhirnya dari USIS itu saya kenal pengarang-pengarang Amerika seperti Theodore Dreiser, John Dos Passos, Ernest Hemingway, Robert Penn Warren, John Hersey, Sinclair Lewis, Lloyd Douglas dll. * Selain itu saya juga belajar dansa di Pendidikan Umum (sekarang SMA Trimurti). Di Surabaya hari Sabtu-Minggu pasti ada band hidup, yaitu di Pemandian Tegalsari, Gedung Helendoorn (Jl. Tunjungan), dan Gedung Utama THR. Saya banyak berkenalan dengan orang-orang Ambon, baik di kantor maupun di tempat dansa. Termasuk Bob Tutopoli sering menyanyi di band hidup tempat dansa-dansi. Lagu-lagu populernya Banana Booth Song, A Place in the Sun. Dansa-dansi seperti itu memuncak sampai tahun 1958, yaitu ketika bioskop memutar film Rock Around The Clock, dan film-film Elvis Presley. Dilarang oleh Presiden Soekarno. Selain dansa-dansi juga berkembang tari Serampang 12 yang dikembangkan dari Medan. Berkembang di Jakarta, Bandung, Surabaya. Lalu diadakan lomba antarkota-kota itu. Di Surabaya (1960) juga diselenggarakan.lomba itu, istilahnya sayembara. Saya gencar sekali menulis tentang Tari Serampang 12 ini di majalah dan suratkabar di Surabaya, tapi yaitu tanpa menerima honorarium. * Tahun 1957-1958 terjadi nasionalisasi, pengusiran orang-orang Belanda. Waktu itu masih banyak orang Belanda yang menempati gedung-gedung dan kantor dagang (miliknya sejak zaman penjajahan dahulu), dan di kantor-kantor pemerintah masih banyak formulir-formulir yang berbahasa Belanda. Suratkabar bahasa Belanda juga masih sangat kuat pelengganannya (Het Soerabaiasch Nieuws Handelsblad, dan de Vrije Pers). Dinasionalisasi orang-orang Belanda harus pulang ke Negeri Belanda. Mereka pergi tentu tidak bisa bawa barang-barangnya, maka dilelang atau dirombeng. Termasuk rumah hak milik mereka dijual murah. Saya dapat beli mesin ketik Remington standard, yang lalu saya pergunakan mengetik karangan-karanganku di rumah, bebas segala waktu, tidak tergantung mesin ketik kantor. * Di kaki lima Keputeran berserakan penjual buku rombeng peninggalan Belanda dengan harga yang murah sekali, Rp 1,- Rp 1,50 Padahal gaji saya Rp 100, sebulan. Saya yang sudah terbiasa membaca buku bahasa Inggris di USIS jadi bergairah membeli buku loak dan membacanya. Banyak buku keluaran Pengquin bersampul hijau (mystery & crime) yang saya beli, yang membuat saya kenal dengan tokoh-tokoh seperti Freeman Will Crofts, Agatha Christie, Georges Simenon, Erle Stanley Garner, John Dickson Carr, dll. Nama-nama itu dan tulisannya tidak terdapat di USIS. * Tahun 1958 setelah orang Belanda diusir dari Indonesia, berdirilah Perusahaan-perusahaan Dagang Negara yang terdiri dari bekas perusahaan dagang Belanda (Javastal-stockvis, Internatio, Lindeteves, dll jadi Djaya Bhakti, Sejati Bhakti, Panca Niaga, Tjipta Niaga, dll). * Tahun 1958 didirikan Tugu Pahlawan. Semula diusulkan untuk dijadikan perumahan rakyat, tapi akhirnya dibangun Tugu Pahlawan. Tahun 1958 didirikan pabrik Semen Gresik, yang sangat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja ke sana. * Tahun 1958 diselenggarakan pemilihan umum yang pertama di Indonesia. Ketika itu tiga pemenang besar yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Masyumi. Namun sistem parlementer waktu itu bahkan tidak jalan, sehingga tahun 1959 Presiden Sukarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945. Dan selanjutnya beberapa partai dilarang antara lain PSI (Partai Sosial Indonesia) dan Masyumi. * Kehidupan pers di Surabaya tahun-tahun itu (1956-1965) mendapat subsidi kertas dari pemerintah. Yang populer waktu itu adalah Harian Umum, Suara Rakjat, Terang Bulan, Panjebar Semangat (ini berkantor dan dicetak di gedung Pers Nasional Jalan Penghela 2), Surabaja Post, Trompet Masyarakat, Liberty (ini berkantor dan dicetak di de Brantas, Jalan Alun-alun 30 Surabaya), lalu Perdamaian kantor/cetak di Jalan Pecinan Kulon (sekarang Jalan Karet), Djawa Pos (di Jalan Kembang Jepun). Subsidi kertas itu diberikan kepada penerbit surat kabar yang ikut SPS, dan penerbit buku yang ikut keanggotaan IKAPI. Banyak di antara pers yang sebenarnya dicetak hanya 20.000 exp, tapi disebutkan dicetak 30.000 exp. Kelebihan kertasnya dijual bebas, laku keras. Maka penerbit suratkabar maupun buku, kalau sudah ikut organisasi, tidak bakal bangkrut. Meskipun begitu, untuk majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat, subsidi kertas itu selalu kurang. Sebab yang dicetak per minggu adalah 80.000. Dan tersebar sampai di desa. Sedang pada penerbitan surat kabar bahasa Indonesia paling banyak tirasnya 20.000. * Surabaya Post pimpinan Abdul Azis agak lain. Dulu diterbitkan seperti format tabloid 1956, kantornya di Alun-alun 30 bersama dengan Het Soerabaiasch Nieuws Handelsblad. Ketika orang Belanda diusir dari Indonesia, suratkabarnya juga harus ditutup, Het Soerabaiasch Nieuws Handelsblad yang tirasnya lebih dari 100.000, dengan pemasukan dari iklan yang banyak sekali itu dihibahkan kepada Surabaja Post. Baik para pelengganannya yang banyak sekali itu, baik pegawainya administrasi maupun redaksi/wartawan, serta pemasukan iklannya juga, semua dihibahkan kepada Surabaja Post.. Maka Surabaja Post waktu itu koran yang paling makmur di Surabaya, di samping Panjebar Semangat.
1961-1962-1964-1965.
Sejak tahun 1958-1965 Kota Surabaya dipimpin oleh Walikota Komunis, Dr.Satrio dan Murachman. Pendudukan liar terus berkembang dengan pesat, apalagi dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia yang sangat mendukung politik sistem kerakyatan. PKI minta didirikannya angkatan bersenjata ke-5 (selain AD,AU,AL,Kepolisian). Tanah-tanah kosong segera diseroboti oleh pendudukan liar. Dulu, di sebelah timur dari rel Wonokromo-Gubeng adalah persawahan yang subur, milik BPM (minyak), Pengairan, PJKA, Baswedan. Selama tahun 1962-1964 seluruh wilayah itu (antara rel keretaapi dan Jalan Karangmenjangan-Menur-Jembatan Ijo Nginden) yang dulunya merupakan sawah subur sudah terbagi-bagi menjadi perkampungan liar dengan nama Gubeng Klingsingan, Gubeng Trowongan, Bratang, Ngagel, Krukah. (Untung di Pucang telah berdiri Perumahan Rakyat, sehingga tidak diseroboti penduduk liar. Dan Karangwismo dulu lebih dulu diduduki oleh AD, selamat dari serobotan liar). Juga sawah-sawah yang lebih ke utara dari Kedungtarukan yang semula milik PJKA juga diseroboti oleh penduduk liar: Jolotundo, Bronggalan, Ploso, Rangkah, Sidotopo, Wonokusumo. Begitu juga di daerah barat kota. Yang semula tambak tak bertuan dan pekuburan diserobot menjadi perkampungan liar seperti Bangunrejo, Kremil, Mbah Ratu, Tembok Bolong (sekarang Petemon/Kupangkrajan), Kembang Kuning. Tahun 1964 kekuatan politik PKI bertambah kuat. Banyak sekali kekuatan politik ditunjukkan dengan pentas-pentas, pertunjukan, lagu-lagu. Hari-hari ulang tahun partai dirayakan sampai 40 hari, dengan unjuk kekuatan kampanye. Lagu-lagu Genjer-genjer, Turi-turi Putih dipopulerkan sebagai kekuatan politik. Tiap ada hari peringatan nasional, diadakan unjuk kekuatan drum-band. Jor-joran drum-band. Barisan dari NU pakaiannya bagus-bagus (hijau), dari PNI hitam, dari PKI juga hitam. Dari angkatan juga bagus-bagus. Barisan PKI protes dengan demonstrasi ingin menurunkan Gubernur Jawa Timur Wiyono. Jalan Darmo diganti (oleh Walikota Murachman) dengan nama Jalan Patrice Lumumba. Pendudukan liar kian marak, antara lain sungai Gembong/Bunguran dijadikan petak-petak untuk pasar (Pasar Atom), dan merambat ke selatan Kali Pecindilan/Pengampon jadi petak-petak pelesiran. Sungai besar Gentengkali dan Peneleh sudah menjadi gedung-gedung pertokoan. Di Peneleh dibangun pertokoan di atas sungai, sehingga jalan Peneleh sudah diapit-apit oleh gedung pertokoan. * Selama itu hampir tidak ada pembangunan fisik di Surabaya. Jalan-jalan juga tidak bertambah, maupun tidak terpelihara (tidak diaspal lagi). Juga tidak membuat jalan baru. Tetapi semua itu tidak menjadikan kendala dalam berlalu-lintas, karena toh kendaraan bermotor (roda empat atau lebih) juga tidak ada. * Pasar juga masih pasar-pasar lama, seperti Pasar Pacarkeling, Genteng, Blauran, Pabean, Keputeran, Pasarkembang. Wonokromo belum jadi pasar. Terjadi pasar-pasar tumpah, artinya orang berjualan makan jalan, terjadi di sepanjang Pasar Kembang, sepanjang Jalan Pandegiling, sepanjang Jalan Ngaglik-Kapaskrampung (Kapaskrampung/Tambahrejo belum jadi pasar). Ada perayaan hari besar Maulud Nabi yang khusus dirayakan oleh penduduk Surabaya. Pada peringatan hari Maulud Nabi, maka di pasar-pasar tradisional Pabean, Pacarkeling, Blauran, Genteng, Peneleh, penuh dengan orang jualan mainan (pedang-pedangan, topeng-topengan, manten-mantenan). Pada kesempatan itu para gadis-gadis berkerudung pada keluar ke pasar. Dan para jejaka (termasuk saya) sangat senang ikut berdesakan di pasar-pasar tadi. Sangat ramai sehingga berdesakan tadi mbludag sampai ke jalan besar (Genteng Besar, Peneleh, Pabean). Perayaan Maulud Nabi dengan orang jualan mainan dan gadis-gadis keluar itu masih terjadi hingga tahun 1974 * Kekuatan Partai Komunis menggerakkan masa terus bergejolak. Pemutaran bioskop yang semula dikuasai oleh agen-agen Hollywood, didemonstrasi, dibakar (salah satunya di sudut perempatan Jl. Sumatra-Karimunjawa, milik MGM/MPEA) oleh orang-orang PKI. Presiden Sukarno berusaha keras untuk menyatukan kekuatan nasional dengan jurus-jurus Nasakom (Nasional-Agama-Komunis), namun kekuatan rakyat (komunis) minta kekuasaan lebih, sehingga pidato-pidato Presiden mengenai MANIPOL/USDEK, Jasmerah, Nawasanga tidak mampu membendung kekuatan komunis. Suratkabar Harian Rakjat tiap hari memuat berita-berita provokasi, misalnya terus-menerus memuat cerita Jagal Husein (Islam) dari Mojokerto yang katanya membantai korbannya, tiap hari ada kurban yang ditemukan dan ditulis secara detail di Harian Rakjat. Konon di desa-desa, aksi komunis ini sangat kejam, di Kanigoro (Blitar) orang yang sedang sholat subuh dibantai semua. Terjadi juga di Kediri. * Para wartawan/seniman yang tidak pro dengan komunis (antikomunis) mengadakan aksi dengan menggelar Manifesto Kebudayaan (manikebu), akibatnya dihancurkan oleh kubu komunis. Mereka dilarang bekerja, harus dipecat dari jawatannya (wartawan manikebu yang jadi kurban adalah Wiwiek Hidayat dari Antara, Hari Rek dan Purnomo Tjondronegoro dari majalah Terang Bulan, Farid Dimyati dari Harian Umum, Basoeki Rachmat dari Djaja Baja, mereka dipecat dari jabatannya sebagai wartawan). * Kegiatan seni waktu itu juga meriah, ada saling adu unggul-unggulan antara para seniman Lekra dan bukan Lekra (Islam atau nasional). Itu bisa dibuktikan tiap ada pentas seni di Balai Pemuda, baik diskusi sastra, pentas panggung, atau seni deklamasi. Seni deklamasi sering dipentaskan dan mendapat perhatian cukup meriah. Juara dari Lekra adalah Sukaris. Dari senilukis yang terkenal Marah Jibal, Darjono, Karyono JS. Begitu pula seni teater, ada lomba drama pelajar yang diadakan setiap tahun. Juga ada lomba drama untuk umum. Unair biasa mengikuti lomba drama ini, disuteradarai oleh Muktijo. Sedang di pihak lain yang terkenal Pentas 21 pimpinan Farid Dimyati (saya ikut di pentas ini). Banyak lagi kelompok drama yang lain, misalnya pimpinan Sanyoto Suwito, Hari Matrais. Pentas seni drama biasa dipanggungkan di Balai Pemuda dan di Balai Budaya (ujung utara Jalan Bubutan, sekarang jadi tempat parkir Bank Indonesia). * Di jawatan-jawatan negara (PJKA, PTT,) dibangun perserekatan buruh yang dikemudikan sentral SOBSI (komunis) dan non-komunis. Tindakan mereka sangat anarkitis. Misalnya buruh percetakan Pers Nasional di Jalan Pengenal 2 tempat koran-koran dicetak dengan mesin intertype, mesinnya dirusak karena perusahaan pers itu dianggap perusahaan kapitalis. * Akhirnya pada puncaknya terjadi pemberontakan PKI yang gagal terkenal dengan G30S/PKI. Akibat kalahnya PKI ini, di Surabaya terjadi pembalasan besar-besaran, yaitu di kampung-kampung yang dulunya terdapat orang-orang komunis (waktu jayanya kelihatan sekali tingkah polah tokoh-tokoh itu) diserbu oleh orang-orang agama yang didatangkan dari kampung lain. Sangat mengerikan. Mereka itu terang-terangan menyerbu dan mengambil orang-orang komunis tadi. Pembalasan ini juga terlihat dari Kali Brantas (Surabaya), tiap hari terdapat mayat-mayat mengapung di sana. Walikota komunis Murachman juga harus hilang. * Selama pemerintahan Orde Lama (1950-1965) tidak ada kegiatan menambah jumlah kendaraan. Tahun 1962 ada didatangkan becak-bermotor (kemudian disebut bemo) kendaraan umum roda tiga, menjalani rute Kebon Binatang-Diponegoro-Arjuno-Rajawali-Perak; dari Kebon Binatang-Darmo-Kaliasin-Tunjungan-Gemlongan-Jembatan Merah, dari Kebon Binatang-Dinoyo-Ngagel-Sumatra-Kusumabangsa-Sidotopo-Sidorame. (Maaf, saya tidak begitu hafal, karena tidak pernah naik bemo kendaraan umum ini). Selain itu memang ada bus kota, yang rutenya juga dari Kebon Binatang. Kendaraan pribadi masih banyak yang menggunakan sepeda ontel. Pengganti mosquito ada bromfiet Ducati buatan Italy, ada scooter juga dari Italy, ada sepeda motor DKW dari Jerman. Kendaraan umum kota adalah dokar, tram listrik, keretaapi OJS, kereta kosong (roda empat ditarik oleh kuda, biasanya hanya melayani pesanan), ada juga atak atau (berfungsi seperti taksi, namun amat jarang sekali). Ada pula opelet yang berfungsi dengan rute tetap seperti halnya angkutan kota sekarang. Opelet di Surabaya hanya menjalani Kapasari-Krian, atau Kapasari-Sidoarjo. (Kata opelet dari opel nama mobil buatan Jerman, let artinya kecil. Tapi yang saya lihat opelet di Surabaya seperti angkutan kota zaman sekarang. Bukan mobil Opel yang kecil). * Bus dari luar kota masuk ke Kota Surabaya terminalnya di Jembatan Merah. Dari Wonokromo menembus Jalan Ngagel, Sumatra, Gubeng, Kusumabangsa, Ambengan, Undaan Kulon, Nyamplungan, Kembang Jepun, Jembatan Merah.
1965-1973.
Setelah pemerintahan Orde Lama berakhir, Walikota Murachman hilang, penggantinya dijabat oleh komandan Korem, R. Soekotjo. R. Soekotjo ini semula diangkat menjadi PJS, kemudian menjadi Walikota resmi, kekuasaannya selama 7 tahun. Dalam 7 tahun kekuasaannya itulah R. Soekotjo betul-betul menghilangkan kesan-kesan keberhasilan kaum komunis yang lalu. Gedung pertokoan di Gentengkali dan Peneleh digusur habis, dikembalikan jadi tepi kali yang seperti semula. Menurut Undang-undang nomer 1 tahun 1957, Kota Surabaya disebut Kota Besar (disingkat KBS). Dengan Undang-undang Nomer 18 tahun 1965, sebutan KBS diubah jadi Kotapraja Surabaya (KPS). Dan terjadi penambahan wilayah 5 Kacamatan baru yang diambil dari Kabupaten Surabaya (Gresik), yaitu Tandes, Sukolilo, Rungkut, Wonocolo, Karangpilang. Sebutannya jadi Kotamadya Surabaya, atau KMS. Dengan perubahan tambahan 5 kecamatan tadi, Walikotamadya Surabaya R.Soekotjo bergerak cepat mendekatkan wilayah kecamatan baru itu ke pusat kota lama dengan mengimpreskan pelebaran jalan dari pusat kota lama menuju sampai keperbatasan kota (yang baru), misalnya jalan dari Nginden melalui Rungkut menuju tapal batas Sidoarjo, dari Karangpilang menuju Menganti, dari Pasarkembang menuju Benowo, dari Kedungcowek menuju Tambakwedi. Juga daerah yang diduduki penduduk liar ditata ulang, misalnya dibangun jalan dari Pabrik Es Petojo, melalui Darmawangsa menuju Pucang-Ngagel Jaya Selatan (sebelum dibangun jalan lurus besar itu, daerah situ kumuh dan berbelit-belit), juga dari Jalan Sulawesi lewat trowongan (Gubeng Trowongan, sekarang Kertajaya) sampai Menur (Menur sudah jalan besar). Ketika R.Soekotjo menjabat Walikotamadya (1965-1973), saya ditarik menjadi pegawai Kotamadya Surabaya (sejak 1969), jadi sedikit banyak tahu tentang kegiatan Walikotamadya. Dan saya aktip membuat tulisan di suratkabar maupun tulisan berupa buku saat menjadi pelayan Kota Surabaya waktu itu, maka tidak usah saya percakapkan saat ini. Lagi pula cerita itu termasuk riwayat Kota Surabaya 1965-an sampai sekarang, tidak masuk sawala Surabaya 1900-1960. Jadi saya akhiri saja sawala saya ini. Semoga berguna. Amin.
*Adaptasi dari Website: www.supartobrata.com
berjudul: RAKYAT MISKIN DAN PEREBUTAN RUANG KOTA DI SURABAYA 1900-1960-AN.
Kegiatan Diskusi Umum dilaksanakan kerjasama antara Himadep Ilmu Sejarah dengan Departemen Ilmu Sejarah Unair.
Pembicara: Johny Alfian Khusairi, FISIP UNAIR
Purnawan Basundoro, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada
Suparto Brata, Saksi Sejarah Kota Surabaya
Moderator: Muhamad Nilzam Ali
Sumber: http://supartobrata.com
No comments:
Post a Comment