Identitas Buku
Penulis :
Eric Tagliacozzo,
Kota Terbit :
New Haven and London
Penerbit :
Yale University Press
Tahun : 2005 Jumlah
halaman: xviii+437 hlmPengantar
Secara umum buku ini
memetakan (mapping) batas-batas
wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris di Asia Tenggara. Berangkat dari pemetaan
itu, maka semua kebijakan colonial bisa diterapkan termasuk mereka yang
berprofesi pedagang. Pemetaan negara colonial atas wilayah Asia Tenggara
berimplikasi pada legalitas dengan menempatkan negara sebagai otoritas tunggal
dalam menentukan kebijakan atas apa yang dilakukan warganya. Dalam konteks
demikianlah lahir konsep illegal trader
(pedagang illegal) bagi mereka yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dan para
pelintas bantas yang tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah colonial.
Selanjutnya, Eric
Tagliacozzo dalam bukunya berjudul Secret
Trades, Porous Borders, Smuggling and States along a Southeast Asia Frontier,
1865-1915 membahas periode akhir
abad XIX dan awal abad XX yang oleh penulisnya menjadi periode penting dalam
sejarah Kepulauan di Asia Tenggara. Dua kekuatan besar yang mengontrol Asia
Tenggara adalah Inggris di Malaka, Borneo bagian utara, Sumatra dan Straits
Settlements (Singapora dan Penang-malaysia di Selat Malaka), itu yang pertama.
Kekuatan kedua adalah Belanda yang menguasai Jawa dalam waktu yang relative
lama karena komoditi pangan dan perkebunan yang dihasilkan dan kemudian
mengontrol perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku, Kalimantan Tenggara,
Sulawesi, dan Kepualaun Sunda Kecil. Pada saat bersamaan kompetisi kedua
kekuatan besar itu (Inggris dan Belanda) melahirkan kompetisi pada perebutan
pengaruh di antara pada pedagang dan aliran komoditi perdagangan pun menentukan
kemana komoditi itu dijual. Komunitas social atau para pedagang (illegal) itupun terpolarisasi dalam dua
pihak itu dan pada perkembangan kemudian perebutan pengaruh keduanya tidak bisa
dihindari.
Pada
bab-bab awal, Tagliacozzo
menjelaskan secara rinci periode antara 1865 dan 1915
di Kepulauan Nusantara dengan menunjukan upaya untuk memetakan wilayah kekuasan
Inggris dan Belanda. Dalam
aktivitas itu, Eric menunjukan adanya kehadiran tentara kolonial Belanda dan pasukan laut menyebar di
seluruh nusantara dengan bergerak menelusuri
sungai, mengidentifikasi kerajaan-kerajaan “kecil” untuk tujuan pengawasan oleh
pemerintahan Eropa. Dalam
melakukan identifikasi itu, pemerintah colonial juga menyertakan pejabat, polisi, dan pembuat peta serta
insinyur yang untuk membangun dermaga
(pelabuhan), jalan, dan jaringan telegraf.
Selain itu dibangun menara pengawas untuk menjaga pelintas batas (hlm. 83-84). Cara kerja kolonial seperti itu juga diikuti
oleh pembukaan pertambangan dan perkebunan,
khususnya di Kalimantan dan Sumatra (hlm. 123).
Arti
Penting Pemetaan dan Kehadiran Negara Kolonial
dalam Perdagangan: Konteks Sulawesi
1865–1915
Bagian
ini dihadirkan untuk memberikan perspektif tentang sumbangan karya Eric
Tagliacozzo dalam konteks Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Timur pada
khususnya, terutama yang berkaitan dengan kontribusi buku ini dalam penelitian
disertasi penulis. Oleh karena itu, sebelum sampai pada analisis terhadap
kontribusi tulisan ini, terlebih dahulu saya hadirkan elemen-elemen yang
terkait dan dapat ditemukan dalam perkembangan Asia Tenggara, Sulawesi pada
umumnya, dan Sulawesi Timur pada khususnya.
Elemen
utama dari kajian itu adalah komunitas atau masyarakat sebagai pemain utama
yang membentuk dan memainkan peranan penting dalam sejarah Asia Tenggara.
Elemen ini berkaitan dengan masyarakat local dan pendatang yang berprofesi
sebagai pedagang baik legal maupun illegal (rahasia). Sebagian lainnya, ada
yang menjalankan aktivitas perompakan dengan tujuan politik dan lebih dominan ekonomi,
yakni raiding, zeeroof, piracy, dan sebagianya. Mereka harus berhadapan dengan kekuatan resmi
pemerintah dengan penegakan hukum yang sesuai dan menguntungkan kolonil
Belanda, termasuk Inggris karena kedua negara itu yang membuat batas-batas
kekuasaannya atas sejumlah perbatasan negara-negara di Asia Tenggara (hlm.
107-181). Elemen selanjutnya adalah komoditi, karena dampak ikutan yang
menyertai aktivitas ekonomi para saudagar dan para pelintas batas dari peta
koloni Inggris dan Belanda. Dampak dari kontrol perbatasan dan para pedagang
ini melahirkan kompetisi antara Inggris dengan Belanda serta terjadinya
persaingan keduanya.
Rapuhnya control terhadap perbatasan dan menjamurnya
pedagang illegal (versi colonial) menjadi kosekuensi logis dari adanya
perebutan dalam memenangkan ekonomi dan politik di Asia Tenggara, khususnya
Indonesia. Dalam konteks itu pula, buku ini memberi gambaran terhadap apa yang
terjadi di Sulawesi, yang juga melibatkan Sulawesi Timur dalam jaringan
perdagangan dan komoditinya.
Sulawesi dikenal
sebagai penghasil teripang, sirip ikan hiu, lola dan mutiara yang laku di pasar
internasional hingga awal abad XX. Merujuk pada temuan McKnight bahwa kawasan
ini adalah kawasan produsen hasil laut yang melimpah tetapi tidak untuk
dikonsumsi oleh masyarakat local.[1] Realitas
itu membawa pemahaman bahwa komoditi ini melibatkan para pedagang China dan
Bajau. Komoditi ini dijual di Singapore dan pasti itu di bawah kontrol Inggris
(hlm. 42).[2]
Peran pedagang local yang di bawah control penguasa raja-raja local juga lebih
mudah menjualnya kepada para pedagang China daripada kepada Belanda yang sejak
awal menuntut monopoli. Kondisi itu, memaksa Belanda mengeluarkan kebijakan
bahwa siapapun yang tidak menuruti kebijakan Belanda, maka dikelompokan sebagai
Bajak Laut, oleh karena itu harus ditumpas.
Komoditi
agraris Sulawesi adalah beras di Sulawesi Selatan, perkebunan kelapa di
Selayar, Bungku, Luwuk, Banggai, dan Buton serta kayu Jati di Muna (Raha) telah
menempatkan kawasan ini terkoneksi dengan para pedagang Belanda melalui
pedagang perantara yang berasal para pedagang China dan Arab. Komoditi ini menjadi
incaran Inggris melalui para pedagang China dan Arab, termasuk juga komoditi
budak. Perairan Sulawesi yang berbatasan dengan Kalimantan dan Laut Sulawesi
yang berbatasan dengan kawasan laut Sulu Philipina mendekatkan kawasan ini ke
pasar internasional. Keunggulan komparatif dengan sejumlah komoditi dagang itu,
telah membuat kawasan Sulawesi, khususnya Sulawesi Timur menjadi arena
perebutan ekonomi dan politik yang dimainkan oleh Belanda dan Inggris dengan
keterlibatan otoritas local beberapa kerajaan di Sulawesi. Otoritas local telah
menjadi salah satu penghalang bagi colonial Belanda dalam penegakan kekuasaan
di Sulawesi. Terbukti, kawasan ini baru benar-benar dikuasai pada tahun 1906
dan Sulawesi timur baru mampu dipetakan pada tahun 1916.[3]
Meskipun demikian, gangguan2 lokal masih terjadi di beberapa wilayah kerajaan
seperti di Buton, Mori, dan Luwuk Banggai.
Dengan realitas
seperti itu, maka bagi pemerintah colonial Belanda, ekspansi ekonomi dan
politik yang ditegakan untuk mengatur wilayah itu (Sulawesi Timur) secara
keseluruhan baru saja dimulai. Artinya batas-batas ekonomi dan politik baru
saja dicanangkan sejalan dengan takluknya kerajaan local dan mendukung
pengawasan colonial di daerah itu. Penegakan aturan pemerintah colonial Belanda
di Sulawesi Timur tidak serta-merta menghilankan aktivitas perdagangan yang
telah dilakukan oleh penduduk dan otoritas local mengalihkan kerjasamanya
dengan pemerintahan colonial. Realitasnya lain menunjukan adanya pedagang gelap
yang masih terjadi dalam penjualan komoditi kepada perusahaan Inggris yang ada
di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah melalui para pelayar dan pedagang
China (Tagliacozo, 170). Kondisi ini digunakan Belanda untuk mengeluarkan
peraturan yang dinamakan dengan Exiting
Legal Code yang dikenakan pada pedagang yang melakukan kontrak penjualan
teripang. Dengan lahirnya aturan itu, maka control terhadap aktivitas pedagang
di Sulawesi harus tunduk, meskipun diakui bahwa masih dijumpai para pedagang
dengan dukungan otoritas local melakukan transaski dengan para pedagang China
baik di Sulawesi Timur maupun di wilayah kekuasaan Inggris di Kalimantan Utara
yang melibatkan Suku Bajau, para pedagang Makassar, dan paling mungkin Buton.
Penutup
Kontribusi
terbesar karya Eric Tagliacozzo adalah pada tema penelitian baru yang bagi
sebagian besar peneliti (sejarawan) Asia Tenggara yang sulit menjangkaunya. Dunia
illegal dan rahasia serta kaburnya batas-batas suatu wilayah/negara adalah hal
yang sulit dijangkau dari sisi sumber sejarah. Akan tetapi, dengan kemampuan
Eric dan dukungan sumber yang memadai, buku ini telah menjadi penelitian
terbaik pada satu topic menarik tentang Sejarah Asia Tenggara yang melibatkan
komunitas dan komoditi di pasar Internasional. Dasar kajiannya pun begitu kuat
dengan memetakan bahwa periode 1865-1915
adalah sebuah era di mana batas-batas wilayah dan negara sudah demikian jelas
dan dengan mudah dapat mengidentifikasi para pelanggar batas dan mengelompokan
para pedagang ke dalam indicator legal atau illegal.
Bagi
Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Timur pada khususnya sebagaimana digambarkan
Eric terkait dengan penegakan kekuasaan colonial Belanda di Indonesia yang
dimulai pada akhir abad XIX sampai awal abad XX. Makin jelasnya batas otoritas
colonial di Sulawesi umumnya, dan Sulawesi Timur pada khususnya telah
mengakhiri penegakan kekuasaan di daerah itu. Akan tetapi dalam kepentingan
lain, misanya ekonomi, Belanda baru saja memulainya dengan melakukan pemetaan
kawasan ekonomi seperti perkebunan kelapa (kopra), hasil hutan (jati, rotan,
dan dammar), dan hasil laut (mutiara dan teripang). Kebiasaan masyarakat local
yang sudah terbentuk sebagai pelayar dan pedagang, khususnya Bugis-Makassar,
Buton, dan Bajau tidak serta-merta berakhir melakukan transaksi dengan
melanggar batas-batas yang digariskan colonial. Mereka mudah saja melakukan transaksi
dengan para pedagang China di Laut Sulu, Laut Cina Selatan, dan Singapura. Transaksi
ini didasari oleh kenyataan bahwa mereka lebih susah bertransaksi dengan
Belanda daripada para pedagang China dan Inggris.
Terlepas
dari banyaknya keunggulan karya Eric tagliasozzo, buku ini sisi substansinya
memiliki kelemahan karena tidak semua kawasan dan komunitas Asia Tenggara
diuraikan seperti Kamboja, Vietnam, dan Burma. Selain itu, buku ini tidak utuh
terutama halaman 1-15 dan adanya sejumlah gambar yang hilang. Oleh karena itu,
buku baik ini harusnya menjadi perhatian para pemilik otoritas (pemerintah)
dalam pengadaannya agar informasi dalam buku tidak dipahami secara parsial.
Tentu dengan tujuan ikut mencerdaskan anak bangsa. Semoga bermanfaat untuk pembaca !
[1]C. C. Macknight, “The Nature of Early Maritime Trade: Some
Points of Analogy from the Eastern Part of the Indonesian Archipelago”, dalam
World Archaeology, Vol. 5, No. 2, Trade. (Oct., 1973), pp. 198-208. Lihat
juga Sandra Boudler, “Hunters and traders
in northern Australia” in
Kathleen
D. Morrison dan Laura L. Junker (ed.), Forager-Traders
in South and Southeast Asia, Long-Term Histories Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town,
Singapore, São Paulo: Cambridge University Press,
2002), hlm.
167-184.
[2] Lihat juga Edward L. Poelinggomang, Makassar Abad XIX, Studi
tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, (Jakarta: Kompas Pustaka Gramedia, 2002),
hlm. 4
[3]Lihat Staatsbalaad van Nederlandsch-Indië, tahun 1916 no. 27 tentang
penetapan Oost Celebes sebagai
Afdeeling.
*Review ini juga dibantu dari pengetahuan yang disumbang dari membaca Book Review yang terbit di berbagai Jurnal.
No comments:
Post a Comment