Review Artikel karya Jim
Warren, "Who Were the Balangingi Samal? Slave Raiding and Ethnogenesis in Nineteenth-Century
dalam
The Journal of Asian Studies, Vol. 37, No. 3, (May, 1978), pp. 477-490
A.
Pengantar
Salah satu hal menarik perhatian dalam artikel Jim
Warren adalah organisasi yang rapi dalam “masyarakat local” Balangingi Samal
yang ada di kawasan laut Sulu. Profesi, para actor, dan ikatan social yang kuat
di antara mereka dengan penguasanya (Kesultanan Zulu). Perubahan terjadi ketika
kontak dengan masyarakat di luar mereka khususnya colonial yang memberi dampak
pada pendapatan mereka dan makin intensifnya perdagangan yang melibatkan
profesi mereka, berdagang budak (manusia).
Jim Waren lebih lanjut membingkai tulisannya dalam
perspektif “berfungsinya” elemen-elemen social dalam organisasi social yang
dibangun dan diciptakan kerajaan menjalankan profesi sebagai pemburu manusia
yang dijadikan budak. Pengaruh dari luar (colonial dan pedagang budak lainnya)
ternyata tidak melemahkan, tetapi justru sebaliknya menguatkan posisi ekonomi
kesultanan Zulu yang salah satunya dimainkan oleh kelompok social (masyarakat
Balangingi Samal) sebagai pendukung serta para Taosug (kelompok social Dominan
yang kini menjadi wilayah Philipina) yang berperan sebagai agen penjual budak
dari hasil perburuan yang diorganisasi oleh penguasa Zulu. Ikatan antara Taosug
dengan masyarakat local bergeser ketika colonial ikut menjadi bagian (sebagai
salah satu agen) penjual budak (manusia). Pada titik ini, system social lebih
cepat beradaptasi dibanding ikatan kerja (budaya) yang sudah terjalin lama
dengan para taosug.
Cara kerja Jim Warren sebenarnya hampir sama dengan
yang dilakukan oleh Lechman tentang Sistem
Politik di Burma yang menguji berfungsinya elemen social yang saling
membutuhkan dengan proses “mobilitas social” yang saling menguntungkan
(mutualisme). Bedanya dengan Lechman adalah pada sisi sosial masyarakat yang
diteliti, Warren masyarakat pantai di pesisir Sulu dan Lechman masyrakat
Pedalaman Burma. Bagaimana Jim Warren memberikan kontribusi perspektif baru
dalam memahami sejarah perompakan pada abad XIX di Sulu Zone?
B. Kolonial dan Sistem
Organisasi Perompakan
di Kesultanan Zulu serta Peran Para Aktor
Kategori
bajak laut selalu membingungkan yang salah satunya disebabkan oleh identifikasi
yang kurang teliti dari para peneliti dan banyaknya kelompok etnis yang menjadi
bagian atau terlibat dalam aktivitas tersebut. Zeeroovers Sulu dan Illanun
misalnya, seringkali salah diidentifikasi karena kekurang pahaman pada sisi
etnolinguistik. Selain itu, peran masing-masing juga sering disalah pahami.
Generalisasi terhadap profesi mereka menjadi sebagian penyebab kesalahan
kategorisasi ini. Menurut Warren,
Balangingi Samal tidak sama dengan Illanun. Aktivitas mereka pada kegiatan
perompakan juga berbeda. Balangingi Samal misalnya hanya melakukan perompakan
manusia, meskipun manusia yang ditangkap adalah penduduk desa tetangganya. Berbeda dengan Illanun (Mindanao,
Maranao) yang aktivitasnya ikut lebih dari sekedar merompak manusia. Meskipin demikian kelompok yang berprofesi
perompak ini hidup berdampingan yang dibingkai oleh ikatan ekologis sebagai
pembentuk karakter mereka dan hubungannya dengan Kesultanan Zulu.
Selama
abad ke-19, masyarakat Kesultanan Zulu terdiri dari tiga strata social, yakni
bangsawan, orang-orang merdeka dan budak (a’ata). Dalam interaksi sosialnya,
penguasa Zulu menunjuk seorang panglima sebagai wakil mereka yang sekaligus
sebagai nakhoda ketika aktivitas perompakan manusia dilakukan secara berkempok.
Komoditi yang juga dicari adalah teripang, kerang mutiara, dan garam sebagai
salah satu upeti yang diberikan kepada kesultanan sebagai penopang ekonomi
kesultanan selain hasil penjualan manusia (budak). Selain itu, perompakan manusia juga
diperuntukanbagi penyediaan tenaga kerja perompak yang khusus pada kapal-kapal
yang mengankut mutiara, garam, dan teripang. Sampai dengan tahun 1848
popuasi penduduk kesultanan juga disumbang oleh hasil perompakan dan tercatat
10.000 dari 200 perahu perompak yang menjalankan misi ini. Tujuan utama mereka
adalah mendapatkan kekayaan dari hasil penjualan budak.
Organisasi
perompak juga sangat rapi dan melibatkan keluarga sultan. Beberapa juga ada
yang sengaja direkrut kesultanan dan lainnya bahkan tidak mendapat ijin dari
sultan Zulu. Sultan dan datu mengontrol perdangan dengn luar negeri dengan
jaringan yang lebih luas. Tausog memiliki organasasi di bawah sultan dan datu. Tausong berperan mengatur secara ketat
aktivitas ekonomi dan penduduk. Komisi untuk para budak yang bekerja sebagai
perompak dalam bentuk bahan logistic, senjata, dan beaya pelabuhan. Pendapatan
sultan berasal dari hasil perdagangan (manusia), bea pelabuhan dan pasar, serta
upeti. Para datu juga “dipaksa” untuk melakukan perdagangan agar tidak
kehilangan control atas pasokan dan
distribusi senjata kepada para klien yang melakukan perompakan.
Pada
paruh pertama abad ke-19 ada upaya keras dari sultan Zulu dan para pendukungnya
untuk menjalankan control eksklusif terhadap perdagangan, namun mengalami
kegagalan. Sultan telah kehilangan dukungan oleh penduduk yang berasal dari
luar Samal. Penduduk Samal telah
mengalihkan dukungannya kepada para datu yang mengontrol perdagangan luar
negeri (1810-1830). Datu Mulo dan perdana mentri yang mengalami mobilitas social menjadi kaya
dan mampu mengontrol ekonomi dan politik memiliki sejumlah harta seperti 25
meriam, dan 100 senapan, termasuk datu Sahal yang menjadi tokoh kuat dalam
perdagangan luar negeri dan mengontrol ekspedisi perompak Balangingi. Kondisi
itulah mobilitas berubah dari tangan sultan ke tangan para datu.
C. Komentar
Sebagai
kata akhir, saya ingin mengatakan bahwa dinamika seperti inilah yang jarang dijumpai
dalam historiografi. Kehadiram budak terampil sama sekali tidak dihadirkan
dalam tulisan sejarawan Indonesia, apalagi system organisasi yang dibangun
serta interelasi dengan struktur social di luar mereka, namun identifikasi
Warren menemukannya sehingga sumbangan pada tulisan-tulisan sejarah menjadi
kaya dan spefisifik terutama kaitannya dengan persentuhan masyarakat local dan
global dengan media komoditi apapun yang memiliki nilai dan memberikan nilai
lebih (surplus value) dalam bahasa kaum marxis. Perspektif hubungan fungsional
antar elemen social di Kesultanan Zulu begitu dominan dengan “mengabaikan”
system budaya yang sudah berakar lama. Jadi lagi tulisan ini membuktikan bahwa
perubahan social lebih cepat dan dinamis direspon daripada perubahan budaya
dalam konteks masyrakat Balangingi Samal ketika berinteraksi dengan elemen
social politik di luar mereka.
Bacaan Pendukung.
Lapian, A.B. Orang Laut-Bajak
Laut-Raja Laut, Sejarah Kawan Laut Sulawesi, Jakarta: Komunitas bamboo,
2011.
Berger, Peter L. Tafsir Sosial Atas
Kenyataan, Jakarta: Lp3ES,
1990
Warren, J. “Who Were the Balangingi
Samal? Slave Raiding and Ethnogenesis in Nineteenth-Century”, dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 37, No.
3, (May, 1978), pp. 477-490.
No comments:
Post a Comment