Oleh: Abd Rahman Hamid*
Momentum otonomi daerah tampak bertaut erat dengan endemisnya pengusulan pahlawan nasional. Ada kesan bahwa suatu daerah disorot oleh pubik ketika memiliki tokoh anutan (pahlawan) sebagai bahan justifikasinya.
Tak heran jika upaya pengusulan pahlawan kian mengemuka dari berbagai daerah di tanah air, dengan ragam cara dan pendekatan. Tujuannya adalah agar identitasnya terkuak, minimal pada peringatan Hari Pahlawan Nasional setiap tanggal 10 November. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa hari pahlawan tidak dicipta untuk tujuan itu.
Sejarah bagi sebuah negara yang baru merdeka, atau masih dalam penguatan semangat kebangsaan, memiliki peran penting sebagai alat untuk meningkatkan persatuan dan pendidikan kewarganegaraan.
Dengan kata lain, sejarah adalah alat propaganda kaum nasionalis (Burke 2001). Hal itu, secara metodelogis, telah digalakkan di Jerman pada abad ke-19 oleh Leopold Von Ranke. Slogannya yang sangat terkenal adalah "no document, no history".
Dalam doktrinnya, hanya aktor yang terekam (dokumen) yang memiliki akses terhadap panggung sejarah. Aktor lainnya tetap diakui eksistensinya, tetapi tidak direkonstruksi sebagai sebuah kemestian dalam sejarah.
Momen dan tokoh tersebut telah merombak secara besar-besaran metodelogi penulisan sejarah. Bila sebelumnya dipandang bagai sebuah kronik, dan menggunakan sumber sejarah yang tidak ilmiah, maka kini kerja sejarawan meletakkan dokumen di atas segalanya. Implikasinya, adalah ruang narasi
terlampau didominasi oleh orang-orang besar, sehingga menghasilkan sejarah "orang-orang besar".
Ilustrasi: Bungtomo, salah satu pahlawan Nasional Indonesia
Sementara itu, tokoh ajuannya terutama yang memiliki visi kebangsaan. Cara kerja ini juga membuahkan kebanggaan berlebihan penikmatnya terhadap sang tokoh, berikut negara-bangsanya secara berlebihan.
Pahlawan dan Indonesia
Fenomena macam itu tampak pada panggung sejarah Indonesia di awal kemerdekaan. Penulisan sejarah dan biografi tokoh "penting" digiatkan dam rangka penguatkan semangat kebangsaan. Narasi sejarah diramu sedemikian rupa, dengan perspektif Indonesia sentris.
Tak heran, ruang historiografinya dipenuhi sejumlah tokoh besar dari berbagai daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke. Kedua daerah itu (Aceh dan Papua) mendapat perlakukan istimewa, dengan status otonomi khusus.
Pada tahun 1950-an, di Sulawesi Selatan mengemuka gerakan protes Daerah terhadap pusat. Qahhar Mudzakkar berhasil mengorganisir kesatuan-kesatuan gerilyawan kedalam satu wadah organisasi. Awalnya bernama KGSS, kemudian CTN, TKR, dan akhirnya TII (DI/TII).
Salah satu dalilnya adalah pembentukan sebuah divisi militer dengan nama (Sultan) Hasanuddin. Tokoh ini dipandang representasi tokoh kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Meskipun akhirnya upaya tersebut tidak direspons oleh pemerintah, sehingga menimbulkan pemberontakan.
Pengungkapan tokoh besar, dalam konteks itu, menjadi penting sebagai rujukan simpul politik bernama Indonesia. Itulah sebabnya, mungkin, Sultan Hasanuddin di masa Orde Baru dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, tanpa bermaksud mengabaikan sepak terjangnya melawan kolonialisme yang menjadi dasar pemahlawanan seseorang dalam pandangan pemerintah.
Sementara itu, aktor lainnya sezaman dalam irama sejarahnya, yakni Arung Palakka tereliminasi karena bekerjasama dengan pemerintah kolonial, yang menjadi pantangan seseorang menjadi pahlawan nasional.
Ironi Sejarah
Adalah sebuah kebanggan bagi suatu daerah yang memiliki pahlawan nasional. Sebab, hal itu seringkali dijadikan takaran oleh daerah lain terhadap daerah itu dalam mengindonesia. Pendeknya, pengajuan pahlawan nasional sangat penting secara sosial dan politik, baik bagi ahli waris maupun pemerintah daerah. Juga bagi negara karena telah mengukir jumlah pahlawan terbanyak, melampaui nagara adi daya seperti Amerika Serikat sekalipun.
Tetapi, mengapa pengajuannya kini makin endemis? Apakah hanya pahlawan itu saja yang patut dikenang? Lalu bagaimana dengan aktor lainnya, apakah memang Indonesia hanyalah buah tangan "orang-orang besar", tanpa ada keterlibatan "orang-orang kecil".
Dominasi pemikiran Ranke, dalam konteks itu, tampak berpengaruh dalam ranah penulisan sejarah. Upaya seleksi aktor kian mewarnai ruang kerja sejarawan. Fokusnya selalu diarahkan terhadap kaum elite, sehingga karya sejarahnya merupakan rekaman atau milik orang-orang besar, dan orang-orang kecil dilupakan.
Cara dan hasil kerja macam ini mendapat kritik keras dari Kalr Lamprecht, bahwa usaha Ranke dan Neo Ranke adalah sebuah kekolotan. Dalam nada yang sama pula,
Otto Hintze mengatakan, yang ingin diketahui bukan saja gugus dan puncak gunung tetapi kaki gunungnya; tidak cuma tinggi dan dalamnya daratan melainkan keseluruhan benuanya (Burke 2001). Ini menunjukkan bahwa tinta sejarah ala Ranke hanyalah berupa titik kecil dari realitas besar yang diabaikannya.
Dengan demikian, peran orang-orang kecil tidak boleh dilihat sebelah mata dalam merekontruksi tokoh (pahlawan) tertentu. Kedua unsur aktor harus ditempatkan bersama dan dengan peran masing-masing sesuai konteks sejarahnya.
Upaya penempatan para aktor sejarah tersebut berimplikasi secara metodelogis terhadap penulisan sejarah. Penggunaan sumber tulisan (dokumen) harus dibarengi dengan sumber lisan (oral history atau oral tradition). Sebab, jenis pertama dominan merekam aktivitas orang-orang besar, sementara orang-orang kecil redup dari sorotannya dan jejak mareka umumnya berupa ingatan kolektif (kelisanan).
Kendati demikian, terkait penggunaan sumber lisan, diperlukan kecakapan kerja dan pemahaman kontekstual sehingga pekerja sejarah tidak mudah larut dalam alur kisah pelakunya.
Akhir kata, perlu diingatkan, agar endemisnya pengusulan pahlawan nasional dewasa ini tidak disangkut pautkan secara politik dengan arus otonomi daerah, ataupun ragam pesta politik di daerah.
Bukan pula momen penguatan primordialisme. Tetapi, peringatan Hari Pahlawan tahun ini menjadi refleksi penguatan kembali jiwa kebangsaan. Juga bukan sekadar ekspresi sejarah orang-orang besar, tetapi juga ruang promosi aktor-aktor kecil yang memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah Indonesia.
*Staf Pengajar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unhas
Tulisan ini pernah dimuat di web site. Ini linknya: http://metronews.fajar.co.id/read/109457/19/pahlawan-dan-ironi-sejarah
No comments:
Post a Comment