Oleh: Deden Rukmana
(Assistant Professor of Urban Studies and Planning at Savannah State University, Savannah GA 31404 USA)
Seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kakilima (PKL) di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.
Benarkah fenomena PKL ini sebagai wujud kurangnya lapangan kerja bagi penduduk miskin? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan kemukakan konsep informalitas perkotaan (urban informality) sebagai kerangka pikir untuk memahami fenomena PKL yang terjadi di kawasan perkotaan.
Informalitas Perkotaan
Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an. Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).
Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.
Pembahasan dikotomi tersebut acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.
Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan.
Menurut pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk miskin tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Demikian pula dengan sektor-sektor informal yang baru banyak berlokasi di pinggiran kota. Dapat dikatakan bahwa perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi informal.
Teori-teori Perkotaan
Terdapat dua teori perkotaan yang dikenal saat ini: Sekolah Chicago Sosiologi Perkotaan (the Chicago School of Urban Sociology) dan Sekolah Los Angeles Geografi Perkotaan (the Los Angeles School of Urban Geography) didasarkan pada fenomena perkotaan yang terjadi pada kota-kota di negara maju (Chicago dan Los Angeles). Kedua sekolah perkotaan ini telah mendominasi wacana dalam perkotaan dan urbanisasi, bukan hanya di Amerika Serikat dan Eropa tapi juga di negara-negara berkembang.
Sekolah Chicago Sosiologi Perkotaan yang dikembangkan pada awal tahun 1920-an menjelaskan perkembangan perkotaan dikendalikan oleh migrasi yang menghasilkan pola-pola ekologis seperti invasi, survival, asimilasi, adaptasi dan kerjasama. Sekolah Los Angeles Geografi Perkotaan digagaskan pada akhir tahun 1990-an untuk menjelaskan perkembangan metropolitan Los Angeles di era postmodern yang menekankan pentingnya peran ekonomi kapitalis dan globalisasi ekonomi politis.
Dominasi kedua sekolah perkotaan tersebut, khususnya Sekolah Chicago, dalam wacana perkembangan perkotaan di negara-negara berkembang sedikit banyak berpengaruh terhadap perencanaan tata ruang perkotaan di negara-negara tersebut. Praktek-praktek perencanaan yang direplikasi melewati dikotomi negara maju dan berkembang adalah hal lumrah terjadi. Sejauh replikasi tersebut relevan dengan kondisi negara-negara berkembang, tidaklah hal tersebut menjadi masalah. Namun tidaklah demikian dengan fenomena perkembangan sektor informal di tengah-tengah pesatnya perkembangan perkotaan di negara-negara berkembang. Kedua sekolah perkotaan tersebut tidak menjawab fenomena sektor informal di negara-negara berkembang.
Pedagang Kakilima di Perkotaan
Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.
Menjawab pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini, PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.
Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL.
Dominasi Sekolah Chicago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.
Penutup
Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL.
Untuk Mengetahui lebih jauh Urban Studies baca DISINI
Sumber: http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/
No comments:
Post a Comment