BARANGKALI benar juga "sejarah" itu tidak adil. Mengapa sejarah mencatat suatu peristiwa atau mengagung-agungkan seorang tokoh, tetapi melupakan peristiwa lain dan seakan-akan "membunuh" tokoh lain? Tapi, kalau dipikir-pikir, bukankah sejarah, sebagai milik masyarakat (bukannya milik para sejarawan yang sibuk membongkar-bongkar hal yang terlupakan), tak lebih daripada ingatan kolektif? Ingatan memang bersifat selektif, dan kadang-kadang juga evaluatif. Meskipun secara psikologis dapat dimengerti, secara rasional tentu tak bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa ciuman pertama selalu teringat, sedangkan ciuman selanjutnya diperlakukan sebagai sesuatu yang rutin? Dan, sesuatu yang rutin bukan sejarah, setidaknya begitu pengertian nouvelle sonnante (letupan seketika) sebagaimana Braudel mengutip istilah abad ke-16 Prancis.
Jadi, mestikah kita heran kalau sejarah, sebagai ingatan kolektif, cenderung mencatat tanggal yang merupakan "letupan seketika" itu? Bahkan, lebih dari sekadar mencatat, ingatan kolektif juga memberi makna terhadap "letupan seketika" tertentu. Maka, tanggal 20 Mei 1908 dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional, meskipun mungkin berdasarkan penelitian sejarah kritis, akan kelihatan bahwa anak-anak muda, para pendiri Budi Utomo, sama sekali tak berambisi sehebat itu. Yang jelas, peristiwa ini dikenang, dan makna tertentu telah dikenakan padanya. Nilai sejarah memang tak ubahnya sebagai selimut yang menutupi "badan telanjang" peristiwa. Biarkan saja para ahli mengatakan betapa transformasi pengetahuan sejauh telah terjadi. Mula-mula sejarah sebagai peristiwa, yang sekali terjadi tak terulang lagi, dipindahkan menjadi sejarah sebagai catatan, yang selalu dikenang, kemudian beralih menjadi sejarah simbolik yang dianggap sebagai wakil aspirasi historis, sehingga akhirnya menjadi mitos.
Bukankah mereka, dalam helaan napas yang sama, mengatakan pula betapa sejarah simbolik yangtelah jadi mitos itu memainkan peranan penting dalam kehidupan suatu komunitas? Mitos dapat berperan sebagai salah satu unsur dalam proses pembentukan sikap ketika diri menghadapi tantangan realitis. Proses "mitologisasi" dari peristiwa yang mula-mula hanya merupakan "letupan seketika" itu didukung oleh dua hal penting. Pertama, visi komunitas tentang sejarah. Bagaimanakah hari lampau, kini, dan nanti, dirumuskan dalam pandangan hidup? Dalam konteks komunitas nasional kita, Pembukaan UUD 45, yang sangat indah dan literer itu, sebenarnya tidaklah sekadar landasan ideologis dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sekadar sumber hukum nasional saja, tetapi menunjukkan visi nasional tentang sejarah. Kedua, dukungan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah "letupan seketika" itu. Tanpa dukungan perjuangan pemuda dan rakyat, yang secara simbolik dirumuskan oleh Hari Pahlawan, umpamanya, barangkali Proklamasi akan merupakan titik peristiwa saja. Tapi, dengan perjuangan tanpa menyerah, Proklamasi bukan saja merupakan peristiwa historis yang dahsyat, melainkan juga secara simbolik memberikan makna yang luhur dalam kehidupan bangsa dan negara. Tiada komunitas atau kesatuan pergaulan hidup dapat bertahan tanpa mitos. Tiada bangsa yang bisa dibina tanpa keterikatan pada mitos nasional apakah dalam bentuk pemberian nilai terhadap peristiwa sejarah ataupun personifikasi nilai pada diri tokoh.
Demikian keadaannya dulu, dan tak berubah keadaannya kini. Begitu di negeri orang, seperti itu pula di negeri kita. Karena itu, diperlukan pengenalan yang lebih intim terhadap situasi historis yang mengelilingi sejarah simbolik. Dengan pengenalan ini, bukan saja proses mitologisasi yang berlanjut, yang bisa mengancam landasan historical plausibility, dapat dibendung, tapi arti simbolik baru, yang lebih sesuai dengan peralihan yang terjadi dalam komunitas kognitif, yang sama-sama menerima kesahihan pengetahuan, mungkin didapatkan pula. Pengetahuan sejarah, yang merupakan rekonstruksi kritis dari kelampauan, tidaklah sekadar untuk sekali-sekali mengerling dengan sinis kepada mitos, dan bukan pula hanya pengisi kekosongan, ketika mitos telah kehilangan daya efektif dan inspiratifnya, di saat keutuhan komunitas kognitif telah terbelah-belah.
Di samping menyajikan pemahaman rasional terhadap realitas sosial, pengetahuan kritis tentang hari lampau juga dapat memberikan kearifan dalam merintis hari depan. Dari sini pula hikmah pengalaman didapatkan. Dengan ancang-ancang yang cukup panjang ini, ada baiknya dalam suasana perayaan kemerdekaan ke-42 ini, situasi historis yang melingkari "letupan seketika" yang telah menjadi sejarah simbolik kita diperhatikan lagi. Siapa tahu, bukan saja pemahaman akan dinamika sejarah bisa didapatkan, tapi tuntutan "historis" yang terkait dalam sejarah simbolik itu ditemukan pula. Dari "kemajuan" ke kesadaran bangsa DALAM salah satu suratnya, yang ditulis akhir 1899, Kartini mengatakan betapa ingin hatinya berdampingan dengan "saudara-saudara"-nya, para gadis di Negeri Belanda, dalam melangkah maju menuju abad baru. Dalam surat ini, (dan surat-surat lain) Kartini tidak hanya memperlihatkan kecenderungan kosmopolitanisme dan suasana kesezamanan dengan dunia luar -- seperti halnya dengan kecenderungan kultural dari elite tradisional sejak dulu -- tetapi juga memantulkan suatu suasana yang mulai berkembang di kalangan masyarakat atasan "Hindia Belanda". Akhir abad ke-19, dan terutama awal abad ke-20, memang ditandai oleh suatu optimisme tentang masa depan. Sementara kalangan penguasa mulai menyuarakan semangat asosiasi kultural, yang didampingi oleh cita-cita "politik etis", di kalangan terpelajar anak negeri keinginan untuk memasuki "dunia maju" mulai mekar pula.
Seruan "dunia maju" dan "kemajuan" didendangkan oleh Majalah Insulide, yang terbit di Padang pada tahun 1901, dan dikumandangkan oleh dr. A. Rivai dalam Majalah Bintang Hindia, yang diterbitkan di Negeri Belanda. Optimisme ini makin menaik setelah apa yang disebut "pasifikasi Aceh" secara resmi dianggap telah berakhir, dengan menyerahnya Panglima Polem. Dalam suasana optimisme ini "dunia schakel", yaitu suasana perantara yang diciptakan untuk mengurangi trauma kolonialisme, mulai mengalami krisis. Dunia schakel yang memberikan suatu "osters visie" terhadap "kekuasaan Barat" -- seakan-akan kekuasaan itu tidak riil, dan seolah-olah hubungan kolonial tak lain daripada persekutuan kekerabatan -- kini, dengan semangat kemajuan, makin kehilangan validitasnya. Dunia maju, yang diwakili oleh "kepintaran" Barat, telah menjadi tarikan, sementara situasi schakel, yang terpantul dalam berbagai mitos hubungan kolonial dan peri laku tradisional yang dibelandakan, makin mengendur. "Dunia maju" adalah dunia yang dicitakan "Syamsul Bahri", murid sekolah dokter Jawa, tokoh dalam roman Siti Nurbaya. Dalam dunia maju inilah ia ingin membangun maligai cinta dengan "Siti Nurbaya". Dalam aspirasi menuju dunia baru ini pula ia dihalangi "Datuk Meringgih", seorang kaya serakah, kolot, dan pembangkang pemerintah. Namun, dalam dunia maju ini kesadaran akan perbedaan yang disamarkan dalam dunia schakel, antara anak negeri (anak Hindia) dan Belanda, mulai diperjelas. Perbedaan inilah yang selalu diingatkan Rivai, dan ini pula yang terpantul dari beberapa surat Kartini.
Kesadaran akan situasi yang riil dari keterbelakangan anak negeri, jika dibandingkan dengan golongan lain, mendorong seorang dokter tua berkeliling untuk menyadarkan kaum terpelajar, yang masih sangat langka itu, akan tanggung jawab mereka. Seruan dokter tua, yang bernama Wahidin Sudirohusodo ini, mendapatkan tanggapan positif di kalangan para pelajar sekolah "dokter Jawa" di Betawi. Seruannya nyaring terdengar di telinga mereka yang sedang terpisah dari keluarga dan lingkungan kultural mereka yang intim. Para anak muda perantau dan terpelajar ini akhirnya mendirikan suatu organisasi yang bertujuan menaikkan martabat dan memajukan kehidupan rakyat kecil yang miskin dan terbelakang. Anak-anak sekolah tersebut mendirikan organisasi modern yang dianggap sebagai yang pertama di kalangan anak negeri. Budi Utomo telah berdiri. Kini, 20 Mei 1908 telah tercatat sebagai "letupan seketika" yang penuh makna. Bahwa beberapa bulan kemudian organisasi anak-anak muda ini diambil oleh para priyayi, bahkan langsung dipimpin oleh seorang Regen, atas persetujuan Gubernur Jenderal, tentulah bisa dimengerti. Bukankah tujuan BU memajukan masyarakat, sedangkan para pendirinya masih belum mempunyai kedudukan yang strategis? Dengan sumber inspirasi yang berbeda dan tujuan yang tak pula sama, awal abad ke-20 juga ditandai oleh gerakan reformasi Islam.
Di samping ingin membersihkan praktek keagamaan dari segala unsur yang dianggap bid'ah, gerakan reformasi ini menjadikan Islam sebagai ideologi perubahan sosial. Ortodoksi dan pembaruan atau tajdid adalah ideologi kemajuan yang dianjurkan oleh para reformis Islam ini. Modernisasi dalam sistem pendidikan pun dimulai, dan berbagai organisasi kemasyarakatan dan pendidikan, seperti Muhammadiyah, didirikan. Dengan gerakan reformasi kehidupan keagamaan ini, suatu kekuatan dan potensi besar masyarakat "pribumi" telah digerakkan. Tantangan ada, bahkan keras, tetapi cita-cita pembaruan tak lagi dapat dihapuskan. Suasana "kemajuan" yang reformistis adalah latar belakang dari kehadiran Sarekat Dagang Islam, dan kemudian Sarekat Islam (SI). Lebih dari BU, SI, yang dipelopori oleh para pedagang dan pekerja merdeka, secara tegas membagi masyarakat kolonial atas dua kategori, yaitu masyarakat bumiputera, yang Islam, dan bangsa-bangsa lain, yang bukan Islam. Sehingga betapa pun reformistisnya tujuan resmi SI, ia memberi kemungkinan bangkitnya masyarakat pedesaan warna lokal yang khas. Di samping itu, SI juga membuka kesempatan bagi masuknya berbagai aspirasi sosial dan politik. Dalam SI, Islam tampil sebagai simbol dari segala hal yang mempersoalkan kemantapan establishment. Jika SI lokal ada yang tampil sebagai anti-Cina (di Surakarta, Bekasi, dan Gresik), atau muncul sebagai antipemerintah (di Jambi dan Toli-Toli), SI Semarang, di akhir 1910-an, mulai pula memperlihatkan kecenderungan Marxist. Di Surabaya, dengan gerakan Jawa-Dipa, SI menggugah kemantapan struktur masyarakat Jawa yang dianggap feodalistik, dengan anjuran peniadaan tingkat-tingkat bahasa. Dalam semangat "kemajuan", yang makin menekankan unsur-unsur yang membedakan "kita" dan "mereka", jalan ke arah perumusan landasan ideologi nasionalisme mulai dirintis.
Siapakah "kita"? Konsep "kita" SI belum memberikan batas-batas yang jelas. Apalagi aliran-aliran bawah SI yang antikapitalistik dan feodalistik makin cenderung mengaburkan perbatasan "kita" dan "mereka" itu. Dalam suasana pencarian identitas ini, para perantau muda yang berada di kota-kota besar, terutama di Jawa, mendirikan berbagai organisasi kepulauan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes. Ikatan solidaritas ini menjadikan ikatan primordial lama sebagai sesuatu yang irrelevant -- mengapakah mereka tidak menyebut diri Jong Minangkabau, Jong Mataram, Jong Pasundan, Jong Bugis, dan sebagainya? -- dan mencoba secara lebih khusus mengajukan batasbatas "kita". Barangkali tidak berlebihan kalau JSB dan JJ bahkan menyebut dirinya "pembuat bangsa", bukan "penyambung tradisi bangsa". DALAM suasana pencarian batas-batas ini, seorang tokoh SI Bandung, Suwardi Suryaningrat, bersama Tjipto Mangunkusumo, seorang bekas pemimpin BU, yang langsung berhenti setelah organisasi itu diambil oleh para priyayi, dan seorang peranakan Belanda, Douwes Dekker, mengajukan gagasan "nasionalisme Hindia", yang mengikat semua mereka yang menetap di tanah Hindia (blijvers), sebagai lawan dari mereka yang hanya datang ke Hindia untuk memerintah dan berusaha. Gagasan yang berani ini ternyata bukan saja terlalu revolusioner bagi pemerintah, tetapi juga tak realistis dari sudut sosial psikologis.
Ketidaksesuaian antara pribumi, yang melarat, dan Cina serta Indo, yang dianggap kaya, seperti ditonjolkan oleh SI, telah menjadikan gagasan "nasionalisme Hindia" ini suatu utopia saja. Batas-batas nation yang ingin diciptakan mendapatkan kejelasan dari renungan para bekas aktivis gerakan pemuda, setelah mereka belajar dan bergerak di Negeri Belanda. Dengan mengambil alih konsep anthopologis "Indonesia", mereka merumuskan identitas politik. Indonesia dijadikan sebagai komunitas baru. Nasionalisme Indonesia memang tidak bermula dari semangat "renaissance" kebudayaan asli, tetapi berasal dari kepekaan sosial dan kesadaran politik. Dengan kesadaran sosial politik ini pula konsep komunitas baru, yang disebut bangsa itu, dirumuskan.
Proses yang secara organisatoris diwjudkan oleh Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Hatta makin diperkuat di tahun 1927, dengan berdirinya PNI (di bawah pimpinan Sukarno), dan mencapai puncaknya dengan Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan. Tak lama kemudian, organisasi pemuda kedaerahan membubarkan diri dan bergabung ke dalam Indonesia Muda. SI, yang pernah bereksperimen dengan pan-Islamisme untuk melawan internasionalisme Sarekat Rakyat PKI, kemudian mengubah nama menjadi PSII (Indonesia). Bahkan, kemudian, BU, yang pernah menjadi pendukung kongres kebudayaan nasional Jawa, bersama-sama dengan Perhimpunan Bangsa Indonesia, membentuk Partai lndonesia Raya. Berbagai peristiwa yang senada terjadi. Kalau dulu "kemajuan" merupakan paradigma, sekarang tanpa mengingkari seruan kemajuan, konsep bangsa Indonesia merupakan semboyan politik dan kultural. Yamin yang dulu berdoa, Aku pintakan kepada Tuhan/Sagi Sumatera diturunkan cinta, setelah Sumpah Pemuda, yang ikut dirumuskannya, mulai bersenandung tentang negeri yang Dilingkari air mulia tampaknya/Tumpah darahku Indonesia. Dan "Hanafi", tokoh roman Salah Asuhan, akhirnya menyadari bahwa usahanya memasuki "dunia maju", yang secara dominan bercorak kebelandaan, bukan saja menjadikannya seorang anak durhaka yang "salah asuhan", tetapi juga manusia yang tersisih. Ia melakukannya ketika batas-batas antara dua dunia sosial -- penguasa dan anak negeri telah makin dipertegas oleh kesadaran politik. Meskipun Sumpah Pemuda merupakan satu "letupan seketika" yang menyimpulkan situasi kesadaran politik yang telah berkembang, peristiwa ini seakan membuka sumbat unsur-unsur dinamika yang terbendung. Dengan cepat, Sumpah Pemuda tampil sebagai suatu paradigma baru. Segala sesuatu hanyalah mendapatkan "pembenaran" intelektual dan politik jika berada dalam paradigma ini.
Dalam konteks keindonesiaan ini berbagai perdebatan politik ideologi dan kultural diadakan, dan berbagai corak masa depan yang diinginkan dipertengkarkan. Hatta mengatakan bahwa sikap politik "ko" (yaitu kesediaan untuk duduk dalam berbagai raad-raad) berarti tak kurang dari pengakuan akan kedaulatan Hindia Belanda. Sebab, ia dan kawan-kawannya dari Perhimpunan Indonesia telah mulai dengan slogan "Indonesia Merdeka Sekarang". Ia pun tak setuju dengan usaha Soekarno, yang juga seorang pemimpin "nonkooperator", untuk menggalang persatuan dengan golongan "ko" ini. Tapi Hatta mengakui juga bahwa yang betul-betul "orang luar" adalah Vaderlandsche Club, PEB, dan partai sehaluan lainnya, yang bertolak dari pengingkaran akan kesahihan Indonesia. Dalam konteks ini "non" dan "ko" lebih merupakan perbedaan strategi yang bersifat eksternal, seperti juga terdapat perbedaan strategi internal antara usaha machtvorming Soekarno dan sistem kadar, yang dirintis Hatta dan Sjahrir. Di awal 1920-an, perdebatan ideologis lebih bercorak perumusan orientasi sosial yang diinginkan, serta perumusan musuh yang harus dihadapi maka saling berhadapanlah Islamisme, Marxisme, yang mengikatkan diri dengan Komintern, dan nasionalisme, yang masih harus merumuskan "wilayah perbatasan"-nya.
Di awal 1930-an, perdebatan ideologis, terutama antara "Islam" dan "kebangsaan", lebih menyangkut landasan moral perjuangan dan bentuk negara Indonesia yang dicitakan. Ironis, memang. Tapi, keampuhan paradigma Indonesia makin kelihatan ketika politik "rust en orde" telah menyebabkan partai-partai "non" tak dimungkinkan bergerak, dan di saat banyak pemimpin telah diasingkan. Ketika ini, para pendukung politik "ko" tampil untuk mengibarkan semangat perjuangan di dalam dan di luar Volksraad dan raad-raad daerah. Tahun 1938, ketika gerakan politik kemerdekaan sedang tertekan, inilah untuk pertama kali 20 Mei 1908 diingat dan dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peristiwa yang dulu hanyalah bagian dari situasi zaman, kini, di saat tekanan kolonial makin keras, dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna. Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1948, peristiwa ini kembali dirayakan. Dalam suasana keindonesiaan ini Sutan Takdir Alisyahbana tanpa ragu-ragu tampil dengan "semboyan yang tegas", yang mencitakan Indonesia yang memupuk rasionalisme, individualisme, bahkan juga materialisme. Dengan kepastian akan identitas kelompok ini, ia menyerang segala sikap kultural yang dianggapnya serba negatif yang takut memasuki dunia modern.
Dengan rasa kepastian akan identitas komunitas yang sama, Dr. Sutomo menginginkan terpupuknya suasana persaudaraan dan kekeluargaan, seperti dipantulkan oleh kehidupan pesantren -- suatu sistem yang lebih mementingkan pembangunan karakter daripada pengejaran yang serba akal dan serba materiil. Dalam suasana ini pula, K.H. Dewantara, yang ingin bertolak dari "Indonesia realia", mencari inspirasi dari kebudayaan Jawa, betapa pun temannya, Dr. Tjipto Mangunkusumo, beranggapan bahwa cita-citanya itu "Javanistis". Kepastian akan identitas komunitas tidak berarti kepastian identitas diri sebagai pribadi dalam masyarakat yang makin majemuk, mobil, dan modern. "Tuti" dan "Jusuf" bisa saja dengan berani mengatakan bahwa bagi mereka "Layar (telah) Terkembang" untuk mengarungi samudera hari depan. Tetapi "Tono", seperti juga "Tini", terlalu menyadari betapa sulitnya memutuskan "Belenggu" kultural, yang masih mengikat langkah. Namun, mereka tetap optimistis. Bukankah, seperti kata "Tono", setelah "Belenggu" itu terputuskan, hari yang lebih cerah akan kelihatan? Kepastian mungkin suatu ilusi, tetapi optimisme adalah suatu kemestian. Maka, Perang Pasifik pun meletus, dan Hindia Belanda berada di ambang kehancuran. "Vaarwel. Tot beteretijden," kata penyiar radio. Tapi, masa yang lebih baik itu tak pernah datang. Hindia Belanda berakhir.
Setelah tiga setengah tahun harus menguji keutuhan bangsa, yang sempat dipecah-pecah oleh Dai Nippon, akhirnya kebulatan tekad yang pernah dirumuskan sebagai "Indonesia Merdeka Sekarang", mendapat kesempatan. Bangsa telah membentuk negara. Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta. Dari Bangsa ke Negara SEPERTI Sumpah Pemuda pada 1928, Proklamasi bukan saja menyimpulkan suasana historis, tetapi juga segera menancapkan diri sebagai paradigma baru. Perdebatan bisa terjadi, tetapi pengingkaran terhadap validitas Proklamasi adalah suatu pengkhianatan. Validitas Proklamasi sebagai paradigma baru didukung oleh peristiwa-peristiwa historis sesudahnya. Jika rapat raksasa di Ikada (September 1945) adalah pengesahan akan wibawa pemerintah baru di mata rakyat, Peristiwa 10 November di Surabaya (Hari Pahlawan) adalah simbol yang teramat keras akan tekad yang pantang beranjak dari Proklamasi.
Dalam semangat kepahlawanan ini, Bandung tercinta jadi "lautan api", dan "Saaman", adik bungsu dari "Keluarga Gerilya": memberikan segalagalanya, termasuk dirinya, demi perjuangan. Demikian hebat keterlibatan dalam perjuangan yang seakan-akan menempuh "Jalan tak ada ujung", sehingga "guru Isa", yang penakut, mendapatkan kejantanannya kembali. Di bawah seruan "Allahu Akbar", para pemuda, sambil berdoa "Tuhanku, di pintu-Mu akan mengetuk", siap pula membuktikan bahwa bagi mereka "Sekali berarti, sudah itu mati". Demi tanah air. Revolusi kemerdekaan adalah saat ketika partisipasi massa dalam perjuangan meluas dan mengental. Dalam suasana ini, perdebatan pun bisa juga terjadi -- "diplomasi" atau "perjuangan" atau "dua lini" bahkan juga "merdeka 100 persen sekarang" atau bertahap, dan sebagainya -- namun bukan saja pencapaian tujuan akhir Proklamasi adalah suatu kemestian, peneguhan legitimasi pimpinan negara pun adalah suatu keharusan. Di luar kedua ketentuan ini, segala tindakan adalah pembangkangan, bahkan pengkhianatan. PKI yang berkhianat di Madiun harus "diselesaikan" dengan keras.
Dengan Proklamasi, fase baru dari kehidupan berbangsa telah dimasuki, dan dengan Konperensi Meja Bundar, pengakuan internasional telah didapatkan. Selanjutnya, sejarah mencatat berbagai peristiwa, RIS dan kembali ke Negara Kesatuan, pemberontakan-pemberontakan separatis atau ideologis, perjuangan Irian Barat, demokarasi parlementer, krisis-krisis kabinet, peristiwa Oktober 1952, pemilihan umum yang "free for all", kemerosotan dalam kehidupan ekonomi, makin menaiknya kekuatan PKI, kemacetan Konstituante, keresahan daerah (yang diiringi oleh keprihatinan ideologis) sampai akhirnya PRRI/Permesta. Optimistis akan keampuhan sistem demokrasi perlementer, akhirnya hanya menghasilkan krisis dalam kehidupan kenegaraan. Tapi, apakah pemecahannya? Demi keutuhan negara, sistem demokrasi parlementer, yang dianggap diimpor dari Barat, ditinggalkan. UUD 45 diberlakukan kembali. Demokrasi, yang merupakan cita-cita kini, telah diberi batasan "terpimpin" dan sesuai dengan "kepribadian bangsa".
Meskipun desentralisasi merupakan retorika, dan otonomi daerah diundangkan, proses ke arah sentralisasi kekuasaan terjadi. Perbedaan antara konsep "konsolidasi" dan "revolusi" dengan kekuasaan telah dimenangkan oleh "revolusi". "Suasana revolusioner" pun di ciptakan pula. Dalam suasanaini keharusan akan solidaritas menjadi lebih penting daripada pembangunan sosial politik. Maka, pembatasan antara "musuh" dan "kawan" harus diperjelas. Perbedaan pendapat politik dianggap sebagai sisa-sisa pemikiran yang liberalistis -- jadi "terkutuk", karena pengaruh Old emerging forces (Oldefo) tetapi kepatuhan kepada ajaran Pemimpin Besar Revolusioner adalah suatu kemestian. Apakah the rediscovery of our Revolution, seperti dikatakan Soekarno, menunjukkan usaha untuk menemukan fitrah Indonesia yang sesungguhnya, setelah terbelok oleh idealisme gaya Barat? Ataukah, periode "Demokrasi Terpimpin", yang didukung oleh Manipol-Usdek, adalah suatu aberration, penyimpangan, dari evolusi sejarah? Sebagai kesatuan politik dan organisasi kekuasaan, kehadiran neaara Indonesia bertolak dari situasi revolusi yang riil. Revolusi kemerdekaan adalah suatu keharusan, karena serangan dari luar.
Kini, setelah sekian lama pengalaman dan sekian banyak kekecewaan, situasi "revolusi" kembali dihidupkan. Hanya saja, suasana ini adalah hasil suatu "kebebasan" memilih, bukan "keharusan" yang dipaksakan. Apakah ini berarti "tidak meninggalkan roda sejarah", ataukah "penyimpangan"? Yang jelas, dalam periode ini Indonesia berhasil mendapatkan kembali Irian Barat, daerah yang sejak awal telah dianggap merupakan bagian integral Republik Indonesia. Indonesia tampil sebagai salah satu pemimpin kelompok Nonblok. Semua gerakan bersenjata antipemerintah praktis diselesaikan. Tapi dalam periode ini pula, Indonesia makin tersisih dari pergaulan dunia internasional, sehingga akhirnya makin melekatkan diri kepada RRC. Dalam periode ini, setiap perdebatan intelektual dimatikan, pemikiran politik menjadi mandul, ekonomi macet, dan roda pemerintahan tertatih-tatih. Di saat segala unsur konflik harus didiamkan dalam slogan revolusioner, unsur-unsur itu makin mengental dalam persaingan internal. Sehingga, ketika peristiwa G-30-S/PKI meletus, yang terjadi bukan saja usaha kudeta yang gagal, tetapi juga robohnya tonggak-tongggak sosial politik yang mendukung kehidupan politik. Ketika tonggak-tonggak tersebut telah saling menimpa, tragedi nasional yang terbesar tak terelakkan lagi. Di atas puing-puing tragedi dan kekecewaan inilah akhirnya Orde Baru berdiri. Kini, "revolusi", yang entah penerusan cita-cita Proklamasi atau entah "penyimpangan historis", telah berganti dengan Pembangunan, ideologi harus ditukar dengan program. "Trace baru" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah mulai. Sistem "aliran" dalam kehidupan sosial politik harus dibendung dengan floating mass.
Suasana revolusi yang spontan dan antagonistik diganti dengan konstitusionalisme dan politik "pintu terbuka". Seperti masa-masa awal "letupan seketika" yang lain, Orde Baru juga diwarnai oleh perdebatan yang kreatif. Apakah arti "adil dan makmur", "pembangunan untuk siapa", apakah growth lebih penting dari equity, apakah corak demokrasi yang sesuai, dan seterusnya. Dalam suasana ini, "restrukturisasi politik" diadakan, melalui Pemilu dan undang-undang kepartaian. Namun, ditengah-tengah kemeriahan "pestapesta demokrasi" ini, sayup-sayup terdengar doa yang sendu, "Tuhan, berikanlah suara-Mu kepadaku," dan pertanyaan yang mencekam, "Juru peta yang Agung, di manakah Tanah Airku?" Di saat derap pembangunan ekonomi sedang menggebugebu, demi kemakmuran bangsa, terdengar juga helaan napas yang tertahan, "Kembalikan Indonesia kepadaku." Pembangunan politik dan ekonomi kadang-kadang memang melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menyentuh harkat kemanusiaan dan harga diri bangsa. Sejak akhir 1970-an, ketika ekonomi makin membaik, dan konsolidasi politik pemerintah makin berhasil, eksplorasi kecendekiaan makin pula beralih kepada masalah teknis dan teknokratis. Prinsip utilitarian makin penting.
Tentu, hal ini bisa dimengerti, sebab di samping keharusan akan adanya stabilitas, demi kelancaran pembangunan, pemantapan ideologi negara, Pancasila, telah makin memperkuat posisi pemerintah. Dengan program P4, pemerintah pun makin tampil sebagai penafsir tunggal ideologi negara. Ketika akhirnya Pancasila diterima sebagai "asas satu-satunya", segala sesuatu telah masuk. Sebab itu, bukanlah ironis jadinya, kalau ketika ekonomi Indonesia sedang mengalami kemerosotan yang parah dan di saat credibility rupiah mengalami krisis, Golkar, partai pendukung pemerintah, tidak saja menang, tetapi menang gemilang. Kini, timbul pertanyaan apakah setelah 20 tahun dimulainya periode pembangunan, fase baru harus dimasuki? Biarkanlah pertanyaan ini berlalu. Pertanyaan yang penting: apakah arti kisah ini semua? Ke arah paradigma baru? DARI uraian yang sugestif dan impresionistik ini, barangkali telah kelihatan bahwa seleksi "fakta historis" ditentukan oleh dua masalah pokok. Pertama, apakah situasi historis yang mengitari "letupan seketika", yang telah menjadi sejarah simbolik itu? Seberapa jauhkah tingkat "keniscayaan historis" dari makna yang terlekat pada tanggal-tanggal tersebut? Kedua, "hikmah apakah yang dapat diambil dari dinamika kehidupan kita sebagai bangsa?" Dalam retorika politik kita, sering peristiwa-peristiwa penting yang telah menjadi bagian dari kesadaran sejarah dipersonifikasikan dengan "angkatan".
Tentu saja, konsep angkatan ini didukung pula oleh "keniscayaan historis". Bukankah masa kurang lebih dua puluh tahun yang mengantari tonggak-tonggak sejarah itu bisa dianggap sebagai peralihan generasi dari sudut demografis? Hanya saja, konsep generasi, sebagai personifikasi peristiwa penting, pada dasarnya bersifat elitis, dan cenderung mengacu kepada imbauan dominasi intelektual maupun kekuasaan. Konsep generasi tidak pula menerangkan hal yang substansial dalam sejarah, kecuali identifikasi dari kelompok yang dominan atau yang mempunyai claim begitu. Pendekatan generasi ini kalau dilewatkan saja, maka di samping ritme sejarah yang mempunyai beat setiap dua dasawarsa (para pengagum Toynbee tentu akan setuju dengan konsep ritme dan beat ini), uraian sugestif di atas memperlihatkan juga beberapa hal lain yang penting. Pertama, seandainya dibolehkan ber-grand design sebentar, tampaklah pertumbuhan, yang unilinear, adalah dinamika sosial, yang dialektis. Kalau Sumpah Pemuda merupakan evolusi dari situasi "kemajuan" (yang kini telah disebut sebagai "kebangkitan nasional"), Proklamasi, yang menghasilkan "negara", meskipun dilakukan secara revolusioner, adalah kelanjutan dari Sumpah Pemuda, yang telah memperjelas batas-batas komunitas "bangsa". Tetapi setiap peristiwa sejarah, yang berfungsi sebagai mitos nasional itu adalah hasil dari proses dialektis. "Letupan seketika" bukan saja merupakan akibat dari proses dialog yang terjadi antara aktor sejarah dan lingkungan struktural, yang merupakan wadah tindakan sejarah, tetapi juga pada gilirannya tampil sebagai paradigma sosial politik.
Sebagai paradigma, peristiwa sejarah yang telah dianggap bermakna itu menentukan batas tentang apa yang dianggap syah dan apa yang tidak, serta menuntut "penyesuaian" realitas dengan janji dan harapan yang implisit dengan dirinya. Jadi, "Proklamasi" bukan saja membedakan dengan tajam antara "pengkhianat" dan "pahlawan", tetapi menuntut validitas dari "negara" yang telah diproklamasikan itu. Karena kedua sifat yang implisit ini, tanggal dari peristiwa itu selalu dikenang, bahkan dirayakan. Dengan mengenang dan merayakan, tuntutan historisnya dijadikan terus aktual dan fungsional. Dengan ritualisasi ini pula, kedudukannya sebagai mitos nasional dijadikan tetap inspiratif dalam kehidupan bangsa. Proses peralihan dari "letupan seketika" menjadi paradigma sosial politik ditandai oleh dinamika dan kreativitas kecendekiaan yang tinggi dan komitmen sosial politik yang dalam.
Paradigma itu tidak saja menjadi tantangan intelektual dan emosional, tetapi juga berfungsi sebagai pendorong ke arah aktualisasi dari potensi nasional. Polemik kebudayaan dan perdebatan ideologi dan strategi perjuangan kemerdekaan tak akan dapat dimengerti tanpa berfungsinya paradigma "Indonesia". "Delapan jalur permintaan", "trilogi pembangunan", dan sebagainya, hanya ada arti dalam suasana taken for granted yang telah diberikan oleh "orde pembangunan". Dalam proses dialektis yang terjadi dalam paradigma ini terjadilah penetrasi dari ide yang dominan ke dalam lapisan-lapisan masyarakat, dan perluasan dari daya jangkaunya. Ide yang semula dianut di kalangan terbatas akhirnya makin meluas dan mendalam. Proses dialektis yang berlangsung dalam paradigma itu akhirnya malah menuju kepada situasi ketika paradigma dirasakan tak lagi memadai. Atau, lebih tepat, tahap baru dalam kehidupan berbangsa sudah harus dimasuki. Ada saatnya kesadaran "bangsa" menuntut kehadiran "negara" -- identitas komunitas baru menuntut adanya organisasi kekuasaan nasional dan ada pula waktunya ketika kehadiran "negara" menuntut dengan keras pengisian janji-janji yang implisit dalam alasan bernegara.
Tragedi nasional yang terjadi di tahun 1965/1966 menunjukkan betapa dinamika intern yang disediakan oleh paradigma "negara Proklamasi" telah dibiarkan mengalami stagnasi atau secara artifisial dikembalikan ke belakang. Ekonomi yang macet, situasi revolusioner yang dibina di saat harapan akan adil makmur sedang menaik, dan tendensi diktatorial yang muncul ketika retorika demokrasi didendangkan, akhirnya menemui jalan buntu. Ketika tonggak-tonggak kekuasaan mengalami krisis, tragedi tak terelakkan lagi. Maka, kini terbesit pertanyaan lain. Apakah ketentuan "Pancasila sebagai asas satu-satunya", dan konsensus nasional ke arah pencapaian tahap "tinggal landas" adalah suatu kelanjutan dari "orde pembangunan" ataukah hanyalah sekadar bagian dari dinamika internalnya? Hanya saja, tentu perlu dicatat, peristiwa ini terjadi di saat "pembangunan" telah makin tampil merupakan permasalahan teknis belaka -- produktivitas, efficiency, dan sejenisnya terlepas dari permasalahan politik dan gagasan kultural.
Peristiwa ini terjadi bukan saja ketika kompartementalisasi aspek-aspek kehidupan telah makin mengeras, seakan-akan kebijaksanaan ekonomi tak perlu dipertanggungjawabkan secara politik, tetapi juga di saat perbedaan formal ideologi telah dirasakan sebagai salah satu penghalang terhadap terwujudnya masyaraKat yang dicitakan. Lebih penting lagi, peristiwa-peristiwa politik telah menunjukkan validitas terhadap pilihan Pancasila sebagai "satu-satunya asas". Pemilu 1987 adalah konfirmasi terhadap semuanya Barangkali memang tak terlalu salah, kalau dikatakan bahwa dengan Pemilu 1987 secara konseptual kita memasuki paradigma baru. Dengan begini, tuntutan historis yang inherent dari paradigma telah pula jelas -- ia adalah tantangan dan sekaligus pendorong aktualisasi potensi kreatif. Paradigma bukan saja memberikan suasana sewajarnya karena bertolak dari simbol dan idiom yang sama-sama dipanami dan dihayati, tetapi juga merupakan wacana. aiscou-se. Sebagai discourse kehadiran yans fungsional dari Pancasila sangat ditentukan oleh intensitas dialog yang diadakan.
Tanpa dialog, kesahihan wacana akan menjadi problematik. Dan. sebagai sejarah simbolik, ia akan kehiiangan daya inspiratifnya. Salah satu hikmah sejarah dari periode the rediscovery of our revolution ialah sikap memperlakukan negara (sebagai hasil Proklamasi) sebagai taruhan (seakan-akan "negara" abadi dalam ancaman), dan meniadakan fungsinya sebagai discourse, tidak hanya telah memungkinkan munculnya peri laku inkonstitusional, tetapi juga menghasilkan jawaban yang anaknonistik terhadap tuntutan "roda sejarah". Sehingga, ketika inkonsistensi telah melampaui batas toleransi, dan di saat pusat kekuasaan sedang lengah, peristiwa yang tak terlupakan pun meletus. Dari hikmah pengalaman sejarah ini, pernyataan Presiden Soeharto, bahwa Pancasila bersifat "terbuka", dan kita harus memahami serta menghayatinya dengan semangat yang "kreatif dan kritis" sangat penting. Pernyataan yang juga telah didukung oleh beberapa pejabat teras ini memang membuka kemungkinan bagi berfungsinya sebagai peletak dasar suasana sosial politik dan kultural yang "sewajarnya", bukan sebagai sesuatu yang harus jadi "taruhan" terus-terusan. Suasana taruhan selalu menggelisahkan, bahkan memualkan, tetapi suasana "wajar" menawarkan rasa nyaman, at home, dan kesegaran. Suasana "wajar" juga memberikan keberanian untuk meninjau kembali gagasan yang selama ini dianggap benar dan mengubah tatanan sosial politik yang barangkali pernah memadai untuk keperluan seketika, tetapi kini telah menjauhkan kita dari suasana normatif yang dicitakan.
Komitmen kepada suasana ini memungkinkan kita terhindar dari nemesis atau kutukan yang selalu mengancam, yaitu tergelincir pada pemberian jawab yang anaknonistik terhadap tantangan zaman yang telah beralih. Apakah ini pemecahan terhadap berbagai masalah sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi? Terang tidak. Dinamika sampingan pembangunan, seperti makin menonjolnya peranan kelas-kelas ekonomi, dan timbulnya aliansi kelas ekonomi dengan status politik, telah terlalu berat untuk dianggap tak ada. Belum lagi desakan dinamika eksternal, yang berada di luar jangkauan untuk bisa diatasi dengan begitu saja. Neraca pembayaran yang negatif, lapangan kerja yang terbatas di saat angkatan kerja makin banyak memasuki pasaran kerja, sumber dana yang terbatas, dan sebagainya, memang bukan masalah yang enteng. Tapi, setidaknya suasana "kewajaran" memberi kemungkinan dimulainya lagi eksplorasi gagasan dan keberanian untuk menjalankan perubahan yang diperlukan. Suasana "kewajaran" lebih memberi harapan bagi terbebasnya kita dari "moral subsistem" -- takut mengadakan perubahan, karena segalanya dirasakan sebagai "taruhan".
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1987/08/15/REF/mbm.19870815.REF32039.id.html
No comments:
Post a Comment