Moh. Shohibuddin
Bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai sekolah anaknya, pesantren-pesantren di desa saya adalah gerbang untuk bisa mengakses pendidikan formal. Pesantren sendiri adalah institusi pendidikan keagamaan dengan segenap sistemnya. Namun bukan itu yang hendak saya bicarakan. Tetapi bagaimana kawan-kawan saya dahulu, berkat mondok di pesantren, dapat mengakses pendidikan formal tanpa dukungan finansial dari orang tua, itulah bagian pengalaman masa kecil saya yang hendak saya bagi di sini.
Beberapa teman saya di pesantren dulu (tentu tidak semua) benar-benar berasal dari keluarga miskin. Mereka pergi mondok hanya membawa tekad yang kuat dan doa restu orang tua. Itulah bekal utama mereka. Bekal material yang mereka bawa saat berangkat mondok itu barangkali tidak lebih dari ongkos perjalanan menuju pesantren, ditambah satu kantong beras untuk bahan makan selama beberapa minggu. Selebihnya, mereka sendiri yang mengukir nasib kehidupannya selama di pesantren.
Senori, desa kelahiran saya, dikenal sejak lama sebagai desa santri. Banyak pesantren terdapat di desa ini, satu sama lain diikat oleh hubungan kekerabatan di antara para pengasuhnya. Suatu pola yang umum menandai jaringan pesantren Nahdliyyin. Jumlah santri di pesantren-pesantren ini bervariasi, kira-kira pada era 1980-an saat saya mondok itu berkisar antara 50-150 orang. Bukan pesantren dengan ukuran besar, memang.
Tetapi selain kekerabatan, ada hal lain yang mengikat pesantren-pesantren kecil itu satu sama lain, kali ini lebih bersifat kelembagaan. Ikatan itu adalah keberadaan Madrasah (sekolah berciri agama) mulai dari tingkat Ibtidaiyah (setaraf SD) sampai ‘Aliyah (setaraf SMU). Secara organisatoris Madrasah ini bukan bagian dari pesantren mana pun, namun hampir semua santri di pesantren-pesantren itu bersekolah di sini. Pendiri dan pengelola Madrasah juga berasal dari pengelola pesantren-pesantren tersebut. Secara kebetulan, atau justru bukan, lokasi Madrasah berada tepat di tengah-tengah aneka pesantren itu. Pada era 1980-an itu, terdapat dua pesantren putra di sebelah timur Madrasah, di sebelah utaranya terdapat satu pesantren putri dan dua pesantren putra, dan kemudian satu pesantren putra di sebelah baratnya. Pesantren yang terjauh hanya berjarak 200an meter saja dari Madrasah. Di luar lingkaran terdekat ini masih bisa dijumpai lagi pesantren-pesantren lain, namun tidak semua santrinya bersekolah di Madrasah ini.
Pesantren menyediakan pemondokan gratis bagi para santrinya, dan kyai tidak meminta bayaran apapun dari mereka. Bagi beberapa teman yang saya ceritakan ini, pesantren bukan sekedar menyediakan pemondokan gratis—satu dasar penting untuk mengawali survivalitas. Menjadi santri juga memberi kesempatan untuk dapat ngabdi atau ngenger. Ngabdi berarti bekerja untuk keluarga kyai baik untuk kerja domestik rumah tangga maupun kerja produktif di pertanian. Seorang teman satu pesantren dan sekaligus duduk sekelas di Madrasah bekerja untuk kategori pertama ini; artinya, dia mendapat kepercayaan kyai untuk bekerja tetap di rumah tangganya. Sedangkan yang kedua, yakni pekerjaan pertanian, bersifat tidak tetap (musiman). Beberapa teman santri lain terlibat di sini pada masa-masa tertentu seiring dengan tahapan produksi padi atau komoditi pertanian lainnya.
Perlu dicatat bahwa pada dekade 1980-an itu pertanian padi di daerah ini masih sangat padat karya. Saya ingat sekali bagaimana teman-teman santri yang bekerja untuk kategori kedua ini nggeblok padi secara manual setelah memanennya di sawah. Ingatan saya juga mengembara kepada batang-batang pohon jambu seukuran pipa yang diletakkan berjajar di dinding rumah kyai setelah habis dipakai nggeblok. Penggunaan mesin dos untuk merontokkan bulir-bulir gabah baru dilakukan keluarga kyai agak lama kemudian. Adopsi teknologi yang agak lambat ini barangkali akibat tersedianya akses tenaga kerja yang cukup mudah (juga murah?) dari para santri.
Ngenger, yakni diangkat menjadi bagian dari rumah tangga yang bukan keluarga sendiri, dapat makan dan memperoleh sekedar topangan hidup dari rumah tangga itu, merupakan tradisi yang banyak ditemukan di lingkungan kebudayaan Jawa. Menjadi santri, pada masa itu, seolah merupakan tiket untuk memperoleh kesempatan ngenger di beberapa keluarga berada yang tinggal di sekitar lingkungan pesantren. Mungkin status kesantrian menyebabkan seseorang mudah mendapatkan atribusi kepercayaan dari komunitas di sekitar pesantren. Mungkin juga warga komunitas yang merekrut santri untuk ngenger memang berniat beribadah dengan membantu orang yang sedang menuntut ilmu agama. Apapun alasannya, komunitas sekitar pesantren dengan lembaga pesantren memang tidak terpisahkan, dan itu juga berlaku di desa Senori pada saat saya mondok itu.
Memperoleh kesempatan ngenger tak ubahnya ngabdi pada keluarga kyai. Artinya, santri yang ngenger di keluarga-keluarga sekitar pesantren itu bekerja untuk urusan domestik rumah tangga mereka. Sebagai imbalan, para santri itu disediakan makanan, dibayarkan iuran bulanan untuk Madrasah (syahriyyah), dan barangkali juga diberikan sekedar uang saku. Dan seperti halnya ngabdi, ngenger juga dapat dianggap sebagai pekerjaan yang kurang lebih bersifat tetap. Bagi mereka yang tidak memperoleh kesempatan ngenger, mereka akan mencari peluang bekerja secara musiman, umumnya kerja pertanian. Sebagian di sawah kyai, seperti dijelaskan di muka. Sebagian di sawah-sawah penduduk desa pada umumnya.
Jangan ditanya berapa gaji yang mereka dapat karena upah uang bersifat relatif. Hal terpenting yang mereka dapat adalah kesempatan untuk bisa menghidupi diri sendiri, dan pada saat yang sama dapat melanjutkan pendidikan formal. Teman-teman santri saya yang bekerja semuanya berhasil menyelesaikan pendidikan formalnya di Madrasah, meski sering usia mereka dengan level pendidikan yang mereka ikuti berselisih amat jauh. Saat saya duduk di kelas 5 MI, misalnya, ada beberapa teman sekelas yang sudah berusia dua puluhan tahun. Memang tidak semua kesenjangan usia itu disebabkan oleh nyambi kerja. Sebagian lain karena mereka sudah pernah sekolah di tempat lain sampai lulus SMP, dan ketika pindah ke Madrasah di Senori harus rela melorot mengulang di kelas 5 MI karena tidak punya background pendidikan agama sama sekali. Sebagai gambaran, di kelas 5 ini kami dulu belajar Kitab 'Imrithi untuk memahami gramatika Arab.
Namun adakalanya pekerjaan musiman sulit diperoleh, misalnya pada masa-masa paceklik. Bahkan di antara para santri yang cukup mampu, ada saat-saat ketika sebagian mereka mengalami kehabisan beras dan tidak beruang sama sekali. Dalam hal demikian, tersedia cara untuk menyediakan solusi sementara bagi kasus-kasus semacam ini, setidaknya dalam hal jaminan makanan.
Pada masa itu, sebagian besar santri memasak sendiri makanan mereka, dan untuk itu mereka membentuk kelompok-kelompok masak yang anggotanya berkisar antara 3 sampai 6 orang. Makanan favorit para santri adalah terung bakar. Ini bisa dibuktikan dari berbagai predikat yang dilekatkan pada jenis sayuran ini. Terung sering disebut ingkung dan memakannya adalah ibarat makan panggang ayam. Tanpa merasa perlu membuktikan kebenarannya, di kalangan santri juga beredar pernyataan Arab yang konon adalah hadits Nabi: al-badzinjan dawaun li kulli da' (terung adalah penawar segala penyakit). Makanan favorit lain adalah jamur yang biasa kami cari di kompleks pekuburan atau pinggiran sungai yang berada di belakang pesantren. Lagi-lagi, karena makan sayur jamur juga dianggap setara dengan makan daging ayam.
Bagian paling seru dalam ritual makan di pesantren adalah saat kegiatan memasak usai, dan nasi sudah ditumpahkan beserta sayurnya ke atas nampan yang ditaruh begitu saja di atas tanah. Semua anggota kelompok akan duduk mengelilingi nampan, dan tanpa aba-aba langsung berlomba menyantap hidangan dalam keadaan masih lumayan panas. Saya biasanya selalu kalah dalam ritual ini karena dua alasan: saya tidak bisa makan terlalu pedas, maupun terlalu panas. Dalam hal demikian, biasanya yang lain menoleransi dengan menyisihkan sesudut bagian dalam nampan itu yang tidak diguyur kuah, dan membiarkan saya makan sedikit lebih lambat menunggu nasi cukup dingin. Atau, kadang-kadang, saya hanya makan sedikit saja dan sebagai ganti meminta jatah istimewa dessert ala pesantren, yaitu kerak nasi yang masih tersisa di periuk.
Para santri biasanya langsung menuangkan air sumur (tentu saja air mentah) ke periuk dengan kerak nasi yang masih menempel keras di dasarnya. Dibiarkan beberapa lama, air di periuk itu akan menjadi sangat segar dengan rasa khas yang timbul dari proses senyawa nasi gosong dengan "berkah pesantren". Itulah yang membuat para santri tidak pernah sakit perut atau terserang flu gara-gara minum air mentah... :) Dan itulah cara para santri meminum air sesegar es tanpa harus memiliki kulkas. Nah, kerak nasi yang telah lunak karena direndam air itulah yang menjadi dessert istimewa yang selalu diperebutkan usai makan. Para santri biasa menyantapnya dengan hanya dicampur garam atau sedikit sayur atau sambal yang terlebih dulu disisihkan.
Kembali ke santri yang karena berbagai sebab kehabisan beras atau uang saku tadi. Sudah menjadi kode etik di antara para santri selalu menawari kawan santri yang sedang melintas atau melongok dapur untuk ikut bergabung makan. Dan akan selalu tersedia tempat di lingkaran sekeliling nampan bagi orang baru yang hendak bergabung. Para santri punya cara duduk jongkok sendiri dalam menghadapi nampan ini: kaki kanan diajukan mendekati nampan dan kaki kiri ditarik ke belakang dengan posisi ujung kaki berjinjit sebagai tumpuan duduk. Tangan kanan ditumpangkan di kaki kanan yang dimajukan tersebut selama mengambil dan menyuapkan makanan. Itulah cara untuk menghemat tempat. Katanya, itu juga posisi duduk supaya rasa kenyang bertahan lama.
Para santri yang sedang bokek biasanya akan meminta bergabung dalam salah satu kelompok masak yang ada. Tentu saja dia akan ditawari bergabung di kelompok masaknya sendiri, namun yang bersangkutan akan merasa memberatkan jika hanya numpang di satu kelompok saja. Demikianlah, dia diberi hak untuk numpang di kelompok-kelompok lain secara bergantian. Saya ingat ada istilah khusus bagi seseorang yang menyatakan keinginan untuk bisa ikut bergabung makan ini, sayang saya lupa istilah tersebut. Namun intinya berarti meminta bergeser tempat duduk supaya dia bisa bergabung mengelilingi nampan.
Demikianlah, dengan cara itu semua, pada masa saya mondok itu saya dapat menyaksikan sendiri bagaimana pesantren memberikan sarana fisik, modal sosial, dukungan kultural dll bagi semua lapisan ekonomi yang memungkinkan santri dari keluarga paling miskin sekalipun dapat mengakses pendidikan formal. Suatu hal yang dalam kasus desa saya era 1980-an itu dimungkinkan oleh keterpaduan tiga komponen dari sistem pesantren, yakni lembaga pesantren itu sendiri, komunitas pesantren (dibentuk dari interaksi erat kyai, santri, dan lingkungan sekitar pesantren), dan Madrasah.
Saya sendiri, yang menampilkan diri sebagai pengamat-peserta dalam cerita di atas, bukanlah bagian dari kelompok santri yang terpaksa harus laku prihatin semacam itu. Sebaliknya, saya berada dalam posisi yang membuat saya turut menerima dan menikmati pelayanan sebagian mereka: keluarga kyai. Oleh karena itu, saya sangat menaruh hormat pada kawan-kawan saya yang dulu harus bekerja keras untuk dapat menyambung hidup dan bersekolah selama di pesantren. Dan pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan untuk kesekian kalinya pada mereka itu tanpa harus menyebutkan nama.
Dan hidup memang ajaib. Di antara kawan-kawan itu saat ini ada yang sudah menjadi pemimpin agama (kyai) di kampungnya, memimpin langgar atau pesantren kecil, atau menjadi guru Madrasah setempat. Ada juga yang menjadi wiraswasta yang cukup berhasil di kampungnya. Dua lebaran silam saat berkesempatan pulang kampung (mudik), saya sempat bertemu dengan salah satu kawan tersebut. Saat itu dia mengajak keluarganya berkunjung ke Senori untuk silaturrahim ke pesantren tempat dia belajar dulu. Dia sudah menjadi kyai di kampungnya.
Saya meninggalkan pesantren Senori pada tahun 1990. Dunia sudah berubah banyak sejak itu, dan mungkin pesantren juga demikian. Namun tradisi pesantren yang baik seperti tercermin di atas semoga tetap berlanjut senantiasa, walaupun dalam bentuk yang berbeda. Seperti jargon pesantren yang tetap saya hafal, al-muhafazhatu ‘ala ‘l-qadimi ‘l-shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadidi ‘l-ashlah. Semoga.
No comments:
Post a Comment