Kampung Perkotaan di Indonesia:
Kajian Historis, Antropologis, Kesenjangan Sosial,
dan Ruang Kota
A. Tema
Fokus dari kegiatan workshop ini adalah kampung-kampung urban sebagai sebuah konstruksi historis, unit sosial terpenting dari perkotaan Indonesia, dan suatu wilayah yang secara terus menerus menjadi target dari politik negara. Secara sederhana dan jelas, kita melihat kampung urban sebagai konstruksi hibrida kolonial: ia berkembang dari suatu asal mula pra-modern tetapi juga secara fundamental merupakan suatu produk ‘modernitas’. Selama seratus tahun terakhir, kampung-kampung telah menjadi target dari intervensi pemerintah, sementara di lain sisi ia telah mengembangkan kehidupannya sendiri.
Tujuan dari workshop ini adalah untuk menganalisa bagaimana penduduk kampung maupun negara telah mendefinisikan kampung urban, bukan saja sebatas konsep tetapi juga – dan lebih penting, ialah sebagai realitas sosial yang hidup setiap saat. Adanya suatu pengkonsepan oleh penduduknya maupun maupun oleh negara telah berperanan penting dalam membentuk kehidupan nyata di perkampungan tersebut. Konsep adalah nyata ketika konsekuensi-konsekuensinya juga nyata. Proses pengkonseptualisasian oleh penduduk kampung dan negara dalam banyak hal telah saling mempengaruhi, mempertentangkan, memperkuat satu sama lain.
B. Konseptualisasi Politik Negara
Pengertian yang pasti akan istilah kampung bersifat elusif (Hasselgren 2000:359; Jellinek 1991:xiii; Krausse 1978:11; Nas et al. 2006; J. Sullivan 1992:20). Kampung-kampung telah sesekali muncul di pusat perkotaan, bisa sebagai suatu daerah kumuh yang ditinggalkan, akan tetapi lebih sering merupakan wilayah rural yang terserap oleh perluasan ruang kota. Perkampungan ini pada awalnya dibangun sebagai ruang, dimana melalui proses intensifikasi pembangunan semakin banyak orang pindah untuk bermukim di kampung-kampung (Jellinek 1991: 1-15).
Mengambil sejarah asal usul sebagai bagian yang menentukan dari identitas kampung, kita akan mendefinisikan kampung sebagai pemukiman bersama yang muncul begitu saja, bukan bagian dari suatu rencana penataan ruang bangunan dan jalan-jalan. Definisi ini mengambil perspektif “dari balai kota”, memiliki keuntungann bahwa ia dapat memperlihatkan unsur pendorong sebagian besar dari tindakan negara. Penempatan lahan biasanya tidak teratur dalam bentuk dan ukurannya, pola-pola pemukiman cenderung zigzag, dan rumah-rumah umumnya dibangun sendiri. Pada akhir abad ke-19, pemerintah kolonial menandai kampung dengan identitas tersendiri, dan menempatkannya dalam sebuah kebijakan administratif yang otonom, akan tetapi hal inilah juga yang memisahkan penduduk kampung dari modernitas.
Mulai abad ke-20, kaum birokrat modern dengan cara pandang seperti negara, melihat suatu yang problematis. Respon standar dari hal tersebut adalah ‘perbaikan kampung’, sebuah pendekatan politis yang diperkenalkan pada tahun 1920-an dan terus berlangsung hingga sekarang (Colombijn 2009). Politik tersebut tersirat dari wacana negara bahwa kampung adalah kotor, bermasalah, dan membutuhkan intervensi luar -- dalam hal ini negara. Penemuan kampung sebagai unit analisis dan bagian dari teknik-teknik pengawasan sosial telah membentuk konsepsi awal abad ke-20 mengenai modernitas, dan asumsi pokok bahwa penghuni kampung kekurangan akses terhadap berbagai atribut modernitas. Jadi, intervensi negara bertujuan untuk perbaikan taraf kehidupan sedemikian hingga untuk membuat keberadaan kampung menjadi dapat dibenarkan.
Pandangan negara terhadap kampung tidak semata-mata rasional dan analitis-teknnokratis. Penciptaan stereotip negatif terhadap kampung berakar mendalam pada ketakutan kelas menengah (‘abdi negara’) terhadap massa (Siegel 1999) dan mimpi Orde Baru untuk menciptakan keteraturan dalam ranah publik (Pemberton 1994). Pada dasarnya orang ingin mendobrak batasan sosial karena ingin meninggalkan kampung-kampung yang ’mengganggu’ dibawah mereka ketika – dalam penggambaran Abidin Kusno (2000) – mereka memacu mobil-mobilnya melintasi jalan-jalan layang di atas kampung-kampung kota Jakarta.
C. Konseptualisasi Wilayah yang Ditinggalkan atau Tempat yang
Bermakna
Sementara itu, bagi banyak penduduk kampung, wilayah mereka samasekali tidak kacau dan mereka dapat dengan mudah menemukan jalan di sekitarnya. Meskipun kampung-kampung biasanya jauh dari penataan dan perencanaan, tentu saja masih ada unsur tatanan di dalamnya. Masjid, makam keramat, atau pasar tradisional kecil dapat menjadi titik fokus dari kampung. Masjid biasanya dibangun berdasarkan arah kiblat, sementara berbagai kebiasaan juga berpengaruh terhadap orientasi rumah-rumah (Barker 1999: 100-1; Nas et al. 2006; Silas 1988: 223-5). Bangunan-bangunan, jalan raya dan jalan setapak telah menstruktur interaksi dalam masyarakat (N. Sullivan 1994).
Kampung-kampung menjadi tempat yang nyaman dan bermakna bagi para penghuninya pada beberapa hal tertentu. Mike Davis (2006), menggambarkan ledakan atau pertumbuhan pesat kawasan kumuh dalam Planet of Slums termasuk juga kasus di Indonesia. Kehidupan dapat menjadi semacam roda keberuntungan (Jellinek 1991) atau seperti temperatur udara (Fergusson 1999): ia tentu saja dapat naik dan turun tanpa perkembangan atau kemajuan yang berarti.
Berlawanan dengan pendirian fatalistik seperti roda keberuntungan, para penduduk kampung sungguh-sungguh memiliki peran aktif dan telah menggunakannya. Pandangan umum kaum akademisi terhadap mereka telah bergeser dari gambaran orang miskin yang pasif menjadi orang-orang miskin yang berjuang untuk bertahan hidup bahkan melawan. Perlawanan tersebut mengambil bentuk sehari-hari “senjata orang-orang lemah” (Scott 1985), atau apa yang disebut Asef Bayat (2000), ‘protes bisu dari rakyat jelata’.
Ketika para penduduk kampung mungkin menolak definisi dan stereotip negatif oleh negara/pemerintah atas diri mereka, mereka tidak dapat mengabaikan keberadaan negara, karena kesalahan konsepsi negara atas mereka itu bersifat nyata dalam konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, sejak masa kolonial, diskursus negara atas modernitas, kesehatan dan polusi telah berdampak pada klasifikasi terhadap penduduk kota dan pembeda-bedaan terhadap pola pemukiman, dengan akibat pada suplai air. Kampung-kampung cenderung tidak terakses oleh cadangan air bersih (Kooy dan Bakker, 2008). Kampung-kampung menjadi ‘kawasan coklat yang tertinggal’, suatu cacat dalam perkembangan kota (Rodgers 2006; Jaffe 2006). Bagaimanapun sikap penduduk kampung terhadap pemerintah tidak saja merupakan sebentuk perlawanan atau pengabaian terhadapnya, menjaganya untuk berada diluar dari lingkungan mereka. Mereka juga ingin menekan pemerintah untuk menyediakan kepada mereka sejumlah fasilitas : air bersih, hak atas tanah, sekolah, dan sebagainya.
D. Metodologi: Pendekatan Historis-Antropologis
Kami akan menggunakan pendekatan historis dan antropologis untuk memahami kampung sebagai sebuah konstruksi masyarakat yang menyejarah, dan sangat menentukan dalam memahami masyarakat urban Indonesia pada saat ini. Kami tidak melihat penduduk kampung sebagai korban kemiskinan, atau penerima pasif bantuan pemerintah atau donatur internasional. Kami tidak juga menganggap penduduk kampung sebagai sekelompok orang dengan atribut ‘berpenghasilan rendah’, melainkan terfokus pada tingkatan bagaimana mereka terorganisasi dan terhubung melalui jaringan modal sosial. Jadi, penekanan adalah lebih pada peran dan keagenan, sebuah pemahaman terhadap soal kekinian dengan berperspektif kesejarahan.
E. Tujuan Konferensi
Tujuan penyusunan dan publikasi dari hasil seleksi paper-paper yang masuk adalah untuk dipublikasikan pada edisi spesial dari jurnal ilmiah dalam bidang antropologi, sejarah, kajian pembangunan, kajian urban atau kajian Asia. Bentuk publikasi ini akan memudahkan untuk mengakses data kepustakaan secara online. Selain itu, paper-paper dapat dipublikasikan dalam sebuah edisi khusus yang telah diedit. Kemudian, kami bermaksud untuk mengeluarkan suatu edisi berbahasa Indonesia yang telah diedit (termasuk terjemahan Indonesia dari paper-paper berbahasa Inggris), untuk memfasilitasi seminar dan diskusi mengenai permasalahan tersebut di Indonesia.
Acara workshop ini akan mengumpulkan satu tim ilmuwan muda, ilmuwan karir menengah ataupun ilmuwan yang sudah sangat berpengalaman. Semua kelompok ini akan saling berbagi wawasan dari yang lainnya. Kami berharap bahwa perpaduan ini akan menghasilkan suatu interaksi yang kreatif dan dapat mendorong kerjasama lebih lanjut baik melalui riset bersama, workshop dan publikasi-publikasi.
Relevansi politis dari workshop ini terletak pada pemahaman yang lebih baik akan kehidupan kaum miskin kota. Workshop ini memiliki keterkaitan yang jelas dan praktis dengan pengembangan kebijakan. Ia dapat membangun suatu fokus bagi pemahaman yang lebih baik akan struktur masyarakat urban secara ‘real’, dan juga untuk pengambilan kebijakan yang lebih efektif. Suatu analisis yang memadai terhadap situasi ini akan dapat membangun basis yang kuat bagi pengambilan kebijakan politis. Workshop ini juga akan berkontribusi besar bagi pengembangan kapasitas Jurusan Sejarah khususnya bagi Universitas tuan rumah (lihat lebih lanjut pada tujuan pertemuan).
Akhirnya, kami berharap dapat bekerjasama melalui Michelle Kooy dan Stephen Cairns (University of Edinburgh), yang telah mengadakan suatu pameran di Jakarta mengikuti acara Architectural Bienalle.
F. Pembicara (Nara Sumber)
Australia
1. Sharon Bessell, Senior lecturer Crawford School of Economics and Government, Australian National University (confirmed)
2. Joost Coté, Senior lecturer School of History, Heritage and Social Inquiry, Deakin University (confirmed)
3. Michelle Ford, Senior lecturer Department of Indonesian Studies, The University of Sydney (confirmed)
4. Lea Jellinek, Research Fellow, Monash Asia Institute, Monash University, Melbourne (confirmed)
5. Robbie Peters, School of Social Sciences, La Trobe University, Melbourne (confirmed)
Belanda
6. Freek Colombijn, Associate Professor Department of Social and Cultural Anthropology, VU University (confirmed)
7. Annemarie Samuels, PhD candidate Department of Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University (invited)
8. Ratna Saptari, Lecturer Department of Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University (confirmed)
9. Gerry van Klinken, Royal Netherlands Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies KITLV (confirmed)
Indonesia
10. Purnawan Basundoro, Department of History, Universitas Airlangga (confirmed)
11. Sarkawi B. Husain, Department of History, Universitas Airlangga (confirmed)
12. Johny Alfian Khusyairi, Department of Sociology, Universitas Airlangga (confirmed)
13. Michelle Kooy, Department of Geography, University of British Columbia, Vancouver, seconded to Mercy Corps Indonesia, Jakarta (confirmed)
14. Fajar Kresno Murti Yoshi, Yayasan Pondok Rakjat, Yogyakarta (invited)
15. Tjahjono Rahardjo, Environmental and Urban Studies Graduate Program, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang (confirmed) dan;
16. Beberapa peserta lain dari Perguruan Tinggi di Indonesia yang lolos seleksi abstrak.
G. Waktu dan Tempat
Waktu : 19 – 22 Januari 2009
Tempat : Hotel Mercure, Jalan Raya Darmo, Surabaya
Kontak acara: Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Email : Icuk2010@gmail.com Telp +62 31 503 3080, 503 5676, ext. 206, Fax +62 31 503 5807
No comments:
Post a Comment