Oleh : Siswo Dwi Martanto
Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional seorang guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggungjawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara eksternal maupun internal diidentifikasikan sebagai berikut. Faktor-faktor eksetrnal mencakup guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi siswa menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Dengan kata lain siswa tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif. Guru juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir dibidangnya (state of the art) dan kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge). Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal (Anggara, 2007:100).
Selama KBM guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan unuk mengikuti pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa belum mampu mempelajari fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum mampu menerapkannya secara efektif dalam pemecahan. Di era globalisasi ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan.
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan kering dan membosankan. Menurut cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominant group seperti rezim yang berkuasa, kelompok elit, pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa sebagai pelaku sejarah zamannnya (Anggara, 2007:101).
Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia umumnya. Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Namun sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pendidikan sejarah (Alfian, 2007:1).
BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, profesionalisme guru sejarah dan lain sebagainya.
Yang pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan dalam Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah.
Taufik Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah dalam Alfian, 2007:2). Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan.
Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk dirubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto, dkk, 2009:10). Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13).
Kedua adalah masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik menjadi berkualitas. Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai komponen, seperti, tujuan, konten dan organisasi konten, proses yang menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar dan asessmen hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat pula berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau program.
Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan mata pelajaran sejarah berada didalamnya. Akan tetapi materi-materi yang diberikan dalam kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun para pemerhati sejarah baik dari pemilihannya, teori pengembangannya dan implimentasinya yang seringkali digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian, 2007:3).
Ketika Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk mendukung maksut tersebut. Tentu saja kurikulum sekolahan dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal masa Orde Baru kemudian mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kurikulum sejarah juga mengalami penyempurnaan. Demikian seterusnya terjadi beberapa perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3). Kurikulum yang dipakai arahannya kurang jelas dan sangat berbau politis, artinya kurikulum yang digunakan tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa. Sejarah dijadikan alat untuk membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai perjalanan sejarah bangsa dengan mengagung-agungkan rezim yang mempunyai kekuasaan. Sistem pembelajaran yang diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk berfikir kritis mengenai suatu peristiwa sejarah, sehingga siswa seakan-akan dibohongi oleh pelajaran tentang masa lalu (Anggara, 2007:103).
Selain masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak kalah pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah. Menurut Lerissa (dalam Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem pendidikan nasional mulai diterapkan di Indonesia tahun 1946. Saat buku ajar yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah adalah karangan Sanusi Pane yang berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas permintaan pihak Jepang pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950. Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah menengah (3 Jilid). Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang dikarang oleh Subantardjo.
Pada tahun 1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) mengadakan “Seminar Sejarah II” di Jogjakarta dan menghasilkan sebuah keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan perguruan tinggi dan bisa dijadikan sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku yang terdiri dari 6 jilid itu, kemudian juga tidak luput dari permasalahannya dan sempat memunculkan pertentangan. Tidak semua penulis menggunakan metodo;logi yang sama yang telah ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono Kartodirdjo (pendekatan structural); masing-masing penulis membawa tradisi ilmiah yang telah melekat pada dirinya (i structural atau naratif/kisah). Pada masa itu perbedaan antara pendekatan structural dan pendekatan naratif secara metodologis tidak bisa dijembatani sama sekali. Masing-masing mempunyai domain sendiri-sendiri. Konflik yang berkepanjangan ini menyebabkan Sartono mengundurkan diri dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Setelah buku tersebut dicetak ulang (1983-1984) sebagi editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun entah kenapa kabarnya buku itu tidak diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105).
Hampir seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi. Hampir seluruh penulis buku hanya membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami jiwa kurikulum dengan baik. Sebagian besar penulis buku juga tidak paham sejarah sebagi ilmu, historiografi, dan tertinggal sangat jauh dalam referensi mutahkir penulisan (Purwanto, 2006:268).
Masalah profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini masih berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi apa isi yang ada dalam buku (Anggara, 2007:102). Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Bahkan banyak kasus ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai siswa agar yang bersangkutan dapat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir sejarah Indonesia. Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi guru sejarah itu hanya berkutat pada substansi historis dan metode pengajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268).
Pengajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995:143).
SOLUSI PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH
Salah satu metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan siswa aktif dan guru sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme, inquiry, dan cooperatif learning. Kontruktivisme adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104). Pembelajaran sejarah kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Metode inquiry juga sesuai dalam pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Penggunaan model pembelajaran cooperatif learning menempatkan guru sebagai fasilitator, director-motivator dan evaluator bagi siswa dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan berfikir kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat.
Kurikulum sejarah merupakan suatu konsep atau kontrak yang merencanakan pendidikan sejarah bagi sekelompok penduduk usia muda tertentu yang mengikuti jenjang pendidikan tertentu. Tujuan dari lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus dikembangkan bagi peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu kurikulum pendidikan sejarah digambarkan dalam bentuk tujuan, materi/pokok bahasan, cara belajar peserta didik, dan asessmen hasil belajar baik dalam bentuk perencanaan tertulis maupun imlementasinya. Untuk kemudian dilakukan evaluasi kurikulum untuk mengetahui keberhasilan atau kagagalan kurikulum dalam mencapai tujuan (Hasan dalam Nursam, dkk. (ed)., 2008:421).
Untuk dapat kembali mengajarkan sejarah secara baik dan menarik, pendidik mempunyai keleluasaan mengolah dan menata materi yang ada. Sudah barang tentu tidak mungkin topik yang ada dalam kurikulum dapat diselesaikan dengan alokasi waktu yang tersedia. Untuk itulah bagaimana pendidik mengontrol berbagai materi pengajaran yang memungkinkan dipelajari di luar kelas. Kurikulum yang baik untuk kelas tertentu adalah yang cocok, terencana dengan baik, sesuai, menyajikan pemikiran yang bijaksana dan sistematis. Tujuan kurikulum adalah membuka peluang melalui perencanaan yang bijaksana bagi tumbuhkembangnya mata pelajaran dan para siswanya (Hariyono, 1995:172 ; Kochar, 2008:68).
Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 tahun 2005, maka pengembanagn kurikulum pendidikan sejarah dimasa mendatang adalah tanggungjawab satuan pendidikan. Artinya, pengembangan kurikulum pendidikan sejarah SD, SMP, SMA menjadi tanggungjawab masing-masing sekolah tersebut. Melalui pengembangan dan penempatan sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang dasar, terlepas apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah ataukah mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat (Hasan, 2007:8-13). Kurikulum sejarah tersebut harus mampu mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa mendatang, yaitu (1) semangat yang kuat, (2) kemampuan berpikir baik yang bersifat proaktif maupun reaktif (3) memiliki kemampuan mencari, memilih, menerima, mengolah dan memanfaatkan informasi melalui berbagai media (4) mengambil inisiatif (5) tingkat kreativitas yang tinggi dan (6) kerjasama yang tinggi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998:130).
Sedangkan untuk mengatasi permasalahan buku teks harus ada kriteria yang baik. Salah satu kriteria buku cetak yang baik menurut Kochar (2008) adalah buku cetak harus bersih dari indoktrinasi. Buku cetak harus menyajikan pandangan yang adil tentang berbagai macam ide yang disampaikan pada fase kehidupan tertentu. Buku ini harus tidak mengandung sekumpulan pendapat yang sempit, tidak mengandung terlalu banyak nasionalisme hingga cenderung membelenggu, kaku, dan resmi. Buku ini harus tidak menanamkan kebiasaan memberikan tanggapan secara spontan tanpa berpikir terlebih dahulu, penilaian yang menyakitkan dan tanggapan yang emosional. Pandangan yang bias dan prasangka penulis harus tidak tercermin didalam lembaran buku cetak. Buku cetak yang dipergunakan siswa harus mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak ada yang lain selain kebenaran.
Ada bahaya dibalik pemakaian buku cetak tunggal karena akan menciptakan batasan-batasan. Siswa cenderung mengembangkan ide yang salah bahwa sejarah sama artinya dengan buku cetak. Dan sebagus apapun buku tersebut tidak akan cukup untuk mendukung siswa dalm belajar. Jadi, saran alternatifnya adalah gunakan buku cetak tunggal sebagi pendukung, dan sediakan serangkaian buku cetak lainnya yang masing-masing mewakili subjek permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Cara ini akan meminimalkan kecenderungan untuk bergantung sepenuhnya pada buku cetak. Selain itu, siswa akan mampu membandingkan dan menyelaraskan sudut-sudut pandang yang berbeda (Kochar, 2008:175).
Sejarah haruslah diinterpretasikan seobjektif dan sesederhana mungkin. Ini dapat terlaksana hanya jika guru sejarah memilki beberapa kualitas pokok. Menurut Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimilki guru sejarah adalah penguasaan materi dan penguasaan teknik. Dalam penguasaan materi, guru sejarah harus lengkap dari segi akademik. Meskipun ia mengajar kelas-kelas dasar, guru sejarah harus sekurang-kurangnya bergelar sarjana dengan spesialisasi dalam periode tertentu dalam sejarah. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, sebagi tambahan untuk subjek yang menjadi spesialisasinya, guru sejarah harus dapat memasukkan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Setiap guru harus sejarah harus memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa modern, sejarah filsafat, sejarah sastra, dan geografi. Dalam penguasaan teknik, guru sejarah harus meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam pembelajaran sejarah. Ia harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik.
Pendidikan dan pembinaan guru perlu ditingkatkan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan dalam jumlah yang memadai, serta perlu ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya termasuk pemberian penghargaan bagi guru yang berprestasi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998: 129). Maka dari itu secara professional, guru sejarah harus memilki pemahaman tentang hakikat pembelajaran sejarah, tujuan pembelajaran sejarah, kompetensi-kompetensi apa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, nilai-nilai apa yang dibutuhkan dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, sebelum nantinya guru dapat menentukan metode atau pendekatan yang digunakan (Anggara, 2007:102-103).
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Magdalia. 2007. ‘Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi’. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Anggara, Boyi. 2007. ‘Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah- Masalah Sosial Kontemporer’. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Gunawan, Restu (ed). 1998. Simposium Pengajaran Sejarah (kumpulan makalah diskusi). Jakarta : Depdikbud
Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya
Hasan, Hamid S. 2007. ‘Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi’. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Kochar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta : Grasindo
Martanto, SD, dkk. 2009. ‘Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk Meningkatkan Minat Belajar Siswa’. PKM-GT. Semarang. Tidak Dipublikasikan
Nursam, M. dkk (ed). 2008. Sejarah yang Memihak : Mengenang Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta : Ombak
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak
Purwanto, Bambang dan Adam AW. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta. Ombak
Widja, I Gde. 1989. Dasar – Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta : Debdikbud
No comments:
Post a Comment