YOGYAKARTA, (TNI Watch! 29/2/2000). Sejarah ditulis oleh yang menang. Sebagai pemenang dan berkuasa selama 32 tahun, Orde Soeharto telah menulis berbagai sejarah sesuai kemauan rezim itu. Salah satunya adalah sejarah soal Surat Perintah 11 Maret dan tentang Gerakan 30 September 1965. Kini yang jadi perbincangan menarik di Yogyakarta adalah: benarkah Soeharto adalah inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang terkenal itu?
Selama Orde Baru berkuasa, Soeharto dan pemerintahannya mengklaim, bahwa penggagas atau yang berinisiatif atas peristiwa enam jam di Yogyakarta itu adalah mantan presiden kedua RI itu. Peran Sri Sultan HB IX dipinggirkan. Klaim itu tak hanya melalui buku-buku sejarah yang dipergunakan jutaan siswa sekolah, melainkan juga melalui film. Dalam film bertema SU 1 Maret 1949 adegan pertemuan Soeharto dengan Sri Sultan HB IX dipangkas.
RRI Yogyakarta menyiarkan secara langsung pelurusan sejarah Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 melalui siaran dialog interaktif melibatkan tiga sejarahwan yang dipancarluaskan Programa Nasional RRI Jakarta, Senin (28/2) pagi. Berikut hasil dialog interaktif yang disarikan dari Bernas (29/2). Dalam dialog interaktif menghadirkan sejarahwan UGM Drs Adaby Darban SU, sejarahwan USD Dr PJ Suwarno dan Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional Depdiknas Prof Dr Anhar Gonggong (melalui RRI Jakarta), saksi sejarah Brigjen TNI (Purn) Marsudi dan Wakil Kepala Monjali (Monumen Yogya Kembali) Sukardono. Suwarno mengemukakan, keterangan-keterangan lisan seperti yang diungkapkan Marsudi, bahwa sebelum SU 1 Maret 1949 Soeharto menemui Sri Sultan HB IX di Kraton, benar adanya.
Bahkan, dia pun memperkuat pengakuan terhadap keterangan lisan itu dengan bukti bahwa Sri Sultan HB IX mengirim surat ke Panglima Besar Jenderal Sudirman yang isinya minta izin untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap Belanda. Surat ini dibuat setelah pada awal Februari dia mendengar dari radio bahwa PBB akan membicarakan Indonesia. "Jadi, mengenai siapa yang berinisiatif cukup jelas, tentu saja Sultan," kata sejarahwan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Adapun Adaby Darban hanya mengharapkan agar saksi sejarah yang masih hidup memberikan keterangan sebagai sumber sejarah lisan secara bebas. Mengenai surat dari Sultan HB IX kepada Jenderal Sudirman dinilainya sangat penting. Dari RRI Jakarta Dr Anhar Gonggong mengatakan bahwa dirinya lebih percaya bahwa inisiatif SU 1 Maret datang dari Sultan. "Hasil seminar Seskoad yang mencari jalan tengah justru tidak benar. Kontraversi bukan dicari jalan tengahnya, tapi mana yang benar," kata Direktur Jarahnitra Depdiknas itu seraya menambahkan bahwa sebagai pelaksana dan pengatur strategi penyerangan memang Soeharto.
Mengenai seminar Seskoad (sekitar 1988) ternyata Marsudi mengungkapkan satu peristiwa yang ganjil. Menurut mantan perwira intel anak buah Letkol Soeharto itu, menjelang seminar Dan Seskoad Mayjen Darwanto menghadap Sri Sultan HB IX di Jalan Prapatan, Jakarta. Dia yang mengerti masalah SU 1 Maret ini peka ingin menanyakan kepada Sri Sultan. Dalam seminar kemudian saya menanyakan hasil pertemuan itu. Dijawab oleh Dan Seskoad, "Yang satu ini saya tidak berwenang menguraikan". "Jadi saya bertanya, bagaimana ini? Kok dicegah agar tidak diutarakan dalam seminar,"
ujar warga Jalan Namburan Lor, Yogyakarta, itu.
Di luar keterangan sejarahwan dan Marsudi tambahan keterangan yang menguatkan bahwa inisiatif SU Sri Sultan datang dari dua penelepon, yaitu Batara Hutagalung (Jakarta) dan Drs Arismunandar (Jakarta). Menurut Hutagalung, yang mengaku anak Dr Hutagalung, dia menyimpan dokumen ayahnya yang menunjukkan bahwa pada 18 Februari 1949 ayahnya ditugasi Pangsar Sudirman untuk menyampaikan surat Perintah Siasat kepada Bambang Sugeng (Komandan Brigade X) di Gunung Sumbing.
Surat Pangsar Sudirman itu, katanya, dibuat berdasarkan surat dari Sultan. Kemudian berdasarkan surat itu pula, Bambang Sugeng mengirimkan perintah siasat kepada Komandan WK III Letkol Soeharto. Jadi, katanya menyimpulkan, memang Sri Sultan lah yang berinisiatif.
Adapun Arismunandar (saat itu anggota Korps Mobile Brigade), yang mengaku adik almarhum KRT Sudarisman Purwokusumo, menyodorkan interpretasi konteks saat itu mengenai siapa yang mendengarkan siaran radio luar negeri. "Saat itu, yang punya radio dan bisa mendengar siaran radio VOA atau radio Netherland sangat terbatas, yaitu Sultan dan Sudarisman di Kepatihan. Jadi, dari situ memang bisa disimpulkan bahwa memang Sultan yang berinisiatif,"kata Arismunandar.
Interpretasi menarik juga dilontarkan mantan anggota Korps Brimob yang menjadi perwira di WK III, Letkol Pol (Purn) Sadjiman. Dia memang mengaku tidak tahu persis inisiatif itu datang dari siapa tapi tahu ada perintah SU. Namun dia bertanya-tanya dalam hati mengapa para pelaku penyerangan harus mengenakan janur kuning sebagai tanda. "Sebagai orang Yogya, saya tahu janur kuning itu simbol-simbol tertentu bagi Kraton Yogyakarta. Melihat itu saya agak condong bahwa itu perintah dari Sultan.
Karena itu perintah raja, loyalitas saya mendorong saya harus ikut menyerang," kata Sadjiman.
Pada Januari 1949 kondisi ibokota RI di Yogyakarta sudah demikian lemah, pegawai pun patah semangat, karena Presiden dan Wakil Presiden sudah ditawan dan diasingkan Belanda ke Prapat. RI vakum. Lalu, pada awal Februari 1949 Sri Sultan HB IX mendengar melalui radio, PBB akan membicarakan Indonesia. Saat itulah terlintas inisiatif di benak Sultan untuk mengadakan suatu serangan umum pada waktu pagi hingga siang sehingga dapat memberi tanda bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia belum menyerah. Karena Sultan tidak punya pasukan, maka dia mengirim surat kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman yang intinya minta izin mengadakan serangan itu.
Sudirman membalas surat itu dan menyarankan agar Sultan menghubungi Letkol Soeharto di Yogyakarta Selatan. Pada 14 Februari Sultan mengirim surat kepada Letkol Soeharto melalui Prabuningrat yang kemudian menyerahkannya kepada Marsudi untuk disampaikan kepada Letkol Soeharto. Surat ini permintaan agar Soeharto ke Kraton untuk merancang serangan pada waktu siang hari.
Apa yang dibicarakan dalam pertemuan rahasia itu hanya mereka yang tahu. Namun, pada 1973, saat meresmikan Monumen SU 1 Maret di Yogyakarta, Sri Sultan menyampaikannya. "Kami berdua memutuskan melakukan serangan 1 Maret. Supaya Pak Harto yang bertanggungjawab serangannya, saya menanggung risikonya di dalam kota," kata Sultan seperti dikutip Suwarno.
Namun, 16 tahun kemudian, yaitu 1989, Soeharto menerbitkan buku Soeharto: Ucapan dan Tindakan Saya, yang isinya mengejutkan. "Dalam buku itu Soeharto menulis bahwa sebelum 1 Maret dia belum pernah bertemu Sri Sultan. Lha ini yang akhirnya menimbulkan perdebatan," ujar Suwarno.
Lalu, itulah yang dipublikasikan. "Dan publikasinya sangat efektif, karena beliau saat itu Presiden," katanya. Oleh karena itu, kini, ujar sejarahwan tersebut, untuk pelurusan sejarah para saksi diharapkan bersedia bicara bebas sebab dulu tertekan. ***
Tambahan Imformasi tentang Serangan Oemoem 1 Maret 1949 Baca DISINI
sumber: http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/01/2397.html
No comments:
Post a Comment