Judul Asli: Tuntaskan Polemik Pattimura
Pada edisi terbitan 6 April 2010 lalu, Tribun Timur pernah menurunkan satu berita bertajuk “Peneliti UNM: Pattimura Pahlawan Asal Wakatobi”. Peneliti yang dimaksud adalah Kepala Pusat Penelitian Budaya dan Seni Etnik Sulawesi Lembaga Penelitian UNM Dr A Halilintar Lathief. Simpulan hasil penelitiannya yang dianggap mengagetkan banyak kalangan ini, memuat pernyataan bahwa Pattimura sebenarnya adalah seorang Muslim keturunan orang Wanci, Kabupaten Wakatobi (dulu Buton), Provinsi Sulawesi Tenggara.
Keberanian seorang Halilintar membuat simpulan seperti ini, mengandalkan sumber lisan, jejak budaya, dan hasil riset beberapa peneliti lain. Bahkan peneliti yang konon telah melakukan riset setahun lebih di Wakatobi ini, menguatkan argumentasinya dengan menghubungkan nenek moyang orang Wanci adalah pelaut.
Dua pekan kemudian wacana seputar Pattimura ini, kembali mengemuka setelah harian ini kembali menurunkan opini berjudul ”Pattimura Asal Wakatobi?”. Adalah Abd. Rahman Hamid yang juga mengaku peneliti Wakatobi, lalu tampil mengkritik wacana sebelumnya dengan cukup pedas. Bahkan penulis buku “Spirit Bahari Orang Buton ini”, mencap bahwa Halilintar Lathief tak paham sejarah daerah itu.
Malahan dianggap terlalu terburu-buru melontarkan simpulan itu kepada publik meski hanya mendasarkan argumennya pada tradisi lisan. Tidak hanya itu, penulis muda ini membubuhi kritikannya dengan mengedepankan pentingnya pemahaman konteks sosial historis di balik cerita rakyat berkaitan dengan identitas Pattimura. Bahkan dianggapnya sebuah kekeliruan ketika riwayat sejarah dikonstruksi hanya mengandalkan sumber lisan.
Tak pelak lagi seorang Halilintar pun termasuk dalam deretan orang-orang yang berupaya me-Wakatobi-kan atau mem-Buton-kan Pattimura. Benarkah Halilintar telah mengabaikan konteks sosial historis dalam mengonstruksi sejarah tentang Pahlawan Pattimura ini?. Dari pertanyaan itulah saya mencoba masuk ke arus wacana seputar polemik tentang asal usul Pattimura dan mencoba menawarkan alternatif solution bagi permasalahannya.
Dengan demikian sejarah Pattimura yang kelihatannya masih abu-abu ini dapat menjadi sesuatu yang lebih jelas warna ilmiahnya. Mencermati pernyataan saudara Halilintar tentang Pattimura asal Wakatobi, saya sebagai seorang yang juga gemar meneliti sejarah justru menyambut baik. Meskipun di sisi lain, dengan perspektif berbeda Abd. Rahman Hamid yang juga boleh dianggap terlalu gegabah telah “menuduh” saudara Halilintar tidak paham sejarah daerah itu. Edward Hallet Carr, sang penulis buku “What is History?” memang pernah mengatakan sejarah itu merupakan dialog tak berkesudahan (history is an unending dialog).
Tetapi apakah sejarah mengenai asal-usul Pattimura yang telah dibuat abu-abu dan menimbulkan kepenasaranan historis publik harus dibiarkan berlanjut?. Jika polemik sekitar asal-usul tokoh Pattimura ini hanya disemayamkan bersama selimut diam kita, tentu saja akan berdampak buruk terhadap pendidikan sejarah serta menambah deretan pekerjaan rumah tadi. Dengan demikian, upaya meluruskan sejarah dan menyelesaikan dua versi berbeda dan telah dipublikasikan ini perlu diselesaikan secara ilmiah.
Seorang Halilintar yang “dituduh” oleh Rahman Hamid tidak memahami sejarah daerah itu dengan merujuk pada komentar di harian ini, boleh jadi memiliki sejumlah bukti yang melandasi argumentasinya. Apalagi dengan jelas ia mengatakan bahwa ada pendapat peneliti lain selain sumber lisan dan jejak budaya yang digunakan. Komentar ini berpotensi melahirkan beberapa kemungkinan, antara lain boleh jadi hal tersebut hanya merupakan prawacana yang sengaja digulirkan ke publik oleh Halilintar sebagai strategi untuk mengundang perhatian publik.
Akan tetapi, di balik itu ada rencana lain untuk memperkaya dan melengkapi temuannya tentang Pattimura itu. Kemudian Rahman Hamid yang tampil mengkritik bukan tidak mungkin juga memiliki sejumlah fakta dan data tentang Pattimura yang membuatnya berani melakukan bantahan tersebut. Apalagi dengan sangat vulgar mengukuhkan dirinya sebagai peneliti Wakatobi dengan menggunakan “payung akademik” Universitas Hasanuddin. Perbedaan pendapat dan polemik apalagi tentang sejarah dengan kompleksitas kerumitan masalahnya, memang sangat sulit diselesaikan di forum ilmiah “terbatas” semisal rubrik opini di koran.
Karena itu, jika memungkinkan dan sangat diperlukan ruang diskusi yang mendudukkan keduanya sebagai narasumber. Hal ini antara lain dimaksudkan sebagai upaya pencerahan atau membebaskan Pattimura dari posisi sejarahnya yang telah dibuat abu-abu oleh kedua penulis dan mengaku peneliti Wakatobi ini. Bahkan temu ilmiah menyelesaikan polemik ini, berdampak positif untuk membebaskan para peserta didik dari kesesatan berpikir dan interpretasi dalam sejarah. Selain itu, hasil diskusi yang telah mengakumulir beberapa pandangan tentang eksistensi tokoh Pattimura ini akan bermanfaat sebagai suatu pemahaman baru yang jelas di kalangan masyarakat Maluku maupun Wakatobi. Demikian pula, dapat berfungsi untuk lebih memperjelas hubungan sejarah kedua daerah ini.
Sumber: http://www.tribunnews.com/2010/07/06/tuntaskan-polemik-pattimura
Apakah dialog dan bukti sejarah menjadi solusi?
1 comment:
Kita sulit membayangkan bagaimana jika seorang tokoh yang telah ditetapkan menjadi pahlawan memiliki latar yang tdk jelas, tetapi kita juga akan sulit menerima jika seorang tokoh yang telah didaulat menjadi pahlawan nasional di intepretasi secara serampangan. Dalam konteks Pattimura sekalipun terjadi adanya kesalahan historis yang dilegalisasi tetapi kiranya janganlah kita menambahkan adanya polemik baru yang dapat memperkeruh situasi. Bukan meluruskan tetapi malah memberi bebaban tambahan terdapat persoalan Pattimura. Kasus pattimura di Maluku yang juga rumit kira jangan lagi ditambahkan dengan analisa oral history yang jauh dari kebenaran sejarah.
Post a Comment