21 February 2010

ULANG TAHUN KOTA KENDARI YANG KOLONIAL SENTRIS

Catatan Kritis Atas Ulang Tahun Kota Kendari ke-175

Oleh: La Ode Rabani
(Department Ilmu Sejarah, FIB Universitas Airlangga)


Media di Kendari ikut meramaikan ulang tahun kota Kendari yang ke-175 yang ditandai dengan dimuatnya berita tentang refleksi perjalanan panjang kota Kendari yang didukung oleh seluruh komponen masyarakat termasuk anggota DPRD dan mereka yang mengaku sebagai peneliti sejarah kota Kendari. Kota Kendari mengalami perubahan tahun kelahiran dari 27 September 1964 (43 tahun) menjadi 9 Mei yang dihitung sejak 1831. Itu berarti Kota Kendari sudah berusia 175 tahun. Dasar penetapannya adalah hasil kajian para pakar sejarah di sebuah universitas di Sulawesi Tenggara.
Arti perubahan itu menurut hemat penulis membawa konsekuensi bagi sejarah Kota Kendari. Pertama, usia kota yang lama, tetapi tidak ada kemajuan berati. Kedua, penetapan tanggal 9 Mei mengabaikan peran unsur masyarakat lokal dalam membangun wilayah. Ketiga, penetapan hari lahir kota Kendari amat kolonial sentries, karena didasarkan atas “penemuan” teluk Kendari oleh J.N Vosmaer’s. Artinya kalau Vosmaer’s tidak menemukan Kendari, maka Kota Kendari tidak pernah dikenal.

Tua tanpa Perubahan
Kota Kendari hingga awal tahun 1990an dari sisi infrastruktur jalan belum mengalami kemajuan berarti. Berjalan-jalan di Kota Kendari tidak mungkin tersesat karena jalannya hanya satu. Di era Kaimuddin dan dilanjutkan dengan periode Ali Mazi Kota kendari baru terlihat ada gairah pembangunan infrastruktur. Moment MTQ juga mendorong percepatan infrastruktur termasuk perbaikan Bandara W.R. Monginsidi. Orientasi pembangunan sektor pertanian dan pedesaan yang digalakan di era Alala ikut menyumbang lemahnya pembangunan infrastruktur kota.
Kota lama kendari yang terletak di sekitar pelabuhan praktis tidak tersentuh pembangunan dan pemeliharaan. Berbagai bangunan warisan Belanda tidak terurus, sehingga kota lama Kendari menjadi kumuh dan termakan usia. Gairah kehidupan kota hanya ada pada glamour Kendari Beach dan pelabuhan yang tiap hari mengangkut barang dan penumpang. Pembangunan kota tidak lagi mengarah pada kota lama, tetapi ke daerah sekitar kantor Gubernur, Mandonga, arah Wua-Wua, Andonohu, dan Poasia. Pembangunan tersebut dimulai ketika Kendari menjadi Ibukota Sulawesi Tenggara pada tahun 1964.
Sejarah mencatatat bahwa selama periode VOC dan Belanda, wilayah Buton yang paling menonjol perkembangannya, karena perkembangan fasilitas kota dan adanya kesultanan yang tetap eksis hingga awal abad XX. Kuatnya kekuasaan politik Makassar dan imbas dari adanya konflik antara Buton dan Muna telah menempatkan Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara. Sebelumnya, Buton telah menjadi Ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara, ketika wilayah sulawesi tenggara masih di bawah propinsi Sulawesi Selatan.


Hari Jadi yang Kolonial Sentris
Konsekuensi kedua, penetapan tanggal 9 Mei 1831 amat buru-buru. Pertanyaan kritis yang diajukan adalah posisi Kendari yang saat itu menjadi bagian dari Celebes en Onderhoorigheden dengan ibukota Makassar. Daerah Celebes en Onderhoorigheden amat luas, dan penduduk dari berbagai daerah di Nusantara termasuk para pedagang Bugis Makassar serta peran orang Bajo (suku Laut) di daerah itu tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan identitas Kendari sebagai sebuah nama kota (wilayah). Nama Kandai adalah nama yang diberikan masyarakat lokal dan mestinya itu dihargai sebagai sebuah proses awal lahirnya kata “Kendari”.
Tidak mungkin J.N. Vosmaers dalam waktu sehari (tanggal 9 Mei 1831) langsung menemukan dan menyebut kota itu dengan “Kendari”, pasti ada proses sebelumnya yang melibatkan masyarakat lokal, kemudian masyarakat lokal melalui penguasa lokal menyetujuinya dan kenmudian istilah itu digunakan.
Pengabaian peran elite lokal dalam proses pembentukan istilah Kendari sama saja dengan menghilangkan sejarah masyarakat Kendari, termasuk atas peran mereka dalam membentuk identitas daearahnya. Hal itu sama saja mengakui bahwa Kendari tidak memiliki sejarah apa-apa tanpa kehadiran Vosmaer (Belanda). Sebuah realitas kajian historiografis yang tidak pernah bergeser atau tetap menyertakan unsur kolonial sebagai unsur utama dan penentu sejarah.
Kesan kolonial sentris di balik penetapan hari Jadi Kota Kendari amat kental, seperti terlihat pada alasan penetapan hari jadi itu, yakni ketika Vosmaer tiba di kota Kendari pada tanggal 9 Mei 1831. Jika Vosmaer tiba di di Kendari pada tahun 1831, dan Kendari telah menjadi Kota, maka masih pantas disebut sebagai penggagas lahirnya kota Kendari? Catatan dari laporan Vosmaer menunjukan adanya aktivitas perdagangan beras, teripang, dan hasil hutan di teluk Kendari sangat ramai. Kondisi demikian mestinya menjadi dasar pijakan bahwa Kendari telah menjadi kota, karena ada aktivitas perdagangan dan jasa sebagai salah satu bagian dari ciri suatu wilayah menjadi kota.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mengontrol perdagangan di teluk Kendari sebelum Vosmaer datang di daerah itu? Kekuasaan lokal atau kekuasaan asing? Dari internal Sulawesi Tenggara atau dari eksternal Sulawesi Tenggara? Maka, diskusi panjang dan intensif mestinya masih terus dilakukan sebelum ada justifikasi mengenai hari lahirnya kota yang kita sayangi tersebut dipublikasikan!
Tulisan ini hanya memberi masukan tentang perlunya unsur lokal sebagai penentu sejarah, karena kolonial datang ke suatu daerah (Kendari) memiliki tujuan ekonomi dan politik. Mereka seharusnya ditempatkan bukan sebagai penentu sejarah, tetapi mereka adalah bagian dari sejarah suatu wilayah.
(diolah dari berbagai sumber)