07 September 2012

Perubahan Lambang Garuda Pancasila Dari Waktu ke Waktu


Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Sumber: http://indopoints.wordpress.com/2011/08/08/perubahan-lambang-garuda-pancasila-dari-waktu-ke-waktu/

Kiat Menulis Enak ala Dahlan Iskan

Di GRAHA PENA Surabaya, markas Grup JAWA POS, DAHLAN ISKAN lebih akrab disapa Pak Bos. Pria kelahiran Magetan 17 Agustus 1951 ini memang bos Grup JAWA POS. Di masthead koran-koran di lingkungan Grup JAWA POS, jabatan resmi Dahlan Iskan adalah chairman. Memang, selain membesarkan JAWA POS (dan grupnya) dialah ‘roh’ Grup JAWA POS.
Yang menarik, berbeda dengan bos-bos media lainnya, Dahlan Iskan ini tetap menulis. Bikin reportase, kolom, analisis berita… pokoknya menulis. Menulis kapan saja dia suka. Menulis dan membaca sudah menjadi darah daging tokoh pers nasional itu. Kalau sudah ada ide, di mana pun, kapan pun… Dahlan Iskan menulis.
Belum lama ini, Pak Bos jalan-jalan di Singapura. Jalan kakidi Orchard Roaddengan trotoar yang rindang. Nah, di trotoar itu muncul ide untuk menulis masalahkota, sekadar masukan untuk Kota Surabaya. Maka, ayah dua anak ini menulis di trotoar itu. Besoknya, tulisan itu dimuat di JAWA POS, dan beberapa koran anak perusahaan JAWA POS.
“Dahlan Iskan itu penulis dan wartawan yang belum ada duanya di Jawa Timur, bahkanIndonesia,” k`ta BAMBANG SUJIYONO, seniman teater, pentolan BENGKEL MUDA SURABAYA, kepada saya.
“Harusnya kita punya banyak wartawan kayak dia. Sekarang ini wartawan buanyaaaaak sekali, media berlimpah, tapi hampir nggak ada wartawan yang punya tulisan bagus. Kayaknya wartawan-wartawan sekarang ini nggak bakat menulis deh. Makanya, tulisannya nggak karuan,” kata Bambang, bekas anggota DPRD Jawa Timur, juga bekas pemimpin redaksi beberapa media cetak diSurabaya.
Bambang Sujiyono, juga sejumlah seniman, mahasiswa, pengamat, serta kalangan terdidik di Jawa Timur, memang sejak lama ‘kecanduan’ tulisan Dahlan Iskan. Kalau Pak Bos lama tak menulis karena sibuk (maklum, urusan dan jabatannya banyak), orang-orang macam Bambang ini telepon atau titip pesan lewat redaksi agar Pak Bos segera menulis lagi.
“Adateman saya yang hanya mau baca tulisan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisan lain dianggap nggak ada. Hehehe…,” kata Bambang Sujiyono lalu tertawa khas. Saya hanya mengangguk mendengar komentar Bambang. Lalu tertawa.
Bu Yuli, pemimpin sebuah kelenteng besar diSurabaya, juga berkali-kali ‘titip pesan’ lewat saya agar Pak Dahlan Iskan sering-sering menulis. Katanya, tulisan-tulisan Dahlan Iskan sangat kinclong, hidup, menarik, dan bikin pembaca ketagihan. Dia baca berkali-kali tulisan Pak Dahlan, tapi tidak pernah bosan.
“Hurek, kalau bisa kalian wartawan yang masih muda-muda ini belajar dari Pak Dahlan Iskan. Orang itu memang luar biasa. Ciamik soro, kata orang Tionghoa,” kata Bu Yuli yang kebetulan sangat dekat dengan saya. Tiap kali ada hajatan besar di kelentengnya, entah itu Sincia, Cap Go Meh, sejit, hari jadi Kongco… saya pasti diundang.
Pendapat sama sebetulnya juga disampaikan pembaca JAWA POS dan RADAR SURABAYA, khususnya mereka yang punya ‘rasa bahasa’. Mereka menilai karya Dahlan Iskan itu unik, sulit ditiru, mengandung kejutan, jenaka, jelas, menghibur.
“Wislah, bilang bosmu itu (maksudnya Dahlan Iskan) supaya menulis terus. Sibuk ya sibuk, tapi ojo lali menulis. Penggemare akeh,” papar Bambang Sujiyono (sekarang sudah almarhum).
Saya pun sepakat dengan penilaian pembaca-pembaca kritis ala Bambang Sujiyono. Selain enak dan menghibur, Dahlan Iskan mampu mendudukkan persoalan secara terang dan jernih. Apa-apa yang tadinya gelap, remang-remang, jadi jernih setelah saya membaca tulisan Pak Bos.
Ambil contoh kasus haji (2007). Soal muasasih di Makkah yang menyediakan katering jemaah haji. Saya sering baca tulisan teman-teman wartawan, baca artikel di banyak media, dengar penjelasan dari wartawan senior yang sudah naik haji. Tapi penjelasan tentang seluk-beluk katering dan pengaturan makan jemaah haji tak pernah jelas. Tulisan wartawan-wartawan muda di koran malah bikin bingung. “Mbulet,” kata orang Jawa Timur.
Sabtu, 20 Januari 2007, Dahlan Iskan menulis di halaman satu JAWA POS. Dia bahas masalah katering, muasasah, kebijakan Menteri Agama MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI. Begitu membaca tulisan Pak Bos, saya langsung paham apa yang menimpa sekitar 200 ribu jemaah haji kita di Arab Saudi akhir Desember 2006.
Pak Bos menulis pendek, sederhana, logis, cespleng. Cukup satu artikel pendek, Dahlan Iskan berhasil memberi gambaran seputar persoalan haji. “Kalau bisa disederhanakan, kenapa harus rumit-rumit?” begitu kira-kira salah satu jurus menulis Pak Bos.
Senada dengan Bambang Sujiyono, saya sepakat bahwa Pak Bos ini punya talenta lebih. Dus, sulit ditiru wartawan lain, termasuk saya, meskipun dulu beliau sering memberikan bengkel atau latihan menulis kepada wartawan JAWA POS dan beberapa koran anak perusahaan. Karena tulisannya enak, selalu ditunggu, redaktur selalu menempatkannya di halaman muka.
“Daya tarik tulisan Dahlan Iskan memang luar biasa,” kata LUTFI SUBAGYO, bekas pemimpin redaksi SUARAINDONESIA(Grup JAWA POS). Karena itu, dulu, saban Sabtu Lutfi menempatkan ‘catatan ringan’ Dahlan Iskan di halaman satu. Oplah hari itu pun naik, karena banyak wargaSurabayayang beli koran hanya untuk menikmati tulisan Pak Bos.
Nah, sebagai wartawan di Graha Pena, saya beruntung pernah mendapat gemblengan langsung dari Pak Bos meski tidak secara khusus. Learning by doing, itulah yang dilakoni Pak Bos. Saya pernah mencoba meniru gayanya, tapi gagal.
Berikut sedikit KIAT MENULIS ALA DAHLAN ISKAN hasil interpretasi saya sendiri:

LEAD HARUS SANGAT MENARIK
Ketika Dahlan Iskan belum sesibuk sekarang, dia selalu berjalan keliling ke meja wartawan. Membaca sekilas berita wartawan di laya komputer. Sasaran pertama adalah LEAD alias TERAS alias INTRO alias PEMBUKA alias ALINEA PERTAMA tulisan.
“Lead-mu 6. Cepat diperbaiki sampai 8. Kalau belum 8, nggak bisa dimuat. Lead harus sembilan,” kata Dahlan Iskan usai membaca beberapa baris berita salah satu reporter. Teman saya itu cepat-cepat memperbaiki lead-nya. “Coba saya lihat. Hmm.. lumayan, sudah 7, belum 8. Coba lagi,” kata Dahlan, bekas wartawan majalah TEMPO, itu.
“Bagaimana kalau kalimat di bawah ini Anda angkat ke atas. Dibuat lebih bagus agar enak dibaca?” usulnya.
Kursus menulis berita macam ini dilakukan Dahlan Iskan, dulu, terus-menerus di newsroom kami. Sambil kasih kursus, tak lupa Dahlan Iskan membagi-bagi permen atau kacang goreng: tiap-tiap wartawan satu atau dua biji. Sedikit tapi merata.
Dahlan suka lead yang spontan, unik, tidak klise. Pembaca sejak awal harus dibuat tertarik membaca sampai selesai. Dan itu ada teknik tersendiri.

HUMOR CERDAS
Sebagai orang Jawa Timur, Pak Bos punya koleksi humor berlimpah. Kebanyakan didengar dari teman-teman, wong cilik, obrolan di warung kopi. Humor cerdas kerap jadi pembuka (lead) tulisannya.
Contoh: “Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!”
Selain di lead, humor kerap dipasang Pak Bos di akhir tulisannya. Bacalah terus karya dahlan, niscaya di akhir atau menjelang akhir ada kejutan. “Benar-benar mengagetkan,” kata ROHMAN BUDIANTO, redaktur senior JAWA POS, kini pemimpin redaksi RADAR MALANG.

KALIMAT-KALIMAT PENDEK
Dahlan Iskan suka kalimat-kalimat pendek. Antikalimat panjang, apalagi yang beranak-pinak alias kalimat majemuk bertingkat.
“Bagaimana kalau kalimatmu dipotong? Dibagi dua atau tiga,” ujar Pak Bos kepada seorang pemimpin redaksi (kini bekas).
“Enak mana: kalimat panjang atau pendek?” tanya Pak Bos. “Enak pendek, Pak Bos,” jawab si pemred yang sebelumnya suka pakai kalimat majemuk.
Kalimat-kalimat pendek kerap ‘melawan’ aturan tata bahasaIndonesia. Sebab, kalimat dipotong sebelum waktunya. “Anak kalimatkantidak bisa berdiri sendiri?” protes editor bahasa.
Tidak apa-apa, kata Pak Bos. Alasannya, tulisan di koran harus mudah ditangkap pembaca. Kalau kalimat-kalimat si wartawan terlalu panjang, pembaca akan capek. Dan dia tidak mau baca koran lagi. Toh, koran bukan kitab tata bahasa.
Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:
“Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.
Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.
Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.
Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.
Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.
Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”

MENULIS SEPERTI BERBICARA
Gayabicara Pak Bos hampir sama dengan gayanya menulis. Ini membuat beliau tidak susah mengalihkan wacana di kepala ke dalam tulisan.
Spontanitas, humor cerdas, cerita-cerita menarik, keluar begitu saja.

KALIMAT SEDERHANA, NARATIF
Kalimat-kalimat sederhana memang jadi ciri khas Dahlan Iskan. Tulisannya selalu bertutur alias naratif.
Sebelum ada gembar-gembor jurnalisme naratif, jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, Dahlan Iskan sudah melakukannya sejak 1980-an. Berbeda dengan GOENAWAN MOHAMAD yang puitis, berusaha menemukan kata yang benar-benar pas, kalimat-kalimat Dahlan Iskan mengalir begitu saja.
“Tulisannya gampang diikuti, enak pokoknya,” ujar AAN ANDRIYANI, staf sebuah dealer sepeda motor di Surabaya, kepada saya.
Bahasa Pak Bos tidak ‘ndakik-ndakik’, penuh kata asing, sok ilmiah, mbulet… karena dia ingin pembaca koran, ya, semua warga, menangkap apa yang ditulisnya. Buat apa menulis kalau tidak dibaca karena kalimat-kalimatnya mbulet gak karuan?

MEMORI YANG SANGAT KUAT
Kalau wartawan-wartawan lain sibuk mencatat, merekam, jemprat-jepret… Dahlan Iskan tenang-tenang saja saat wawancara. Dahlan Iskan tidak pernah mencatat kata-kata sumber atau data-data.
Dia menyimak penjelasan sumber dengan serius. Sekali-sekali ia menukas atau ‘memancing’ agar si sumber mengeluarkan pernyataan atau kata-kata yang ‘hidup’. Inilah bedanya dengan wartawan biasa!
Saya sendiri terkejut melihat Dahlan Iskan tidak mencatat atau merekam wawancaranya dengan pejabat atau sumber mana pun. Mencatatnya, ya, di otak saja. Tapi besok, silakan baca koran-koran. Dijamin tulisan Dahlan Iskan jauh lebih bagus, hidup, enak, lengkap, dibandingkan wartawan-wartawan lain yang supersibuk. Tulisannya bisa tiga bagian panjang, sementara reporter lain hanya mampu membuat tulisan pendek.
Data-data Dahlan lengkap. Interpretasi dan ramuannya yang khas membuat tulisannya lebih bernas. “Itu bakat Pak Bos, nggak ada sekolahnya,” kata SLAMET URIP, bekas wartawan senior JAWA POS, yang juga ‘suhu’ para wartawan muda di Grup Jawa Pos.

BANYAK MEMBACA
Dahlan Iskan pembaca yang rakus. Buku tebal ia habiskan hanya dalam beberapa jam saja. Kalau perlu, dia melekan (bergadang) demi menamatkan bacaannya.
Novel AROK DEDES (Pramoedya Ananta Tour), misalnya, diselesaikan Dahlan Iskan hanya dalam tempo beberapa jam saja. Lalu, dia buat catatan tentang novel itu. Dahlan juga bikin catatan tentang novel SUPERNOVA (Dee) setelah melahap novel itu dalam hitungan beberapa jam saja.
Mengapa Dahlan suka baca buku-buku tebal di ruang redaksi, disaksikan wartawan? Saya pikir, secara tidak langsung Pak Bos mau mengajarkan bahwa wartawan/redaktur harus banyak baca. Tulisan yang bagus hanya lahir dari tangan mereka-mereka yang rakus baca. Kenapa tulisan wartawan sekarang umumnya jelek, kering, datar-datar? Salah satunya, ya, karena kurang baca.

TURUN KE LAPANGAN, KERJA KERAS
Tulisan Dahlan Iskan hidup karena berangkat dari pengalaman sendiri. Based on his own experiences! Apa yang dilihat, didengar, dihidu, diraba, dikecap… itulah yang ditulis.
Dahlan sangat mobil. Pagi di Surabaya, siangJakarta, sore, makassar, malam mungkin di Singapura. Besoknya Tiongkok, luas Amerika… dan seterusnya. Ini membuat Pak Bos sangat kaya pengalaman, kaya penglihatan, kaya wawasan. Dia tinggal ‘memanggil’ memorinya dan jadilah tulisan yang hidup.
Dahlan Iskan pernah membuat tulisan menarik tentang pengalaman naik pesawat supersonik CONCORDE yang kini sudah almarhum itu. Dia bikin pembaca seakan-akan ikut menikmati pesawat supercepat, supercanggih, supermewah, buatan Prancis itu.

KUASAILAH BANYAK BAHASA
Di balik penampilan yang sederhana–sepatu kets, kemeja tidak dimasukkan, tak pakai ponsel–Dahlan Iskan pribadi yang dahsyat. Sangat cepat belajar! Bahasa Tionghoa yang sulit, aksara hanzhi yang aneh dan ribuan jumlahnya, ditaklukkan Dahlan dengan modal tekad baja. “Saya harus bisa,” katanya.
Maka, dia panggil guru privat, les di Graha Pena. Tak puas diSurabaya, Dahlan pindah domisili di Tiongkok selama beberapa bulan agar bisa berbahasa Tiongkok. Beberapa saat kemudian, Dahlan Iskan sudah kirim CATATAN DARI TIONGKOK secara bersambung. Sangat menarik. Respons pembaca luar biasa.

CINTAILAH SASTRA
Ingat, Dahlan Iskan ini bekas wartawan TEMPO. Majalah yang dibuat oleh tangan-tangan trampil berlatar sastrawan. Goenawan Mohamad, Bur Rasianto, Syubah Asa, Putu Wijaya, Isma Sawitri, dan nama-nama besar lainnya.
Mereka-mereka ini praktisi sastraIndonesia. Mereka peminat kata. Terbiasa membuat kalimat yang indah, yang tidak klise. Dahlan Iskan, meski jarang menulis puisi atau novel, jelas seorang sastrawan. Dia bersastra lewat reportase atau kolom-kolomnya di koran.
Pak Bos pun budayawan. Tak heran, di Surabaya dia giat sekali dalam komunitas dan kebudayaan Tionghoa. Dia pun ketua umum persatuan olahraga barongsai yang akhir 2006 silam sukses menggelar kejuaraan dunia diSurabaya. Kiprah semacam ini menambah ‘basah’ tulisan-tulisannya.

MENULIS LANGSUNG JADI (PRESSKLAAR)
Dahlan Iskan tidak butuh waktu lama untuk menulis. Tak sampai satu jam Pak Bos sudah menyelesaikan tulisan panjang untuk halaman satu JAWA POS.
“Sudah, silakan dilihat, silakan diedit. Jangan lupa kasih judul,” begitu kata-kata khas Dahlan Iskan usai membuat tulisan.
Dahlan tidak pernah membaca ulang, apalagi mengubah kalimat-kalimatnya. Sekali menulis, selesai, dan selanjutnya urusan redaktur untuk mengecek salah ketik dan sebagainya. Dimuat atau tidak, urusan redaksi.

Sumber Berita di Link:
http://pesantrenpenulis.org/kiat-menulis-enak-ala-dahlan-iskan.html

04 September 2012

Menulisa adalah Sebuah Perjalan

Oleh: Muhamad Yusran  Darmawan
 
LEBIH dua minggu saya mengisi waktu dengan mengumpulkan buku-buku tertentu lalu membacanya satu per satu. Beberapa hari ini, saya mulai menyicil proses penulisan makalah. Memang tidak mudah. Tapi semuanya harus dimulai. Jika tidak, saya bisa kewalahan untuk menuntaskannya, atau malah terancam tidak tuntas.
Saat membaca beberapa buku dan jurnal, saya melihat bahwa tidak semua ilmuwan memiliki kemampuan menulis yang bisa membuat kita lebih jernih melihat. Banyak di antara mereka yang malah gagal menghadirkan sensasi atau keterkejutan atas apa yang sedang dibahas. Namun ada pula yang bernas dan menulis dengan penuh daya ledak.
ilustrasi
Saya berkesimpulan bahwa artikel ilmiah yang baik bukanlah artikel yang penuh dengan kutipan atas tulisan banyak orang. Artikel yang baik adalah sebuah dialog yang dilakukan secara kontinyu antara seorang penulis dengan teks yang sedang diakrabinya. Demi menyusun peta jalan sesuatu yang dituliskannya, seorang penulis akan mengolah beragam material, mulai dari pengalamannya sendiri, bacaan-bacaan, fiksi, komentar seseorang di tepi jalan, hingga puisi atau syair yang berisi petunjuk atas apa yang hendak ditujunya.
Artikel yang baik adalah artikel yang menyisipkan banyak pertanyaan-pertanyaan, keraguan atas kebenaran yang bersarang di benak, serta berisikan kisah perjalanan untuk menemukan kebenaran. Pada kisah itu, terselip kejujuran seseorang untuk mengakui bahwa apa yang sebelumnya diyakini benar, tidak selalu benar pada akhirnya. Pada kisah itu, terselip sebuah pengharapan bahwa sejauh-jauhnya pengelanaan menuju jantung pengetahuan, senantiasa akan terbuka lapis-lapis misteri baru di jagad sains.

Maka seorang penulis atau peneliti adalah mereka yang merintis jalan untuk menemukan kenyataan sejati. Mereka tak pernah memberikan jawaban final, namun selalu memberikan isyarat, tanda, petunjuk, ataupun arah ke mana proses penumbuhan pengetahuan itu bergerak. Maka proses ilmiah menjadi proses perjalanan bagi seorang penulis atau peneliti untuk menemukan dirinya, serta momen untuk belajar dari setiap jengkal langkah kaki di belantara pengetahuan.
Sungguh teramat sayang, karena diri ini masih amat jauh dari proses tersebut. Saya ibarat berpijak di pasir pantai, dan hanya bisa melihat mereka yang sudah menyelam pada lapis-lapis terdalam samudera pengetahuan. Entah kapan bisa beranjak ke sana.
 
 
Terima kasih sudah menuliskannya Mas Yusran dan yang telah membaca.
 
(Silahkan menafsirkan) semoga mendapatkan dan menemukan kenyataan sejati setelah membuka lapis-lapis misteri baru di jagad sains.
 

Athens, 20 Juli 2012
 
Sumber: http://www.timur-angin.com/2012/07/menulis-adalah-sebuah-perjalanan.html

06 June 2012

Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya

Teori kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan praktis, memperlancar pembangunan masyarakat, di satu sisi pengetahuan teoritis tentang kebudayaan dapat mengembangkan sikap bijaksana dalam menghadapi serta menilai kebudayaan-kebudayaan yang lain dan pola perilaku yang bersumber pada kebudayaan sendiri. Pengetahuan yang ada belum menjamin adanya kemampuan untuk dapat digunakan bagi tujuan-tujuan praktis karena antara toeri dan praktek terdapat sisi-antara (interface) yang harus diteliti secara tuntas agar dengan pengetahuan yang diperoleh lebih lanjut dari penelitian yang dilakukan, konsekuensi dalam penerapan praktis dapat dikendalikan secara ketat. Dengan demikian akan didapat pemahaman tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar yang melandasi pandangan-pandangan teoritis tentang kebudayaan. Secara garis besar hal yang dibahas dalam teori kebudayaan adalah memandang kebudayaan sebagai, (a)Sistem adaptasi terhadap lingkungan.(b)Sistem tanda.(c) Teks, baik memahami pola-pola perilaku budaya secara analogis dengan wacana tekstual, maupun mengkaji hasil proses interpretasi teks sebagai produk kebudayaan.(d) Fenomena yang mempunyai struktur dan fungsi. (e) Dipandang dari sudut filsafat. Sebelum lebih lanjut memahami teori kebudayaan ada baiknya kita meninjau terlebih dahulu wilayah kajian kebudayaan, atau lebih tepatnya Ilmu Pengetahuan Budaya. Jika menilik pembagian keilmuan seperti yang diungkapkan oleh Wilhelm Dilthey dan Heinrich Rickert, mereka membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua bagian, yaitu Naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam) dimana dalam proses penelitiannya berupaya untuk menemukan hukum-hukum alam sebagai sumber dari fenomena alam. Sekali hukum ditemukan, maka ia dianggap berlaku secara universal untuk fenomena itu dan gejala-gejala yang berkaitan dengan fenomena itu tanpa kecuali. Dalam Naturwissenschaften ini yang ingin dicari adalah penjelasan (erklären) suatu fenomena dengan menggunakan pendekatan nomotetis. Hal lain adalah Geisteswissenschaften (ilmu pengetahuan batin)atau oleh Rickert disebut dengan Kulturwissenschaften (ilmu pengetahuan budaya) dimana dalam tipe pengetahuan ini lebih menekankan pada upaya mencari tahu apa yang ada dalam diri manusia baik sebagai mahluk sosial maupun mahuk individu. Terutama yang berkaitan pada faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berperilaku dan bertindak menurut pola tertentu. Upaya memperoleh pengetahuan berlangsung melalui empati dan simpati guna memperoleh pemahaman (verstehen) suatu fenomena dengan menggunakan pendekatan ideografis. Pada perkembangannya banyak ilmu-ilmu geisteswissenschaften dan kulturwissenschaften menggunakan pendekatan yang digunakan oleh naturwissenschaften seperti halnya Auguste Comte yang melihat suatu fenomena perkembangan masyarakat dengan menggunakan pendekatan positivistik. Jika di tilik tentang konsep kebudayaan, maka dapat dilihat dari dua sisi, yaitu, pertama, Konsep kebudayaan yang bersifat materialistis, yang mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Kajian ini lebih menekankan pada pendangan positivisme atau metodologi ilmu pengetahuan alam. Kedua, Konsep kebudayaan yang bersifat idelaistis, yang memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal, kajian ini lebih dipengaruhi oleh penekatan fenomenologi. Terlepas dari itu semua maka kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu fenomena sosial dan tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan warga masyarakat yang mendukung atau menghayatinya. Sebaliknya, keteraturan, pola, atau konfigurasi yang tampak pada perilaku dan tindakan warga suatu masyarakat tertentu dibandingkan perilaku dan tindakan warga masyarakat yang lain, tidaklah dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan kebudayaan. Mengenai pembagian wilayah keilmuan ini terdapat kerancuan terutama yang berkenaan dengan peristilahan human science dan humanities. Pada masa Yunani dan Romawi, pendidikan yang berkaitan dengan humanities adalah yang berkaitan dengan pemberian keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan agar seseorang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan potensi dirinya tentang kemanusian yang berbudi dan bijaksana secara sempurna. Adapun mata pelajaran yang diberikan untuk mencapai hal itu adalah filsafat, kesusastraan, bahasa (reotrika, gramatika), seni rupa dan sejarah. Maka dari penjelasan ini, humanities atau humaniora lebih mendekati pada ilmu pengetahuan budaya. Berbicara tentang kebudayaan maka tidak bisa terlapsa dari peradaban. Berikut ini beberapa dimensi dari peradaban, diantaranya, pertama, Adanya kehidupan kota yang berada pada tingkat perkembangan lebih „tinggi“ dibandingkan dengan keadaan perkembangan didaerah pedesaan. Kedua, Adanya pengendalian oleh masyarakat dari dorongan-dorongan elementer manusia dibandingkan dengan keadaan tidak terkendalinya atau pelampiasan dari dorongan-dorongan itu. Selain menganggap corak kehidupan kota sebagai lebih maju dan lebih tinggi dibandingkan dengan corak kehidupan di desa, dalam pengertian peradaban terkandung pula suatu unsur keaktifan yang menghendaki agar „kemajuan“ itu wajib disebarkan ke masyarakat dengan tingkat perkembangan yang lebih rendah, yang berada di daerah-daerah pedesaan yang terbelakang. Peradaban sebenarnya muncul setelah adanya masa kolonialisasi dimana ada semangat untuk menyebarkan dan menanamkan peradaban bangsa kolonial dalam masyarakat jajahannya, sehingga pada masa itu antara masyarakat yang „beradab“ dan „kurang beradab“ dapat digeneralisasikan sebagai corak kehidupan barat versus coak kehidupan bukan barat.Unsur lain yang terkandung dalam makna „peradaban adalah kemajuan sistem kenegaraan yang jelas dapat dikaitkan dengan pengetian civitas. Implikasinya adalah bahwa penyebaran sistem politik barat dapat merupakan sarana yang memungkinkan penyebaran unsur-unsur peradaban lainnya. Corak kehidupan kota atau kehidupan yang beradab pada hakikatnya berarti tata pergaulan sosial yang sopan dan halus, yang seakan-akan mengikis dan melicinkan segi-segi kasar. Dari penjelasan definisi peradaban diatas yang hampir merangkum semua unsur adalah definisi yang diambil dari bahasa Belanda (beschaving) yang mengatakan bahwa peradaban meliputi tatacara yang memungkinkan berlangsungnya pergaulan sosial yang lancar dan sesuai dengan norma-norma kesopanan yang berlaku dalam masyarakat barat. Dalam mengkaji kebudayaan, unit analisa atau obyek dari kajiannya dapat dikategorikan kedalam lima jenis data, yaitu, (a) artifak yang digarap dan diolah dari bahan-bahan dalam linglkungan fisik dan hayati, (b) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, (c) perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d) tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa yang dihasilkan oleh pita suara dan otot-otot dalam rongga mulut dan (e) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual sebagai representasi bunyi bahasa atau perilaku pada umumnya. Baik artifak, teks, maupun periaku manusia memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu. Teori kebudayaan adalah usaha untuk mengonseptualkan kebermaknaan itu, untuk memahami pertalian antara data dengan manusia dan kelompok manusia yang mewujudkan data itu. Teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supranatural. Keragaman teori kebudayaan dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu, (a) perspektif perkembangan sejarah yang melihat bahwa keragaman itu muncul karena aspek-aspek tertentu dari kebudayaan dianggap belum cukup memperoleh elaborasi. Dan (b) perspekif konseptual yang melihat bahwa keragaman muncul karena pemecahan permasalahan konseptual terjadi menurut pandangan yang berbeda-beda. Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalammemahami kebudayaan, yaitu: 1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifiĂ©, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar. 2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi ataukebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam. 3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar. Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya. Komentar : Jika kita menilik tentang Teori Kebudayaan maka kita tidak bisa lepas dari bagaimana Teori Kebudayaan memandang kebudayaan. Kebudayaan menurut Teori Kebudayaan sebagai, (a)Sistem adaptasi terhadap lingkungan.(b)Sistem tanda.(c) Teks, baik memahami pola-pola perilaku budaya secara analogis dengan wacana tekstual, maupun mengkaji hasil proses interpretasi teks sebagai produk kebudayaan.(d) Fenomena yang mempunyai struktur dan fungsi. (e) Dipandang dari sudut filsafat. Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan kedalam lima jenis, yaitu, (a) artifak, (b) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, (c) perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d) tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa dan (e) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual. Semua obyek dari kajian Teori Kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu. Teori kebudayaan adalah usaha untuk mengonseptualkan kebermaknaan itu, untuk memahami pertalian antara data dengan manusia dan kelompok manusia yang mewujudkan data itu. Teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supranatural. Sumber: http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/11/11/teori-kebudayaan-dan-ilmu-pengetahuan-budaya/

06 May 2012

MENULIS KREATIF; SEBUAH PENGANTAR

Mari Menulis. Pada jaman purba, manusia kala itu membuat lukisan simbol tertentu, ornamen, gambar binatang, manusia, tumbuhan, matahari dan sebagainya di dinding-dinding gua tempat mereka tinggal. Tentu saja dengan cara dan bentuk yang sangat sederhana. Ribuan tahun kemudian, ketika kokohnya gedung-gedung beton menaungi manusia modern, orang-orang juga melukis di tembok dengan kata atau simbol-simbol tertentu seperti nama gank, makian dan provoksai. Kedua jaman itu memang sangat jauh berbeda, bahkan berkebalikan, demikian pula manusianya. Hanya saja, “coretan” pada jaman purba atau modern pada dasarnya merepresentasikan ikhtiar manusia untuk mengkomunikasikan ide, gagasan, buah pikiran ataupun pengetahuan yang dimiliki dengan cara dan media yang relatif sama. Dalam hal ini, manusia purba menggunakan simbol gambar sedangkan manusia modern menggunakan latter (huruf), yang merupakan produk jamannya masing-masing. Mengkomunikasikan ide atau gagasan, itulah makna dari aktivitas manusia merangkaikan huruf demi huruf membentuk kata, kemudian membentuk kalimat, paragraf dan seterusnya. Sejak Manusia mengenal tulisan (latter), dari situlah peradaban modern dimulai. Merle Calvin Ricklefs, sejarawan besar yang amat masyur misalnya, membabak sejarah Indonesia modern dengan dasar mulai digunakannya tulisan dalam sejarah Indonesia. Jika sekarang ini, orang mengapresiasi berbagai temuan dan berbagai ragam progresifitas pada suatu abad dengan menyematkan istilah prices of this (the) century (“hadiah pada abad ini”), tidak berlebihan untuk menjadikan tulisan sebagai prices of the civilization (hadiah peradaban). Tulisan memiliki arti dan kontribusi yang luar biasa penting bagi perkembangan peradaban. Berbagai hal besar dan perubahan penting lahir dari tulisan, menyebar juga berlanjut karena tulisan pula. Dengan tulisan, pemikiran seorang pujangga ratusan tahun silam dapat didiskusikan saat ini, dapat disebarkan hingga ke tempat yang luas tak terbatas. Bahkan S.H. Mintarja yang sudah wafatpun masih berinteraksi dengan pembaca setia cerita silat nusantara melalui Naga Sasra Sabuk Inten ataupun Api di Bukit Menoreh. Tentu dengan tulisan, tanpa perlu sesaji ataupun jailangkung. Menulis juga membawa bermacam-macam kompensasi. R.J. Caroling, penulis imajinatif yang melahirkan Harry Potter misalnya. Ia mendadak sangat kaya karena hasil karyanya itu. Di lain hal, Fazlur Rahman membawa kemajuan bagi perkembangan keilmuan di dunia Islam abad 20 juga melalui tulisan-tulisannya. Adapula Karl Marx yang dikenal sebagai bapak ideologi komunisme dengan das Kapitalnya. Contoh ironis malah dari Indonesia, hanya karena menulis email, Prita Mulyasari, seorang Ibu rumah tangga pernah ditahan dan pada akhirnya harus membayar Rp204 juta. Demikianlah, kompensasi-kompensasi yang harus dibayarkan dari tulisan menunjukan betapa kuat tulisan berpengarauh dan betapa potensial mentransmisikan perubahan. Oleh karena itu, aktivitas menulis harus bermakna. Tidak dapat dipungkiri lagi, sebagai “buah peradaban” modern, menulis merupakan kegiatan yang paling banyak dikerjakan. Saat ini dalam hitungan detik saja, jutaan kata-kata, kalimat atau bahkan paragraf dihasilkan di seluruh penjuru dunia. Manusia modern sangat aktif menulis, terutama menulis SMS, status-coment Facebook, Twiter, Blog, YM dan segala macam jejaring sosial lainnya. Tentu saja hal ini tidak salah hanya saja ada baiknya jika dapat memanfaatkan hadiah peradaban dengan sebaik-bainya. Ibarat kata, lemari es (kulkas) itu bisa digunakan menyimpan baju, tetapi, kulkas akan lebih bermanfaat dan berfungsi optimal sebagaimana mestinya jika dimanfaatkan sebagai refrigerator, untuk membuat es, mengawet-segarkan buah dan sayur. Untuk itu yang pertama harus disadari bahwa menulis pada dasarnya bukan sekedar aktivitas asal-asalan namun merupakan sebuah “perjuangan menegakan ide atau gagasan”. Karena, apapun bentuk ataupun substansi tulisan yang dihasilkan tetap saja mengkomunikasikan ide atau gagasan. Kalimat “iseng” Wah mati lampu neeh… enaknya ngapain ya seperti yang tertulis dalam ststus Facebook (FB) seseorang, sebenarnya juga merupakan usaha untuk mengkomunikasikan ide. Buktinya status itu dikomentari lebih dari 16 orang. Contoh yang disebutkan tadi merupakan hal sederhana. Jika saja suatu ide mapan ditropang dengan format dan media yang bagus maka hasilnya juga akan sangat baik. Menulis Kreatif Terdapat beberapa difinisi untuk mengartikan istilah menulis kreatif. Namun demikian, pada dasrnya menulis kreatif merupakan proses, yakni proses untuk menciptakan atau menemukan gagasan dan melahirkan (mengekspresikan) gagasan itu dalam bentuk tulisan. Dalam sejumlah karya panduan menulis, proses ini bermuara pada empat hal yakni: 1) inspirasi, menemukan atau menciptakan ide/gagasan; 2) inkubasi, memikirkan dan menimbang ide yang didapat matang-matang termasuk menentukan format dan bentuk tulisan; 3) penulisan, mengekspresikan inspirasi dalam tulisan; dan 4) revisi, memperbaiki dan menyempurnakan tulisanyang dihasilkan. Proses ini tidaklah baku, dapat berubah dan mengalami penyesuaian dengan penulisnya. Artinya setiap individu dapat saja berbeda dalam ikhtiar ini. Jika telah terbiasa menulis maka anda bias menentukan proses menulis anda sendiri. Dalam upaya menelurkan tulisan, hal yang tidak dapat dihindari ialah menentukan bentuk dan jenis tulisan. Ini adalah strategi mengkomunikasikan ide. Untuk mengenal beberapa bentuk dan jenis tulisan akan dibahas di bab selanjutnya. Penentuan bentuk atau jenis tulisan ini penting mengingat idea tau gagasan yang dimiliki penulis sebenarnya memiliki format dan tipe tertentu yang akan mampu dikomunikasikan secara optimal jika diformat melalui bentuk tulisan tertentu. Tentu saja mempunyai teknik pengungkapan yang berbeda satu dengan yang lain. Menentukan bentuk dan jenis tulisan ini merupakan bagian dari mengatur sebuah tulisan. Begini ilustrasinya, Kebanyakan orang sangat senang berbelanja di mall bahkan kegiatan berbelanja modern ini telah menjadi aktivisme yang amat digemari tak ubahnya rekreasi. Begitu masuk mall, suasana sejuk memberi kenyamanan sehingga konsumen betah. Tampilannya pun dirancang sedemikan rupa supaya memikat para pembeli. Belum lagi para sales yang dengan ramah melayani. Adapun rak-rak berjajar teratur. Ada rak makanan di sana, pakaian di situ dan furniture di sini. Dengan mudah konsumen akan memilih mana yang akan dibeli. Bayangkan, bagaimana jika barang-barang itu tidak diatur! Sayuran, bumbu dan terasi, pakaian dalam, kaus kaki, paku-palu dan gergaji, buku, mainan anak, kosmetik dan telvisi dicampur menjadi satu. Tentu saja tidak nyaman untuk memilih terasi dirak pakaian dalam bukan? Kurang lebih, demikan pula dalam menulis. Ada jutaan idea yang harus disusun secara kreatif agar pembaca nyaman dan gagasan pokok dapat lancar dikomunikasikan. Satu ide utama harus ditunjukan, kemudian dijelaskan, dan diperkuat dengan unsur-unsur pendukung lainnya. Jika satu ide utama yang cerdas, langsung diteruskan dengan ide utama yang lain dalam satu paragraf maka hasilnya adalah paragraf yang tidak cerdas. Misalnya ide utama adalah “perempuan yang cantik” hendaknya ditopang dengan penjelasan mengapa “cantik”, karena cantik bersifat relatif sehingga perlu ditunjukan kecantikannya. Maka masukan unsure-unsur yang mendukung “perempuan yang cantik” itu. Sebaliknya jika ide utama adalah “perempuan yang cantik” langsung diteruskan dengan ide utama yang lain misalnya “anak orang kaya” maka hasilnya tidak jauh berbeda dengan menyusun sayur di rak kosmetik. Ibarat kesejukan mall yang nyaman dengan tata rapi yang memikat, hal lain yang perlu diperhatikan dalam menulis ialah berikan pula kenyamanan bagi para pembaca, pikat mata para pembaca hingga tidak mampu beranjak dari tulisan. Ada beberapa cara yang bias dilakukan, misalnya membuat judul yang “hot”, lead (kalimat pembuka paragraf/tulisan) yang membuat penasaran, member tekanan pada bagian tertentu dan lain sebagainya. Jika cerita itu bersambung, teknik Asmaraman Ko Ping Ho dan S.H Mintarja, nampaknya masih menjadi strategi yang mujarab. Ditiap episode, kedua penulis cerita bersambung itu selalu mengakhiri kisahnya pada saat-saat yang menegangkan. Alhasil pembacanya tidak sabar untuk membaca kelanjutan cerita berikutnya. Teknik menulis merupakan hal yang sangat pokok akan tetapi hanya beberapa saja yang akan dibicarakan di sini. Agar tulisan memiliki karakter dan evektif perhatikan struktur kalimat. Kalimat punya syarat yakni memiliki S (Subyek) dan P (Predikat). Adapun O (obejek) dan anak kalimat dapat ditambahkan kemudian. Begitu juga penggunaan kalimat pasif dan aktif patut untuk dicermati pula, tentu saja bukan lagi hal yang terlalu rumit. Perhatikan pula diksi (pemilihan kata) karena memilih kata yang tepat dan mudah dipahami merupakan cara yang bijak. Meskipun kata “bapak” dan “papi” dapat merujuk pada obyek yang sama, tetapi berbeda dalam penggunaan karena sangat terkait dengan rasa kebahasaan. Ambillah contoh “papi menggembala kerbau” dan “bapak menggembala kerbau”. Jika kaidah-kaidah dasar seperti yang dijelaskan telah dikuasai maka aktivitas menulis bukan hanya kegiatan merangkai kata-kata saja namun juga memiliki nilai seni dan keindahan. Sekilas Mengenal Beberapa Jenis dan Bentuk Tulisan Dunia tulis menulis dewasa ini telah sangat kaya dengan berbagai jenis tulisan. Ada dikenal tulisan fiksi (fiksi ilmiah dan fiksi imaginative) dan non fiksi. Adapula macamnya seperti: cerpen, novel, roman, scenario film-naskah drama, puisi, sajak, pantun, reportase, jurnalistik sastra, jurnal, opini, kolom, testimony, artikel, esai, makalah dan feature. Masing-masing jenis tulisan itu memiliki bentuk yang berbeda. Bolehlah sekarang kita berkenalan secara singkat beberapa diantaranya saja. Cerpen (cerita pendek), novel-novelet, roman: Menurut Jacob Sumardjo dalam karya fiksi dikenal dua pembeda yakni cerpan dengan novel dan roman. Cerpen dimasukan Prof. Kuntowijoyo dalam “sastra koran”, khas Indonesia. Cerpen ini merupakan cerita ringkas yang habis dibaca sekali duduk. Novel dan roman merupakan cerita fiksi yang lebih panjang, otomatis juga berisi lebih dari satu cerita pokok. Sedangkan novelt tak jauh beda dengan novel; tetapi masih memiliki batasan halaman. Scenario film- naskah drama, Skenario adalah naskah yang berisi adegan, adegan, dan arahan. Misalkan Fade in, pawn down: (gerak kamera, mendekat-menjauh, diambil dari bawah ke atas) Bob (Richard Gere) (tokoh-aktor) (Beranjak dari kursi) (acting) Sial sekali aku hari ini, harus menemui lelaki gemuk itu lagi! (dialog) Adapun naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Sebagai karangan naskah drama bukanlah cerita utuh dan langsung namun mempunyai dialog yang menggambarkan alur peristiwa secara tidak langsung. Isi dari naskah drama ini adalah dialog-dialog dari para tokoh, didalamnya terdapat: penciptaan seting, pengkarakteran tokoh, dan konflik. puisi, sajak, pantun. Puisi karangan berisi kalimat pendek dan ringkas yang merupakan intisari dari kata-kata yang indah dan disusun dengan indah, semacam dramatisasi kata-kata. Sajak kadang disamakan dengan puisi namun pada dasarnya sajak merupakan individu dari puisi. Jurnalistik: reportase, feature-jurnalistik sasatra. Yang meliputi proses meliput, mengolah dan menyebarkan. JOURNAL atau DU-JOUR berarti HARI, maksunnya—kurang lebih—setiap warta tercetak setiap hari (Assegaf 1985: 10). Journal dalam bahasa inggris diartikan sebagai majalah, surat kabar atau diary (catatan harian) adapun Jurnalistik diartikan sebagai kewartawanan. Nah, sekarang orang melekatkan Jurnalistik dengan Pers, hal ini terkait dengan perkembangan teknologi percetakan yang semakin hebat. Kata press (Inggris) berarti mesin pencetak. Untuk mendifinisikan jurnalistik, kalimat sederhana ini hematnya bisa dipakai: Jurnalistik adalah proses meliput, mengolah dan menyebarkan peristiwa kepada khalayak melalui media cetak ataupun visual. a. Berita: News is difficult to define because it involves m,any variable factors (Clerence Hach). Kata Irving Resenthal, Berita lebih mudah dikenali daripada diberi batasan. If a dog bit a man, it is not news. But if a man bit a dog is news (Notclife) 1. News hunting/getting/gathering: reportase, wawancara, riset kepustakaan 2. News processing 3. News writing 4. News editing & publishing b. Feature : Tulisan kreatif terutama dirancang untuk memberi informasi sambil menghibur tentang suatu hal, situasi dan aspek kehidupan seseorang. (Williamson, 1975). Feature karangan lengkap nonfiksi bukan lempang sekedar berita panjang dalam media masa. Opini: setiap koran biasanya mengkhususkan satu halam sebagai halaman opini, yang menerima tulisan dari luar. Opini: mewakili pandangan penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa. Yang memiliki unsure Subyektifitas dan Persuasif jurnal, opini, kolom Esai adalah ekspresi tertulis dari opini penulisnya dapat berupa penggabungan sederet fakta-fakta kemudian mengikatnya melalui sĂ­ntesis. Artikel adalah bentuk karangan yang berisi analisis suatu fenomena alam atau sosial dengan maksud untuk menjelaskan siapa, apa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa fenomena alam atau social tersebut. Format Media Selain mengetahui hal-hal diatas ada baiknya juga jika penulis mengetahui format media. Kaitannya ialah dengan segmentasi pembaca, satu bentuk media akan dikonsumsi oleh pembaca yang berbeda sehingga format media ini merupakan pertimbangan atas kecocokan bagi pembaca, sesuai karakter pembaca itu sendiri. Pertimbangan kedua yang perlu diperhatikan dalam memilih format media adalah karakter fisik setiap format, karakter isi, periodisitas, kemudahan proses produksi, biaya, dan citra yang dikehendaki. Media, pada masa kini, jenisnya sangat beragam. Ada elektronik, cetak dan cyber. Kali ini akan dibahas beberapa fiormat media cetak dengan asumsi, elektronik dan cyber batasnnya lebih longgar. Adapun tulisan pada bagian ini disarikan dari Ashadi Siregar dan Rondang Pasaribu, Bagaimana Mengelola Media Korporasi-Organisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000). Dikenal beberapa format Media, seperti "newsletter", majalah, tabloid, atau surat kabar. Setiap format memiliki karakter masing-masing, tentusaja ada kelebihan dan kekurangan khususnya dalam hal efektivitas penyampaian informasi. Untuk membantu pemahaman yang lebih baik, uraian berikut akan menjelaskan lebih rinci karakter setiap format. "Newsletter" 1. "Newsletter" umumnya menggunakan kertas HVS (atau kertas berkualitas lebih baik). Ukuran kertas yang digunakan biasanya A4 atau sedikit lebih kecil. Jumlah halaman berkisar antara 4 dan 12 halaman atau lebih. "Newsletter" bisa dijilid, bisa pula tidak dijilid. "Newsletter" lebih mudah dan lebih cepat diproduksi. Biasanya produksi juga lebih rendah. 2. Tulisan yang dimuat pada "newsletter" biasanya lebih pendek. Kalimat yang digunakan lebih ringkas dan langsung ke pokok masalah. 3. Sampul depan "newsletter", selain menampilkan nama media, tanggal terbit dan nomor edisi, juga memuat daftar isi dan sebuah tulisan lengkap. Kebanyakan "newsletter" tidak memuat foto. Halaman "newsletter" biasanya dibagi atas 2 -- 3 kolom. 4. Ditilik dari segi kemudahan proses produksi, format "newsletter" yang biasanya tak banyak memuat foto dan hanya menggunakan dua warna, lebih mudah dikerjakan ketimbang format majalah, tabloid, atau surat kabar. Majalah 1. Selain menggunakan kertas koran untuk halaman dalam, majalah juga menggunakan kertas HVS atau kertas jenis lain yang lebih baik kualitasnya. Kertas yang digunakan berukuran A4 atau sedikit lebih besar. Namun, ada pula majalah yang menggunakan ukuran lebih kecil, seperti "Intisari" atau "Reader`s Digest". 2. Sampul majalah banyak menggunakan kertas yang lebih tebal dan berkualitas lebih baik ketimbang halaman dalamnya. Dengan demikian, kualitas cetak sampul bisa diupayakan lebih baik, agar tampak lebih menarik. 3. Tampilan majalah tampak lebih serius dan dijilid dengan baik sehingga cocok untuk didokumentasi. Untuk media korporasi/organisasi, jumlah halaman sekitar 16 -- 24 halaman, atau lebih. Majalah bisa memuat tulisan yang lebih banyak dan lebih panjang. Halaman majalah biasanya dibagi atas 2 -- 4 kolom. Tabloid 1. Tabloid kebanyakan menggunakan kertas koran. Ukuran kertas yang digunakan sekitar setengah kali ukuran kertas koran. Sampul tabloid umumnya juga menggunakan jenis kertas yang sama dengan jenis kertas yang digunakan pada halaman dalam. 2. Tampilan tabloid tampak lebih populer. Bisa dicetak dua warna atau lebih. Penataan perwajahan tabloid merupakan paduan antara desain yang ditetapkan pada majalah dan surat kabar. Halaman tabloid biasanya dibagi atas 3 -- 5 kolom. 3. Tabloid umumnya tidak dijilid. Jadi, suatu edisi bisa dibaca bersama-sama oleh beberapa orang, masing-masing satu lembar terpisah. Untuk media korporasi/organisasi, jumlah halaman tabloid yang biasa digunakan sekitar 8 -- 16 halaman. Surat kabar 1. Mempersiapkan format surat kabar sedikit lebih sukar ketimbang format lainnya. Satu halaman surat kabar biasanya memuat sejumlah item tulisan. Oleh sebab itu, perlu ditata secara baik agar tampak menarik dan mudah dibaca. 2. Surat kabar tidak dijilid. Jadi, dapat dibaca bersama-sama oleh sejumlah orang, masing-masing membaca lembar yang berbeda, asal tulisan yang bersambung tidak terdapat pada lembar yang berbeda. Di Indonesia, ukuran kertas yang digunakan adalah sekitar 42 cm x 58 cm. Jenis kertas yang digunakan adalah kertas koran. 3. Halaman surat kabar biasanya dibagi atas sejumlah kolom, biasanya 7 -- 9 kolom. Pola desain halaman surat kabar belakangan ini banyak menggunakan pola modular (pola yang memungkinkan halaman dibagi atas sejumlah bidang persegi empat, bisa membujur dari atas ke bawah, bisa melintang dari kiri ke kanan). 4. Karena menggunakan kertas koran, kualitas cetak surat kabar tidak sebaik kualitas cetak majalah yang menggunakan kertas HVS atau sejenis. Karena itu, belasan tahun lalu warna jarang digunakan untuk surat kabar. Meskipun demikian, berkat perkembangan teknologi, penggunaan warna pada tampilan surat kabar sudah semakin populer akhir-akhir ini. Demikanlah sebuah pengantar tentang Menulis Kreatif yang dapat disampaikan dalam forum ini. Dengan harapan dapat menggelitik dan dapat memberikan motivasi pada semuanya. Kita semua harus yakin, bahwa sesungguhnya “kita punya kemampuan”, sekarang yang penting bangkitkan “kita punya kemauan” untuk menulis, insya Allah akan dapat sukses. Karya: Ahmad Adaby Darban dan Uji Nugroho Sumber: http://adabydarban.blogspot.com/2012/04/menulis-kreatif-sebuah-pengantar.html

18 January 2012

Sejarah Komunitas dan Kesadaran Kewargaan

Oleh: Rumekso Setyadi (mengaku sebagai orang yang ingin memahami realitas dari berbagai perspektif)

Tidaklah sebuah kebetulan ketika terjadi pergantian rezim di Indonesia dalam diskursus-diskursus akademis tentang teori dan perspektif sejarah, debat dan upaya membangun narasi sejarah yang lebih beragam muncul di permukaan. Diskusi tentang alternative baru dalam penulisan sejarah sedang menghangat dengan kelanjutan diskusi soal “history from below” (sejarah dari bawah), “people’s history” (sejarah rakyat) ataupun “new history” (sejarah baru) yang mempunyai rentang genealogis panjang dari perdebatan sebelumnya tentang “social history”3. Di Indonesia sendiri memaknai pergantian rezim dalam fase-fase awal, yang terlihat dalam debat soal sejarah adalah upaya membalikkan sejarah dari yang semula pahlawan menjadi pecundang, atau demikian juga sebaliknya. Maka debat yang muncul lebih berada pada soal “meluruskan sejarah” atau menerangkan sejarah yang semula “gelap” ke “sejarah terang” dan yang lebih banyak disinggung adalah tetap di wilayah sejarah politik, yang diktumnya “sejarah adalah politik di masa lalu, dan politik adalah sejarah pada masa kini”.

Alih-alih perubahan situasi social politik di Indonesia bisa memberikan tempat bagi rakyat untuk bersuara tentang sejarahnya, justru yang terjadi adalah debat sejarah yang mempermasalahkan “masa lalu kuasa” atas rakyat, maka yang terjadi adalah perdebatan tentang kekuasaan dan segala variannya termasuk kuasa-kuasa elit di masa lalu. Para pengisi public debating pun didominasi oleh sebagian besar dari elit pasca kuasa Orde Baru dan melibatkan sedikit sejarawan akademis sebagai alat justifikasi “kebenaran obyektif”.
Memang, dalam setiap pergantian rezim selalu muncul kegamangan-kegamangan dalam soal historiografi pasca rezim otoritarian. Sejarah yang sebelumnya menjadi sejarah resmi yang tunggal dan monolitik mendapatkan gugatan-gugatan dari para penentangnya sebagai upaya delegitimasi atas segala mitos yang diciptakan melalui sejarah indoktrinatif. Tidak jarang perdebatan-perdebatan yang muncul kemudian secara sederhana dikelompokkan pada jenis oposisi binerial antara mereka yang dianggap sebagai pembela “sejarah resmi” dari rezim Orde Baru dan mereka yang dianggap penentang dari sejarah resmi itu, dengan kata lain disamakan dengan membela musuh-musuh Orde Baru.

Padahal sebagian besar dari pelaku debat itu mengetahui betul bahwa sejarah itu adalah serangkaian kompleksitas yang kemudian berusaha untuk dinarasikan kembali dalam teks-teks sejarah yang mengikuti kaidah-kaidah tertentu dalam merekontruksikannya. Buah dari pengelompokan secara binerial ini membuat sebagian besar sejarawan akademis gamang untuk terlibat dalam public debating karena simplifikasi ini tidak jarang membawa dampak lanjutan bagi sang sejarawan. Sementara itu yang menjadi korban adalah mereka yang selama ini menjadi objek dari pendidikan sejarah, yaitu anak-anak sekolah dan para pengajarnya. Karena dengan berkembangnya informasi dan jenis media yang sangat beragam saat ini memungkinkan anak-anak sekolah dan para pengajarnya untuk mengikuti perdebatan publik yang berkaitan dengan sejarah dan telah menjadi bagian dari sebuah pengetahuan yang di dapat dari “luar”. Sementara itu di dalam ruang-ruang kelas, karena kurikulum pendidikan sejarah telah menjadi sesuatu pedoman dari pengajaran sejarah yang berlaku secara nasional dan mempunyai standard dalam penyampaian maupun hasil yang diharapkan dalam suatu proyek pendidikan nasional maka tidak mudah untuk menyelaraskan antara apa yang dipelajari di dalam kelas dan apa yang diketahui di luar kelas.

Perdebatan serta kegamangan-kegamangan ini akan terus mewarnai dari gerak dari rezim dan masyarakat transisi saat ini sampai kemudian kita menemukan bentuk baru pasca rezim otoritarian, apakah kita akan berkonsolidasi menjadi negara demokratis atau justru kita akan mengalami fase yang sama dengan rezim sebelum reformasi? Tentu saja jawaban dari pertanyaan ini kalau ingin kita jawab bersama, kita menginginkan bahwa Indonesia harus menjadi negara demokratis. Dan syarat dari demokratisasi adalah partisipasi rakyat yang menjadi bagian dari warga negara yang aktif (citizen active). Kata partisipatif sebenarnya telah merujuk pada sebuah upaya dari pelibatan sebesar-besarnya akan inisiatif-inisiatif yang berangkat dari bawah. Maka tidaklah mengherankan apabila hari-hari ini kita mendengar bahwa “partisipatif” telah menjadi kerangka penting dari arus besar pembangunan saat ini.

Terlepas dari rancunya pemaknaan akan partisipasi apakah sebagai serangkaian proses atau hasil? tetapi arus partisipasi saat ini seakan memberikan jawab tentang masa depan Indonesia. Dalam kerangka gerakan social di Indoensia, partisipatif telah mendorong munculnya masyarakat-masyarakat sipil (civil society) yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang muncul dari negara. Demikian juga di ranah ilmu social, apa yang dinamakan sebagai Partisipatory Action Research (PAR) telah menjadi rujukan ilmuwan maupun para praktisi ilmu sosial untuk mengatasi kejumudan ilmu sosial yang positivis4. Partisipasi juga menuntut supaya suara-suara dari bawah dilibatkan sebagai suatu proses. Komunitas-komunitas menjadi subjek dan sekaligus obyek dari perencanaan, aksi maupun penerima manfaat dari segala keputusan maupun tindakan.

Pertanyaan mendasarnya adalah kalau partisipasi sekarang telah menjadi acuan dalam segala hal kenapa dalam dunia sejarah masih sangat minim penggunaannya?
Bisa jadi karena selama ini memang hubungan antara sejarah sebagai pengetahuan dan kekuasaan terjadi hubungan yang saling kait kelindan sehingga tidak bisa membedakan dimana “pengetahuan” dan dimana “kekuasaan”5, sehingga yang muncul adalah narasi-narasi resmi yang tunggal dan tidak membiarkan narasi lain berada dalam wilayah sejarah sebagai pengetahuan. Hal ini tentunya menjadi suatu kontradiksi dari arah pergerakan zaman yang sedang menuju kepada pelibatan partisipatif untuk demokrasi. Kegamangan itu disatu sisi menciptakan sejarah yang sepertinya asyik berdialog dengan dirinya sendiri, atau yang dalam bahasa Profesor Bambang Purwanto disebut sebagai sejarah yang berada di “menara gading”6. Sementara di sisi yang lain, sejarah menjadi sebuah pengetahuan yang antikuarian, dimana memperbincangkan sejarah tak ubahnya seperti menghadirkan masa lalu seperti halnya masa lalu terjadi,sehingga tidak diketemukan tentang apa relevansinya bagi masa kini? Akibatnya, “sejarah” dianggap menjadi sesuatu hal membosankan karena hanya orang-orang tertentu yang dapat menuliskan dan menceritakannya, dan yang lebih ekstrem adalah dianggap sebagai sesuatu yang tidak adanya gunanya karena tidak dapat menjawab kebutuhan masa kini. Barangkali pengurangan jam-jam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah saat ini adalah buah dari cara berpikir yang demikian? Kalau pengabaian sejarah sebagai pengetahuan dan kesadaran ahistoris yang demikian terjadi, maka kita bisa membayangkan apa yang terjadi dengan bangunan ke-Indonesiaan kita ke depan.

Maka sebelum semuanya terlambat ada baiknya kita mengembalikan fungsi sejarah untuk membangun kesadaran kewargaan kita. Salah satunya adalah mengembalikan sejarah kepada “pemilik”nya yaitu masyarakat, karena masyarakatlah yang sebetulnya membuat sejarah dan yang memiliki sejarahnya. Dengan kata kunci bahwa, “semua sejarah harus diakui sebagai Sejarah, dan bahwa semua orang dapat menjadi sejarawan7”. Upaya untuk mendekatkan sejarah dan masyarakat bisa dilakukan dengan menggunakan sejarah komunitas. Sejarah komunitas ini sudah begitu berkembang di luar negeri, seperti Inggris, Swedia dan negara-negara Eropa lainnya. Partisipasi komunitas dilibatkan dalam praktek penelitian dan penulisan sejarah yang lebih popular. Di Indonesia sendiri sebenarnya beberapa komunitas sudah mempraktekkan model sejarah ini dengan berbagai macam bentuknya. Ciri dari sejarah komunitas adalah pada aspek kelokalannya dan partisipasi dari anggota-anggota komunitas.
Proyek sejarah komunitas seringkali diikuti dengan serangkaian kegiatan; seperti perekaman dan wawancara sejarah lisan, mendorong laki-laki dan perempuan lokal untuk memproduksi buku dan pamphlet tentang sejarah lokalnya, bekerjasama dengan para guru untuk menulis muatan lokal dalam pelajaran sejarah yang dihubungkan dengan Kurikulum Nasional; perjalanan atau festival sejarah, pengumpulan benda-benda serta arsip sejarah kemudian membuatnya dalam satu pameran komunitas. Selain itu, orang-orang yang terlibat juga mendapatkan kesempatan untuk pelatihan keahlian seperti tehnik wawancara atau pengarsipan. Semua pekerjaan ini kemudian dikumpulkan dan ditampilkan di website dan terkadang juga diterbitkan sebagai laporan akhir proyek.

Tetapi terkadang proyek-proyek sejarah komunitas seperti ini tidak jarang mendapatkan cibiran dari para sejarawan akademis dianggap sebagai kerja amatiran, padahal oleh Kuntowidjoyo sendiri sudah dikatakan bahwa semua orang bisa menjadi sejarawan8. Pandangan miring terhadap sejarah komunitas dikarenakan sejarah komunitas dianggap tidak ketat dalam menggunakan metode (sejarah), tidak kontekstual dan tidak lebih sebagai kumpulan cerita yang sedikit sekali mengacu pada sejarah nasional yang lebih luas. Tetapi juga harus diingat bahwa dalam sejarah komunitas ini justru bisa mengatasi pemisahan fungsi sejarah sebagai pendidikan dan sejarah sebagai hiburan (seni), karena dengan dua fungsi tersebut sejarah komunitas bisa berkomunikasi dengan publik yang lebih luas, dimana sebagian besar sejarawan gagal melakukannya.

Partisipasi kewargaan dalam sejarah komunitas menunjukkan bahwa banyak orang berminat menjadi subjek dari sejarah. Bukan hanya sekedar obyek dari sejarah itu sendiri, dan ini adalah sesuatu yang penting diluar mengobati perasaan keingintahuan tentang sejarah, tetapi menawarkan kepemilikan atas sejarah dan kebanggaan atas wilayah yang didiaminya (tanah air?), ini adalah salah satu factor dalam membentuk kesadaran kewargaan.

sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/09/sejarah-komunitas-dan-kesadaran-kewargaan/

12 January 2012

Tips Menulis Puisi


"Apa saja unsur-unsur pembentuk puisi ?"

Kita banyak mengalami pengalaman hidup yang sangat berkesan dalam perjalanan hidup ini. Sayang jika pengalaman itu berlalu tanpa meninggalkan bekas. Apalagi kalau pengalaman itu bisa bermanfaat bagi orang lain atau berpotensi merubah cara pikir orang lain. Untuk bisa bermanfaat bagi dokumentasi pribadi atau untuk kepentingan orang lain, maka pengalaman atau pandangan kita tentang pengalaman hidup, apa yang kita saksikan dan alami, dapat kita tuangkan dalam bentuk tulisan kreatif. Salah satu bentuknya adalah puisi. Seorang penulis puisi atau penyair tidak akan meremehkan pengalaman-pengalamannya. Segala sesuatu yang dilihat dan dialaminya selalu tidak luput dari perhatiannya. Dia menjadikan semua itu sebagai sesuatu yang bermakna bagi orang lain.

Banyak orang berpikir bahwa menulis puisi itu rumit. Padahal jika kita telah mencobanya, kerumitan yang terbayangkan itu akan menjadi keindahan yang nyata. Untuk membantu anda menulis, perlu diketahui unsur - unsur apakah yang membentuk sebuah puisi ?

Secara umum orang mengatakan bahwa sebuah puisi dibangun oleh dua unsur penting, yakni bentuk dan isi. Waluyo (1987) berpendapat bahwa struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang bersama-sama membangun bait-bait puisi. Adapun unsur-unsur fisik yang termasuk dalam struktur fisik puisi menurut Waluyo adalah: diksi, pengimajian, kata konkret , majas, bersifikasi dan fipografi. Selain itu masih ada unsur yang lain yaitu sarana retorika.

Berikut diuraikan unsur-unsur tersebut:
1. Diksi
Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk menggunakan diksi dengan baik, penulis harus memahami masalah kata dan maknanya, tahu mengaktifkan kosa kata, memilih kata yang tepat dan sesuai dengan situasi dan mengenal corak gaya bahasa sesuai tujuan penulisan.

2. Pengimajian
Imaji (image) digunakan untuk memberi gambaran yang jelas dan membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran untuk menarik perhatian pembaca. Pengimajian merupakan sarana utama mencapai kepuitisan.

3. Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang diungkapkan penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca.

4. Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif membuat puisi memancarkan banyak makna atau kaya makna. Jenis bahasa figuratif misalnya adalah simile, metafora dan personifikasi.

5. Versifikasi

Versifikasi meliputi ritma (irama), rima (rhytme, pengulangan bunyi di dalam baris puisi) dan metrum (irama yang tetap).

6. Tipografi
Merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama.

7. Sarana Retorika
Merupakan pola atau gaya yang merupakan keistimewaan, kekhasan seorang pengarang. Sarana retorika disebut juga sebagai muslihat pikiran yang berupa bahasa yang tersusun untuk mengajak pembaca berpikir.

Demikian unsur-unsur pembentuk puisi semoga bermanfaat bagi calon penyair. (***) Dan, Selamat belajar dan JANGAN BERHENTI MENCOBA...

Sumber: http://id.shvoong.com/how-to/writing/2142889-cara-menulis-kreatif/#ixzz1jCLTh4Ip