30 September 2013

Foto di Bilik Semiotika Visual

by LOR



Sore itu, minggu terakhir  September 2013. Seperti biasa Rudy yang sedang kuliah S3 di PT ternama di Indonesia yang ada di Jogja itu akan ke Surabaya untuk urusan mahasiswanya yang butuh perhatian khusus. Bayangin aja nih mahasiswa, Risma namanya, sudah kuliah sejak 2005 silam dan baru akan diuji karya tulisnnya, akhir September 2013. Delapan tahun bro…. Dalam rangka itu Rudy ke Surabaya sebagai bentuk tanggungjawab pada mahasiswa bimbingannya ini.
      Sebelum berangkat ke stasiun, Rudy membuka arsip foto yang beberapa hari lalu ia hunting di sebuah kota kecil di sulawesi tengah, namanya kota Palu. Di kota ini bertemu dengan banyak objek yang harus direkam dengan kamera pijamannya sebelum berangkat. Foto-foto yang sempat direkam dalam perjalanan itu mulai ditatap satu per satu dan sudah menyiapkan program corell Draw versi X4 yang siap memberi kesan pada foto hasil jepreetannya.
      Mata Rudi tertuju pada satu foto yang amat loetjoe, itu paling tidak menurut Rudy Tapi belum tentu bagi yang difoto. Foto ini, bukan Rudy yang menjepreet, tapi sahabanya, namanya Adi yang dikenal semasa menjalani S2 di UGM. Rudy dan Adi sejak pertama kali bertemu sudah langsung akrab karena ditempa oleh sejarah yang sama, di daerah yang sama. Kalau nasib, pasti berbeda karena itu maunya Tuhan.
Keduanya seringkali bertemu di Forum pertemuan Ilmiah Sejarah, maklum Adi dan Rudy seprofesi, sejarawan. Rudy masih tergolong sejarawan amatiran di banding sahabatnya Adi. Adi sudah banyak menghasilkan setumpuk karya sejarah local dan tokoh, sedang Rudy belum mencapai level itu. Sekolahnya di S3 pun lebih cepat 2 tahun dari Rudy. Adi menempuh pendidikan doktornya di Universitas Ternama kedua di Kuala Lumpur. Universitas Kebangsaan Malaysia. Sedang Rudy hanya di dalam negeri, tapi no 1, bangga Rudy dalam hati.
      Foto yang menarik perhatian Rudy ini kemudian dicopy dan paste di corell Draw X4 yang sudah disiapkan. Komposisi imajinasi pun sudah dibayangkan Rudy.
Pasti tokoh dalam foto dikesankan oleh Rudy, Rudy yakin, foto dibaca dari ekspresi objek yang ada dalam foto, Rudi meminjam istilah semiotika visual yang baru dibaca sesaat sebelum meninggalkan Jogja dengan kereta api Sancaka yang terkenal se-indonesia itu.
Kata semiotika visual “selalu ada makna dari tanda yang ditangkap dalam media foto” emosi objek terekam dengan baik dari pancaran imajinasi pembacanya” imaji Rudy tertuju pada “kesan yang menempel pada foto ini. Ia adalah seseorang yang  memakai baju iklan sebuah Bank, Ia orang terpelajar, namanya si Mata Cantiq, dosen-dosennya juga sering memanggilnya begitu kalau di ruang kuliah. Teman sekelasnya mengaguminya karena kecerdasannya dan gemar membaca, ngaku Qaila, yang menganggap Si Mata Cantiq adalah malaikat yang diutus tuhan untuk menyelamatkan pendidikannya di sebuah universitas negeri di Tanah yang terkenal dengan makanan khasnya Kaledo, Palu, Sulawesi Tengah, ulas Qaila lagi.
      Gambar yang diolah Rudi sebenarnya amat sederhana, Rudy hanya menambahkan kotak dan teks dialog antara si mata Cantiq dengan penggemar ayam goreng kampong, namaya Fatimah.
Semiotika visual yang Rudy gunakan untuk memberi kesan foto tampak benar pada ekspresi objek, hidup, dan raut emosi yang memberi karakter foto itu. Rudi tidak kehilangan kata-kata dengan harapan apa yang dirasakan Rudy sama dengan yang dirasa pemeran utama, Fatimah si penggemar Ayam Goreng Kampung dan tentu saja si Mata Cantiq.
Poiter mouse Rudy mulai menari-nari di toolbar program aplikasi Corell Draw, mengatifkan fitur corell X4 yang sudah terinstal di laptop barunya yang ditunjang prosesor i5 dengan memory 4 Gigabyte itu. Mesin computer itu pasti dengan mudah melahap foto yang hanya berkapasitas 4,2 megabyte itu.
Sejurus kemudian foto itu selesai diolah, Rudy memberi teks “….hmm…sepupuku ini senang sekali pada ayam goreng kampong”, sambil melirik… Fatimah yang memang suka sekali dengan ayam goreng kampong.
Foto itu lalu diconvert Rudy ke file extension JPEG yang semua orang tau, kalau itu akan menjadi file gambar kalau sudah diolah dengan pengolah gambar semisal Corell Draw atau Photoshop.
Karena resolusinya besar, maka Rudy segera mengubah size foto itu.  Rudy hanya mengambil 17 persen saja sehingga ukurannya menjadi 720x480 pixsel,mirip ukuran video Pall HD dalam dunia videografi. Harapan Rudy jelas “mudah dan cepat segera meluncur ke media social Facebook andalannya”.
Rudy tampa berpikir panjang segera meluncurkan file olahanya itu ke Facebook. Setelah selesai, Rudy buru-buru mematikan laptop kesayangannya itu untuk segera meluncur ke stasiuan Tugu, Jogjakarta.Tempat kereta Sancaka parkir. Kereta itu yang akan membawa Rudy ke Surabaya untuk menunaikan tanggungjawabnya menguji skripsi Risma esok harinya.
Dalam perjalanan, Rudy berbekal 1 bungkus nasi Padang Untuang yang ia beli di jalan, dan sebuah novel karya Andrea Hirata, Sang Pemimpi”. Rudi membaca novel itu sampai sebelum waktu makan malamnya tiba, pukul 17.00. Kereta Sancaka pada jam itu juga akan tiba di Stasiun Solo Balapan, pukul 16.55 Waktu Jawa Tengah. Rudy sudah menyelesaikan tiga bagian dari novel bekalnya itu.
Selembar kertas tebal berukuran 20 x 5 cm yang terselip di novel sebagai penanda juga disiapkan penerbit. Tentu kertas mungil itu fungsinya menolong pembaca sebagai sela jika ada aktivitas lain yang menyela, duga Rudy.
Benar saja, kali ini Rudy ditolong kertas itu untuk memulai makan malamnya yang segera tiba itu. Kertas kecil itu pun menjalankan fungsinya dengan baik seperti dugaan Rudy, sebagai “penyela”. Titik.
Seusai makan, Rudi menyapa tetangga kursinya seorang yang berambut cepak. Dugaan Rudy jelas ia seorang militer, meski tak tahu dia dari jenis militer apa.Dalam bincang itu,Rudy memperkenalkan diri, “Mas kenalin, saya Rudy” ia pun tanpa kusuruh memperkenalkan dirinya, namanya Basyir,asal Bangkalan, sambil mengaku kerabat wakil Bupati Bangkalan Madura, Drs. H. Mundir Rofi’i.
O…oooo dari Bangkalan ya Mas?, sergah Rudy memulai pembicaraan. Basyir lalu bercerita banyak topic meski Rudy tidak memintanya.
Rudy pun menjadikan memori otaknya untuk merekam seluruh cerita Basyir dalam perjalanan menuju Madiun. Stasiun selanjutnya setelah Solo Balapan. Di stasiun Madiun, Kereta Sancaka tiba pukul 18.25, kali ini kereta Sancaka tepat waktu, tidak seperti biasanya.
Kereta sudah sampai Madiun, Rudy pamit melanjutkan bacaannya hingga Surabaya, Basyir ke kamar kecil dan sekembalinya langsung mengambil posisi “matanya merem-istirahat”. Rudy melanjutkan bacaannya, sebuah Novel karya Andrea Hirata.
      Tampa terasa, sebuah pengumuman meluncur dari speakers kereta api sancaka, “perhatian-perhatian kepada seluruh penumpang kereta api sancaka, perjalanan Anda sesaat lagi akan sampai di Stasiun Gubeng Surabaya” penguman itu dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris yang terbatah-batah.
      Stasiun Gubeng Surabaya adalah stasiuan di mana Rudy harus segera mengakhiri perjalanannya dari Jogjakarta, novel yang Rudy baca juga makin tipis alias hampir habis dibaca.Novel itu segera dimasukan ke dalam tas untuk dilanjutkan di kamar tercinta Rudy yang nyaman ber AC Daikin ¾ PK inverter dengan kursi sofa multifungsi itu, pasti salesai ini novel dibaca malam ini, aku Rudy sang peyakin.
      Sesampai di rumah, Rudi mengecek foto yang dia unggah atau upload di Facebook. Rudy juga membuka  SMS masuk dan ia“sepelekan”sepanjang perjalanan Jogja-Surabaya itu.
SMS yang dibaca pertama kali dari nomor yang tak teregister di HPnya, dari identifikasi no HP pengirim jelas sekali kali kalauu nomor tak bernama itu berasal dari salah satu provider terbesar di Indonesia, Telkomsel. Nomornya berawalan 08524******* dan memonopoli penyediaan jasa telekomunikasi di kota dan pulau-pulau kecil.
Isinya, sungguh mengagetkan Rudy. Seketika adrenalin Rudy terus naik tanpa batas. Rudy mencoba mencari penyebabnya. Dugaan Rudy pasti berhubungan dengan foto yang ia unggah sebelum berangkat ke Stasiun Tugu.
Benar saja, isi pesan singkat itu begitu memekakan telinga dan membuat debar jantung meninggi karena ancaman dahsyat itu.
”Rudy, SMS kutulis khusus untukmu, jangan ganggu pacarku, jangan mentang-metang terpelajar, lalu seenaknya kamu menjatuhkan penamu, lalu kau ambil pedang untuk merampas belahan jiwaku. Ingat! kami sudah pacaran lama sekali. Sejak 2011. Kemana-mana kuantar, tiba-tiba kau mau ambil, kau anggap apa aku ini?” bunyi SMS itu.
Sambil menetralkan adrenalin dan detakan jantungnya,  Rudy membuat segelas teh hangat dari dapur favoritenya yang berkeramik hijau daun, dan berbingkai mozaik mutiara.
Teh sudah tersedia,Rudy meneguk tehnya dan menarik napas dalam-dalam, sambil berharap efek teh mampu menetralkan detak jantungnya. Harapan Rudy sia-sia, karena sudah setengah gelas teh ia habiskan “ketenangan “ belum juga diperoleh.
Rudy teringat ajaran kyai Fathonah yang dulu ia kenal sewaktu  bertugas di Desa Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Ajaran kyai itu dipraktekan. Rudy ke kamar mandi kemudian memutar keran air yang meluncur deras dari tendon plastic merk “Penguins” yang ada di lantai tiga rumah Rudy.Rudy mulai mencuci tanganya, memasukan air ke dalam mulutnya, lalu dibuang lagi. “Oh…itu Rudy sedang berkumur-kumur dan, itu artinya Rudy sedang berwudhu”.  
Rudy melanjutkannya dengan membasuh bagian-bagian tubuhnya sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.Rudy kemudian mengambil sarung di kamar bawah rumahnya, lalu membentangkan sajadah panjang berwarna biru. Sajadah itu pemberian mahasiswanya yang sudah berangkat umroh tahun lalu.
Rudy kemudian Sholat dua rakaat, lalu naik ke kamar kesayangannya. Raut wajah Rudy sudah kelihatan tenang. Beda dengan sebelum wudhu dan sholat.
Rudi membuka Facebooknya lalu, memutuskan untuk menghapus foto yang ia posting dari Jogja itu. Rudy lalu menulis status di wall Fatimah.
“Fatimah, mohon maaf ya atas foto yang telah terpublish. Saya sudah menghapus link foto tersebut, karena takut menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh beberapa pihak. Maaf juga buat si Mata Cantiq yang juga telah menjadi salah satu bagian dari foto itu”.

Rudy pun hanyut dalam imajinasinya yang terbang kemana-mana karena foto itu.Sambil memendam rasa “impiannya” yang amat sulit diwujudkan. Di ujung imajinasinya, terselip angan, “jika tidak saat ini, Rudy ingin menunggu perpisahanmu” dan Rudy pun saat itu sudah menjadi pria sendirian".

Tepian Brantas, 30 September 2013

17 September 2013

Peran Sakura Dalam Prahara 1965

OLEH: HENDRI F. ISNAENI

Sejarawan Aiko Kurasawa ungkap peranan Jepang dalam pusaran peristiwa G30S 1965. Membuka kotak pandora.

PADA 30 September 1965, Duta Besar Shizuo Saito berada di Cilacap seusai menghadiri peresmian sebuah proyek perusahaan Jepang. Saito diangkat menjadi duta besar pada 1964. Pilihan ini tepat karena dia pernah memiliki kedudukan penting dalam Gunseikanbu Somubu (Departemen Urusan Umum) pada masa pendudukan Jepang, dan sejak itu dekat dengan Sukarno. Dia bisa bertemu Sukarno tanpa protokol.

Tanpa mengetahui apa yang terjadi di Jakarta, rombongan duta besar berangkat menuju Bandung. Setelah check in di Hotel Savoy Homann, seorang warga negara Jepang yang tinggal di Bandung memberitahu Saito bahwa telah terjadi kudeta di Jakarta. Saito segera berangkat ke Jakarta. Tengah malam dia sampai di Jakarta dan baru mendapat informasi lengkap dari stafnya.
Menurut Aiko Kurasawa, profesor emeritus Universitas Keio, Jepang, pada waktu itu, sudah lewat 24 jam setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Cukup mengherankan seorang duta besar tidak mengetahui kejadian yang begitu penting dalam waktu cukup lama. “Tetapi melihat perkembangan yang begitu cepat dan sebelumnya informasi yang beredar simpang siur, maka dapat dimaklumi tindakan sang duta besar,” kata Aiko dalam seminar di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta (17/9).

Selama peristiwa itu, walaupun Kedutaan Jepang tanpa duta besar, mereka tetap mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri di Tokyo. Dalam telegram 1 Oktober 1965pukul 12.00 siang tanggal  disebut bahwa Letnan Kolonel Untung, komandan batalion Tjakrabirawa, mengambil tindakan untuk mencegah rencana kudeta oleh Angkatan Darat. Tetapi, dalam telegram yang dikirim pada jam 20.50, disebutkan bahwa peristiwa ini sebenarnya direncanakan Partai Komunis Indonesia dan penjelasan pihak Dewan Revolusi bahwa mereka mengambil tindakan untuk mencegah kudeta oleh jenderal-jenderal itu hanya dalih belaka. Laporan ini berdasarkan informasi “sumber khusus” kedutaan. Laporan ini juga menambahkan analisis bahwa “tidak mungkin presiden bisa merebut kembali kekuasaan sebelumnya” dan “ada kemungkinan terjadi civil war.”

Sementara itu, Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato dalam catatan hariannya tanggal 2 Oktober 1965 menulis: “Sejak kemarin tidak ada lagi informasi tentang kudeta, dan kita tidak bisa menangkap situasinya. Tentu ini adalah clash antara kiri dan kanan, tetapi tidak begitu jelas pihak yang mana yang menyerang dulu.”

Pada masa awal peristiwa G30S, kebanyakan politisi dalam pemerintahan Jepang bersimpati kepada Sukarno dan berharap dia dapat mengendalikan keadaan. Perdana Menteri Sato mengirim pesan kepada Sukarno mengucupkan “rasa syukur atas keselamatan Presiden”, mengikuti pesan yang telah disampaikan sebelumnya oleh Tiongkok, Pakistan, dan Filipina.

Pesan itu langsung disampaikan oleh Duta Besar Saito pada 12 Oktober 1965. Kalimat pesannya: “Di Jepang ada pribahasa ‘sesudah hujan tanah menjadi lebih keras lagi.’ Seperti itu kami mengharapkan agar Bapak Presiden mengatasi kesulitan yang dihadapi sekarang dan basis negara RI akan menjadi lebih kuat lagi.”

“Sementara negara-negara barat tidak ada yang menyampaikan pernyataan demikian,” ujar Aiko.
Pada saat itu, pemerintah Jepang merasa perlu membantu ekonomi Indonesia dan memikirkan kemungkinan memberi bantuan pangan dan sandang senilai 2 miliar yen. Tetapi, tidak jelas bantuan tersebut ditujukan kepada Sukarno atau kepada Angkatan Darat. Bantuan sebesar itu pasti memperkuat salah satu pihak yang terlibat dalam perimbangan kekuatan. Karena sandang dan pangan kebutuhan rakyat dan tidak bersifat politik atau militer, pemerintah Jepang agak naïf dan tidak memikirkan hal itu. “Hal itu sangat berbeda dengan Amerika Serikat yang selalu berhati-hati agar bantuan mereka tidak jatuh ke tangan Sukarno,” kata Aiko.

Duta Besar Saito bertemu Sukarno pada 11 November dan terkejut mendengar ucapan Sukarno yang menghina CIA dengan mengatakan CIA membiayai propaganda pro-Amerika dengan memakai dana Rp150 juta. “Saito kecewa sikap Sukarno yang tidak mau memahami kenyataan dan memutuskan dia tidak bisa membela Sukarno lagi,” kata Aiko.

Saito menilai Sukarno terlalu dini membuat kesimpulan kepada Amerika Serikat. Cara pandang Sukarno terhadap Amerika Serikat secara tak langsung berpengaruh kepada sikap politik Jepang terhadap Sukarno. Terlebih karena Jepang kongsi Amerika Serikat.

Sejalan dengan keputusan Saito, pemerintah Jepang juga mulai mengambil sikap demikian. Padahal, Perdana Menteri Sato pernah menyatakan kepada Menteri Listrik Setiadi Reksoprodjo ketika bertugas ke Jepang, tentang kemungkinan Jepang memberikan suaka kepada Sukarno.  

Menurut Saito, Adam Malik juga pernah meminta kepadanya agar jangan memberi bantuan sebelum ada perubahan pemerintahan. Karena itu, kemungkinan besar Jepang tidak memberi bantuan apa-apa sebelum Maret 1966.

Pada awal Desember 1965, Adam Malik sendiri menerima dana sebesar Rp50 juta dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, melalui Shigetada Nishijima. Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima menjadi staf di kantor Angkatan Laut Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda dan mempunyai hubungan erat dengan para pemuda termasuk Adam Malik. Adam Malik menyerahkan dana tersebut kepada Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) yang didirikannya bersama Soeharto dan Hamengku Buwono IX. Cerita ini baru dibongkar oleh McAvoy, mantan diplomat Kedutaan Besar Amerika Serikat yang menyerahkan dana tersebut kepada Nishijima. Nishijima sendiri belum pernah mengakuinya, namun dugaan tersebut telah beredar di kalangan komunitas Jepang di Jakarta. KAP-Gestapu diketuai oleh Subchan ZE dan Harry Tjan Silalahi.

Selain dana dari Nishijima, menurut pengakuan Dewi Sukarno kepada Aiko Kurasawa, juga ada uang yang diberikan kepada Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) atas keputusan pribadi Perdana Menteri Sato. Dana ini untuk mendukung Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). KAP-Gestapu dan KAMI adalah gerakan anti-komunis yang menuntut pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga sandang-pangan.

Pada 23 Desember 1965, Duta Besar Saito bertemu dengan Sukarno dan memberikan kredit sebesar $6 juta untuk membeli kain untuk hari raya Idulfitri. Nishijima menyampaikan keberatan kepada duta besar. “Dan Duta Besar mengakui bahwa dia telah merelakan ini karena terbawa perasaan kasihan (simpati) kepada Sukarno yang terkait dengan hubungan pribadi,” kata Aiko.

Pemerintah Jepang, yang semula bersimpati kepada Sukarno, kemudian realistis dan mengharapkan adanya rezim baru yang lebih memihak barat dan berorientasi kepada pembangunan ekonomi dengan menerima modal asing. Begitu kebijakan dasar pembangunan di Indonesia berubah, pemerintah Jepang segera mengambil prakarsa membantu Soeharto membangun Orde Baru dan akhirnya menjadi donatur terbesar rezim Soeharto. Di belakang itu, terdapat keinginan kalangan bisnis Jepang yang dari dulu sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Sejak itu, politik luar negeri Jepang terhadap Indonesia lebih cenderung mengutamakan dagang ketimbang politik.

Sumber: http://historia.co.id/?c=2&d=1272

13 September 2013

Di Indonesia, Aksi Protes Sudah ada Sejak Jaman Kerajaan

Oleh: ULFA ILYAS

Aksi protes hampir terjadi setiap hari di Indonesia. Sejak reformasi digulirkan, hak menyatakan pendapat di depan umum pun diakui. Maklumlah, selama 32 tahun kekuasaan orde baru, hak itu sangat dilarang untuk dipergunakan. Meski begitu, pemerintah kita, entah yang berbaju reformis sekalipun, selalu alergi dengan aksi-aksi protes. Padahal, protes adalah hal yang lumrah dalam negara demokratis. Toh, setiap orang tidak mungkin dipaksa punya sikap dan pilihan yang sama.

Jika ditanyakan: dari mana datangnya tradisi aksi protes? Sebagian diantara kita, utamanya yang malas membuka lembaran sejarah bangsa sendiri, tentu mengira tradisi itu datang dari Eropa. Ya, bisa saja ada yang bilang, “Itu tradisi dari revolusi Perancis, Rusia, dan lain-lain.”

Tetapi, rupanya, tradisi aksi protes sudah dikenal di negara kita sejak lama. Persisnya, di jaman kerajaan dulu, atau sering disebut: Feodalisme. Mohamad Hatta, Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia yang cerdas itu, menyebut tradisi protes sebagai ‘hak rakyat Indonesia yang asli’.
Dalam tulisannya, Tuntut Kemerdekaan Pers, Bung Hatta merujuk pada dua prinsip hukum adat Indonesia: Rapat, sebagai tempat utusan rakyat mencari permufakatan, dan Hak Rakyat untuk membantah secara umum (recht op massa-protest).
Raja-raja nusantara yang paling lalim sekalipun, kata Bung Hatta, tidak pernah melanggar hak-hak rakyat tadi. Dengan demikian, hak protes sudah seperti harta pusaka bangsa Indonesia yang dipunyai sejak lama.
Langit Kresna Hariadi, yang menulis buku tentang Gajah Madah, patih Majapahit yang terkenal itu, sempat menyentil praktek aksi protes di era Majapahit. Ia menyebut tentang adanya tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa.
Dahulu, di masa Kerajaan Surakarta, misalnya, tradisi protes ini juga sudah dikenal. Kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan secara khusus. Biasanya tempat aksi protes, yang sering disebut “tapa-pepe”, sering dilakukan di alun-alun keraton.

Protes ini tidak dianggap “pembangkangan” terhadap raja. Sebab, dengan posisi raja sebagai “pengembang keadilan”—perwujudan Ratu Adil, maka aksi protes atau “tapa pepe” itu dianggap sah dan diakui sebagai hak dasar rakyat. Menariknya, sekalipun pelaku “tapa pepe” hanya perorangan, raja biasanya langsung merespon dengan memanggil dan menanyakan maksudnya.
Di luar masyarakat Jawa, tradisi protes dan kebebasan berpendapat juga dikenal oleh masyarakat Bugis. Bahkan, seperti dicatat oleh sejarahwan Bugis, Prof Dr Mattulada, hak protes dalam masyarakat Bugis sudah diatur dalam sistem norma.
Salah satu prinsip demokrasi Bugis, yang sudah dijalankan jauh sebelum Eropa mengenal kata demokrasi, adalah konsep “kedaulatan rakyat”:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat; Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum; Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan Rakyat banyak)

Orang Bugis juga sudah mengenal konsep “kemerdekaan manusia” (amaradekangeng). Ini ditulis dengan jelas dalam Lontarak, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Di situ sudah tertulis prinsip berikut:

Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.

(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan)

Dalam pengakuan mengenai “Hak Protes”, masyarakat Bugis sudah mengaturnya dalam sistim adat. Ada lima bentuk aksi protes yang dikenal oleh masyarakat Bugis:

1. Mannganro ri ade’ : hak mengajukan petisi atau permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu kehidupan rakyat. Ini adalah model aksi yang mirip dengan pengajuan petisi, pernyataan sikap, atau konferensi pers di jaman sekarang.
2. Mapputane‘ : hak untuk menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. Ini model aksi yang mirip dengan metode negosiasi di jaman sekarang.
3. Mallimpo-ade’ : protes yang dilancarkan kepada raja yang bertindak sewenang-wenang atau pejabat kerajaan lainnya. Biasanya, jalan ini ditempuh setelah metode Mapputane’ menemui kegagalan. Pelaku protes Mallimpo-ade’ tidak akan meninggalkan tempat protes sebelum permasalahannya selesai. Ini hampir mirip dengan model-model aksi pendudukan yang menginap berhari-hari bahkan berbulan-bulan di lokasi aksi.
4. Mabbarata, hak protes rakyat yang sifatnya lebih keras, yang biasanya dilakukan dengan berkumpul di balai pertemuan (barugae). Aksi protes ini biasanya akan meningkat menjadi perlawanan frontal (pemberontakan) jikalau raja tidak segera menyelesaikan tuntutan rakyat. Ini mirip dengan rapat akbar atau vergadering yang sudah dikenal sejak jaman pergerakan anti-kolonial.
5. Mallekke’ dapureng, aksi protes rakyat yang dilakukan dengan cara berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan jikalau empat metode aksi di atas gagal menghentikan kesewenang-wenangan sang Raja. Ini mirip dengan gerakan protes sekarang yang disebut “Suaka Politik” ke negara lain.

Dengan melihat sekelumit sejarah di atas, adalah sangat naïf, bahkan memalukan, jikalau pemerintah sekarang alergi dengan aksi protes. Sebab, aksi protes bukanlah sesuatu yang buruk, justru dipandang perlu untuk “menyehatkan pemerintahan”.

25 August 2013

DISTRIBUSI DOSEN WALI LA ODE RABANI

Untuk yang ingin mengetahui dosen walinya yang baru, yang sebelumnya dosen Walinya Saya (la Ode Rabani bisa KLIK DISINI atau DISINI JUGA BOLEH

Dasar pembagiannya ini adalah karena saya akan melanjutkan studi sehingga tidak memungkinkan untuk memantau dan melakukan aktivitas akademik yang rutin.

Jika ada hal yang perlu ditanyakan silahkan komunikasi ke No HP, email saya atau media lain yang memungkinkan.


Terima kasih, tetap semangat, belajar yang tekun, bekerja keras dan jangan lupa Memabaca dan Memahami isi bacaannya.

24 August 2013

CATATAN SINGKAT SEJARAH JAWA TIMUR

A. Masa Kerajaan

Sumber-sumber epigrafis yang ditemukan di Indonesia banyak yang memberikan informasi tentang sistem pemerintahan di Indonesia. Perkembangan pemerintahan pada masa kerjaan diketahui dimulai sejak zaman Mataram Kuno (760-929), Medang (937-1080), Kediri (1080-1222), Singasari (1222-1292), Majapahit (1294-1527), Demak-Pajang (1575), dan Mataram Islam (1575-1755).

Menurut Prasasti Canggal (732 M), Kerajaan Mataram Kuno di bawah pimpinan Raja Sanjaya, struktur pemerintahan bersifat konsentris. Secara hierarkis pemerintahannya terdiri dari pemerintah pusat (kerajaan), pemerintah daerah (watek), dan pemerintahan desa (wanua). Pada pertengahan abad X oleh Pu Shendok, salah seorang keturunan Dinasti Sanjaya terakhir di Jawa Tengah, pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur. Disamping itu, ia juga melakukan konsolidasi kekuasaan dan pemerintahannya dalam suatu sistem dan struktur yang lebih mantap. Pu Shendok juga membangun wangsa atau dinasti baru yang dikenal dengan Wangsa Isana.
Keturunan Wangsa Isana berkembang di Kediri (1049-1222). Pada masa di Kediri ini muncul perubahan dalam struktur pemerintahan dengan munculnya istilah thani, wisaya, dan bhumi seperti yang terungkap pada prasasti Hantang (1135). Selain itu juga muncul istilah haji atau lurah yang diduga merupakan pejabat wilayah pada tingkat wisaya. Satuan wilayah wisaya ini menggantikan istilah watek pada abad sebelumnya. Istilah bhumi yang muncul dapat disejajarkan dengan istilah nagara. Namun istilah bhumi mengacu kepada ibukota, sedangkan nagara merupakan sebutan bagi satuan wilayah yang secara geografis maupun fisik dipimpin oleh seorang haji. Melihat realitas diatas maka dapat disimpulkan bahwa struktur pemerintahan pada masa kerajaan Kediri terdiri dari thani (desa), wisaya/lurah/haji (kabupaten), dan bhumi (pusat).

Pada masa kerajaan Singhasari (1222-1292) terjadi perkembangan baru dalam struktur pemerintahan di Jawa Timur. Berdasarkan prasasti Mula-Manurung, 28 Desember 1255 yang dikeluarkan Raja Seminingrat, muncul institusi baru, yaitu nagara sebagai satuan wilayah pemerintahan. Institusi baru ini posisinya berada di atas watek/wisaya dan di bawah raja. Perubahan ini dilakukan untuk perluasan kawasan politik, khususnya dalam politik perdagangan.

Arca Dwarapala masa Singasari

Struktur pemerintahan lebih mengalami kemajuan pada masa Kerajaan Majapahit (1294-1527). Pada masa ini pemerintahannya telah menerapkan orientasi keluar dan memantapkan sistem penataan wilayah dan pemerintahan. Masa ini muncul jabatan-jabatan seperti Pahom Nahendra (Dewan Kerajaan), Saptaprabu (Dewan Pertimbangan), Saptaupapati (Pejabat Kehakiman), Panca Thanda (Birokrasi), dan Darma Putera, serta Bhayangkari (pasukan keamanan khusus).

Wilayah kerajaan Majapahit, khususnya di Jawa dibagi menjadi sejumlah propinsi yang membawahi sejumlah penguasa lokal: bupati, akuwu, dan demang. Para penguasa lokal ini menerima kekuasaan dari raja. Namun ia harus melakukan kewajiban seperti menyediakan tenaga untuk keperluan raja dan kepentingan militer jika diperlukan, membayar pajak, dan menghadap ke ibukota atau ke istana untuk menyatakan kesetiaan. Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya, setelah wilayah Majapahit semakin luas, raja dijadikan sebagai pusat kosmis. Untuk itu diangkatlah keluarga raja menjadi adhipati atau gubernur pada nagara-nagara atau propinsi sebagai penghubung antara raja dengan masyarakat desa. Dalam konteks demikian Raja Hayam Wuruk mengukuhkan undang-undang pemerintahan dan ditetapkannya hari jadi pemerintahan nagara setingkat provinsi di Jawa Timur dalam struktur pemerintahan kerajaan Majapahit pada tanggal 27 Maret 1365 M.

Keputusan ini diperkuat setelah Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Majapahit di bagian timur, yang dalam perkembangannya kemudian daerah-daerah tersebut menjadi wilayah Provinsi Bang Wetan atau Jawa Timur.

Denah lingkungan Keraton Majapahit (sumber : Prof.Dr. Slametmuljana)

Tanggal lain yang juga berhubungan dengan masalah penetapan munculnya pemerintahan nagara atau provinsi selain prasasti Mulamanurung ialah tanggal peluncuran Nagarakrtagama sendiri yaitu, tanggal 25 September 1365.

Dari informasi yang ditemukan secara vertikal struktur pemerintahan Majapahit dari atas ke bawah adalah sebagai berikut: bhumi (pusat/maharaja), rajya (nagara) (provinsi/raja/natha/bhatara/wadhana/adhipati), watek/wiyasa (kabupaten/ tumenggung), lurah/kuwu (kademangan/demang), thani/wanua (desa, petinggi), kabuyutan (dusun/dukuh/lingkungan/rama). Wilayah propinsi pada Kerajaan Majapahit yang semula pada abad XIV berdasarkan pemberitaan Negarakrtagama berjumlah dua belas, yaitu:

Berdasarkan prasasti Suradakan, 22 Nopember 1447 provinsi di Majapahit berkembang menjadi empat belas, yang masing-masing satuan daerah itu dipimpin oleh seorang bangsawan keluarga raja sebagai raja muda yang bergelar Bhatara atau gubernur. Keempat belas daerah dan natha tersebut adalah:


Keruntuhan Majapahit pada awal abad XVI memunculkan kerajaan baru yaitu Demak (1478-1546) dan Pajang (1546-1582). Kerajaan Demak yang dipimpin Sultan Trenggono berhasil menaklukkan wilayah-wilayah sampai ujung timur Jawa. Namun beliau tewas dalam usaha penaklukan tersebut. Kemelut politik yang terjadi setelah Sultan Trenggono wafat memunculkan tokoh baru yaitu Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya yang memindahkan pusat kerajaan ke daerah pedalaman di Pajang. Pada masa Pajang ini Jawa terbagi menjadi 5 provinsi yaitu (1) Pajang sebagai inti kerajaan, (2) Pesisir Utara Jawa Tengah dan sebagian Pesisir Utara Jawa Timur, (3) Pesisir Barat dari Cirebon sampai Banten, dan (4) Mancanagara, dan (5) Bang Wetan. Namun sumber lain (de Graaf) ada yang menyebutkan bahwa pada masa Pajang terbagi menjadi delapan wilayah provinsi yang merdeka dan terpisah, yaitu Banten, Jayakarta, Cirebon, Prawata, Kalinyamat (Japara), Pajang, Kedu, dan Madura.

Pada masa Kerajaan Mataram (1575-1755) di bawah Sultan Agung, kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berhasil ditaklukkan. Mulai dari Madiun (1590) hingga Blambangan (1635) wilayah Jawa Timur praktis dapat disatukan di bawah panji-panji Mataram. Untuk mempertahankan integrasi wilayahnya dilakukan ikatan perkawinan dengan keluarga kerajaan, misalnya Adipati Surabaya dengan adik Sultan, Ratu Pandansari. Bahkan Sultan Agung melakukan perhelatan besar pada tahun 1936 dan 1941. Perhelatan atau Sidang Raya Kerajaan ini diselenggarakan bertepatan dengan upacara Gerebeg Maulud tanggal 14 Agustus 1636. Agenda sidang tersebut adalah :
1. Peresmian pemakaian kalender hijriah untuk menggantikan kalender Saka.
2. Dilakukan registrasi wilayah kerajaan dan penetapan struktur pemerintahan.
3. Penetapan wilayah administrasi pemerintahan di mana wilayah propinsi seperti Bang Wetan yang terdiri dari Mancanagara Wetan dan Pesisir Wetan dipimpin oleh wedhana bupati atau adhipati yang statusnya dapat dibandingkan dengan Gubernur karena posisinya berada di atas tingkatan bupati.

Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram banyak melakukan perubahan-perubahan pada sistem pemerintahannya. Perubahan ini tidak luput dari situasi politik yang terjadi pada saat itu. Dari sudut konsentrisme yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan, wilayah Mataram dibedakan atas empat golongan, yaitu (1) Kuthagara atau Kutanegara (negara) yaitu keraton sebagai titik pusat dan tempat tinggal raja. (2) Bhumi Narawita (tempat para hamba raja), yaitu tempat tinggal para bangsawan kerajaan. (3) Nagaragung, yaitu daerah di luar ibu kota di mana di daerah ini terdapat tanah jabatan dari para bangsawan yang bertempat tinggal di Bhumi Narawita. (4) Mancanagara, yaitu daerah di luar nagaragung yang meliputi mancanagara wetan (mulai Ponorogo ke timur), mancanagara kulon (mulai Purworejo ke barat), pesisiran pantai utara yang terdiri atas pesisiran kulon (Demak ke barat) dan pesisiran wetan (Demak ke Timur).

B. Masa VOC


Pelabuhan Perak Surabaya sudah ramai sejak masa VOC (illustrasi HJ van Heisen, KITLV)

Kedatangan VOC ke Pulau Jawa membawa pengaruh terhadap keruntuhan Kerajaan Mataram. Dari serangkaian perjanjian yang terjadi antara Raja Mataram dengan VOC, kemelut kekuasaan dalam keluarga kerajaan dan ketidaksetiaan di bawahnya, menjadikan Kerajaan Mataram berada dalam kondisi yang semakin sulit. Satu persatu wilayah kekuasaannya berhasil dikuasasi dan berada di bawah pengaruh VOC. Misalnyai pada tahun 1743 seluruh Pesisir Utara Jawa, bahkan wilayah Pesisir Wetan yang berhasil dikuasai dibentuk propinsi Java Oosthoek (Propinsi Pojok Timur Jawa). Bahkan sampai bergantinya kekuasaan VOC menjadi Hindia Belanda, daerah Pesisir Wetan disebut dengan Java Noord-Oostkost yang berpusat di Surabaya (1743-1808), sedang Pesisir Utara Jawa berpusat di Semarang.

Pada masa VOC untuk mengamati daerah pantai utara sampai timur Jawa ditugaskan kepada gubernur yang berpusat di Semarang. Di daerah yang dikuasainya, VOC juga menempatkan residen untuk wilayah karesidenan dan bupati untuk wilayah kabupaten.


C. Masa Hindia Belanda (1800-1942)


Setelah keruntuhan VOC yang resmi dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), Pulau Jawa terbagi menjadi sembilan propinsi yang dinamakan prefect. Bahkan sistem pemerintahan daerah yang dibangun pada masa VOC dirombak. Kekuasaan gubernur pantai utara-timur Jawa dibagi dalam sembilan prefektur yang dipimpin oleh seorang prefect. Kedudukan prefect sebagai residen dipegang oleh orang Belanda dan dibantu oleh asisten residen. Jawa sendiri dibagi dalam 30 kabupaten. Hak turun temurun bupati dihapuskan, penentuan hak atas tanah, hak mendapatkan pelayanan, tenaga kerja, dan hak pemungutan hasil pertanian dikurangi. Sebagai kompensasinya para bupati diberi kedudukan sebagai pegawai pemerintah yang digaji.

Pada masa Daendels, Jawa jatuh ke tangan Pemerintah Inggris. Thomas Stanford Rafles (1811-1816) diangkat sebagai Letnan Gubernur untuk mewakili Raja Muda Inggris, Lord Minto yang berkedudukan di India. Pada masa pemerintahan Raffles, Jawa yang meliputi seluruh kawasan Pesisir Utara Jawa dibagi menjadi 16 (enam belas) provinsi ; Banten, Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Jipang-Grobogan, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Banyuwangi, dan Madura. Adapun untuk daerah pedalaman yang terdiri atas wilayah Vorstenlanden Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang meliputi Mancanagara Wetan dan Mancanagara Kilen.

Selanjutnya Jawa dibagi atas 17 wilayah karesidenan yang masing-masing wilayahnya dipimpin oleh seorang residen berkebangsaan Eropa. Setiap karesidenan dibagi atas kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Bupati dibantu oleh seorang patih yang bertugas mengawasi kepala teritorial yang lebih rendah seperti wedana dan asisten wedana. Dalam sistem kepegawaian pemerintahan pribumi terdapat mantri (orang yang melaksanakan tugas khusus), penghulu (orang yang bertugas dalam urusan keagamaan), dan jaksa (orang yang bertugas dalam urusan hukum dan pajak).

Pada tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Regeerings Reglement. Menurut salah satu pasalnya disebutkan bahwa bupati dipilih oleh Gubernur Jenderal dari kalangan pribumi. Hal ini semakin memperkuat status dan kedudukan bupati. Kemudian dengan pemberlakuan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie Jawa dibagi dalam daerah-daerah administratif yang disebut gewest. Setiap gewest mencakup beberapa afdeeling (setingkat dengan kabupaten dan dipimpin oleh seorang asisten residen), district (setingkat dengan kawedanan dan dipimpin oleh seorang controleur), dan onderdistrict (setingkat dengan kecamatan dan dipimpin oleh aspirant controleur).

Pada awal abad XX, setelah banyak terjadi kritik terhadap pemerintahan Belanda di Hindia Belanda oleh tokoh-tokoh politik di Negeri Belanda, maka pada tahun 1903 dikeluarkan Wet Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (undang-undang tentang Desentralisasi di Hindia Belanda) yang bertujuan untuk pembentukan daerah-daerah otonom di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada prinsipnya undang-undang tersebut membuka kemungkinan pembentukan daerah otonomi dengan nama Locale Ressorten untuk menyelesaikan tugas-tugas lokal melalui dewan-dewan. Dengan demikian terbentuk Gewestelijke Raden (untuk daerah gewest/karesidenan), Plaatselijke Raden (untuk bagian dari daerah gewest/karesidenan, dan Gemeente Raden (untuk bagian daerah gewest yang berbentuk kota/kotapraja).

W.Ch. Handerman

Undang-undang desentralisasi ternyata dirasa kurang memuaskan karena hanya sedikit uang yang diserahkan ke daerah. Akhirnya pada tahun 1922 dikeluarkanlah peraturan baru yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming. Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi (provinciaal raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van gedeputeerden (Dewan Pelaksana Pemerintahan Harian). Gubernur diangkat oleh gubernur jenderal, dan gubernur juga berkedudukan sebagai ketua provinciale raad dan college van gedeputeerden.
Sebagai tindak lanjut dari bestuurhervormingswet dibentuk Gewest Oost Java. Peraturan ini berlaku sejak 1 Juli 1928 dan berkedudukan di Surabaya. Diangkat sebagai gubernur van het Gewest Oost Java adalah W. Ch. Hardeman. Pengangkatan ini berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 Juni 1928 No. 32. Keputusan ini berlaku sejak 1 Juli 1928.

Pembentukan gewest dirasa kurang memenuhi harapan, selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda membentuk provinsi-provinsi di wilayah gewest. Pembentukan provinsi Jawa Timur diundangkan dalam Instelling van de Provincie Oost-Java. Undang-undang ini terdiri atas 25 pasal. Dalam pasal 25 dinyatakan bahwa peraturan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1929. Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa wilayah Jawa Timur adalah sebuah provinsi dan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa kedudukan pemerintahan Jawa Timur di Surabaya. Tempat dan kekuasaannya meliputi: (1) Surabaya, Mojokerto, Gresik, dan Bojonegoro; (2) Madiun dan Ponorogo; (3) Kediri dan Blitar; (4) Pasuruan, Malang, dan Probolinggo; (5) Bondowoso dan Jember; dan (6) Madura Barat dan Madura Timur.

Sebagai gubernur pertama diangkat W. Ch. Hardeman atas dasar Gouvernementbesluit tanggal 17 Desember 1928 No. 1x. Keputusan ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929.


D. Masa Pendudukan Jepang

Setelah tentara Jepang merebut dan menguasai Hindia Belanda dibentuk pemerintahan militer yang bersifat sementara. Pemerintahan militer Jepang membagi wilayah bekas Hindia Belanda menjadi tiga wilayah, yaitu (1) Angkatan darat (Tentara Keduapuluhlima) untuk Sumatera dan berkedudukan di Bukit Tinggi; (2) Angkatan Darat (Tentara keenambelas) untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta; (3) Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, kalimantan, dan Maluku dan berkedudukan di Makasar.

Pada bulan Agustus 1942, pemerintahan sementara ini berakhir dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsyu Syi. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan reorganisasi struktur pemerintahan. Menurut Undang-undang No. 27 seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas Syu (Karesidenan), Syi (sama dengan daerah stadsgemeente/kotapraja), ken (kabupaten), gun (kawedanaan/district), son (kecamatan/onderdistrict), dan ku (desa/kelurahan).

Tentara Jepang memperingati UlangTahun Kaisar Hirohito di Surabaya, 1944 (sumber :KITLV)


Dalam struktur pemerintahan pendudukan Jepang ditetapkan pemerintahan daerah tertinggi adalah Syu. Pulau Jawa terbagi atas 17 Syu, yaitu Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati,Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Berdasarkan pembagian tersebut, di Jawa Timur terdapat tujuh karesidenan, yaitu Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Hal ini tidak beda dengan pembagian karesidenan pada masa Hindia Belanda. Dengan demikian pembagian wilayah berdasarkan propinsi dihapuskan. Hal yang cukup menarik di sini adalah walaupun wilayah daerah kekuasaan Syu seluas daerah residensi pada masa Hindia Belanda, namun kekuasaannya sama dengan gubernur. Syucokan selaku penguasa Syu menjalankan pemerintahan umum, mengurus kepolisian, memerintah dan mengawasi Kenco, Syico, Keisatushoco (Kepala Kantor Besar Propinsi) dalam wilayah Syu. Selanjutnya berdasarkan Osamu Seirei No. 28 tahun 1942, dalam syu dibentuk suatu dewan yang dinamakan Cokanto atau Majelis Pembesar Syu. Dewan ini bukan DPRD melainkan dewan biasa yang bertugas memberi pertimbangan kepada Syucokan apabila diperlukan.

Meskipun provinsi-provinsi dan gubernur-gubernur dihapuskan, karesidenan (syu), kawedanaan (gun), dan kecamatan (son) tetap berada di bawah Departemen Urusan Dalam Negeri (Naimubu) di Jakarta yang pada gilirannya bertanggungjawab kepada Komando Tentara Keenambelas yang berkuasa.

E. Masa Kemerdekaan

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang, tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan: (1) Membagi wilayah RI ke dalam delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Masing-masing provinsi dikuasai oleh seorang gubernur; (2) Setiap provinsi dibagi menjadi sejumlah karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen; (3) Dalam menjalankan tugasnya gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah; (4) Kedudukan pemerintah kota diteruskan seperti sekarang. (Berita Republik Indonesia, II/7, 15 Februari 1946, hlm. 48).

Berdasarkan Pengumuman Pemerintah yang dikeluarkan oleh Badan Penerangan tanggal 19 Agustus 1945 tentang pengangkatan menteri-menteri dan kepala daerah, R.M.T.A. Soerjo diangkat sebagai Gubernur Propinsi Jawa Timur. Namun demikian R.M.T.A. Soerjo baru menjalankan tugas pemerintahannya dan datang ke Surabaya tanggal 12 Oktober 1945. Mengingat pada masa yang sama ia juga menjabat sebagai residen Bojonegoro. Adapun jabatan residen di Jawa Timur yang diangkat selengkapnya adalah: (1) R.M.T.A Koesnindar (Madiun), (2) R. Abd. Rahman Pratalikrama (Kediri), (3) R.M.T.A. Soerjo (Bojonegoro), (4) R. Soedirman (Surabaya), (5) Mr. R.S. Boediarto Martoatmocjo (Besuki), (6) R.A.A. Tjakraningrat (Madura), (7) Mr. R.P. Singgih (Malang). Di samping itu juga diangkat bupati yang diperbantukan pada residen, yaitu R. Setiono diperbantukan pada residen Surabaya, dan R.I. Moehamad Soeljoadikoesoemo pada residen Malang.



Keputusan lain yang juga ditetapkan PPKI pada saat itu adalah penggunaan istilah yang seragam untuk daerah desentralisasi, yaitu kota untuk menggantikan gemeente/stadsgemeente, dan istilah walikota untuk menggantikan burgemeester.

Kenginan Belanda yang mencoba berkuasa kembali di Indonesia diperkuat dengan membentuk pemerintahan Belanda di daerah yang berada di luar kekuasaan RI. Untuk itu diangkat seorang pembesar Belanda dengan pangkat Regerings Commissaris voor Bestuursaangegenheden (Recomba) atau Komisaris Pemerintah untuk Urusan Pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Luitenant-Gouverneur Generaal.

Di tengah konflik dengan Belanda yang mencoba menduduki kembali Republik Indonesia, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang Aturan-aturan Pokok Pemerintahan di daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun undang-undang ini tidak dapat dijalankan sepenuhnya akibat konflik politik di dalam tubuh RI sendiri dan dalam perjuangan melawan Belanda.


Insiden Penyobekan Bendera di Surabaya, 1945


Setelah terjadi pengakuan kedaulatan terhadap RI oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar tahun 1949, mengakui tiga persetujuan pokok, yaitu (1) Dibentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS); (2) Penyerahan dari Pemerintah Belanda di Indonesia kepada pemerintah RIS; (3) Pembentukan Uni antara RIS dan Kerajaan Belanda. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, maka sejak tanggal 27 Desember 1949 berdirilah RIS yang terdiri dari tujuh negara bagian, yaitu: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Jawa Timur. Sementara kesembilan satuan Kenegaraan meliputi Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, Banjar, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.

Dalam perkembangannya keinginan rakyat Jawa Timur agar Negara Jawa Timur dan Negara Madura dibubarkan dan dikembalikan kepada RI besar sekali. Desakan itu diwujudkan dalam banyak bentuk mosi dan resolusi agar negara bagian itu dibubarkan. Berdasarkan desakan rakyat, Pemerintah Negara Jawa Timur menyerahkan penyelenggaraan tugas pemerintahannya kepada Pemerintah RIS. Dengan Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1950, RIS menetapkan bahwa tugas itu diselenggarakan oleh Komisaris Pemerintah yang diangkat oleh Presiden RIS. Kemudian untuk memungkinkan pembubaran negara bagian, maka ditetapkan Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1950 tentang Tata cara perubahan susunan kenegaraan dari wilayah RIS.

Berdasarkan undang-undang ini maka negara bagian yang menginginkan bubar dapat dibubarkan oleh Presiden RIS dan wilayahnya digabungkan dengan Negara RI. Setelah berkonsultasi dengan Pemerintah RI dan RIS, akhirnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 109 tahun 1950 Negara Jawa Timur dibubarkan dan Keputusan Presiden No. 110 tahun 1950 Negara Madura dibubarkan.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan tersebut, melalui Undang-undang No. 2 tahun 1950, tanggal 3 Maret 1950 dan diundangkan tanggal 4 Maret 1950 dibentuk Provinsi Jawa Timur. Undang-undang ini diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950. Dalam undang-undang ini cakupan wilayah Provinsi Jawa Timur tidak berubah, yaitu meliputi tujuh karesidenan. Akan tetapi pemerintah daerah karesidenan dihapus dan DPRD karesidenan dibubarkan. Sementara pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur tetap berkedudukan di Surabaya.

sumber: arsipjatim.go.id

17 July 2013

Resensi Buku: Satu Melayu: Serumpun Indonesia-Malaysia

by: Haliadi Sadi (Ph.D. candidate from Universitas Kebangsaan Malaysia)

Buku ini merupakan penerbitan hasil penyelidikan di Pulau Buton atau di Kabupaten Buton, Kota Bau-bau, dan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia yang berlangsung selama dua minggu, 14 hingga 28 Pebruari 2007.

Para peneliti dari Akademi Pengkajian Melayu Universiti Malaya ini menelusuri obyek penelitian di Pulau Buton yang diawali di Kota Bau-bau kemudian melanjutkan ke kecamatan di sekelilingnya antara lain Kecamatan Surawolio, Wolio, Bungi, Betoambari, Murhum dan Kokalukuna. Mereka juga mengunjungi pulau-pulau bagian Timur Buton di Wanci dan Kaledupa di Kabupaten Wakatobi untuk menelusuri sumber-sumber kebudayaan Melayu Buton yang berserakan. Wilayah Indonesia dan Malaysia oleh pelbagai penulis sejarah dikenal sebagai satu kesatuan wilayah Melayu. Alfred Russel Wallacea yang menulis “The Malay Archipelago,” terbit di Singapura pada 1987 melihat wilayah ini sebagai satu kesatuan Kepulauan Melayu. Demikian pula penulis-penulis sejarah lainnya seperti Anthony Reid, Milner, tetap melihat kawasan Indonesia dan Malaysia sebagai satu kesatuan wilayah Komunitas Melayu.


Isi buku ini menjadi perpaduan penulis-penulis yang ahli di bidangnya masing-masing antara lain: Prof. Madya Dr. Ab. Razak yang fokus pada naskah, Prof. Madya Dr. Zahir Bin Ahmad (cerita rakyat dan pantun), Puan Nor Azlin Hamidon(bidang kesenian), Prof. Madya Nuwairi Khaza’ai dan Cik Noriza Daud (bahasa), dan Cik Norazita Cik Din (sistem kekeluargaan dan stratifikasi masyarakat).
Kajian Ab. Razak bertumpu pada isi naskah berupa ilmu tasawuf, ilmu astrologi atau ilmu perbintangan, bintang dua belas, ilmu fikah.

Sementara kajian Zahir bin Ahmad mengenai cerita rakyat tentang asal usul masyarakat Buton serta pantun sejarah, pantun cinta, pantun adat, pantun agama, pantun teka-teki, pantun serapah atau mantera, pantun nasihat, pantun jenaka, dan pantun budi (hal. 129-142).

Demikian juga dengan Puan Nor Azlin Hamidon melihat kesenian Buton berupa tarian (Kalegoa, Lumense, Lariangi, Balumpa, Katiba atau Pangibi, Linda, Matanda, Mancha), Gambus berpantun, Salawat dan Qasidah, termasuk juga seni rupa Melayu Buton berupa pembuatan tembikan, seni kuningan (perunggu), seni busana.

Prof. Madya Nuwairi Khaza’ai dan Cik Noriza Daud menjelaskan bahasa Buton yang terdiri atas: bahasa Wolio, Pancana, Cia-cia, Moronene, Wanci, dan Kaledupa.  Cik Norazita Cik Din menjelaskan tentang adat “rezam” berupa upacara lingkaran hidup (mengandung, selepas bersalin, pemotongan rambut, pemberian nama, tandaki/pakaian adat, posuo/pingitan, kawia/perkawinan), juga menjelaskan tentang kekeluargaan, dan kuliner atau makanan Melayu Buton (hal.99-110).

Buku yang dibagi dalam enam bab ini membuktikan bahwa pernah hidup kebudayaan dan peradaban Melayu di sebuah sudut negeri bernama Buton di dalam Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Seperti komentar tentang kue “Onde-Onde” yang berbunyi: “Di timur dan selatan Malaysia dikenali sebagai onde-onde atau buah melaka dikenali di utara Malaysia,” dan di Buton-pun dinamakan sebagai onde-onde (hal.110).   

Kelemahan mendasar pada buku ini adalah lemahnya bacaan awal peneliti terhadap buku-buku sekunder hasil penelitian tentang Buton. Buku-buku sumber sekunder tentang Buton yang didalami dalam penelitian ini hanya bukunya Abdul Mulku Zahari yang berjudul “Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni” yang terbit pada tahun 1977, padahal sudah banyak buku-buku Buton yang telah diterbitkan seperti karya Michael Southon tentang Perahu Buton, Susanto Zuhdi  (Sejarah Buton), Rahim Yunus (Islam di Buton), La Ode Rabani (Kota-Kota Pantai), Haliadi-Sadi (Islam dan Kolonialisme Belanda di Buton), dan lain-lain.

Seandainya buku-buku ini dijadikan dasar untuk awal kajian sebelum penelitian akan menambah semarak, menarik, dan ketajaman pendalam tentang suasana ke-Melayu-an. Kesultanan Buton yang pernah jaya di masa lampau.

Bagaimanapun, buku ini akan menambah argumen tentang satu kesatuan teritorial wilayah Melayu hingga ke bahagian Timur Nusantara, serta menjadi literatur penting bagi dua Negara untuk melihat “kese-Rumpun-an Melayu.”
Satu kesatuan Melayu di Malaysia dan Indonesia sebagai sebuah perspektif peradaban seharusnya menjadi argumentasi penting dalam keserumpunan.

Hal itu dapat dibuktikan dengan persebaran nilai-nilai kemelayuan termasuk identitas melayu yang dimulai sejak lama, misalnya Syekh Abdul Wahid sebagai pembawa Islam awal ke daerah ini sesungguhnya berasal dari Melayu Patani. Ulama ini yang mengajarkan dan mengislamkan Raja Buton dan menjadi cikal bakal berkembangnya Kesultanan Buton.

Pada naskah lama (Warkah Melayu lama) seperti Naskah Sipanjonga diceritakan bahwa peletak awal dari Kerajaan Buton berasal dari Melayu yang perlu pembuktian dalam sebuah penelitian. Pada argumen ini, buku yang menarik ini akan menjadi literatur penting sebagai dasar untuk melakukan penelitian pendalam terhadap Melayu di wilayah Buton dan sekitarnya dan atau Melayu di Indonesia Timur.

Buku ini sebaiknya dibaca oleh semua pihak yang mencintai ke-Melayu-an, lebih-lebih oleh mahasiswa di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam. Pihak yang mencintai ke-Melayu-an termasuk masyarakat umum dan pemerintah di kedua Negara menyadari bahwa dari segi perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia dan Malaysia serumpun Melayu.

Manfaat buku ini bagi mahasiswa di Asia Tenggara akan semakin mempertajam wawasan satu kesatuan Melayu di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki memory kolektif bersama bahwa di masa lalu kita selalu saling memerlukan antara satu dengan yang lainnya dalam jalur sutra perdagangan maupun penyebaran agama Islam di Nusantara.       (dit/AB/ANTARA)

sumber:  http://www.antarakl.com/index.php/kesra/1321-resensi-buku-satu-melayu-serumpun-indonesia-malaysia

19 March 2013

Hasil Riset: Manusia Purba Kerap Kawin Saudara

Sebuah penelitian terbaru di Cina mengungkap perilaku seksual manusia purba. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE, Selasa, 19 Maret 2013, itu menyebutkan manusia purba sering melakukan kawin saudara (inbreeding).

Fosil fragmen tengkorak manusia purba yang ditemukan di Xujiayao, sebuah situs di Cekungan Nihewan, Cina utara, menjadi bukti kuat indikasi tersebut. Keping tulang berumur sekitar 100.000 tahun itu menunjukkan pemiliknya memiliki cacat bawaan yang hanya dijumpai pada kasus inbreeding.

Pemimpin penelitian, Erik Trinkhaus, mengatakan kepingan yang dijuluki Xujiayao 11 itu hanyalah satu dari banyak contoh sisa-sisa manusia purba yang menampilkan kelainan bawaan langka atau bahkan tidak pernah dikenal.

"Populasi ini relatif berukuran kecil dan terisolasi. Akibatnya kerap terjadi inbreeding," kata pria yang menjadi antropolog di Washington University di St Louis, Amerika Serikat.

Fosil Xujiayao 11 memiliki sebuah lubang kecil di bagian atasnya, menunjukkan kelainan yang dikenal sebagai "foramen parietal yang diperbesar". Kelainan ini juga dijumpai pada manusia modern yang disebabkan oleh mutasi genetik yang langka.

Trinkhaus mengatakan, kelainan genetik menghambat pembentukan tulang tengkorak dengan cara mencegah penutupan lubang kecil pada bagian tempurung otak prenatal, sehingga tengkorak tidak menutup sempurna. Proses ini pada kondisi normal terjadi dalam lima bulan pertama perkembangan janin.

"Kini mutasi seperti ini jarang terjadi. Angkanya hanya sekitar satu dari setiap 25.000 kelahiran manusia," kata dia.

Fosil Xujiayao 11 diperkirakan milik seorang individu paruh baya. Ini menunjukkan kelainan genetik akibat kawin saudara itu tidak mematikan. Perubahan bentuk tengkorak terkadang dapat menyebabkan turunnya kecerdasan seseorang. Namun, kondisi fosil menunjukkan dampak buruk kelainan tersebut sangat kecil.

Penelitian menemukan fosil manusia purba yang berasal dari kala Pleistosen (2,6 juta sampai 12.000 tahun lalu) cenderung mengalami kelainan genetik yang menyebabkan perubahan bentuk. Trinkhaus dan timnya pernah menjumpai kelainan yang sama pada fosil manusia purba di era awal Homo erectus sampai akhir era Zaman Batu Awal.

Tingginya frekuensi kelainan genetik dalam catatan fosil memperkuat gagasan bahwa ukuran populasi manusia purba selama periode awal evolusi masih sangat kecil. "Konsekuensinya terjadi inbreeding," kata Trinkhaus.

Namun, penelitian ini masih belum dapat menjawab sejauh mana manusia purba melakukan kawin saudara. Hanya saja, Trinkhaus melanjutkan, jika benar kawin saudara itu terjadi, meski angkanya kecil, dapat membatalkan banyak kesimpulan genetik tentang kapan manusia memisahkan diri dari pohon kehidupan. "Kesimpulan mengasumsikan populasi manusia itu besar dan stabil," ujarnya.

LIVESCIENCE | MAHARDIKA SATRIA HADI

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/03/19/095468010/Penelitian-Manusia-Purba-Kerap-Kawin-Saudara