17 July 2013

Resensi Buku: Satu Melayu: Serumpun Indonesia-Malaysia

by: Haliadi Sadi (Ph.D. candidate from Universitas Kebangsaan Malaysia)

Buku ini merupakan penerbitan hasil penyelidikan di Pulau Buton atau di Kabupaten Buton, Kota Bau-bau, dan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia yang berlangsung selama dua minggu, 14 hingga 28 Pebruari 2007.

Para peneliti dari Akademi Pengkajian Melayu Universiti Malaya ini menelusuri obyek penelitian di Pulau Buton yang diawali di Kota Bau-bau kemudian melanjutkan ke kecamatan di sekelilingnya antara lain Kecamatan Surawolio, Wolio, Bungi, Betoambari, Murhum dan Kokalukuna. Mereka juga mengunjungi pulau-pulau bagian Timur Buton di Wanci dan Kaledupa di Kabupaten Wakatobi untuk menelusuri sumber-sumber kebudayaan Melayu Buton yang berserakan. Wilayah Indonesia dan Malaysia oleh pelbagai penulis sejarah dikenal sebagai satu kesatuan wilayah Melayu. Alfred Russel Wallacea yang menulis “The Malay Archipelago,” terbit di Singapura pada 1987 melihat wilayah ini sebagai satu kesatuan Kepulauan Melayu. Demikian pula penulis-penulis sejarah lainnya seperti Anthony Reid, Milner, tetap melihat kawasan Indonesia dan Malaysia sebagai satu kesatuan wilayah Komunitas Melayu.


Isi buku ini menjadi perpaduan penulis-penulis yang ahli di bidangnya masing-masing antara lain: Prof. Madya Dr. Ab. Razak yang fokus pada naskah, Prof. Madya Dr. Zahir Bin Ahmad (cerita rakyat dan pantun), Puan Nor Azlin Hamidon(bidang kesenian), Prof. Madya Nuwairi Khaza’ai dan Cik Noriza Daud (bahasa), dan Cik Norazita Cik Din (sistem kekeluargaan dan stratifikasi masyarakat).
Kajian Ab. Razak bertumpu pada isi naskah berupa ilmu tasawuf, ilmu astrologi atau ilmu perbintangan, bintang dua belas, ilmu fikah.

Sementara kajian Zahir bin Ahmad mengenai cerita rakyat tentang asal usul masyarakat Buton serta pantun sejarah, pantun cinta, pantun adat, pantun agama, pantun teka-teki, pantun serapah atau mantera, pantun nasihat, pantun jenaka, dan pantun budi (hal. 129-142).

Demikian juga dengan Puan Nor Azlin Hamidon melihat kesenian Buton berupa tarian (Kalegoa, Lumense, Lariangi, Balumpa, Katiba atau Pangibi, Linda, Matanda, Mancha), Gambus berpantun, Salawat dan Qasidah, termasuk juga seni rupa Melayu Buton berupa pembuatan tembikan, seni kuningan (perunggu), seni busana.

Prof. Madya Nuwairi Khaza’ai dan Cik Noriza Daud menjelaskan bahasa Buton yang terdiri atas: bahasa Wolio, Pancana, Cia-cia, Moronene, Wanci, dan Kaledupa.  Cik Norazita Cik Din menjelaskan tentang adat “rezam” berupa upacara lingkaran hidup (mengandung, selepas bersalin, pemotongan rambut, pemberian nama, tandaki/pakaian adat, posuo/pingitan, kawia/perkawinan), juga menjelaskan tentang kekeluargaan, dan kuliner atau makanan Melayu Buton (hal.99-110).

Buku yang dibagi dalam enam bab ini membuktikan bahwa pernah hidup kebudayaan dan peradaban Melayu di sebuah sudut negeri bernama Buton di dalam Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Seperti komentar tentang kue “Onde-Onde” yang berbunyi: “Di timur dan selatan Malaysia dikenali sebagai onde-onde atau buah melaka dikenali di utara Malaysia,” dan di Buton-pun dinamakan sebagai onde-onde (hal.110).   

Kelemahan mendasar pada buku ini adalah lemahnya bacaan awal peneliti terhadap buku-buku sekunder hasil penelitian tentang Buton. Buku-buku sumber sekunder tentang Buton yang didalami dalam penelitian ini hanya bukunya Abdul Mulku Zahari yang berjudul “Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni” yang terbit pada tahun 1977, padahal sudah banyak buku-buku Buton yang telah diterbitkan seperti karya Michael Southon tentang Perahu Buton, Susanto Zuhdi  (Sejarah Buton), Rahim Yunus (Islam di Buton), La Ode Rabani (Kota-Kota Pantai), Haliadi-Sadi (Islam dan Kolonialisme Belanda di Buton), dan lain-lain.

Seandainya buku-buku ini dijadikan dasar untuk awal kajian sebelum penelitian akan menambah semarak, menarik, dan ketajaman pendalam tentang suasana ke-Melayu-an. Kesultanan Buton yang pernah jaya di masa lampau.

Bagaimanapun, buku ini akan menambah argumen tentang satu kesatuan teritorial wilayah Melayu hingga ke bahagian Timur Nusantara, serta menjadi literatur penting bagi dua Negara untuk melihat “kese-Rumpun-an Melayu.”
Satu kesatuan Melayu di Malaysia dan Indonesia sebagai sebuah perspektif peradaban seharusnya menjadi argumentasi penting dalam keserumpunan.

Hal itu dapat dibuktikan dengan persebaran nilai-nilai kemelayuan termasuk identitas melayu yang dimulai sejak lama, misalnya Syekh Abdul Wahid sebagai pembawa Islam awal ke daerah ini sesungguhnya berasal dari Melayu Patani. Ulama ini yang mengajarkan dan mengislamkan Raja Buton dan menjadi cikal bakal berkembangnya Kesultanan Buton.

Pada naskah lama (Warkah Melayu lama) seperti Naskah Sipanjonga diceritakan bahwa peletak awal dari Kerajaan Buton berasal dari Melayu yang perlu pembuktian dalam sebuah penelitian. Pada argumen ini, buku yang menarik ini akan menjadi literatur penting sebagai dasar untuk melakukan penelitian pendalam terhadap Melayu di wilayah Buton dan sekitarnya dan atau Melayu di Indonesia Timur.

Buku ini sebaiknya dibaca oleh semua pihak yang mencintai ke-Melayu-an, lebih-lebih oleh mahasiswa di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam. Pihak yang mencintai ke-Melayu-an termasuk masyarakat umum dan pemerintah di kedua Negara menyadari bahwa dari segi perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia dan Malaysia serumpun Melayu.

Manfaat buku ini bagi mahasiswa di Asia Tenggara akan semakin mempertajam wawasan satu kesatuan Melayu di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki memory kolektif bersama bahwa di masa lalu kita selalu saling memerlukan antara satu dengan yang lainnya dalam jalur sutra perdagangan maupun penyebaran agama Islam di Nusantara.       (dit/AB/ANTARA)

sumber:  http://www.antarakl.com/index.php/kesra/1321-resensi-buku-satu-melayu-serumpun-indonesia-malaysia