07 September 2012

Perubahan Lambang Garuda Pancasila Dari Waktu ke Waktu


Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Sumber: http://indopoints.wordpress.com/2011/08/08/perubahan-lambang-garuda-pancasila-dari-waktu-ke-waktu/

Kiat Menulis Enak ala Dahlan Iskan

Di GRAHA PENA Surabaya, markas Grup JAWA POS, DAHLAN ISKAN lebih akrab disapa Pak Bos. Pria kelahiran Magetan 17 Agustus 1951 ini memang bos Grup JAWA POS. Di masthead koran-koran di lingkungan Grup JAWA POS, jabatan resmi Dahlan Iskan adalah chairman. Memang, selain membesarkan JAWA POS (dan grupnya) dialah ‘roh’ Grup JAWA POS.
Yang menarik, berbeda dengan bos-bos media lainnya, Dahlan Iskan ini tetap menulis. Bikin reportase, kolom, analisis berita… pokoknya menulis. Menulis kapan saja dia suka. Menulis dan membaca sudah menjadi darah daging tokoh pers nasional itu. Kalau sudah ada ide, di mana pun, kapan pun… Dahlan Iskan menulis.
Belum lama ini, Pak Bos jalan-jalan di Singapura. Jalan kakidi Orchard Roaddengan trotoar yang rindang. Nah, di trotoar itu muncul ide untuk menulis masalahkota, sekadar masukan untuk Kota Surabaya. Maka, ayah dua anak ini menulis di trotoar itu. Besoknya, tulisan itu dimuat di JAWA POS, dan beberapa koran anak perusahaan JAWA POS.
“Dahlan Iskan itu penulis dan wartawan yang belum ada duanya di Jawa Timur, bahkanIndonesia,” k`ta BAMBANG SUJIYONO, seniman teater, pentolan BENGKEL MUDA SURABAYA, kepada saya.
“Harusnya kita punya banyak wartawan kayak dia. Sekarang ini wartawan buanyaaaaak sekali, media berlimpah, tapi hampir nggak ada wartawan yang punya tulisan bagus. Kayaknya wartawan-wartawan sekarang ini nggak bakat menulis deh. Makanya, tulisannya nggak karuan,” kata Bambang, bekas anggota DPRD Jawa Timur, juga bekas pemimpin redaksi beberapa media cetak diSurabaya.
Bambang Sujiyono, juga sejumlah seniman, mahasiswa, pengamat, serta kalangan terdidik di Jawa Timur, memang sejak lama ‘kecanduan’ tulisan Dahlan Iskan. Kalau Pak Bos lama tak menulis karena sibuk (maklum, urusan dan jabatannya banyak), orang-orang macam Bambang ini telepon atau titip pesan lewat redaksi agar Pak Bos segera menulis lagi.
“Adateman saya yang hanya mau baca tulisan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisan lain dianggap nggak ada. Hehehe…,” kata Bambang Sujiyono lalu tertawa khas. Saya hanya mengangguk mendengar komentar Bambang. Lalu tertawa.
Bu Yuli, pemimpin sebuah kelenteng besar diSurabaya, juga berkali-kali ‘titip pesan’ lewat saya agar Pak Dahlan Iskan sering-sering menulis. Katanya, tulisan-tulisan Dahlan Iskan sangat kinclong, hidup, menarik, dan bikin pembaca ketagihan. Dia baca berkali-kali tulisan Pak Dahlan, tapi tidak pernah bosan.
“Hurek, kalau bisa kalian wartawan yang masih muda-muda ini belajar dari Pak Dahlan Iskan. Orang itu memang luar biasa. Ciamik soro, kata orang Tionghoa,” kata Bu Yuli yang kebetulan sangat dekat dengan saya. Tiap kali ada hajatan besar di kelentengnya, entah itu Sincia, Cap Go Meh, sejit, hari jadi Kongco… saya pasti diundang.
Pendapat sama sebetulnya juga disampaikan pembaca JAWA POS dan RADAR SURABAYA, khususnya mereka yang punya ‘rasa bahasa’. Mereka menilai karya Dahlan Iskan itu unik, sulit ditiru, mengandung kejutan, jenaka, jelas, menghibur.
“Wislah, bilang bosmu itu (maksudnya Dahlan Iskan) supaya menulis terus. Sibuk ya sibuk, tapi ojo lali menulis. Penggemare akeh,” papar Bambang Sujiyono (sekarang sudah almarhum).
Saya pun sepakat dengan penilaian pembaca-pembaca kritis ala Bambang Sujiyono. Selain enak dan menghibur, Dahlan Iskan mampu mendudukkan persoalan secara terang dan jernih. Apa-apa yang tadinya gelap, remang-remang, jadi jernih setelah saya membaca tulisan Pak Bos.
Ambil contoh kasus haji (2007). Soal muasasih di Makkah yang menyediakan katering jemaah haji. Saya sering baca tulisan teman-teman wartawan, baca artikel di banyak media, dengar penjelasan dari wartawan senior yang sudah naik haji. Tapi penjelasan tentang seluk-beluk katering dan pengaturan makan jemaah haji tak pernah jelas. Tulisan wartawan-wartawan muda di koran malah bikin bingung. “Mbulet,” kata orang Jawa Timur.
Sabtu, 20 Januari 2007, Dahlan Iskan menulis di halaman satu JAWA POS. Dia bahas masalah katering, muasasah, kebijakan Menteri Agama MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI. Begitu membaca tulisan Pak Bos, saya langsung paham apa yang menimpa sekitar 200 ribu jemaah haji kita di Arab Saudi akhir Desember 2006.
Pak Bos menulis pendek, sederhana, logis, cespleng. Cukup satu artikel pendek, Dahlan Iskan berhasil memberi gambaran seputar persoalan haji. “Kalau bisa disederhanakan, kenapa harus rumit-rumit?” begitu kira-kira salah satu jurus menulis Pak Bos.
Senada dengan Bambang Sujiyono, saya sepakat bahwa Pak Bos ini punya talenta lebih. Dus, sulit ditiru wartawan lain, termasuk saya, meskipun dulu beliau sering memberikan bengkel atau latihan menulis kepada wartawan JAWA POS dan beberapa koran anak perusahaan. Karena tulisannya enak, selalu ditunggu, redaktur selalu menempatkannya di halaman muka.
“Daya tarik tulisan Dahlan Iskan memang luar biasa,” kata LUTFI SUBAGYO, bekas pemimpin redaksi SUARAINDONESIA(Grup JAWA POS). Karena itu, dulu, saban Sabtu Lutfi menempatkan ‘catatan ringan’ Dahlan Iskan di halaman satu. Oplah hari itu pun naik, karena banyak wargaSurabayayang beli koran hanya untuk menikmati tulisan Pak Bos.
Nah, sebagai wartawan di Graha Pena, saya beruntung pernah mendapat gemblengan langsung dari Pak Bos meski tidak secara khusus. Learning by doing, itulah yang dilakoni Pak Bos. Saya pernah mencoba meniru gayanya, tapi gagal.
Berikut sedikit KIAT MENULIS ALA DAHLAN ISKAN hasil interpretasi saya sendiri:

LEAD HARUS SANGAT MENARIK
Ketika Dahlan Iskan belum sesibuk sekarang, dia selalu berjalan keliling ke meja wartawan. Membaca sekilas berita wartawan di laya komputer. Sasaran pertama adalah LEAD alias TERAS alias INTRO alias PEMBUKA alias ALINEA PERTAMA tulisan.
“Lead-mu 6. Cepat diperbaiki sampai 8. Kalau belum 8, nggak bisa dimuat. Lead harus sembilan,” kata Dahlan Iskan usai membaca beberapa baris berita salah satu reporter. Teman saya itu cepat-cepat memperbaiki lead-nya. “Coba saya lihat. Hmm.. lumayan, sudah 7, belum 8. Coba lagi,” kata Dahlan, bekas wartawan majalah TEMPO, itu.
“Bagaimana kalau kalimat di bawah ini Anda angkat ke atas. Dibuat lebih bagus agar enak dibaca?” usulnya.
Kursus menulis berita macam ini dilakukan Dahlan Iskan, dulu, terus-menerus di newsroom kami. Sambil kasih kursus, tak lupa Dahlan Iskan membagi-bagi permen atau kacang goreng: tiap-tiap wartawan satu atau dua biji. Sedikit tapi merata.
Dahlan suka lead yang spontan, unik, tidak klise. Pembaca sejak awal harus dibuat tertarik membaca sampai selesai. Dan itu ada teknik tersendiri.

HUMOR CERDAS
Sebagai orang Jawa Timur, Pak Bos punya koleksi humor berlimpah. Kebanyakan didengar dari teman-teman, wong cilik, obrolan di warung kopi. Humor cerdas kerap jadi pembuka (lead) tulisannya.
Contoh: “Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!”
Selain di lead, humor kerap dipasang Pak Bos di akhir tulisannya. Bacalah terus karya dahlan, niscaya di akhir atau menjelang akhir ada kejutan. “Benar-benar mengagetkan,” kata ROHMAN BUDIANTO, redaktur senior JAWA POS, kini pemimpin redaksi RADAR MALANG.

KALIMAT-KALIMAT PENDEK
Dahlan Iskan suka kalimat-kalimat pendek. Antikalimat panjang, apalagi yang beranak-pinak alias kalimat majemuk bertingkat.
“Bagaimana kalau kalimatmu dipotong? Dibagi dua atau tiga,” ujar Pak Bos kepada seorang pemimpin redaksi (kini bekas).
“Enak mana: kalimat panjang atau pendek?” tanya Pak Bos. “Enak pendek, Pak Bos,” jawab si pemred yang sebelumnya suka pakai kalimat majemuk.
Kalimat-kalimat pendek kerap ‘melawan’ aturan tata bahasaIndonesia. Sebab, kalimat dipotong sebelum waktunya. “Anak kalimatkantidak bisa berdiri sendiri?” protes editor bahasa.
Tidak apa-apa, kata Pak Bos. Alasannya, tulisan di koran harus mudah ditangkap pembaca. Kalau kalimat-kalimat si wartawan terlalu panjang, pembaca akan capek. Dan dia tidak mau baca koran lagi. Toh, koran bukan kitab tata bahasa.
Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:
“Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.
Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.
Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.
Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.
Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.
Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”

MENULIS SEPERTI BERBICARA
Gayabicara Pak Bos hampir sama dengan gayanya menulis. Ini membuat beliau tidak susah mengalihkan wacana di kepala ke dalam tulisan.
Spontanitas, humor cerdas, cerita-cerita menarik, keluar begitu saja.

KALIMAT SEDERHANA, NARATIF
Kalimat-kalimat sederhana memang jadi ciri khas Dahlan Iskan. Tulisannya selalu bertutur alias naratif.
Sebelum ada gembar-gembor jurnalisme naratif, jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, Dahlan Iskan sudah melakukannya sejak 1980-an. Berbeda dengan GOENAWAN MOHAMAD yang puitis, berusaha menemukan kata yang benar-benar pas, kalimat-kalimat Dahlan Iskan mengalir begitu saja.
“Tulisannya gampang diikuti, enak pokoknya,” ujar AAN ANDRIYANI, staf sebuah dealer sepeda motor di Surabaya, kepada saya.
Bahasa Pak Bos tidak ‘ndakik-ndakik’, penuh kata asing, sok ilmiah, mbulet… karena dia ingin pembaca koran, ya, semua warga, menangkap apa yang ditulisnya. Buat apa menulis kalau tidak dibaca karena kalimat-kalimatnya mbulet gak karuan?

MEMORI YANG SANGAT KUAT
Kalau wartawan-wartawan lain sibuk mencatat, merekam, jemprat-jepret… Dahlan Iskan tenang-tenang saja saat wawancara. Dahlan Iskan tidak pernah mencatat kata-kata sumber atau data-data.
Dia menyimak penjelasan sumber dengan serius. Sekali-sekali ia menukas atau ‘memancing’ agar si sumber mengeluarkan pernyataan atau kata-kata yang ‘hidup’. Inilah bedanya dengan wartawan biasa!
Saya sendiri terkejut melihat Dahlan Iskan tidak mencatat atau merekam wawancaranya dengan pejabat atau sumber mana pun. Mencatatnya, ya, di otak saja. Tapi besok, silakan baca koran-koran. Dijamin tulisan Dahlan Iskan jauh lebih bagus, hidup, enak, lengkap, dibandingkan wartawan-wartawan lain yang supersibuk. Tulisannya bisa tiga bagian panjang, sementara reporter lain hanya mampu membuat tulisan pendek.
Data-data Dahlan lengkap. Interpretasi dan ramuannya yang khas membuat tulisannya lebih bernas. “Itu bakat Pak Bos, nggak ada sekolahnya,” kata SLAMET URIP, bekas wartawan senior JAWA POS, yang juga ‘suhu’ para wartawan muda di Grup Jawa Pos.

BANYAK MEMBACA
Dahlan Iskan pembaca yang rakus. Buku tebal ia habiskan hanya dalam beberapa jam saja. Kalau perlu, dia melekan (bergadang) demi menamatkan bacaannya.
Novel AROK DEDES (Pramoedya Ananta Tour), misalnya, diselesaikan Dahlan Iskan hanya dalam tempo beberapa jam saja. Lalu, dia buat catatan tentang novel itu. Dahlan juga bikin catatan tentang novel SUPERNOVA (Dee) setelah melahap novel itu dalam hitungan beberapa jam saja.
Mengapa Dahlan suka baca buku-buku tebal di ruang redaksi, disaksikan wartawan? Saya pikir, secara tidak langsung Pak Bos mau mengajarkan bahwa wartawan/redaktur harus banyak baca. Tulisan yang bagus hanya lahir dari tangan mereka-mereka yang rakus baca. Kenapa tulisan wartawan sekarang umumnya jelek, kering, datar-datar? Salah satunya, ya, karena kurang baca.

TURUN KE LAPANGAN, KERJA KERAS
Tulisan Dahlan Iskan hidup karena berangkat dari pengalaman sendiri. Based on his own experiences! Apa yang dilihat, didengar, dihidu, diraba, dikecap… itulah yang ditulis.
Dahlan sangat mobil. Pagi di Surabaya, siangJakarta, sore, makassar, malam mungkin di Singapura. Besoknya Tiongkok, luas Amerika… dan seterusnya. Ini membuat Pak Bos sangat kaya pengalaman, kaya penglihatan, kaya wawasan. Dia tinggal ‘memanggil’ memorinya dan jadilah tulisan yang hidup.
Dahlan Iskan pernah membuat tulisan menarik tentang pengalaman naik pesawat supersonik CONCORDE yang kini sudah almarhum itu. Dia bikin pembaca seakan-akan ikut menikmati pesawat supercepat, supercanggih, supermewah, buatan Prancis itu.

KUASAILAH BANYAK BAHASA
Di balik penampilan yang sederhana–sepatu kets, kemeja tidak dimasukkan, tak pakai ponsel–Dahlan Iskan pribadi yang dahsyat. Sangat cepat belajar! Bahasa Tionghoa yang sulit, aksara hanzhi yang aneh dan ribuan jumlahnya, ditaklukkan Dahlan dengan modal tekad baja. “Saya harus bisa,” katanya.
Maka, dia panggil guru privat, les di Graha Pena. Tak puas diSurabaya, Dahlan pindah domisili di Tiongkok selama beberapa bulan agar bisa berbahasa Tiongkok. Beberapa saat kemudian, Dahlan Iskan sudah kirim CATATAN DARI TIONGKOK secara bersambung. Sangat menarik. Respons pembaca luar biasa.

CINTAILAH SASTRA
Ingat, Dahlan Iskan ini bekas wartawan TEMPO. Majalah yang dibuat oleh tangan-tangan trampil berlatar sastrawan. Goenawan Mohamad, Bur Rasianto, Syubah Asa, Putu Wijaya, Isma Sawitri, dan nama-nama besar lainnya.
Mereka-mereka ini praktisi sastraIndonesia. Mereka peminat kata. Terbiasa membuat kalimat yang indah, yang tidak klise. Dahlan Iskan, meski jarang menulis puisi atau novel, jelas seorang sastrawan. Dia bersastra lewat reportase atau kolom-kolomnya di koran.
Pak Bos pun budayawan. Tak heran, di Surabaya dia giat sekali dalam komunitas dan kebudayaan Tionghoa. Dia pun ketua umum persatuan olahraga barongsai yang akhir 2006 silam sukses menggelar kejuaraan dunia diSurabaya. Kiprah semacam ini menambah ‘basah’ tulisan-tulisannya.

MENULIS LANGSUNG JADI (PRESSKLAAR)
Dahlan Iskan tidak butuh waktu lama untuk menulis. Tak sampai satu jam Pak Bos sudah menyelesaikan tulisan panjang untuk halaman satu JAWA POS.
“Sudah, silakan dilihat, silakan diedit. Jangan lupa kasih judul,” begitu kata-kata khas Dahlan Iskan usai membuat tulisan.
Dahlan tidak pernah membaca ulang, apalagi mengubah kalimat-kalimatnya. Sekali menulis, selesai, dan selanjutnya urusan redaktur untuk mengecek salah ketik dan sebagainya. Dimuat atau tidak, urusan redaksi.

Sumber Berita di Link:
http://pesantrenpenulis.org/kiat-menulis-enak-ala-dahlan-iskan.html

04 September 2012

Menulisa adalah Sebuah Perjalan

Oleh: Muhamad Yusran  Darmawan
 
LEBIH dua minggu saya mengisi waktu dengan mengumpulkan buku-buku tertentu lalu membacanya satu per satu. Beberapa hari ini, saya mulai menyicil proses penulisan makalah. Memang tidak mudah. Tapi semuanya harus dimulai. Jika tidak, saya bisa kewalahan untuk menuntaskannya, atau malah terancam tidak tuntas.
Saat membaca beberapa buku dan jurnal, saya melihat bahwa tidak semua ilmuwan memiliki kemampuan menulis yang bisa membuat kita lebih jernih melihat. Banyak di antara mereka yang malah gagal menghadirkan sensasi atau keterkejutan atas apa yang sedang dibahas. Namun ada pula yang bernas dan menulis dengan penuh daya ledak.
ilustrasi
Saya berkesimpulan bahwa artikel ilmiah yang baik bukanlah artikel yang penuh dengan kutipan atas tulisan banyak orang. Artikel yang baik adalah sebuah dialog yang dilakukan secara kontinyu antara seorang penulis dengan teks yang sedang diakrabinya. Demi menyusun peta jalan sesuatu yang dituliskannya, seorang penulis akan mengolah beragam material, mulai dari pengalamannya sendiri, bacaan-bacaan, fiksi, komentar seseorang di tepi jalan, hingga puisi atau syair yang berisi petunjuk atas apa yang hendak ditujunya.
Artikel yang baik adalah artikel yang menyisipkan banyak pertanyaan-pertanyaan, keraguan atas kebenaran yang bersarang di benak, serta berisikan kisah perjalanan untuk menemukan kebenaran. Pada kisah itu, terselip kejujuran seseorang untuk mengakui bahwa apa yang sebelumnya diyakini benar, tidak selalu benar pada akhirnya. Pada kisah itu, terselip sebuah pengharapan bahwa sejauh-jauhnya pengelanaan menuju jantung pengetahuan, senantiasa akan terbuka lapis-lapis misteri baru di jagad sains.

Maka seorang penulis atau peneliti adalah mereka yang merintis jalan untuk menemukan kenyataan sejati. Mereka tak pernah memberikan jawaban final, namun selalu memberikan isyarat, tanda, petunjuk, ataupun arah ke mana proses penumbuhan pengetahuan itu bergerak. Maka proses ilmiah menjadi proses perjalanan bagi seorang penulis atau peneliti untuk menemukan dirinya, serta momen untuk belajar dari setiap jengkal langkah kaki di belantara pengetahuan.
Sungguh teramat sayang, karena diri ini masih amat jauh dari proses tersebut. Saya ibarat berpijak di pasir pantai, dan hanya bisa melihat mereka yang sudah menyelam pada lapis-lapis terdalam samudera pengetahuan. Entah kapan bisa beranjak ke sana.
 
 
Terima kasih sudah menuliskannya Mas Yusran dan yang telah membaca.
 
(Silahkan menafsirkan) semoga mendapatkan dan menemukan kenyataan sejati setelah membuka lapis-lapis misteri baru di jagad sains.
 

Athens, 20 Juli 2012
 
Sumber: http://www.timur-angin.com/2012/07/menulis-adalah-sebuah-perjalanan.html