10 July 2011

Kesultanan Buton dalam Pergulatan Hegemoni

Oleh: alzurjani

PENDAHULUAN

Tanpa harus mempersalahkan siapa biang keladi, sudah seharusnya kita tetap mengintrospeksi bahwa ada yang salah dalam penulisan sejarah di Indonesia. Sartono Kartodirjo yang muncul dengan historiografi Indonesiasentris-nya berpendapat bahwa sejarah milik semua. Dalam penulisan sejarah Indonesia, semuanya menjadi peran utama dan tidak hanya terjadi di lapisan atas, makro namun juga meso maupun mikro.(1) Namun itu semua tidak terlihat karena seringkali terjadi penulisan sejarah yang hanya berdasarkan hegemoni semata. Berkaca pada taksiran tersebut dan realita di lapangan, barangkali pernyataan tersebut memunculkan kebenaran. Tengoklah pada penulisan sejarah Indonesia untuk temporal abad XVII-XVIII yang seringkali hanya berkutat mengenai kerajaan-kerajaan besar. Untuk wilayah Indonesia Timur masih menceritakan Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar), Kerajaan Ternate, dan Kerajaan Tidore sebagai pusat gerak sejarah.(2)

Sejarah daerah periferi yang kurang terkenal barangkali termasuk dalam istilah yang dipakai Sahlins sebagai “history of neglected islands” atau “sejarah pulau (pulau) yang terabaikan” jika diartikan menurut Zuhdi.(3) Adapun Kesultanan Buton layak dimasukan dalam nominasi “history of neglected island(s)”, sebelum muncul adanya tulisan sejarah mengenai Buton.(4) Seandainya mau membandingkan dengan Gowa-Tallo, Buton jauh lebih lama berdaulat. Tercatat bahwa Buton adalah salah satu zelfbesturen(5) hingga abad XIX. Sebagai daerah zelfbesturen, Buton sebenarnya berupa native state dan dapat dianggap sebagai daerah yang berdaulat menurut hukum.
Buton adalah salah satu kesultanan bahari yang memiliki letak di tenggara Pulau Sulawesi dan sangat strategis. Dikatakan strategis selain posisinya yang menghubungkan Makassar dengan Maluku juga menjadi pusat persinggahan pelaut dari Jawa menuju Maluku. Selain itu Buton diapit oleh 3 kekuatan maritim saat itu yakni VOC, Makassar, dan Ternate. Kemunculan Ternate sering dianggap sebagai bandar jalur sutra (silk road) khususnya pada jalur laut.(6) Ternate sebagai bandar rempah-rempah merupakan pengumpul dari cengkeh yang memang terdapat banyak di daerah Maluku bagian tengah.(7)

Kerajaan Makassar bukan merupakan bandar jalur sutra namun merupakan sebuah kota maritim. Kerajaan tersebut adalah persekutuan antara dua buah kerajaan, yakni kerajaan Gowa dan Tallo pada tahun 1528. Ketika Ternate muncul sebagai bandar jalur sutra, Makassar justru muncul sebagai daerah perniagaan. Makassar memperkenalkan kebijakan “politik pintu terbuka”, yang menyebabkan ketertarikan pedagang untuk melakukan transaksi ekonomi, berdagang, hingga menetap.(8) Ketika melihat secara geografis, maka posisi Buton terletak di tengah dua hegemoni lokal, Makassar di sebelah barat dan Ternate di sebelah timur. Keadaan bertambah panas ketika VOC hadir dengan politik ekspansinya. Buton yang berada di antara bandar rempah-rempah dan pusat kota maritim tentu menjadi daerah sangat menarik seandainya dapat dikuasai VOC.

Tulisan ini berada dalam ruang lingkup untuk abad XVII-XVIII ketika Makassar muncul sebagai pelabuhan yang sangat maju. Selain itu pada abad XVII memunculkan Ternate sebagai bandar rempah-rempah yang terkenal. Untuk itu, dimunculkanlah pertanyaan bagaimana posisi Buton dalam lingkaran hegemoni Makassar, Ternate dan VOC? Dan apa yang membuat Buton begitu menarik bagi Ternate dan Makassar untuk menguasainya? Kedua pertanyaan tersebut menjadi permasalahan untuk dibahas dalam tulisan ini.

PEMBAHASAN

Buton dalam Tiga Pusat Kekuasaan

Buton adalah istilah untuk mengacu kepada nama kesultanan yang pernah hidup di Pulau Buton. Selain Buton, ada beberapa istilah yang dipakai untuk mengacu daerah tersebut misalkan Butun. Istilah Butun pertamakali digunakan dalam naskah Negarakertagama sebagai salah satu daerah vassal Majapahit.(9) Selain Butun adapula istilah Butung yang kerap digunakan oleh orang Makassar. Namun untuk selanjutnya digunakan Buton untuk mempermudah pelafalan dan lebih akrab di telinga. Kesultanan Buton memiliki daerah yang mencakup sekarang menjadi wilayah Sulawesi Tenggara. Ibukotanya bernama Walio, dan sekarang menjadi nama benteng dan kraton. Sejak abad XVI pengaruh Islam datang dan mengubah legitimasi dari kerajaan menjadi berbentuk kesultanan.(10) Pengaruh Islam dari Ternate ini pula mengubah pola pandang Buton terhadap Labu Rope nya tersebut pada kemudian hari.(11)

Abad XVII-XVIII merupakan abad emporium dimana hampir wilayah yang sekarang menjadi Indonesia diintegrasikan. Mengutip analisis dari A.B. Lapian bahwa perairan adalah pemersatu yang menintegrasikan keberadaan wilayah-wilayah pulau di Indonesia pada sekitar abad tersebut.(12) Dari perairan tersebut muncul pelabuhan dan jalur-jalur perdagangan. Jalur-jalur tersebut membentuk pola interaksi antara daerah-daerah pelabuhan dan transit pedagang. Dari unsur pelabuhan-pelabuhan tersebut memunculkan sebuah satuan bahari (sea system).(13) Pada masa emporium inilah Makassar muncul sebagai penguasa di daerah Sulawesi bagian selatan atau sebelah barat dari Buton. Ternate berada di daerah Maluku selatan yang berbatasan dengan Buton sebelah timur.
Jalur-jalur perdagangan di Indonesia bagian timur juga menarik kehadirann VOC untuk berkunjung. Bahkan dengan jalur perdagangan tersebut, VOC mempermudah usaha VOC untuk semakin giat melakukan pendekatan terhadap sumber rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Buton adalah salah satu daerah yang dikunjungi oleh VOC. Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa Makassar adalah salah satu pelabuhan perdagangan yang ramai pada abad XVII. Setidaknya ada beberapa hal yang mendasari hal tersebut, yakni jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, memudarnya kekuatan pelabuhan-pelabuhan Jawa, dan juga kemampuan Makassar menjadi daerah transit yang menarik banyak para pedagang. Kepandaian Makassar mengadakan “politik pintu terbuka” adalah salah satu hal yang menarik para pedagang.

Dengan keadaan seperti itu, maka monopoli daerah Indonesia bagian timur akan sulit dilaksanakan VOC. Untuk melakukan monopoli setidaknya Makassar harus ditaklukan oleh VOC. Sebab keberadaan pelabuhan Makassar membuat pelabuhan yang dibuat VOC menjadi tidak mampu menarik para pedagang. Beberapa cara yang dilakukan VOC untuk meredam kekuatan Makassar, ialah membuat kontrak kerjasama dengan Buton pada tahun 1613.(14) Dengan kontrak tersebut ada dua pihak yang merasa diuntungkan, yakni Buton dan VOC. Disatu pihak ialah Buton yang merasa aman dari kekhawatiran akan politik ekspansinya Makassar yang terus bergerak ke arah timur.(15) Selain merasa aman, Buton mendapatkan pula bantuan keamanan dari VOC berupa bantuan senjata dan pasukan. Namun dengan kontrak tersebut, setidaknya VOC juga mendapat keuntungan yakni mendapat mematahkan hegemoni Makassar.

Meski begitu isi dari kontrak tersebut seringkali dianggap lebih menguntungkan pihak VOC daripada pihak Buton itu sendiri. Isi dari kontrak tersebut ialah bahwa VOC tidak akan mengganggu terhadap jalannya pemerintahan Kesultanan Buton dan juga adanya perlindungan keamanan dari VOC seandainya Buton menghadapi serangan maupun gangguan ancaman lainnya. Namun begitu sebagai balasannya VOC memperoleh hak bahwa Buton harus membantu pelayaran ke kepulauan Solor untuk menghadapi Portugis, berhak menentukan harga barang dagang dan kebutuhan hidup, dan juga Buton tidak boleh berdagang dengan bangsa asing lainnya.(16)

Hegemoni Makassar dan Ternate ternyata mampu diredam oleh Buton melalui kontrak tersebut. Kemampuan diplomatik VOC juga mengambil keuntungan dari perang hegemoni antara Makassar, Buton, dan Ternate. Namun seringkali dengan kontrak perjanjian VOC dengan Buton membuat stigma Buton adalah antek dari VOC. Sebenarnya hal demikian tidak ada pengaruhnya dengan pengkhianatan bahwa Buton memihak VOC.(17) Dalam sejarah diplomatik seringkali harus ada perjanjian atau kontrak untuk menjaga kedaulatan sebuah wilayah. Buton adalah salah satu kesultanan yang melakukan kontrak tersebut untuk menjaga kedaulatan mereka.(18)

Makassar-pun melakukan ekspansi politik tentu dengan berbagai alasan. Salah satunya memperkuat hegemoni sebagai kerajaan maritim. Dengan menguasai wilayah Buton tentu akan mempermudah pasokan rempah-rempah dari Maluku. Dalam ranah perpolitikan, pengaruh Makassar kental terhadap Buton hingga tahun 1667 atau setelah kemunculan Arung Palakka yang membantu VOC menghancurkan Makassar sehingga diadakannya Perjanjian Bongaya. Dari tahun 1626 setelah terjadi ekpansi dari Makassar terhadap Buton, praktis tidak ada perlawanan yang seimbang dari Buton. Kontrak yang ditandangani tahun 1613 ternyata tidak membawa kepentingan yang tercantum dalam perjanjian tersebut.(19) Selain itu dari tahun 1615-1633 terjadi banyak gangguan dari dalam salah satunya perebutan kekuasaan di Buton sendiri setelah meninggalnya Sultan Abdul Wahib atau La Balawo. Dengan meninggalnya pemimpin Buton tersebut, praktis stabilitas politik menjadi tidak terlalu aman.

Hingga pada tahun 1634 ditandai dengan kemunculan Arung Palaka dari Bone yang juga membantu keadaan politik dan ekonomi di Buton menjadi lebih baik. Arung Palaka adalah seorang bangsawan Bugis yang melarikan diri dari daerahnya di Bone karena diserang oleh Makassar. Arung melarikan diri dan mendapat perlindungan di Pulau Butung (Buton). Setelah mendapat ijin untuk menjadi serdadu VOC di Batavia, Arung kembali ke Sulawesi dan berusaha menggulingkan Makassar. Hingga akhirnya Makassar menyerah dan memaksakan untuk hadir di meja perundingan dan berakhir dengan Perjanjian Bongaya. Dan Arung Palaka mendapat gelar arumpone atau arung Bone.
Dengan Perjanjian Bongaya tersebut praktis daerah Sulawesi dan taklukan Kerajaan Makassar dapat terlepas dari pengaruh Makassar. Buton adalah satu kesultanan yang terlepas dari pengaruh Makassar. Setelah perjanjian Bongaya antara Makassar dan VOC terjadi, praktis Buton tidak menghadapi lagi politik ekspansi dari Makassar. Namun hegemoni daerah Indonesia timur masih diperebutkan dengan kesultanan lainnya yakni Ternate. Ternate adalah saudara sekaligus “musuh” yang harus dihadapi oleh Buton. Dikatakan saudara karena dalam penyebaran agama Islam pun Buton meminta bantuan Ternate yang sudah dianggap saudara sendiri untuk mengirimkan orang yang fasih dalam agama. Adapun dikatakan musuh dalam kaitan konstilasi politik dalam masalah pengaruh kekuasaan khususnya masalah wilayah.

Selain dengan Ternate, sahabat lamanya sendiri, beban Buton ialah masih memiliki perjanjian atau kontrak dengan VOC. Pada dasarnya hubungan Ternate dan Buton adalah sahabat erat, namun adanya poin-poin tertentu dalam perjanjian dengan VOC membuat hubungan tersebut mejadi renggang dan mengalami masa kritis. Isi poin dari perjanjian tersebut ialah setiap sultan dan pembesar Kesultanan Buton yang dipecat dan diangkat menjadi pejabat sultan atau jabatan kesultanan lainnya terlebih darhulu berkonsultasi dengan Ternate dan Kompeni.

Tahun 1668, ketika Sultan La Tangkaraja berkuasa adalah saat ketika masa kritis dengan Ternate terjadi. Banyaknya peristiwa mulai dari pengangkatan Sultan Kaimudin (La Tangkaraja) tanpa memberi tahu Ternate dahulu ditambah adanya pembesar Kerajaan Ternate yang terbunuh di Buton dalam perjalanan kembali ke Ternate tanpa dilaporkan kepada pihak Ternate. Ketegangan antara Buton dan Ternate bertambah dengan adanya gejolak di kawasan Muna. Salah satu kerajaan kecil yang berada di wilayah Buton. Muna tersebut diperebutkan oleh Ternate dan Buton, hingga akhirnya VOC menunjuk David Harthovwer untuk menyelesaikan permasalah tersebut. Dalam peristiwa pertentangan Ternate dan Buton masih berupa perebutan hegemoni, salah satunya mengenai kesamaratan dan kesaudaraan.

Buton menganggap Ternate saudara namun harus setara dimata VOC sehingga poin mengenai keharusan Buton untuk berkonstultasi mengenai sultan atau jabatan kesultanan dianggap tidak mencerminkan kesamarataannya. Keinginan Buton ialah penghapusan poin tersebut. Meskipun Buton masih membayar berupa “upeti” namun itu dilakukan bak adik kandung yang membantu kakaknya. Tanpa menaifkan keberadaannya, VOC hadir dalam kisah Buton sebagai bandar dagang, teman sekutu dan juga lawan. Bagaimanapun, sebagai bandar dagang tujuan utama dari VOC adalah mendapatkan keuntungan. Untuk mendapatkan keuntungan setidaknya VOC harus melakukan penjualan komoditas yang tentu akan dicapai jika terciptanya keadaan yang kondusif. Maka keinginan menciptakan daerah yang kondusif, -dengan salah satunya berusaha menaklukan Makassar dan Ternate- tidak lain adalah untuk mendapatkan barang-barang komoditas dagang.

Perdagangan di Buton

Dalam beberapa karangan seringkali wilayah Buton hanya berhubungan sebagai tempat transit namun apakah ada komoditi yang didagangkan di Buton? Jika ada, komoditas apakah yang menjadi primadona perdagangan di Buton? Komoditi yang paling menarik ialah budak (slaves trade). Dari analisis Markus Vink, perdagangan budak adalah salah satu jenis perdagangan tertua dan yang paling menguntungkan.(20) Budak dibutuhkan selain sebagai pasukan untuk berperang juga sebagai jongos para bangsawan. Seringkali budak tersebut tidak hanya dibawa ke Batavia, namun juga mencapai Afrika Selatan (Tanjung Harapan).

Salah satu tempat yang banyak memperjual belikan juga menghasilkan budak terdapat di wilayah Sulawesi salah satunya berasal dari Buton. Markus Vink dalam tulisannya mengemukakan bahwa “After 1660 relatively more slaves came from the second circuit or sub region, Southeast Asia. Warfare and endemic raiding expeditions provided a steady, supply of slaves from the region’s stateless societies and microstates, especially after the collapse of the powerful sultanate of Makassar (Goa) in Southwest Sulawesi (1667/1669). The slave trade network in the archipelago revolved around the dual axis of Makassar and Bali. Makassar was the main transit port for slaves from Borneo (Kalimantan), Sulawesi, Buton (Butung), ang the northeastern island, as well as the eastern Tenggara islands (Lombok, Sumbawa, Bima, Manggarai, and Solor).”

(22)
Budak sebagai komoditas pada saat itu dihasilkan pula di daerah Buton sehingga hal itu menarik Ternate untuk menguasainya. Namun yang menjadi menarik adalah adanya tulisan dari Heather Sutherland mengenai komoditas budak di Buton ini. Dalam tulisannya, Heather mengemukakan bahwa hingga 1686, seorang Nahkoda kapal sering berlayar setiap tahun menuju Buton untuk menukarkan barang dagangan dengan budak.(23) Setelah Makassar dapat dikuasai VOC, perdagangan budak menjadi komoditas yang sangat laku dipasaran dan Makassar adalah salah tempat transit dari para pedagang budak di wilayah Sulawesi.(24)

Selain budak ada juga komoditi laut yang dihasilkan di daerah Buton yakni teripang (Holothuroidea). Teripang ini laku sebagai obat khususnya untuk daerah China. Meskipun merupakan penghasil teripang, Buton tidak memiliki teripang dengan jumlah yang banyak. The Makassar harbormaster’s shipping list for 1717-1718 indicates an established, if modest, trade with 7 pikul of trepan coming in from Buton and Tambora (Sumbawa), while 225 pikul were exported, almost all to Batavia.
(25)

Meski menghasilkan teripang dan budak yang laku, namun dalam bidang pertanian maupun tanaman komoditi lainnya, Buton tidak termasuk dalam penghasil yang baik. Meski memiliki hutan yang lebat namun Buton tidak memiliki tanaman cengkeh yang laku dipasaran dunia. J. P. Coen dalam suratnya mengemukakan bahwa Buton merupakan daerah yang cocok untuk orang-orang yang membuat perahu karena terdapat banyak pohon yang cocok dalam pembuatan perahu.(26)

Pada umumnya tanah di Buton merupakan tanah berbatu karang dan tanaman yang banyak tumbuh adalah jagung dan singkong (cassava).(27) Akan tetapi Buton dianggap sebagai daerah yang memiliki potensi mutiara dengan orang-orang yang mahir menyelam untuk mengambil mutiara.(28) Selain itu hal menarik dalam perdagangan di Buton ialah mengenai air bersih. Air bersih mutlak diperlukan bagi kebutuhan minum pada pelayar. Seringkali pelayar berhenti di sebuah pelabuhan atau tempat transit untuk mengambil air minum. Pedagang EIC (East India Company) memuji air bersih di Buton. Mereka menganggap bahwa air bersih di Buton bahkan jauh lebih bersih daripada air di Banten.(29)

Sampai akhir abad XVIII perkembangan Buton tidak lepas dari hegemoni Hindia Belanda. Keberadaan Buton menjadi hilang sebagai sebuah daerah yang besar hingga abad XX. Kekuatan maritim Buton pun tidak berkembang, seolah tidak mencerminkan bahwa Buton pernah mematahkan hegemoni Makassar dan Ternate. Buton menjadi daerah yang mengalami penyakit lost identity.


PENUTUP
Buton tidak semata-mata sebagai tempat persinggahan dari Maluku ke Makassar ataupun sebaliknya, namun juga sebagai kesultanan yang mampu mereduksi hegemoni Makassar dan Ternate. Pada realitanya Makassar dengan ekspansi politik dan dagangnya ternyata mampu menguasai perdagangan khususnya untuk hubungan dengan Indonesia bagian timur. Sedangkan Buton merupakan tempat yang strategis karena seandainya Makassar menguasi Buton maka perdagangan di Sulawesi bagian selatan hingga ujung utara mutlak akan dikuasai oleh Makassar. Namun kemampuan diplomasi dan adanya konflik Makassar dengan Arung Palakka mengubah keadaan itu. Arung Palakka, dibantu VOC mampu menggulingkan Makassar dan membuat hegemoni Makassar hancur. Buton akhirnya tidak tersentuh lagi dengan Makassar.

Lain Makassar, lain dengan Ternate. Jika dengan Makassar hal yang dihadapi adalah ekspansi wilayah, maka dengan Ternate Buton menghadapi semacam perlawanan pengaruh dengan saudara tua. Ternate dianggap sebagai saudara tua, karena banyaknya penduduk dari kesultanan Buton yang beragama Islam karena disebarkan oleh Ternate. Bahkan kedatangan Islam ke Buton diperkirakan berasal dari Ternate. Oleh karena itu, ada perjanjian yang justru membuat Buton merasa menjadi vassal dari Ternate. Hal ini tak lain karena poin tersebut mengharuskan pemilihan sultan dan pejabat kesultanan harus dirundingkan dengn Ternate dan VOC. Setelah poin itu dihapuskan akhirnya Buton menjadi merasa sama rata dimata VOC.

VOC adalah kekuatan asing yang menurut sumber historiografi tradisi Buton adalah semacam Ratu Adil. Keberadaanya, menurut sudut pandang Buton, adalah sebagai penolong salah satunya dari politik ekspansi Makassar dan menyamaratakan status dengan Ternate. Namun tentu dibalik itu, VOC hadir di Buton dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari penjualan komoditas dagangan. Meski begitu, setidaknya hingga 1890an, Buton masih diakui sebagai native state menurut perjanjian dengan VOC.
Komoditi budak (slaves) adalah alasan yang menarik Ternate dan Makassar untuk menguasai Buton. Pada saat itu Makassar salah satu transit para penjual budak yang utama untuk wilayah Indonesia timur selain Bali. Makassar merupakan transit para pedagang budak yang berasal dari Buton. Buton menawarkan budak dengan harga jauh lebih murah. Budak adalah salah satu komoditi yang sangat laku dipasaran. Budak tersebut tidak hanya dibawa ke Batavia, namun juga hampir memenuhi pesanan dari wilayah koloni Belanda lainnya di luar wilayah Indonesia, seperti Tanjung Harapan di Afrika Selatan.

Selain itu air bersih juga ternyata mampu menarik para pedagang untuk transit di Buton. Jangan dipikirkan bahwa saat itu air bersih bukan sebuah komoditi tidak berharga, namun sebaliknya air adalah salah satu syarat ketika pelabuhan didirikan. Para pedagang yang menuju Makassar dari Ternate, atau sebaliknya biasanya mengisi pasokan airnya di Buton. Bagaimanapun air bersih adalah salah satu kebutuhan akan para pelayar yang harus dipenuhi.

Footnote

(1). Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001)

(2). Dalam buku-buku sejarah terutama untuk kalangan SD hingga SMA, mayoritas mereka hanya diterangkan mengenai kerajaan Makassar, Ternate, dan Tidore. Hal ini bisa selain ketiadaan bahan ajar juga dari kekurangtahuan mengenai sejarah kerajaan lainnya.

(3) Susanto Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana : Sejarah Butun abad XVII-XVIII”, Disertasi S-3, FS Universitas Indonesia, 1999. Hal. 2

(4) Hingga akhir tulisan ini dibuat, tidak kurang dua buah karya dari sejarawan Indonesia yang telah membuat tulisan mengenai daerah Buton. La Ode Rabani mengenai kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara dan Susanto Zuhdi mengenai sejarah Kesultanan Buton. Selain dua sejarawan Indonesia tersebut, sepertinya masih banyak tulisan mengenai Buton, namun tidak diketahui pastinya karena keterbatasan penulis.

(5) Cribb, Robert., Historical Dictionary of Indonesia, (London: The Scarecrow Press, 1992). hlm 501.

(6) R.Z. Leirissa, dkk, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1999). hlm 11

(7) Ibid., hlm 7.

(8) Edward Poelinggomang, Kata Pengantar, dalam La Ode Rabani, Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010) hlm XV.

(9) Susanto Zuhdi, op.cit., hlm 2.

(10) Ibid., hlm 76.

(11) Digambarkan dalam cerita penduduk lokal bahwa Buton berbentuk seperti perahu. Setiap perahu pasti memiliki buritan dan haluan. Ternate terletak di buritan sehingga disebut labu rope (berlabuh buritan).

(12) A.B. Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, Laporan Pengukuhan Guru Besar, FS Universitas Indonesia, hlm 5.

(13) Ibid., hlm 6.

(14) Ibid., hlm 129.

(15) Ibid., hlm 127.

(16) Ibid., hlm 132.

(17) Ini adalah semacam masalah sudut pandang, dimana seringkali orang-orang yang bersekutu atau membuat perjanjian dengan VOC atau Belanda adalah pengkhianat dan dicap sebagai antek Belanda. Akan tetapi, pada zamannya hal ini wajar dilakukan sebagai bentuk menjaga kedaulatan wilayahnya.

(18) Ibid., hlm 14-16.

(19) Isi dari salah satu kontrak tersebut adalah adanya pasal yang menyatakan bahwa VOC akan membantu Buton seandainya diserang oleh bangsa asing. Salah satu buktinya ialah penempatan pasukan VOC di daerah Bau-bau

(20) Vink, Markus, “The World's Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century”, Journal of World History, Hawaii, Volume 7 (tahun 2003). Hlm 139.

(21) Ibid., hlm 144.

(22) Ibid., hlm 143.

(23) Sutherland, Heather, “The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c. 1660-1790”, Journal of Southeast Asian Studies, Singapura, Volume 32, (Tahun 2001) hlm 403.

(24) Vink, Markus, op.cit., hlm 143.

(25) Sutherland, Heather, “Trepang and Wangkang: The China trade of eighteenth-century Makassar c.1720s-1840s” dalam Tol, Roger. (et.al), Authority and Enterprise Among The People of South Sulawesi, (Leiden: KITLV Press, 2000). hlm 82.

(26) Susanto Zuhdi, op.cit., hlm 30.

(27) Ibid., hlm 30.

(28) Ibid., hlm 32.

(29) Ibid., hlm 131.



DAFTAR PUSTAKA
A.B. Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, Laporan Pengukuhan Guru Besar, FS Universitas Indonesia, 1992.

A.B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Cribb, Robert., Historical Dictionary of Indonesia, London: The Scarecrow Press, 1992.

La Ode Rabani, Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010

Vink, Markus, “The World's Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century”, Journal of World History, Hawaii, Volume 7 tahun 2003

R.Z. Leirissa, dkk, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud, 1999.

Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.

Susanto Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana : Sejarah Butun abad XVII-XVIII”, Disertasi S-3, FS Universitas Indonesia, 1999.

Sutherland, Heather, “The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c. 1660-1790”, Journal of Southeast Asian Studies, Singapura, Vol. 32, tahun 2001 hal. 403

Sutherland, Heather, “Trepang and Wangkang: The China trade of eighteenth-century Makassar c.1720s-1840s” dalam Tol, Roger. (et.al), Authority and Enterprise Among The People of South Sulawesi, Leiden: KITLV Press, 2000.

Sumber: http://alzurjani.blogspot.com/2011/03/kesultanan-buton-dalam-pergulatan.html

1 comment:

Anonymous said...

fakta-fakta begitu jelas diungkap...hal ini seringkali diabaikan oleh para budayawan muda kita di Buton/Bau-Bau, sehingga ada secamam arogansi histrosi pada masyarakat awam___trima kasih, bacaan ini sangat bermanfaat untuk saya, dan mogon izin agar saya me-link ke blogger bapak.....Wassalam