09 March 2018

Pengalaman Menikmati Rasa: Lodho Ayam Kampung Kuliner Khas Trenggalek

Puluhan tahun silam, untuk pertama kalinya menikmati udara Trenggalek. Tujuannya saat itu adalah menyusuri bagian Selatan Pulau Jawa yang terkenal itu, paling tidak untuk seorang anak kampung terlalu lama di desa nan jauh dari hiruk pikuk kota.

Hari ini, 8 Maret 2018, ingatan puluhan tahun silam itu hadir ketika keinginan menghargai sejarah diri dengan godaan antara rasa lapar. Suasananya pun mendukung karena pagi tadi sarapan nasi kuning di Stasiun Tugu, Yogyakarta, lalu makan siang di Warteg Tegal, tepat di depan Apartemen Gunawangsa Manyar di Kota Surabaya, lalu makan malam di Madiun. Kebayang muter2nya. Jarak Jogja dengan Surabaya di atas 300an Km, lalu Surabaya ke Madiun di atas 150 km. lumayan, untung tidak jalan kaki. Ada kereta api yang mengantar.

Makan malamnya terasa spesial, tidak hanya karena sejarah yang terjadi hari ini, tetapi karena ingatan tentang Trenggalek. Iya, Tulisannya khas Trenggalek. Saya  tergoda setelah memilih beberapa daftar menu yang terpampang dalam deretan warung Makan di Stasiun Madiun. Saya lalu masuk dan mencoba dengan penuh teliti, di mana makanan yang tertulis khas Trenggalek seperti tulisan besar dalam spanduk di depan warung.

Ibu setengah baya menunjuk ke suatu baskom berisi santan dengan hiasan daun bawang dan dengan taburan bawang goreng. Imajiku seperti mengatakan rasa-- seperti makanan “mewah” di kampungku, ayam kampung dibakar, lalu dimasak dengan santan”, wah Dahsyat! nih, seperti menikmati kebersamaan dengan keluarga memakan makanan begini saat di kampung, di sebuah desa di tengah pulau yang tumbuh di Laut Banda.

 Saya sempat berbincang sejanak dengan Ibu setengah baya, mungkin menjadi juru masak di warung itu. Ia pun dengan senang hati menjelaskan prosesi mengolah masakan ayam kampung yang khas Trenggalek, enak dan ada manis-manisnya, untuk “tanda” kalau masakannya juga ada ciri Jawanya, manis, seperti sebagian besar gadis-gadis Jawa kali ya, he…he…

            Karena saya merasa masakan enak dan secara emosional mirip masakan di kampungku saat Idul Fitri atau peristiwa keagamaan lainnya, maka saya memutuskan untuk satu bungkus lagi. Soal harga luar biasa: ayamnya saja yang telah diolah dengan penuh bumbu Rp.13.000, nasi uduk yang menjadi temannya 3.000/porsi yang bebas ambil sendiri (pool murahnya), lalu teh manis dengan gelas besar juga 3 ribu, jadi hanya Rp. 19.000 saja makan malamku. Nah, kalau ditambah dengan yang saya bungkus maka totalnya 32 ribu saja, tentu saja ini murah, karena sudah ayamnya enak, penuh bumbu rempah, pelayananya ramah, tehnya juga manis dan panasnya pas untuk penumpang yang baru saja turun dari Kereta Api Bangunkarta, pokoknya puas. Untuk para gadis, mungkin bisa melirik salah satu putra yang menjadi waitersnya, relatif ganteng, namun itu soal selera saja, karena kalau sama yang nulis bisa 11-15 gitu, ha…ha…

Intinya, kalau ke Madiun, boleh mencoba kuliner enak ini, dan ada no teleponnya di spanduk. dan ada nagka yang hilang yakni angka satu. kalau pusan, nomor itu ditambahi angka satu, maksudnya he...h...he...Menurutku dan seleraku, pas bangat untuk dinikmati, selaras dengan rasa hati, kapan-kapan aku mampir lagi.  

Terakhir, numpang Promo buku di bawah ini ya. Bukunya masih dalam tahap proses cetak dengan judul, Porambanga, Sabangka-Saropa dalam Masyarakat Wakatobi, Bukunya tidak dijual

No comments: