13 November 2009

Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa di Universitas Airlangga

Universitas Airlangga merupakan lembaga pendidikan tinggi tertua di Jawa Timur yang berdiri pada 10 November 1954. Pada masa awal hanya terdiri dari dua pendidikan tinggi warisan kolonial, yaitu pendidikan kedokteran dan pendidikan kedokteran gigi. Pendidikan kedokteran berdiri pada tahun 1913 dengan nama Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), sedangkan pendidikan kedokteran gigi berdiri pada tahun 1928 dengan nama School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT). Pendidikan tinggi hukum dan ekonomi juga sebagai pendidikan tinggi yang berdiri sendiri sebelum menjadi bagian dari Universitas Airlangga. Fakultas Hukum merupakan fakultas milik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang ada di kota Surabaya, yaitu Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik. Masih ada satu lagi pendidikan keguruan yang ada di kota Malang, yaitu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1954, pendidikan tinggi yang dimaksud di atas secara resmi menjadi fakultas di Universitas Airlangga.

Selama dua dekade Universitas Airlangga telah menjalani dinamika akademik yang beranekaragam. Salah satunya adalah pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa yang diberikan kepada orang-orang di luar maupun dalam lingkungan universitas. Hal ini menunjukkan bahwa Universitas Airlangga sangat menghargai dedikasi dan jasa-jasa orang-orang yang memiliki kontribusi pada kehidupan ini. Tentunya, para penerima gelar doktor honoris causa dipilih dari orang-orang yang terbaik.

Beberapa tokoh penting di negeri ini yang memperoleh gelar itu, seperti Soebandrio, Raden Wirjono Prodjodikoro, Ruslan Abdul Gani, Prof. M. Sutopo, Prof. R. Soeharso, F.I.C.S., dan Ibnu Sutowo. Tokoh-tokoh ini merupakan tokoh yang berjasa pada saat awal berdirinya negara Indonesia dari sudut pandang yang berlainan. Seorang tokoh yang memperoleh gelar adalah Moerdiono yang pernah menjabat selama dua periode dalam pemerintahan presiden Soeharto sebagai menteri sekretaris negara.

Tokoh pertama yang dianugerahi doktor honoris causa adalah Soebandrio. Gelar ini diberikan pada bulan Desember 1962. Promotor pemberian gelar diamanatkan kepada Prof M. Toha. Riwayat hidup Soebandrio penuh liku-liku khususnya ketika berada dalam kancah politik nasional. Tokoh ini dilahirkan di Malang pada tahun 1914. Dia ikut berjuang sesuai bidangnya pada masa kemerdekaan. Misalnya, pada tahun 1947 – 1954 menjadi duta besar di London (Inggris). Jabatan yang sama dilanjutkan di negara yang berbeda selama dua tahun, yaitu di Moskow (Rusia) pada tahun 1954 – 1956. Pada saat menerima gelar doktor honoris causa, Soebandrio menjabat sebagai wakil perdana menteri. Masa-masa sebelumnya juga menjabat di berbagai jabatan strategis. Menteri luar negeri pernah dipegangnya pada masa Kabinet Juanda. Dia juga pernah menjadi ketua Badan Pusat Intelejen Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Dengan menguatnya Partai Komunis Indonesia, tampak bahwa Soebandrio memiliki hubungan yang kuat dengan partai ini pada tahun 1963.

Universitas Airlangga memberikan gelar kehormatan ini dengan pertimbangan yang matang dan tepat dengan dasar kiprahnya pada bangsa. Soebandrio bukan merupakan orang yang kontroversial pada zamannya, meskipun beberapa tahun setelah pemberian gelar honoris causa diketahui terlibat menjadi anggota PKI yang dilarang pada masa orde baru. Sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965, PKI merupakan partai yang sah di negeri ini, memiliki kedudukan yang sederajat dalam kancah perpolitikan nasional, sehingga siapapun orangnya dibolehkan menjadi bagian anggota PKI. Namun, nasib dan kecelakaan yang ditimpakan pada setiap orang yang menjadi anggota PKI menimbulkan masalah serius setelah partai ini dilarang dalam kancah perpolitikan nasional akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965, meskipun orang yang dimaksud berjasa pada negeri ini. Jasanya seolah-olah sirna dan namanya cemar karena menjadi korban politik suatu rezim.

Seorang tokoh lainnya yang mendapat gelar doktor honoris causa setelah Soebandrio adalah Raden Wirjono Prodjodikoro dengan promotor Prof. Ko Siok Hie, S.H. Gelar kehormatan ini diberikan karena kiprahnya dalam bidang atau ilmu hukum. Saat itu jabatan yang sedang diembannya adalah Mahkamah Agung sekaligus Menteri Koordinator Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri. Jabatan di Mahkamah Agung berlangsung pada tahun 1952 – 1966, sedangkan sebagai menteri berlangsung relatif singkat sekitar 1,5 tahun (Agustus 1964 – Februari 1966) dengan nama Kabinet Dwikora I. Pernah juga menjadi penasehat hukum presiden yang kedudukannya setara dengan menteri pada tahun 1960 – 1962.

Pada masa kepemimpinan Wirjono Prodjodokoro lahir UU No 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 19 UU itu merumuskan, Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turut atau campur-tangan dalam masalah pengadilan. Meskipun berada di bawah bayang-bayang eksekutif dan legislatif, Ketua Mangkamah Agung di masa Orde Lama dikenal sebagai orang yang terbebas dari korupsi. Sebastian Pompe, peneliti Belanda yang tertuang dalam bukunya The Indonesian Supreme Court : A Study of Institusional Collapse, mengatakan bahwa Wirjono Prodjodikoro lebih memilih menyewakan mobil dinasnya sebagai taksi, boleh jadi itu dilakukan untuk mendapat penghasilan tambahan yang halal. Bisa dimaklumi, kala itu kabarnya gaji hakim terbilang kecil.
Dari sekilas kiprah itu, Universitas Airlangga telah menentukan tokoh yang tepat dilihat dari sudut akademik maupun dedikasinya pada satu bidang tertentu. Karya-karyanya menjadi rujukan dan terus dibaca, khususnya oleh para peminat disiplin ilmu hukum. Kepakarannya ini telah menempatkan namanya sebagai salah satu peletak dasar sistem peradilan Indonesia. Raden Wirjono Prodjodikoro juga dapat dilihat dari nama diri dan perjuangannya sewaktu muda.

Nama diri juga menunjuk sebagai seorang bangsawan atau priyayi Jawa dilihat dari raden yang disandangnya. Kota kelahiran menunjukkan kearah itu, yaitu Solo, 15 Juni 1903. Dia menyelesaikan sekolah bidang hukum dari Rechtsschool Jakarta tahun 1922 dan langsung menjadi hakim. Pendalaman ilmu hukum dilakukan dengan melanjutkan belajar di Universitas Leiden, Belanda. Pengabdiannya pada bidang ini berarti sejak masa Hindia Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia. Lebih dari separuh hidupnya diabdikan pada masalah hukum dan konsentrasinya pada bidang ini mengantarkan dirinya pada kedudukan tertinggi derajat akademik., yaitu Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro. Dia berpulang kehariban-Nya pada bulan April 1985.

Tokoh populer lainnya yang mendapat gelar kehormatan doktor honoris adalah Ruslan Abdul Gani. Gelar kehormatan ini diberikan dalam suatu upacara penganugerahan pada 10 November 1964 yang dipromotori oleh Prof. Koentjoro Purbopranoto, S.H.. Ruslan Abdul Gani dilahirkan pada tahun 1914 di kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat kota Surabaya mengetahui tokoh ini karena popularitasnya dan tercatat dalam sejarah sebagai bagian dari revolusi fisik, tokoh pejuang, negarawan, dan politikus.
Jabatan yang pernah diamanatkan kepadanya adalah sekretaris jendral kementerian luar negeri dan menteri luar negeri pada tahun 1956 – 1957. Tugas yang pernah diemban adalah sekretaris jendral Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil ketua dewan nasional Republik Indonesia, wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung. Pada tahun 1962 – 1966, menjadi menteri penerangan dan pada saat menerima penghargaan ini menjadi menteri Koordinator Kompartimen Perhubungan dengan rakyat.

Setelah terjadi pergantian era kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, Ruslan Abdul Gani masih dipercaya menjadi duta besar Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1967 – 1971). Dari berbagai jasa-jasa tersebut, Universitas Airlangga memandang layak untuk memberi gelar doktor honoris causa. Secara spesifik, pertimbangan Universitas Airlangga memberikan gelar kehormatan ini dapat ditinjau dari sudut pandang paling penting, yaitu sebagai pejuang dan berjasa dalam pembangunan di era kemerdekaan. Gelar doktor honoris causa yang disematkan kepada Ruslan Abdul Gani adalah dalam bidang Ilmu Hukum, sehingga secara sah setelah penganugerahan namanya tertulis Dr. Ruslan Abdul Gani.

Setelah Dr. Ruslan Abdul Gani, orang yang dianggap layak adalah Prof. M. Soetopo. Upacara pemberian gelar doktor honoris causa diselenggarakan pada tanggal 24 Mei 1969 yang dipromotori oleh Prof. R. Moh. Imanoedin, guru besar dalam bidang kesehatan masyarakat. Prof. M Soetopo dilahirkan di desa Bandongan, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 24 Juli 1898. Seluruh pendidikan yang ditempuhnya berlangsung pada masa kolonial dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Tahun 1911 tamat dari Europese Lagere School di Sidoarjo, kemudian melanjutkan di Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren di Magelang yang diselesaikan tahun 1913. Pendidikan tinggi ditempuh di NIAS Surabaya selama 11 tahun dari tahun 1913 sampai 1924 dengan memperoleh gelar Indisch Arts. Dari pendidikan tersebut tampak bahwa untuk menjadi seorang dokter pada masa kolonial dibutuhkan waktu yang panjang.

M. Soetopo termasuk mahasiswa angkatan pertama di NIAS Surabaya. NIAS Surabaya didirikan di Kedungdoro pada 15 September 1913 dengan jumlah 30 mahasiswa. Pemimpin atau direkturnya pada saat itu adalah Dr. A.E. Sitzen. Lulusan pertama pendidikan dokter angkatan ini tahun 1923, sehingga M. Soetopo termasuk lulusan periode kedua, yaitu tahun 1924. Selama menjadi mahasiswa, dia mengalami pemindahan tempat dari Kedongdoro ke Karangmenjangan yang terjadi pada tahun 1922.

Setelah lulus dari NIAS, M. Soetopo langsung bekerja menjadi dokter pemerintah. Dia ditempatkan di berbagai daerah, antara lain Surabaya (1924 - 1927), Pare (1927 - 1930), Probolinggo (1930 - 1932), Surabaya (1932 - 1934), Jakarta (1934 - 1937). Setelah itu, dia menjadi manusia ulang-alik antara Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta untuk bertugas. Pada saat di Jakarta tahun 1934, dia bekerja sambil belajar di Geneeskundige Hogeschool dan memperoleh ijazah bergelar Arts.

Ketika berada di Yogyakarta sejak tahun 1945, M. Soetopo menjadi bagian penting dalam kementerian Kesehatan. Pada tahun 1950 bersamaan dengan kabinet Halim, dia diangkat menjadi menteri Kesehatan. Keterlibatannya dalam bidang pendidikan diketahui dari peranannya sebagai anggota panitia pendirian Universitas Gadjah Mada dari tahun 1947 sampai 1949. Gelar guru besar luar biasa diamanatkan kepadanya pada fakultas kedokteran universitas tersebut.

Selain pekerjaan dalam bidang kesehatan, dia juga terlibat dengan berbagai kegiatan pengembangan kesehatan yang disampaikan dalam acara-acara internasional, seperti konferensi dan simposium. Yang unik dari M. Sutopo adalah keterlibatannya dalam bidang politik pada masa kolonial. Disebutkan dalam bahasa saat itu “sebagai satu pembantu jang aktif dari dr. Soetomo dalam masa Indonesische Studieclub, masa Partij Bangsa Indonesia (PBI), dan masa Partai Indonesia Raya (Parindra)”. Dia termasuk pelopor, propagandis, pendiri Jong Java, dan sangat dekat dengan dr. Soetomo dengan posisi sebagai orang kepercayaan.

Sesuatu yang sangat istimewa dan unik dalam diri M. Soetopo adalah memimpin majalah “Soeloeh Indonesia” dan bertindak sebagai Hoofdredacteure harian “Soeara Oemoem”. Prestasi dalam politik adalah anggota dewan pada masa kolonial. Tidak sembarang orang bisa menduduki posisi ini sebab pemerintah Hindia Belanda sangat ketat menentukan orang-orang yang duduk didalamnya. Tahun 1929, M. Soetopo menjadi anggota College van Gecommitterden di kabupaten Kediri dan ditahun yang sama diangkat menjadi anggota Provinciale Raad van Oost Java (sekarang DPRD Jawa Timur).

Dari berbagai jasa-jasa tersebut, Universitas Airlangga dapat memberikan gelar kehormatan dalam beberapa bidang. Tetapi, gelar doktor honoris causa ini diberikan kepada Prof. M. Soetopo dalam bidang kedokteran karena intensitasnya pada bidang tersebut yang ditunjukkan dari kinerja dan karyanya. Prof. M Soetopo tergolong orang yang produktif dalam berkarya dalam hal penyampaian ide melalui tulisan. Sebanyak 24 karya yang disampaikan ketika pemberian gelar doktor honoris causa dilangsungkan.
Gelar doktor honoris causa selanjutnya diberikan kepada Prof. dr. R. Soeharso, F.I.C.S. Tempat kelahirannya di suatu kabupaten sebelah utara kota Solo, yaitu Boyolali, tanggal 13 Mei 1912. Ijazah dengan gelar Indisch Arts diperoleh dari NIAS Surabaya selama 9 tahun. Dia menempuh pendidikan dokter dari tahun 1930 sampai 1939. Sejak saat itu, dia bekerja sebagai dokter pemerintah bagian Ilmu Bedah, C.B.Z Surabaya dibawah pimpinan Dr. J. Harkink dan dr. M. Soetopo. Setelah lima tahun bekerja, dr. Soedarso memutuskan untuk mengambil spesialisasi Ilmu Bedah Umum dibawah bimbingan Prof. Dr. Moh. Saleh Mangoendiningrat. Pendidikan ini ditempuh dalam waktu 3 tahun dari tahun 1946 sampai tahun 1949. Ijazah keahlian khusus lainnya adalah bedah ortopedi yang diperolehnya pada tahun 1957. Konsentrasinya pada bedah ortopedi ini dapat diketahui dari kiprahnya di tahun-tahun sebelumnya. Dia mengikuti pendidikan tambahan yang berkaitan dengan bedah ortopedi dan mendirikan rumah sakit Ortopedi di Solo tahun 1953.

Pemberian gelar dilangsungkan dengan upacara kehormatan pada 8 November 1969 yang dipromotori oleh Prof. H.R.M. Soejoenoes. Seperti penganugerahan kepada tokoh-tokoh sebelumnya, Universitas Airlangga menyematkan gelar dengan pertimbangan yang matang. Dari bidang akademik termasuk orang yang multitalenta khususnya dalam bidang kedokteran dan dari bidang profesi dapat dikategorikan orang pekerja keras. Dimulai dari tahun 1939 sampai 1968 mengerjakan berbagai bidang, seperti dokter, mendirikan bengkel pembuatan tiruan kaki dan tangan, mendirikan sekaligus supervisor Rehabilitasi Centrum Penderita Cacat Tubuh di Surakarta, memberi kuliah kepada mahasiswa, dan lain sebagainya.

Tokoh lainnya adalah Ibnu Sutowo, lahir di Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 23 September 1914. Dia termasuk warga Universitas Airlangga secara tidak langsung karena alumni NIAS Surabaya cikal bakal fakultas Kedokteran dengan gelar Indisch Arts. Ibnu Sutowo juga memiliki kepangkatan dalam bidang militer dengan pangkat mayor titular. Pada masa Agresi Militer Belanda II, ikut serta bergerilya. Prestasi yang luar biasa dari diri Ibnu Sutowo adalah ketika dia ditunjuk, oleh Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution, untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatra Utara (PT Permina) pada tahun 1957. perusahaan ini berubah menjadi Pertamina.

Penghargaan gelar doktor honoris causa diterimanya dalam upacara di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada tanggal 11 November 1972. Dewan promotor diketuai oleh Prof. Kuntjoro Purbopranoto, S.H. yang juga memberikan pidato pengantar dengan judul Peranan Ibnu Sutowo dalam Perminyakan Nasional dan Perekonomian Negara. Penghargaan yang diberikan kepada Ibnu Sutowo merupakan penghargaan pada talenta yang dimilikinya. Dia adalah lulusan NIAS, sehingga gelar akademiknya adalah dokter. Gelar doktor honoris causa ini diberikan bukan pada bidang itu, tetapi dalam bidang ekonomi. Dia merasa tersanjung dengan gelar tersebut, seperti yang diucapkannya, “Saya merasa mendapat penghargaan tinggi sekali, terlebih lagi karena saya adalah alumnus dari jurusan kedokteran.” Meskipun lintas jalur, Universitas Airlangga memberikan dengan pertimbangan yang mantap terutama kiprahnya menerapkan ilmu ekonomi sebagai seorang pengendali perusahaan besar Pertamina.

Tokoh-tokoh tersebut telah dikenal karena popularitasnya di masyarakat dan pengabdiannya pada ilmu pengetahuan. Setelah Ibnu Sutowo, gelar doktor honoris causa diberikan kepada Moerdiono dalam bidang ilmu hukum dengan promotor Abdul Gani, S.H. Orasi ilmiahnya menyinggung tentang membangun negara hukum dengan judul tulisan Manfaat falsafati dan ideologi dalam membangun negara hukum di Indonesia. Moerdiono merupakan yang sangat populer pada masa pemerintahan Presiden Soeharto karena ciri khasnya ketika memberi pernyataan di depan publik. Dia dikenal orang yang berhati-hati dalam berbicara, sehingga terbata-bata dan lambat dalam melisankan yang ada dalam pikirannya.

Dia dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 19 Agustus 1934. pendidikan formal yang ditempuh di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Malang pada tahun 1957. Selama bekerja di Jakarta menyempatkan mengikuti pendidikan Lembaga Admnistrasi Negara (LAN) pada tahun 1967. Peserta wajib militer dengan pangkat terakhir mayor jendral. Dari tahun ke tahun lingkungan kerjanya tidak jauh dari kementerian, antara lain Staf Sekretriat Negara (1966), Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Khusus (1972), menjabat Sekretaris Kabinet (1981), Menteri Muda Sekretaris Kabinet pada Kabinet Pembangunan IV (1983 – 1988), dan Menteri Negara Sekretaris Negara pada Kabinet Pembangunan V dan VI (1988 – 1993 dan 1993 – 1998).

(Sumber: Tim Peneliti Sejarah Universitas Airlangga Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya)

No comments: