30 October 2010

Mia Pata Mia dari Johor?

Oleh:
ABD RAHMAN HAMID

Penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam. Ia juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkannya dari berbagai ketergelinciran dan kesalahan (Ibnu Khaldun 2000)

Pada sela-sela acara seminar wacana muslim se-Asean, yang dilesenggarakan atas kerja sama Universiti Sains Malaysia (USM) dan Universitas Muhammadiyah (Unismuh), di Makassar pada akhir Maret 2010, saya sempat berdiskusi dengan salah seorang guru besar sejarah USM Ahmad Jelani Halimi. Ketika itu, saya menceritakan tentang keterkaitan erat antara Melayu dengan Buton. Bahwa pendiri kuasa politik Buton berasal dari Semenanjung, tepatnya negeri Johor, berjumlah empat orang atau dalam tradisi lisan lokal disebut Mia Pata Mia yaitu: Sipanjonga, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo. Mereka tiba di Buton sekitar akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14 M.

Mendengar penjelasan itu, sang profesor langsung meresponnya, bahwa tidak ada [kerajaan] Johor pada abad itu! Saya kaget dan berpikir keras terkait dengan argumennya. Beliau lalu mengatakan bahwa keahlian utamanya adalah sejarah Asia Tenggara periode klasik hingga abad ke-18 M. Dengan demikian wawasan sejarah Buton semacam itu perlu ditinjau kembali, sebab tidak ada Johor pada masa itu, tegas Prof Jelani.

Sebagai peneliti Buton, wacana tersebut merupakan tantangan besar yang tidak boleh diabaikan. Ia perlu disikapi secara kritis dan ilmiah. Dan boleh jadi pemikirannya benar, ataupun sebaliknya. Sejak pertemuan itu, saya dihantui oleh berbagai impresi tentang konstruksi sejarah Buton yang selama ini tampak dianggap final, dan telah memproduksi sebuah tafsir tunggal yang kadang tabu dipikir kembali.

Disinilah konteks ide sejarawan Muslim kesohor, Ibnu Khaldun bahwa agar kita tidak terbuai dalam kesalahan dan terjauh dari pancaran cahaya kebenaran maka perlu menggunakan beragam sumber dan perspektif kritis sehingga menghasilkan pengetahuan masa lalu yang komprehensif dan tentunya dapat mendekati kebenaran faktualnya. Dengan cara ini terbuka peluang memproduksi wacana baru guna memperkaya khasanah pengetahuan tentang Buton.

Kegelisahan ilmiah dan keinginan untuk merekontruksi kembali sejarah Buton makin kuat terutama setelah setahun yang lalu (Juli 2009) saya mengikuti seminar Serumpun IV di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Bangi Selangor, Malaysia. Dalam diskusi dengan para ahli sejarah yang ada di sana, saya tidak mendapatkan jawaban atau gambaran perihal kerajaan Liya, seperti yang disebutkan dalam Hikayat Negeri Buton (HNB), sebagai negeri asal dari Mia Pata Mia.

Itulah yang menginspirasi lahirnya tulisan ini, sebagai apresiasi terhadap wacana yang berkembang belakangan ini, dan minimal dapat menjadi pra wacana bagi peneliti serta pemerhati untuk menyadari dan merenungkan kembali, bahwa sesungguhnya tafsir sejarah Buton belum final.

Tentang Johor

Karena tidak puas dengan argumen Prof Jelani ihwal negeri Johor, saya pun mulai menjelajahi sejumlah literatur yang merekam keadaan zaman pada akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, khususnya kawasan Semenanjung. Dalam kaitan itu, adalah menarik buah pena Paul Michel Munoz (2006) yang mengkaji tentang kerajaan-kerajaan awal di Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Fokusnya berkisar pada perkembangan sejarah dan budaya sejak zaman prasejarah sampai abad ke-16 M. Dari hasil pembacaan itu, ternyata tidak diketemukan sebuah negeri ataupun kerajaan bernama Johor.

Penelusuran literatur dilanjutkan. Kali ini yang dituju adalah catatan William Marsden (1811) tentang Sejarah Sumatra. Pada bab 18 diurai mengenai kerajaan Melayu. Bahwa setelah Malaka dikuasai oleh Portugis tahun 1511, Sultan Mahmud Shah, yang menggantikan Sultan Alauddin adalah Raja Melayu keduabelas dan Raja Malaka ketujuh dan terakhir, terpaksa meninggalkan negerinya bersama para pengikutnya dan melarikan diri ke ujung Semenanjung. Di tempat itulah ia mendirikan kerajaan Johor, walaupun tidak pernah berkembang menjadi tempat yang penting, seperti halnya Malaka, kata Marsden.

Masih terkait dengan kemelut seputar lahirnya kerajaan Johor. Penjelasan yang lebih detail disuguhkan oleh guru besar sejarah Universitas London D G E Hall (1988) dalam bukunya Sejarah Asia Tenggara. Dikatakan, bahwa pasca keruntuhan Malaka, Sultan Mahmud terpaksa melarikan diri dan melakukan penduduk pertamanya di Sayong Pinang, daerah Johor. Pada kesempatan pelarian itu, beliau mengirimkan utusan ke Cina untuk mendapatkan bantuan dari Kaisar Ming. Tetapi tidak berhasil mendapatkannya, sebab pada saat itu Dinasti Ming sedang menghadapi ancaman dari tentara Tartar. Dengan segala kekuatan yang ada, beliau mencoba bertahan. Dan, karena selalu menjadi incaran ekspansi Portugis, akhirnya beliau melarikan diri ke Kampar di Sumatra, dan meninggal dunia pada 1528. Puteranya yang lebih muda bernama Alauddin lalu menggantikannya, dan mendirikan ibukota kerajaannya di tepi sungai Johor. Namun, seperti juga pendahulunya, Alauddin tidak lepas dari gangguan Portugis. Akhirnya, pada 1536 terpaksa menempuh jalan berdamai dengan Portugis. Walhasil, pesona politik Johor pun perlahan menjadi pudar.

Mengacu pada sumber-sumber tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Johor sebagai sebuah kerajaan di Negeri Semenanjung baru ada pada paro pertama abad ke-16 M, setelah runtuhnya Malaka. Dengan demikian, tafsir sejarah tentang Mia Pata Mia sebagai pendiri kerajaan Buton pada akhir abad ke-13 atau sekitar awal abad ke-14 perlu ditinjau kembali. Tetapi, apakah Johor yang dimaksud adalah sebuah daerah (geografi) di kawasan Semenanjung? Ataukah Johor dalam pengertian politik sebagai sebuah kerajaan?

Bila tafsirnya terkait pertanyaan terakhir, maka dapat dipastikan adalah keliru, seperti kata Prof Jelani. Tetapi bila yang dimaksud adalah nama sebuah negeri di Semenanjung, maka besar kemungkinannya benar. Namun, apakah kerajaan Liya yang dimaksudkan oleh HNB berada dalam wilayah Johor? Ini pun kita belum mendapatkan jawaban yang akurat.

Riwayat Semenanjung menunjukkan bahwa pada abad ke-13 sering terjadi kemelut politik untuk memperebutkan kekuasaan atas wilayah itu. Sampai pada periode ini, Malaka merupakan bandar internasional terkemuka di dunia timur. Karena itu penguasaan terhadap daerah ini menjanjikan keuntungan secara ekonomis. Setelah kekuasaan Sriwijaya pudar akhir abad ke-13, kawasan ini akhirnya pada abad ke-14 berada dalam hegemoni Majapahit.

Kemelut politik yang terus berlanjut membuat mereka yang ada di sana melakukan berbagai upaya eksistensi, termasuk antara lain ialah meninggalkan negerinya dan melakukan petualangan. Alternatif yang terakhir inilah yang dipilih oleh Mia Pata Mia. Dengan menggunakan perahu, mereka memberanikan diri menjelajahi ruang samudera hingga akhirnya tiba di jazirah tenggara Sulawesi dan mendirikan kerajaan Buton.

Kemestian re-konstruksi

Stigma yang berkembang hingga kini, bahwa sejarah Buton tidak dapat atau belum diceritakan sepenuhnya, seyogyanya perlahan perlu disingkap. Sebab, ketimpangan memahami masa lalunya merupakan hasil dominasi stigma macam ini. Jika tidak disikapi dengan cermat dan bijak sedini mungkin, tidak menutup kemungkinan generasi baru akan tercerabut dari akar historisnya, dan kehilangan identitas di tengah komunitas global. Mereka tidak tahu, harus mengatakan apa ketika ditanya soal dirinya? Setiap jawabannya tentu memerlukan pertanggungjawaban, tidak hanya sebatas gagasan tetapi juga implementasi nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari yang mengukuhnykannya sebagai anggota komunitas budaya seperti yang dikatakannya.

Pendek kata, rekonstruksi sejarah Buton adalah sebuah kemestian dan mendesak. Apa pun rekaman yang telah dihasilkan oleh para pendahulu merupakan referensi berharga, namun tidak boleh membutakan mata kita untuk menatapnya kembali dengan perspektif yang lebih luas. Bukankah setiap generasi berhak menulis sejarahnya. Dan sejarah, seperti kata Edward Hellet Carr (1987), adalah dialog yang tak berkesudahan. Entah kapan akan berakhirnya!(**)


Staf Pengajar Sejarah Universitas Hasanuddin;
Pendiri Kerukunan Mahasiswa Buton SBB Makassar

sumber: http://www.radarbuton.com/index.php?act=news&nid=41378
tanggal Kamis, 22 Apr 2010

No comments: