07 November 2010

Sepotong Kisah di Pulau Makassar Buton-Sulawesi Tenggara

Oleh: Abd Rahman Hamid
Staf Pengajar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNHAS

Pada 2 Mei 2010 sekitar pukul 10.00 pagi, setelah semalam mengarungi ruang samudera dari Pulau Wangi-Wangi (Kabupaten Wakatobi), rombongan muhibah bahari kota-kota pantai Sulawesi Tenggara (Nursam, La Ode Rabani, dan Abd. Rahman Hamid) menuju sebuah pulau di depan Kota Bau-bau. Perjalanan menggunakan perahu motor bercadik (barata) dimulai dari pantai Kamali. Sekitar 20 menit kemudian, perahu tersebut berhasil merapat di pelabuhan Pulau Makassar.

Pulau ini merupakan salah satu pulau sejarah yang kisahnya hampir raib dari rekaman kolektif masyarakatnya. Betapa tidak, sebutan untuk nama pulau itu seakan diterima begitu saja. Kadang, identitas singkatnya, yakni Puma, lebih dikenal oleh warga dibandingkan nama lengkapnya, Pulau Makassar. Nama ini bukan label awalnya. Perubahan menjadi namanya kini memiliki sepotong kisah penting, tidak boleh diabaikan, yang akan diketengahkan disini.

Bila beberapa nama pulau/benua diambil dari identitas penemunya, misalnya Amerika (penemunya adalah Americo Vespucci) dan Tasmania (yang ditemukan oleh Abel Tasman), ada pula lainnya diadopsi dari identitas komunitasnya seperti Bugis Junction di Singapura dan kampung Melayu di Makassar.

Di Buton, beberapa wilayah namanya diambil dari asal daerah warganya dulu, dalam proses sejarahnya, masih terawat sampai sekarang. Sebutlah misalnya Lowu-lowu, perkampungan orang dari Luwu yang terbentuk sekitar abad ke-15. Terdapat pula kampung Wajo dan Bone-bone, dibentuk dalam abad ke-17. Bila ketiga kampung tersebut merujuk pada identitas Bugis (meski sebagian kalangan memandang Luwu bukanlah Bugis), pulau yang dikunjungi dan kisahnya diketengahkan ini memiliki nuansa Makassar. Mengapa disebut Pulau Makassar? Jika nama ini belakangan dikenal, lalu apa nama sebelumnya?


Menurut tradisi lisan yang berkembang, seperti dituturkan oleh warga setempat saat ditemui, pulau itu dahulu terdapat banyak kambing. Walhasil disebut Liwuto Bembe atau Pulau Kambing. Tidak diketahui secara pasti awal terbentuknya pemukiman masyarakat di pulau ini.

Citra negeri ini banyak dikenal, dalam rekaman sejarah zamannya, terutama berkaitan dengan tragedi Perang Makassar (1666-1669). Peristiwa ini melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan yaitu Kompeni (VOC), Bone dan Soppeng, Makassar, Buton, Bima, dan Ternate. Sejumlah kekuatan tersebut terlibat dalam drama sekutu dan seteru untuk memenangkan percaturan politik dan ekonomi di jazirah Sulawesi abad ke-17.

Meskipun akhirnya Kompeni bersama sekutunya (Arung Palakka dan lainnya) menjadi pemenang, dan sebaliknya Makassar dengan sekutunya harus menerima kenyataan pahitnya sebagai pihak yang kalah perang. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak telah kalah. Karena mereka tidak mampu menegakkan keamanan yang seharusnya diupayakan sebagai prasyarat bagi terbangunnya arena komunikasi ekonomi dan politik.

Di pentas tragedi besar kemanusiaan inilah berkembanglah sebuah pemukiman masyarakat di pulau yang kini akrab disapa dengan nama Puma. Dari catatan sejarah, kaum tawanan perang pengikut/armada Makassar berjumlah sekitar 5.500 orang dimukimkan di sana, tanpa bantuan/perhatian dari pihak pemenang. Mereka dibiarkan begitu saja, tidak terurus, melewati hari-hari deritanya.

Mereka berupaya untuk terus bertahan. Meski sudah barang tentu, dengan keadaan lingkungan yang tidak sehat karena padat penduduknya, ditambah sebagian yang luka-luka akibat perang serta sikap saling bersaing sesama mereka guna mempertahankan diri, kehidupannya cukup memprihatinkan. Tak heran, jika banyak dari mereka meninggal dunia. Sebab utamanya ialah karena penyakit yang tak dapat ditangani serta kelaparan yang tak dapat dihindari. Seketika, wajah pulau itu berubah, dari sebelumnya sebatas negeri (liwu) bagi orang-orang Makassar, kini (seperti dalam dokumen Belanda) menjadi Makassar Kerkhof, artinya makam atau pekuburan Makassar. Dalam bahasa Wolio-Buton disebut Liwuto Makasa.

Seorang warga yang dijumpai pada saat kunjungan kami mengisahkan, bahwa ketika membangun rumahnya (menggali fondasi), ditemukan banyak tulang berserakan. Bila hujan deras turun, artefak-artefak itu tampak terlihat di permukaan tanah. Dan, paling sekitar 30 cm jika dilakukan penggalian dapat ditemukan banyak tengkorak manusia. Jejak macam itu juga banyak ditemukan ketika awal pembangunan jembatan, yang kini menjadi tempat berlabuhya armada dari dan ke Pulau Makassar.
Menghadapi situasi yang dilematis ini, sebagian kecil dari mereka mencoba menyelamatkan dirinya pada malam hari, menggunakan sampan-sampan kecil maupun potongan-potongan kayu untuk meninggalkan Pulau Makassar. Namun, cara ini tidak banyak ditempuh karena penuh resiko, baik dari pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kontrol wilayah/pemukiman itu, juga ancaman makhluk laut yang membahayakan kelangsungan hidup mereka.

Melihat kondisi yang kian memilukan, Sultan Buton La Simbata Adilil Rakhiya terbetik didalam hatinya untuk membantu mereka agar bisa bertahan hidup. Kemudian, tanpa sepengetahuan/persetujuan Kompeni, secara diam-diam Sultan Buton memberikan kesempatan, dan bahkan menfasilitasi upaya penyelamatan diri penduduk (pulau) Makassar. Selanjutnya, mereka kembali ke negerinya masing-masing. Sejak saat itu, kerenggangan hubungan yang pernah berlangsung antara kedua negeri di masa perang, perlahan membaik. Pijar harmoni sosial pun mewarnai ruang-ruang komunikasi di antara keduanya.

Selain menyimpan rekaman kehidupan yang penuh penderitaan, di pulau itu juga terdapat makam Sultan Buton VIII, Mardan Ali yang memerintah pada 1647-1654, yang meninggal karena lehernya terlilit. Itulah sebabnya disebut Oputa Yi Gogoli. Disekitarnya terdapat makam-makam lainnya. Kawasan pemakaman ini ditanami beberapa pohon Cempaka. Jenis pohon ini juga dijumpai pada kompleks makam para pembesar Buton lainnya. Tentang sebab kematiannya, terdapat dua versi yang berkembang. Pertama karena (merasa) dipermalukan pada masa hidupnya, dan kedua telah melakukan hal-hal yang memalukan dirinya. Akhirnya La Cila, nama pertamanya, melilitkan semacam benang/tali pada lehernya yang mengakibatkan kematiannya.


Kedua kisah dari Pulau Makassar di atas memperlihatkan alur narasi yang sama, yakni tempat yang membawa sebab kematian, walau pada momen yang berbeda waktunya. Pendek kata, kisah ini tidak boleh dilupakan, atau penting untuk dikenang. Bukan sekadar untuk menayangkan episode kehidupan penuh duka, tetapi agar diketahui oleh generasi baru sehingga kelak tidak melakukan hal yang sama. Sebab, historia magistra vitae (sejarah adalah guru kehidupan).

Tulisan ini pernah dimuat dalam HARIAN FAJAR 13 Juni 2010

No comments: