05 February 2011

Rokok Dalam Kebudayaan Kita

Pendahuluan

Rokok –merek dan jenis apapun, juga kretek- sudah menjadi bagian hidup bangsa kita, sejak kita belum menjadi Indonesia modern. Bagian hidup bukan sekedar gaya hidup. Perlaian antara rokok dengan kita –secara pribadi-sangat mendalam, dan merupakan hubungan psikologis yang sangat sulit dipisahkan karena ada sejenis ketergantungan. Bagi para perokok ‘sejati’ ketergantungan itu menyebabkan yang bersangkutan bisa lebih sehari tidak makan apa-apa, tetapi menjadi mustahil untuk tidak merokok.

Dengan kata lain, lebih baik, karena lebih ringan, tidak makan daripada tidak merokok. Dalam bulan-bulan puasa, mereka ini menanti tibanya saat berbuka, atau menikmati masa saur demi memuaskan diri untuk merokok,- bukan karena kelaparan dan menanti kesempatan makan.

Pada tataran kelompok, atau kebutuhan komunal, hubungan kita dengan rokok tidak kurang mendalam dibanding hubungan yang bersifat psikologis sebagaimana diuraikan di atas. Secara sosial, rokok menjadi sarana komunikasi, jembatan perkenalan dengan orang baru di dalam perjalanan kereta api, di dalam aneka macam perjamuan, di dalam rapat-rapat raksasa. Di sana kita mudah saling bertukar rokok, untuk membuka perkenalan lebih jauh.

Bagi mereka yang sudah saling mengenal dengan baik, rokok menjadi sejenis tali peneguh silaturahmi dan solidaritas sosial. Tapi rokok memiliki fungsi lebih dalam lagi. Secara spiritual-dalam ritus-ritus religi- rokok menjadi bagian dari kelengkapan sesaji. Mungkin merupakan syarat paling penting, paling menentukan?

Dengan begitu rokok menjadi bagian penting dalam ritus kolektif. Ini berarti bahwa kedudukan rokok merupakan penentu, atau penguat tradisi. Rokok, kehidupan, dalam ikatan tradisi, sudah saling mengikat satu sama lain. Di sini hendak ditegaskan bahwa rokok merupakan bagian hidup kita. Pendahuluan ringkas ini ingin segera memberi gambaran bahwa mengharamkan rokok merupakan keputusan absurd, yang dasar-dasarnya komunalitasnya rapuh, dan dalam praktek akan menjadi sebuah kemustahilan untuk diterapkan secara efektif karena bagaimana mungkin posisi moral-kalau hal itu ada- akan mengontrol seluruh penduduk?

Rara Mendut dan Rokok

Kisah klasik Rara Mendut dan warung rokoknya di pasar anyar dalam wilayah Katumenggungan Wirogunan memberi kita kesan romantis- dalam teater tradisional Jawa hal itu tampak lebih menonjol dibanding di dalam novel Romo Mangung ‘Rara Mendut’ karena puntung-puntung Rara Mendut dijual lebih mahal daripada rokok yang masih utuh. Dan para pembeli-yang gandrung memandang kecantikan si penjual rokok-memilih membeli punting. Makin pendek punting itu- artinya makin dekat ke bibir Rara Mendut harganya makin tinggi.

Rara mendut, putri boyongan dari kadipaten Pati, yang menolak diperinsteri Tumenggung Wiraguna yang sudah terlalu tua. Penolakan ini yang membuat Sang Tumenggung marah dan membebankan pajak sangat tinggi kepada Rara Mendut. Maka dibukalah pasar anyar, di mana Rara Mendut boleh berjualan rokok untuk membayar pajak tadi. Kisah ini terjadi di zaman Sultan Agung di Mataram, yang berkuata antara tahun 1613-1645. Di tahun itu rokok sudah menjadi sejenis komoditi, dan kita memperoleh kesan warung rokok Rara Mendut sukses besar.

Ini terjadi karena merokok sudah menjadi kebiasaan mendarah daging di dalam masyarakat. Dalam lakon yang didramatisir terkesan bahwa demi rokok orang rela menjual lembu, atau barang apa saja. Ada kesan bahwa merokok sudah menimbulkan-mungkin bagi sebagian orang kecanduan mendalam tapi para Sultan dan otoritas rohani di lingkungan Kraton dan di luar kraton tak ada yang merasa perlu mengeluarkan fatwa haram. Kita tidak tahu apakah di zaman itu ada urusan yang jauh lebih penting bagi hidup manusia dan masyarakat daripada mengharamkan rokok.

Pramudya dan Rokok

Di masa kecilnya, karena tekanan kemiskinan, pujangga kita, Pramudya Ananta Toer, juga harus berjualan rokok buat membantu orangtuanya. Warung rokoknya berkembang meskipun pada dasarnya para pelanggannya hanya orang kampungnya sendiri di Blora, dan orang lain yang sedang lewat di warung tersebut. Para tetangga, terutama pamannya sendiri, memperoleh perlakuan baik karena Pram memberinya kesempatan utang-ambil rokok dan membayarkan kemudian sesudah ada uang-tapi Pram tidak tekor. Dia juga berjualan di pasar malam, di mana pembeli lebih banyak dibandingkan jika dia berjualan hanya di warungnya sendiri.

Pada usia dua belasan tahun- usia sekolah lanjutan pertama- Pram juga sudah merokok. Bagi Pram merokok itu membuatnya tenang secara psikologis. Kita tidak tahu mengapa. Tetapi dalam kaitannya dengan kerja karang mengarang, merokok memberi inspirasi dan meningkatkan daya kreatifitas. Tanpa merokok, pikirannya serba buntu.

Hal ini terjadi pada banyak orang lain, selain Pram. Perokok menganggap bahwa rokok merupakan pemberi kekuatan dan berhenti merokok bukan pekerjaan mudah.

Dunia anak-anak

Anak-anak kampung nglecis meniru orang dewasa. Peniruan: sekedar merokok Kemudian memiliki tepak/slepen, rek; semua perangkat merokok komplet. Persis orang dewasa. Guru-guru keberatan. Tapi proses peniruan berjalan tanpa kontrol karena anak-anak ini tidak bersekolah. Mereka anak-anak yang ‘ingin’ cepat dewasa.

Mereka membeli tembakau. Mungkin tembakau Virginia yang dianggap terbaik. Ada pula Mbako (tembakau) Kedu. Dalam keadaan terpaksa, Mbako semprol-rontokan-rontokan tembakau seadanya yang baunya sengak-pun dirokok juga. Selain di pasar, tembakau juga bisa dibeli di warung-warung desa. Penjual tembakau melengkapinya dengan kertas (dluwang) cap Noyorono (seharusnya Noroyono), dan klembak, aluar uwur. Setelah berpuluh-puluh tahun merek noyorono itu diganti sebagaimana seharusnya, Noroyono, sebagaimana dapat dilihat pada merek kertas yang saya contohkan ini.

Kelengkapannya kadang-kadang klembak menyan, yang baunya menyengat dan konon bisa mengundang demit-demit dan lelembut. Biarpun masih kanak-kanak (pasa usia sepuluh tahun, bahkan kurang) ada yang sudah nyandu, addicted, dan gerak-gerik mereka dalam urusan rokok sangat profesional. Nglinting rokok dengan cekatan. Nyuwi klembak dengan lihai, pantas artistik. Dan menyulutnya dengan rek-kemudian rek jres) nyaris selihai orang tua.

Kertas Noyorono tidak ada, mereka menggunakan klobot. Ini semua rokok tingwe –nglinting dewe- karena anak-anak kampung tidak mampu membeli rokok bikinan pabrik. Kalau toh mereka harus beli, mungkin itu terjadi dalam beberapa bulan sekali, ketika ada tontonan ketoprak atau wayang kulit. Dari pabrik, dulu ada rokok kretek merek “klembak menyan”, yang bisa mengundang danyang-danyang dan segenap lelembut tadi.

Anak-anak kecil yang berani-berani merokok klembak menyan, dan menyedotnya, bisa hampir menyicil. Hanya orang tua dengan kualifikasi tertentu yang menggemari rokok klembak menyan. Para perokok desa umumnya penderita batuk berkepanjangan, ngikil tiap saat tapi tak satupun mendapat wangsit untuk menuding dan menyalahkan- apalagi ikut Muhammadiyah- mengharamkan rokok. Tidak ada. Selain rokok klembak menyan, ada rokok terbaik pada tahun 1960an awal yang sangat laris di kampung saya, dari kalangan pembeli petani sampai kalangan priyayi desa, namanya rokok Pompa.

Di atas sudah saya sebutkan, rokok merupakan bagian dari hidup mereka. Bahkan bagian dari kesempurnaan mereka sebagai manusia. Barang siapa tidak merokok tak dianggap lumrah. Dengan kata lain, rokoklah yang memanusiakan manusia di dalam konteks kebudayaan desa petani yang hidup dalam paguyuban dan patembayan seperti itu. Jangan salahkan anak-anak kecil yang sudah nglecis tadi sebab sikap itu hanya merupakan usaha sehat (secara kultural) dan wajar untuk segera diterima sebagai bagian dari normalitas hidup kaum laki-laki. Ni bisa disebut proses inisiasi, proses psikologis maupun sosial, menuju kedewasaan.

Orang tak perlu bodoh dengan mengajukan pertanyaan apakah seorang bocah sudah belajar merokok atau belum sebab bocah-bocah yang sudah kebanyakan nglecis, kebanyakan rokok dengan sendirinya tampak jelas pada bibir mereka yang biru. Gigi mereka yang kuning dan stalakmit di gigi mereka tebal-tebal, warnanya kuning.

Ada anak-anak yang mati karena typus, karena malaria, karena mencret dan namanya sekarang mungkin dehidrasi, tapi demi NU yang menghalalkan rokok, belum ada catatan anak-anak mati karena merokok atau kebanyakan merokok.

Orang Dewasa

Orang dewasa menjadikan rokok penguat ikatan pergaulan dan peneguh solidaritas sosial. Mustahil orang meminta uang orang lain. Tapi meminta rokok menjadi kelaziman dan bukan suatu cela. Rokok –apa lagi rokok ting we- berupa tembakau, kertas Noyorono, dan klembaknya, termasuk klembak menyan tadi, dibeber di meja atau di tikar tempat pertemuan, dan menjadi domain umum. Kesadaran: milikku-milikmu juga, milik kita bersama, tak usah lagi didalikkan dengan kata-kata tapi dilaksanakan dalam tradisi yang terbuka, berkelanjutan dan hingga kini tradisi itu bukan mati melainkan menyuburkan dari waktu-ke waktu.

Bila dulu yang dijadikan suatu common property rokok ting we, sekarang rokok pabrik, merek apa saja menjadi common property.

Tapi perlu dicatat bahwa di mana-mana- di desa maupun di kota,- di kelas bawah maupun menengah, selalu ada kecenderungan orang menyimpang, pelit, tak tahu malu, ketika ada rokok umum, yang bersangkutan bukan hanya mengambil sebatang untuk kemudian disulut seperti yang lain-lain, tetapi mengambil dua batang: satu dikantongi, satu segera dirokok. Jika keadaan memungkinkan, ketika yang dirokok habis, dia akan mengambil lagi, dan merokoknya lagi. Perilaku menyimpang macam ini lama-lama diperhatikan orang banyak, dan dititeni, supaya berhati-hati terhadap orang tersebut.

Perokok dewasa di kampung tak selalu emmbeli sendiri rokok mereka. Membeli rokok sering menjadi urusan para isteri. Setelah sang isteri menjaul hasil bumi yang ditanam sang suami di pasar desa, sang isteri bisa saja tidak membelikan sang suami oleh-oleh makanan atau sejenisnya. Tetapi menjadi kewajiban tradisional bahwa sang isteri harus membelikan rokok-tembakau dan segenap kelengkapannya tadi-untuk sang suami. Rokok bagi mereka bukan milik pribadi yang hanya digunakan demi kepentingan pribadi melainkan memiliki fungsi sosial yang jelas, seperti disebutkan di atas.

Ritus dan kepercayaan.

Kenapa di masyarakat kita ada kata pemanis kenyataan sosial, bernama uang rokok? Mungkin, sekali lagi, hal ini menandakan fungsi-fungsi sosial penting rokok seperti disebut di atas, tetapi juga ada fungsi simbolik lainnya yang diekspresikan di dalam hidup kita sehari-hari tetapi kurang begitu kita sadari makna terdalamnya. Ketika kata uang rokok disebutkan, di sana tersirat dua hal yang mungkin saling bertolak belakang: sesudah suatu kerjasama, atau sesudah pelaksanaan sebuah gotong-royong tradisional, tampil sikap modern dan bentuk-bentuk tindakan sosial yang berdasarkan pada imbalan uang-sejenis sikap kapitalistik-yang mengancam, dan sekaligus menentukan kelangsungan hidup tradisi tadi. Pelan-pelan, tanpa uang rokok itu watak gotong-royong dan kesediaan saling membantu makin surut, makin pudar.

Dalam ritus-ritus ‘agamis’ atau yang berhubungan dengan kepercayaan rokok tetap memainkan peranan penting. Tak jarang dilengkapi pula segelas kopi pahit, selain perlengkapan-perlengkapan lain yang tak boleh diabaikan. Bila kita bertanya, mengapa rokok, jawabnya mungkin sangat mencerminkan sifat dan cara pandang dalam satuan budaya yang disebut male dominated society; para dayang itu laki-laki, atau mayoritas laki-laki, dan doyan ngopi, doyan merokok, doyan kembang-kembang dan kemenyan.

Di atas sudah disebut hubungan laki-laki dan rokok. Bahkan anak-anak dan rokok. Bagi anak-anak yang ingin tampil dewasa, di desa atau di kota ada suatu proses inisiasi dengan cara merokok, karena pada dasarnya merokok itu pekerjaan orang dewasa. Sikap budaya yang penuh empati tampaknya juga menempatkan para lelembut, dunia ruh, dikuasi laki-laki. Dalam Islam hal itu juga tergambar jelas: di hari akhir kita masuk surge, dan kita akan dilihati empat puluh bidadari- semua cantik, semua remaja- dan hidup di sana hanya akan bersuka-suka. Itu sebabnya maka dalam ritus dan sesaji, rokok menjadi penting. Begitu juga kopi sebagaimana semuanya penting bagi laki-laki. Kalau ini semua akurat, urusan fidunya wal akhirah didominasi rokok, maka jalan kebudayaan yang mana yang bisa memuluskan keputusan hukum yang menganggap rokok haram?

Di Kereta/Bus saling menawari rokok

Apa arti kehidupan ini yang diharamkan? Suku-suku Indian Amerika melaksanakan upacaya mengisap pipa perdamaian-mengisap rokok juga- sebagai cara mengatur hidup adil, tenteram dan damai, yang berabad-abad mentradisi, sebagai gambaran dekatnya hubungan kejiwaan dan tradisi antara rokok dan kita seperti begitu banyak contok di masyarakat kita sendiri.

Kampanye internasional mengenai hidup sehat dan antirokok, mengapa tak lebih dipandang mendesak kampanye nikmatnya kaya dan AS jadi contoh agar kita diberi kesempatan kaya? Jangan dirampok hutan kita. Jangan dirampok freeport kita agar kita tidak miskin. Belum ada program lebih absurd daripada pemerkosaan agama agar tokoh-tokohnya mengharamkan rokok tapi tak mengaramkan strategi dagang yang tetap VOC Minded. Penjajahan macam ini dari dulu lebih haram dibandingkan dengan rokok.

(Mohamad Sobary. Seorang Budayawan). Makalah ini disampaikan sebagai bahan diskusi di acara Seminar “Kretek Dalam Perspektif Ekonomi, Politik dan Kebudayaan” yang diadakan oleh Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN) Temanggung 1 April 2010 di Hotel Cemara Baru, Jakarta Pusat.

No comments: