23 November 2010

Penyakit dalam Dinamika Sejarah Masyarakat; sebuah Review

“Prostitution in Colonial Java", karya: John Ingleson
"Prostitution and Charity: The Magdalen Hospital, A Case Study"
karya: Stanley Nash


Direview Oleh: La Ode Rabani


Pengantar

Pada dasawarsa terakhir, masyarakat di beberapa negara dikejutkan dengan masalah penyakit kelamin sebagai akibat perilaku seks bebas dan tidak sehat . Para psikolog sibuk mencari solusi untuk menghentikan perilaku itu dengan cara setia pada pasangan sendiri dan tidak gonta-ganti pasangan. Realisasi dari upaya itu adalah berdirinya lembaga Sahaja dan Lentera. Dalam perspektif kesehatan, masyarakat diingatkan agar menggunakan kondom dan segera memeriksakan ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut dan mencegah agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Lain lagi dengan para teolog, yang menyatakan bahwa penyakit ini adalah kutukan dari sang maha pencipta karena banyak umatnya yang sudah melupakan ajaran tuhannya melalui kitab suci.

Terlepas dari itu, tulisan singkat ini akan menyoroti fenomena sosial yang bernama prostitusi sebagai peristiwa sejarah. Hal ini didasarkan pada kejadiannya pada masa lampau yakni abad ke-18 sampai awal abad ke-20. Tulisan ini akan membandingkan dua artikel mengenai prostitusi di Eropa dan di Jawa (Surabaya), suatu peristiwa dalam segi space berbeda, tetapi motifnya sama dengan formulasi berbeda.

Substansi

Untuk mengadakan perbandingan, setidaknya harus ada dua kasus yang disajikan. Dalam artikel itu, seperti diketahui bahwa prostitusi yang dikaji adalah di Eropa dan Jawa. Dengan demikian telah memenuhi syarat untuk dibandingkan.

Persamaan dari kedua artikel itu antara lain membicarakan masalah prostitusi dengan konsekuensinya pada terjadinya penyakit kelamin (sipilis), pelaku prostitusi, dan upaya perawatan (tindakan medis atau diagnosis). Sedangkan perbedaannya, terletak pada sebagian pelaku peristiwa terutama pada tindakan pencegahan, jenis perawatan, jenis pekerjaan, dan sebagainya. Upaya pencegahan di Eropa berbeda dengan di Jawa. Di Eropa seperti yang diinformasikan oleh artikel ini (Stanley Nash), bahwa para pelaku prostitusi yang terkena penyakit kelamin dimasukan pada suatu lembaga amal. Lembaga inilah yang menangani perawatan dan diajarkan prinsip-prinsip agama kristen. Selain itu, mereka juga dipekerjakan pada usaha binatu milik lembaga. Ada juga usaha jahitan, kerajinan rumah tangga, dan berbagai usaha manufaktur seperti; renda, sarung tangan sutra, sepatu, boneka, dan pakaian mereka sendiri. Sedangkan di Jawa (Indonesia) banyak ditangani melalui tindakan medis dengan mendirikan rumah sakit atau puskesmas di daerah sekitar pelabuhan dan perkebunan yang tentu saja di wilayah itu banyak tenaga kerja yang terkena penyakit sipilis (kelamin).


Komentar


Prostitusi dan penyakit yang ditimbulkannya dalam ukuran kuantitas banyak terjadi di Jawa (daerah koloni) . Kedua artikel itu tidak menjelaskan sebab-sebabnya. Padahal, kalau kita lihat, maka sebagian besar daerah koloni telah menjadi ajang praktek prostitusi, baik yang terjadi di Afrika, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Kalaupun praktek itu banyak terjadi di Jawa secara kuantitas, menurut hemat saya itu karena mobilisasi tenaga kerja yang tinggi dan faktor sarana transportasi yang terbatas untuk mengantar para tenaga kerja itu pulang ke keluarganya.

Faktor wanita sebagai pelaku juga perlu diperhatikan. Perilaku wanita yang juga membutuhkan hiburan untuk keluar dari tekanan mental (psikologis) karena berbagai sebab menjadi pendorong meningkatnya praktek prostitusi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian wanita tuna susila adalah mereka yang baru saja cerai atau ditinggalkan oleh suaminya. Sedangkan pelaku yang berusia 16 - 25 tahun kebanyakan didorong oleh faktor ikut-ikutan karena tergiur oleh materialisme.

Dalam kerangka itu, kita dapat mengatakan bahwa masalah prostitusi ditempatkan dalam kerangka salahsatu “jenis pekerjaan” yang mudah untuk memperoleh penghasilan dengan cepat. Dengan begitu wanita pekerja seks itu dengan cepat mendapatkan uang tanpa menunggu gaji harian atau bulanan seperti layaknya pekerja kebun atau tambang. Pekerjaan itu diperlancar oleh perantara (Mucikari) yang mendirikan apa yang dinamakan rumah bordil sebagai tempat untuk menjalankan praktek prostitusi.

Hal yang menarik untuk disoroti dalam perspektif sejarah adalah melihat masalah prostitusi dalam kacamata perubahan sosial ekonomi. Perubahan terjadi ketika pemerintah kolonial (di Jawa sebagai daerah koloni) berusaha mevaksinasi penyakit sipilis (penyakit kelamin) seperti yang dilakukan Raffles dengan mendirikan rumah sakit di Yogyakarta pada tahun 1811. Pada masa pemerintahan Belanda rumah sakit didirikan di Sumatra timur untuk mengobati penyakit masyarakat terutama malaria, sipilis dan jenis endemi lainnya. Apa maksud dari semua itu? Apakah sebagai salahsatu bentuk solidaritas kemanusiaan pemerintah kolonial atau ada maksud lain dibalik itu. Bagaimana dengan di Eropa terutama Inggris pada abad ke-18 dan ke-19.
Daerah koloni adalah sumber pendapatan.

Untuk kepentingan itu, maka perlu dimanfaatkan. Dalam perspektif ini dapat dijelaskan bahwa pendirian rumah sakit dan vaksinasi terhadap penduduk dan tenaga kerja merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan dalam rangka menjaga produktifitasnya guna mempertahankan stabilitas produksi. Ini berbeda dengan salahsatu point Stanley Nash yang mengkaji masalah lembaga Amal dan Rumah Sakit Magdalen di Eropa, bahwa lembaga itu berdiri karena humanitas masyarakat Eropa yang terjadi pada abad itu.

Apabila dilihat dari uraian Stanley Nash, bahwa para tuna susila itu, selain dirawat, juga dipekerjakan, maka hal tersebut adalah bagian dari ekploitasi tenaga kerja, dan ternyata lembaga yang dinamakan amal atau bentuk lain dari alasan (argumen) humanitas menjadi tidak terbukti, karena fakta menunjukan bahwa mereka juga mengambil keuntungan dari hasil pekerjaan para wanita tuna susila itu. Demikian juga di daerah koloni (Jawa dan Sumatra) menjadi sama apabila dilihat dengan kacamata ekonomi, yakni eksploitasi terhadap tenaga kerja. Apabila pekerja sehat, maka produktifitas akan tinggi, dan hasil dari pekerjaan itu akan menguntungkan lembaga (institusi atau negara, juga pribadi).

Hal lain yang menarik untuk diketengahkan adalah masalah peralihan pekerjaan pasca perawatan seperti yang terjadi pada lembaga amal dan rumah sakit Magdalen dan program kristenisasi di lembaga itu. Tentu saja dalam perspektif perubahan, jelas akan terjadi perubahan luar biasa dalam bentuk sikap dan perilaku ketika diadakan perawatan secara tertutup. Tekanan psikologis sangat mungkin terjadi akibat dari adanya adaptasi dengan lingkungan baru. Pengenal pada agama kristen akan menjadi pengalaman baru dalam gaya hidup dan perilaku sosialnya. Akan tetapi, lembaga itu, meskipun dalam laporannya menyatakan telah berhasil dengan programnya dan telah membebaskan para wanita tuna susila dari pekerjaan semula, banyak dikritik karena laporanya hanya rekayasa untuk memperoleh dana yang banyak. Indikasinya adalah keuntungan dengan memanfaatkan para tuna susila. Logika humanitas menjadi terbantah ketika ditemukan bukti bahwa dibalik humanitas ada kepentingan ekonomi yeng tersirat dan itu terbukti menjadi kenyataan.

Catatan Akhir

Catatan akhir dari tulisan ini ingin menegaskan bahwa sejarah ternyata mampu melihat berbagai kemungkinan eksplanasi terhadap suatu peristiwa. Masalah prostitusi dalam perspektif sejarah menjadi menarik bila dilihat dari kacamata ekonomi, sosial, dan politik. Sebagai bagian dari proses, maka prostitusi dalam kajian sejarah harus ditempatkan pada perspektif perubahan yang terjadi dalam lingkungan dan diri pelaku. Jadi, dalam kerangka itu, aktifitas wanita perlu mendapat tempat dalam sejarah karena mereka adalah bagian dari proses sejarah masyarakat yang kurang mendapat perhatian.

No comments: