27 October 2011

Supriyadi, Sejarah dan Narasi Masyarakat


Oleh Baskara T. Wardaya

Belum lama berselang seorang Sejarawan senior menulis di harian Kompas dengan judul “History”, “His Story” atau Sekadar “Sorry” (Kompas 13/9/2008)—judul yang tentu sangat menarik. Dengan menarik pula sejarawan tersebut mengulas sejumlah buku yang ditulis berdasarkan tuturan para pelaku sejarah. Menurutnya buku-buku seperti itu perlu dipertanyakan karena cenderung hanya merupakan kumpulan “his story” tanpa bukti. Dia terkesan bersorak ketika ada buku yang dibakar hanya karena ada bagian-bagian tertentu yang dianggapnya “ajaib”. Mengingat bahwa salah satu buku yang diulas adalah buku berjudul Mencari Supriyadi, kiranya sebuah catatan perlu disampaikan di sini.

Pertama-tama, sebagaimana kita ketahui, dalam waktu yang lama narasi sejarah Indonesia cenderung didominasi oleh narasi kekuasaan. Artinya, sejarah lebih banyak ditulis atau dituturkan dengan maksud dasar untuk melayani mereka yang sedang berkuasa. Terjadilah mono-naratif yang kental dengan kepentingan kekuasaan. Akibatnya, narasi yang berasal dari masyarakat kurang mendapat tempat.

Kedua, menanggapi situasi demikian kini perlulah kiranya narasi yang berasal dari masyarakat semakin diberi tempat, didengarkan, bahkan didukung. Sekaligus mengingat bahwa setiap peristiwa sejarah itu bersifat multi-dimensional, penulisan kembali atas peristiwa-peristiwa sejarah perlu bersifat multi-naratif.

Ketiga, dalam rangka mendukung narasi masyarakat yang multi-naratif itu pentinglah kita mendengarkan tuturan para warga masyarakat yang merupakan pelaku dan saksi sejarah. Kini diakui, penulisan sejarah bukan hanya membutuhkan sumber tertulis, melainkan juga sumber-sumber lisan. Oleh karena itu kita perlu membuka ruang bagi mereka yang dulu menjadi pelaku, saksi mata, atau orang yang dekat dengan suatu peristiwa sejarah agar menuturkan pengalaman mereka. Hal ini dibutuhkan terutama untuk memberi kesempatan bagi para pelaku sejarah yang selama ini terbungkam atau dibungkam suaranya.

Keempat, dalam rangka mendengarkan narasi dari para pelaku sejarah itulah penulis buku Mencari Supriyadi bertemu dengan tokoh Andaryoko Wisnuprabu. Andaryoko merupakan salah satu pelaku sejarah, dan wawancara dengannya dilakukan terutama dalam kapasitas dia sebagai pelaku sejarah. Apa yang ia tuturkan berkaitan dengan sejarah Indonesia di seputar Proklamasi dan Perang Kemerdekaan menarik untuk didengarkan dan dicermati. Paparannya—berikut keterangan-keterangan pendukung yang ia sampaikan—penting setidaknya sebagai pembanding atas mono-narasi mengenai sejarah Indonesia pasca-Proklamasi yang selama ini sering kita dengar. Dia memang menceritakan bagaimana dia hadir dalam sejumlah peristiwa sejarah, tetapi dia tidak pernah menyatakan bahwa dia hadir dalam semua peristiwa sejarah di awal berdirinya Republik. Diapun tidak pernah mengklaim diri hadir dalam dua peristiwa berbeda yang berlangsung di dua tempat yang berbeda tetapi dalam waktu yang sama.

Kelima, dalam proses wawancara itu Andaryoko menyatakan diri sebagai Shodancho Supriyadi yang dulu memimpin Pemberontakan PETA di Blitar tahun 1945. Namun bagi dia—sebagaimana berkali-kali dikatakannya—yang paling penting bukan melulu tentang dia sebagai Shodancho Supriyadi, melainkan tentang perlunya memperlajari kembali sejarah Indonesia. Iapun tidak keberatan kalau ternyata ada orang lain yang lebih mampu membuktikan diri sebagai Sodancho Supriyadi yang sesungguhnya.

Jelaslah bahwa soal apakah benar Andaryoko itu Shodancho Supriyadi atau bukan, hal itu tidaklah merupakan fokus dari buku tersebut. Fokusnya lebih pada pemberian ruang bagi salah seorang pelaku sejarah untuk menuturkan kembali pengalaman dan pendapatnya berkaitan dengan sejarah Indonesia. Tentu saja tuturan itu harus ditanggapi dengan sikap kritis dan rendah hati.

Dengan demikian soal apakah benar Andaryoko adalah Shodancho Supriyadi atau bukan, buku tersebut menyerahkan sepenuhnya kepada sidang pembaca untuk menilai dan mengambil sikap. Buku tersebut memandang para pembacanya sebagai orang-orang yang cerdas dan dewasa. Melalui buku tersebut para pembaca diajak bukan untuk secara hitam-putih menerima atau menolak sesuatu, melainkan untuk bersama-sama melakukan pertimbangan, pemikiran dan pencarian berkaitan dengan sejarah Indonesia. Itulah sebabnya buku tersebut diberi judul “Mencari” Supriyadi.

Dari Kata Pengantar hingga kalimat penutup Epilog buku, tema yang ditawarkan adalah tema pencarian. Sebagaimana kita tahu, kisah mengenai Shodanco Supriyadi adalah sebuah kisah besar yang belum final, melainkan yang masih terbuka bagi berbagai bentuk penelitian dan interpretasi. Artinya, buku-buku seperti buku Mencari Supriyadi ini tidak dimaksudkan sebagai “kata akhir” mengenai suatu topik sejarah, melainkan justru sebagai pendorong bagi langkah-langkah lebih lanjut. Maksudnya bukan hanya sebagai pendorong untuk melakukan penelitian dan interpretasi lebih lanjut atas sebuah bidang-kajian tertentu, melainkan juga untuk terus mempelajari kembali berbagai peristiwa dan tokoh penting lain dalam sejarah Republik ini. Kita tahu, bangsa yang berjiwa-besar adalah bangsa yang berani untuk secara kritis mendengarkan tuturan para warganya. Dan bukan justru membungkamnya.

Terakhir, untuk sekedar diketahui, kata history dalam bahasa Inggris aslinya berasal dari istilah Latin historia yang berarti “pencarian” dan istilah Yunani istor yang maknanya “mengetahui”. Dalam bahasa Latin maupun Yunani tentunya tidak dikenal penggunaan istilah “his” atau “her” seperti dalam bahasa Inggris. Sorry.

Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; penulis buku Mencari Supriyadi (Galangpresss 2008).

Sumber: http://www.syarikat.org/article/supriyadi-sejarah-dan-narasi-masyarakat

No comments: