30 September 2013

Foto di Bilik Semiotika Visual

by LOR



Sore itu, minggu terakhir  September 2013. Seperti biasa Rudy yang sedang kuliah S3 di PT ternama di Indonesia yang ada di Jogja itu akan ke Surabaya untuk urusan mahasiswanya yang butuh perhatian khusus. Bayangin aja nih mahasiswa, Risma namanya, sudah kuliah sejak 2005 silam dan baru akan diuji karya tulisnnya, akhir September 2013. Delapan tahun bro…. Dalam rangka itu Rudy ke Surabaya sebagai bentuk tanggungjawab pada mahasiswa bimbingannya ini.
      Sebelum berangkat ke stasiun, Rudy membuka arsip foto yang beberapa hari lalu ia hunting di sebuah kota kecil di sulawesi tengah, namanya kota Palu. Di kota ini bertemu dengan banyak objek yang harus direkam dengan kamera pijamannya sebelum berangkat. Foto-foto yang sempat direkam dalam perjalanan itu mulai ditatap satu per satu dan sudah menyiapkan program corell Draw versi X4 yang siap memberi kesan pada foto hasil jepreetannya.
      Mata Rudi tertuju pada satu foto yang amat loetjoe, itu paling tidak menurut Rudy Tapi belum tentu bagi yang difoto. Foto ini, bukan Rudy yang menjepreet, tapi sahabanya, namanya Adi yang dikenal semasa menjalani S2 di UGM. Rudy dan Adi sejak pertama kali bertemu sudah langsung akrab karena ditempa oleh sejarah yang sama, di daerah yang sama. Kalau nasib, pasti berbeda karena itu maunya Tuhan.
Keduanya seringkali bertemu di Forum pertemuan Ilmiah Sejarah, maklum Adi dan Rudy seprofesi, sejarawan. Rudy masih tergolong sejarawan amatiran di banding sahabatnya Adi. Adi sudah banyak menghasilkan setumpuk karya sejarah local dan tokoh, sedang Rudy belum mencapai level itu. Sekolahnya di S3 pun lebih cepat 2 tahun dari Rudy. Adi menempuh pendidikan doktornya di Universitas Ternama kedua di Kuala Lumpur. Universitas Kebangsaan Malaysia. Sedang Rudy hanya di dalam negeri, tapi no 1, bangga Rudy dalam hati.
      Foto yang menarik perhatian Rudy ini kemudian dicopy dan paste di corell Draw X4 yang sudah disiapkan. Komposisi imajinasi pun sudah dibayangkan Rudy.
Pasti tokoh dalam foto dikesankan oleh Rudy, Rudy yakin, foto dibaca dari ekspresi objek yang ada dalam foto, Rudi meminjam istilah semiotika visual yang baru dibaca sesaat sebelum meninggalkan Jogja dengan kereta api Sancaka yang terkenal se-indonesia itu.
Kata semiotika visual “selalu ada makna dari tanda yang ditangkap dalam media foto” emosi objek terekam dengan baik dari pancaran imajinasi pembacanya” imaji Rudy tertuju pada “kesan yang menempel pada foto ini. Ia adalah seseorang yang  memakai baju iklan sebuah Bank, Ia orang terpelajar, namanya si Mata Cantiq, dosen-dosennya juga sering memanggilnya begitu kalau di ruang kuliah. Teman sekelasnya mengaguminya karena kecerdasannya dan gemar membaca, ngaku Qaila, yang menganggap Si Mata Cantiq adalah malaikat yang diutus tuhan untuk menyelamatkan pendidikannya di sebuah universitas negeri di Tanah yang terkenal dengan makanan khasnya Kaledo, Palu, Sulawesi Tengah, ulas Qaila lagi.
      Gambar yang diolah Rudi sebenarnya amat sederhana, Rudy hanya menambahkan kotak dan teks dialog antara si mata Cantiq dengan penggemar ayam goreng kampong, namaya Fatimah.
Semiotika visual yang Rudy gunakan untuk memberi kesan foto tampak benar pada ekspresi objek, hidup, dan raut emosi yang memberi karakter foto itu. Rudi tidak kehilangan kata-kata dengan harapan apa yang dirasakan Rudy sama dengan yang dirasa pemeran utama, Fatimah si penggemar Ayam Goreng Kampung dan tentu saja si Mata Cantiq.
Poiter mouse Rudy mulai menari-nari di toolbar program aplikasi Corell Draw, mengatifkan fitur corell X4 yang sudah terinstal di laptop barunya yang ditunjang prosesor i5 dengan memory 4 Gigabyte itu. Mesin computer itu pasti dengan mudah melahap foto yang hanya berkapasitas 4,2 megabyte itu.
Sejurus kemudian foto itu selesai diolah, Rudy memberi teks “….hmm…sepupuku ini senang sekali pada ayam goreng kampong”, sambil melirik… Fatimah yang memang suka sekali dengan ayam goreng kampong.
Foto itu lalu diconvert Rudy ke file extension JPEG yang semua orang tau, kalau itu akan menjadi file gambar kalau sudah diolah dengan pengolah gambar semisal Corell Draw atau Photoshop.
Karena resolusinya besar, maka Rudy segera mengubah size foto itu.  Rudy hanya mengambil 17 persen saja sehingga ukurannya menjadi 720x480 pixsel,mirip ukuran video Pall HD dalam dunia videografi. Harapan Rudy jelas “mudah dan cepat segera meluncur ke media social Facebook andalannya”.
Rudy tampa berpikir panjang segera meluncurkan file olahanya itu ke Facebook. Setelah selesai, Rudy buru-buru mematikan laptop kesayangannya itu untuk segera meluncur ke stasiuan Tugu, Jogjakarta.Tempat kereta Sancaka parkir. Kereta itu yang akan membawa Rudy ke Surabaya untuk menunaikan tanggungjawabnya menguji skripsi Risma esok harinya.
Dalam perjalanan, Rudy berbekal 1 bungkus nasi Padang Untuang yang ia beli di jalan, dan sebuah novel karya Andrea Hirata, Sang Pemimpi”. Rudi membaca novel itu sampai sebelum waktu makan malamnya tiba, pukul 17.00. Kereta Sancaka pada jam itu juga akan tiba di Stasiun Solo Balapan, pukul 16.55 Waktu Jawa Tengah. Rudy sudah menyelesaikan tiga bagian dari novel bekalnya itu.
Selembar kertas tebal berukuran 20 x 5 cm yang terselip di novel sebagai penanda juga disiapkan penerbit. Tentu kertas mungil itu fungsinya menolong pembaca sebagai sela jika ada aktivitas lain yang menyela, duga Rudy.
Benar saja, kali ini Rudy ditolong kertas itu untuk memulai makan malamnya yang segera tiba itu. Kertas kecil itu pun menjalankan fungsinya dengan baik seperti dugaan Rudy, sebagai “penyela”. Titik.
Seusai makan, Rudi menyapa tetangga kursinya seorang yang berambut cepak. Dugaan Rudy jelas ia seorang militer, meski tak tahu dia dari jenis militer apa.Dalam bincang itu,Rudy memperkenalkan diri, “Mas kenalin, saya Rudy” ia pun tanpa kusuruh memperkenalkan dirinya, namanya Basyir,asal Bangkalan, sambil mengaku kerabat wakil Bupati Bangkalan Madura, Drs. H. Mundir Rofi’i.
O…oooo dari Bangkalan ya Mas?, sergah Rudy memulai pembicaraan. Basyir lalu bercerita banyak topic meski Rudy tidak memintanya.
Rudy pun menjadikan memori otaknya untuk merekam seluruh cerita Basyir dalam perjalanan menuju Madiun. Stasiun selanjutnya setelah Solo Balapan. Di stasiun Madiun, Kereta Sancaka tiba pukul 18.25, kali ini kereta Sancaka tepat waktu, tidak seperti biasanya.
Kereta sudah sampai Madiun, Rudy pamit melanjutkan bacaannya hingga Surabaya, Basyir ke kamar kecil dan sekembalinya langsung mengambil posisi “matanya merem-istirahat”. Rudy melanjutkan bacaannya, sebuah Novel karya Andrea Hirata.
      Tampa terasa, sebuah pengumuman meluncur dari speakers kereta api sancaka, “perhatian-perhatian kepada seluruh penumpang kereta api sancaka, perjalanan Anda sesaat lagi akan sampai di Stasiun Gubeng Surabaya” penguman itu dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris yang terbatah-batah.
      Stasiun Gubeng Surabaya adalah stasiuan di mana Rudy harus segera mengakhiri perjalanannya dari Jogjakarta, novel yang Rudy baca juga makin tipis alias hampir habis dibaca.Novel itu segera dimasukan ke dalam tas untuk dilanjutkan di kamar tercinta Rudy yang nyaman ber AC Daikin ¾ PK inverter dengan kursi sofa multifungsi itu, pasti salesai ini novel dibaca malam ini, aku Rudy sang peyakin.
      Sesampai di rumah, Rudi mengecek foto yang dia unggah atau upload di Facebook. Rudy juga membuka  SMS masuk dan ia“sepelekan”sepanjang perjalanan Jogja-Surabaya itu.
SMS yang dibaca pertama kali dari nomor yang tak teregister di HPnya, dari identifikasi no HP pengirim jelas sekali kali kalauu nomor tak bernama itu berasal dari salah satu provider terbesar di Indonesia, Telkomsel. Nomornya berawalan 08524******* dan memonopoli penyediaan jasa telekomunikasi di kota dan pulau-pulau kecil.
Isinya, sungguh mengagetkan Rudy. Seketika adrenalin Rudy terus naik tanpa batas. Rudy mencoba mencari penyebabnya. Dugaan Rudy pasti berhubungan dengan foto yang ia unggah sebelum berangkat ke Stasiun Tugu.
Benar saja, isi pesan singkat itu begitu memekakan telinga dan membuat debar jantung meninggi karena ancaman dahsyat itu.
”Rudy, SMS kutulis khusus untukmu, jangan ganggu pacarku, jangan mentang-metang terpelajar, lalu seenaknya kamu menjatuhkan penamu, lalu kau ambil pedang untuk merampas belahan jiwaku. Ingat! kami sudah pacaran lama sekali. Sejak 2011. Kemana-mana kuantar, tiba-tiba kau mau ambil, kau anggap apa aku ini?” bunyi SMS itu.
Sambil menetralkan adrenalin dan detakan jantungnya,  Rudy membuat segelas teh hangat dari dapur favoritenya yang berkeramik hijau daun, dan berbingkai mozaik mutiara.
Teh sudah tersedia,Rudy meneguk tehnya dan menarik napas dalam-dalam, sambil berharap efek teh mampu menetralkan detak jantungnya. Harapan Rudy sia-sia, karena sudah setengah gelas teh ia habiskan “ketenangan “ belum juga diperoleh.
Rudy teringat ajaran kyai Fathonah yang dulu ia kenal sewaktu  bertugas di Desa Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Ajaran kyai itu dipraktekan. Rudy ke kamar mandi kemudian memutar keran air yang meluncur deras dari tendon plastic merk “Penguins” yang ada di lantai tiga rumah Rudy.Rudy mulai mencuci tanganya, memasukan air ke dalam mulutnya, lalu dibuang lagi. “Oh…itu Rudy sedang berkumur-kumur dan, itu artinya Rudy sedang berwudhu”.  
Rudy melanjutkannya dengan membasuh bagian-bagian tubuhnya sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.Rudy kemudian mengambil sarung di kamar bawah rumahnya, lalu membentangkan sajadah panjang berwarna biru. Sajadah itu pemberian mahasiswanya yang sudah berangkat umroh tahun lalu.
Rudy kemudian Sholat dua rakaat, lalu naik ke kamar kesayangannya. Raut wajah Rudy sudah kelihatan tenang. Beda dengan sebelum wudhu dan sholat.
Rudi membuka Facebooknya lalu, memutuskan untuk menghapus foto yang ia posting dari Jogja itu. Rudy lalu menulis status di wall Fatimah.
“Fatimah, mohon maaf ya atas foto yang telah terpublish. Saya sudah menghapus link foto tersebut, karena takut menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh beberapa pihak. Maaf juga buat si Mata Cantiq yang juga telah menjadi salah satu bagian dari foto itu”.

Rudy pun hanyut dalam imajinasinya yang terbang kemana-mana karena foto itu.Sambil memendam rasa “impiannya” yang amat sulit diwujudkan. Di ujung imajinasinya, terselip angan, “jika tidak saat ini, Rudy ingin menunggu perpisahanmu” dan Rudy pun saat itu sudah menjadi pria sendirian".

Tepian Brantas, 30 September 2013

No comments: