10 December 2010

Hubungan Pangreh Praja dan Penduduk Desa di Masa Jepang*

Oleh: Sato Shigeru

Hubungan antara pangreh praja dan penduduk desa tidak pernah lancar, namun pendudukan Jepang memperparah hal ini. Meskipun demikian, cukup sederhana bila menduga bahwa sebagian besar pangreh praja bersikap otoriter dan mengabaikan kesejahteraan rakyatnya. Beberapa pangreh praja membantu penduduk desa memungut pajak pemerintah dan mendorong mereka untuk menyetorkan sebanyak mungkin makanan selama musim di luar panen. Bahkan dalam kasus bila pangreh praja mengalami konflik langsung dengan penduduk desa, tidak bisa dikatakan bahwa mereka sengaja menindas orang desa. Misalnya perintah kepada petani kaya untuk menjual panennya kepada pemerintah tidak sama dengan menindas orang desa. kebijakan Jepang sering menyentuh rakyat miskin desa secara tidak langsung dan tanpa terasa, dan karenanya pangreh praja sebagai pelaksana keputusan itu tidak bisa dianggap sepenuhnya bertanggungjawab atas dampaknya.

Namun tidak bisa dibantah bahwa hubungan antara pangreh praja dan penduduk desa dalam banyak hal memburuk karena tuntutan Jepang atas penduduk desa dan kurangnya komunikasi antara penguasa dan rakyat. Jika pangreh praja kurang memahami maksud Jepang, penduduk desa lebih-lebih. Dengan menunjuk pada situasi akhir tahun 1943 dan awal 1944, Charles van der Plas melaporkan:”Penduduk pribumi yakin bahwa orang Jepang mengapalkan sejumlah besar beras dari Jawa bagi tujuan militer; mereka menduga (jelas keliru) ini dikirim ke Tokyo” (ini merupakan laporan interogasi pada seorang romusha yang diselamatkan oleh Sekutu dan dibawa ke Australia). Dalam pandangan penduduk desa, tujuan Jepang adalah menekan mereka sebanyak mungkin dengan menggunakan pangreh praja sebagai alatnya (602).

Penulis laporan ini sangat membela posisi pangreh praja. Cukup ironis, dia membantah kritik Prawoto bahwa pangreh praja kejam dan bertindak arogan, dan khususnya tidak memperhatikan kesejahteraan penduduk desa. Seperti yang ditunjukan kutipan sebelumnya, pangreh praja mencoba melaksanakan keputusan yang keras dengan kejam. Sikap mereka terhadap penduduk desa diungkapkan dalam kritiknya terhadap bupati Indramayu yang baru, yang diangkat setelah kerusuhan. Bupati baru ini adalah seorang dokter yang bernama Moerjani, yang terlibat dalam pergerakan nasionalis non-koperasi di jaman Belanda. Gaya pemerintahan Moeljani berbeda dengan pangreh praja tradisional. Dia menyebut penduduk desa dengan menggunakan istilah saudara dan lebih memudahkan dirinya didekati oleh rakyat.

Penulis dokumen ini menyatakan:”Tidaklah tepat bagi bupati Indramayu bila menyebut dirinya bagi rakyat dengan menggunakan istilah saudara karena penggunaan istilah ini umumnya dianggap merendahkan posisi wakil pemerintah (perasaan Timur). Para pemimpin rakyat dari kalangan pergerakan sebenarnya sama seperti mereka yang duduk dalam pertemuan itu. ini hendaknya demikian, karena mereka yang membuat pidato dan yang mendengar berada pada tingkat yang sama dalam pertemuan itu. Hubungan bupati tradisional dengan rakyat sangat berbeda. Bupati menjadi bapak dan ibu rakyat dan sekaligus wakil pemerintah. Ini berarti bupati memerintah rakyat sebagai wakil negara. Di sini terletak perbedaan antara para pemimpin rakyat dari kalangan pergerakan dan para pemimpin rakyat dari kalangan pemerintah (pangreh praja)”.

Dengan menerima pandangan yang sangat otoriter ini, penulis membandingkan hubungan antara pangreh praja dan penduduk desa seperti hubungan antara bapak dan anak:”Pangreh praja melaksanakan keputusan untuk membeli padi, rakyat nmemberontak dan tuntutan mereka dikabulkan, pembelian dibatalkan, banyak pejabat pemerintah dipindahkan dan para camat dipecat. Situasi ini tentu saja keliru. Ini mirip kasus seorang anak yang menghendaki sesuatu dari orangtuanya dan ditolak, namun ketika dia menangis permintaannya dikabulkan. Anak ini akan menggunakan taktik menangis berkali-kali. Jelas permintaannya akan semakin berlebihan dan suatu hari ayahnya terpaksa menolak permintaan ini, dengan mengambil tindakan keras jika diperlukan. Kebijakan terbaik bagi ayah adalah menolak permintaan anak yang menangis karena pada tahap ini kekecewaan anak tidak akan sampai menyentuh ke hati”.

(603) Penulis menegaskan bahwa rasa kedisiplinan di antara rakyat biasa, yang merupakan hasil usaha ratusan tahun oleh pemerintah, telah dihancurkan dalam waktu singkat. Usulannya adalah memulihkan rasa disiplin di antara penduduk desa; disiplin untuk mematuhi perintah, membayar pajak dan bersedia direkrut sebagai tenaga kerja dsb. Dia percaya, disiplin ini bisa dipulihkan oleh pangreh praja yang bisa menekan rakyat. Karena itu dia menunjukan bahwa sebagian aparat kepolisian khusus hendaknya diletakan di bawah perintah pangreh praja, sehingga rakyat bisa melihat dengan mata sendiri bahwa pangreh praja saja yang menjadi tulang punggung pemerintahan militer Dai Nippon, yang masih bisa menarik seratus persen kepercayaan dan penghormatan dari rakyat.

Sejak awal masa pendudukan Jepang, pangreh praja sering memaksa penduduk desa mematuhi perintah mereka. Ketika Gerakan Tiga-A diperkenalkan dalam enam bulan pertama setelah kedatangan Jepang, misalnya mereka memaksa penduduk desa bergabung dalam gerakan itu dengan menggunakan ancaman tahanan atau dilaporkan kepada penguasa Jepang. Pelanggaran kekuasaan oleh pangreh praja ini sering dilaporkan kepada pemerintah Jepang, yang semakin khawatir bahwa tindakan di pihak para wakil pemerintah ini akan menurunkan reputasi pemerintah pendudukan. Ini mendorong mereka untuk mengajukan permintaan resmi agar tidak memancing kemarahan pada rakyat.

Permintaan ini menurut penulis tidak sah karena peraturan Hindia (hukum Belanda) yang memberi hak pangreh praja untuk terlibat dalam program keamanan, tidak secara resmi dirubah. Jadi penulis melaporkan:”Pangreh praja memiliki kekebalan untuk mendengar kata-kata atasannya Residen Cirebon yang diucapkan dalam rapat dengan para bupati dan kepala kepolisian di kantor Residen, yang menyatakan bahwa pangreh praja dari kepala desa sampai bupati bukan polisi dan karenanya tidaj diijinkan untuk menangkap orang atau melakukan aktivitas yang menjadi wewenang kepolisian”.

Argumen penulis bahwa permintaan Residen Cirebon kepada pangreh praja untuk tidak melakukan kerja keamanan adalah tidak sah dianggap keliru. Panglima pasukan pendudukan telah mengeluarkan keputusan administrasi pada tanggal 29 April 1943 di mana dia membatasi wewenang hukum bupati untuk menyusun peraturan dan penerapan denda menurut peraturan ini. Pangreh praja karenanya tidak secara sah diberi hak menjatuhkan hukuman fisik pada penduduk desa. Namun demikian pelanggaran wewenang oleh pangreh praja terus berkelanjutan selama masa pendudukan. Banyak dari mereka yang juga menerima atau meminta uang suap dari orang desa yang ingin menghindari kebijakan Jepang.

Berbagai bentuk pemerasan yang diterapkan atas penduduk desa oleh pangreh praja juga dilaporkan kepada pemerintah (604). Sikap otoriter yang digunakan oleh pangreh praja terhadap penduduk desa mungkin bersumber dari masa lalu kolonial dan sebelum kolonial, namun sangat diperparah di bawah pendudukan Jepang.


*bagian kecil dari informasi sejarah Pangreh Praja di Indonesia
Sumber: terjemahan bebas dari: BKI jilid 152, karya Sato Shigeru tahun 1996

No comments: