30 March 2014

Rapopo dan Perlawanan Diam Leluhur Jawa *

Djoko Suud Sukahar - detikNews


Rapopo. Ini permisif khas Jawa. Memaafkan yang salah. Mendoakan yang memfitnah. Sekaligus melahirkan dukungan batin siapa saja.Rapopo hakekatnya adalah sikap yang dalam kalangan Samin disebut ‘sikep’. Sikap yang mengental menjadi ideologi perlawanan diam. Perlawanan?

Kalimat ini populer berkat Jokowi. Dia jawab dengan kata-kata itu saban diserang, dikritik, atau kena fitnah. Kalimat itu berasal dari ‘ora’ (tidak), dan ‘opo-opo’ (apa-apa). Jawaban terhadap sesuatu yang mengartikan segalanya baik-baik saja. Tidak berdampak, tidak berpengaruh, dan tidak menyebabkan batinnya luka.

Kalimat ini menyiratkan keluasan hati. Meninggikan diri. Simbol dari kebesaran jiwa yang lahir dari filosofi keluhuran budi manusia Jawa. Orang yang baik itu bukan yang sombong. Bukan yang suka berkata keras. Bukan yang suka menyindir. Manusia baik itu yang meniru watak padi. Menunduk, santun, itu manusia berbudi. Sedang yang tegak mendongak berarti adigang-adigung, tidak berisi. 

Kalimat ini juga melambangkan ketidakberdayaan. Makian dan tindakan semena-mena penguasa yang tidak memungkinkan untuk dilawan disikapi dengan ‘rapopo’. Sebagai manusia spiritual dan sinkretis, kalau melawan dilakukan dengan cara santun yang tidak terkesan melawan. Maka protes dengan menjemur diri, menyakiti diri sendiri di era Mataram disebut sebagai ‘topo mepe’. Berdiam diri, bertapa, memanaskan tubuh di terik matahari.

Watak seperti ini persis seperti yang didefinisikan almarhum budayawan Kuntowijoyo. Manusia Jawa itu hakekatnya introvert. Dia tidak melawan secara fisik jika dinista. Dia merenungkan itu sebagai cobaan. Sebagai setan penguji keimanan. Maka di belakang kalimat ‘rapopo’ biasanya akan diikuti dengan kalimat tambahan,‘Gusti Allah ora sare’ (Gusti Allah tidak tidur), ‘Pengeran sing mbales’ (Tuhan yang akan membalas), atau ‘sing waras kudu ngalah’ (yang waras harus mengalah).

Sikap ini melahirkan empati dan simpati rakyat pada yang dizolimi. Apresiasi tinggi diberikan untuk mereka yang dinista. Ini dianggap sebagai representasi kedewasaan dan kearifan. Dan modal dasar bagi lahirnya seorang pemimpin budiman.

Sebaliknya, ini menimbulkan sikap antipati terhadap pihak yang melakukan penzoliman. Simpati dan antipati itu tidak terucapkan. Tidak tampil kasat mata. Hanya mengendap di hati terdalam. Menjadi catatan yang tidak terhapuskan. ‘Dititeni’. Diingat-ingat rakyat sampai kapan juga

Sikap ‘rapopo’ ini dalam sejarah mengemuka di tiga negasi rakyat yang berujung pada perlawanan diam. Samin Surosentiko dari Randublatung, memobilisasi pengikut dengan memberi ketauladanan ‘seleh sumeleh’. Arogansi penjajah disikapi pasif. Ditempeleng pipi kiri, pipi kanan minta ditampar pula agar adil. Tidak mematuhi aturan Belanda. Berkat itu rakyat dimana-mana melakukan gerakan yang membuat penjajah puyeng mengatasinya.

Perlawanan diam ini mengalir bak air bah. Tidak terlihat dan tidak bergejolak. Semuanya ‘sirep’ (tenang). Gelegak itu hanya bersemayam dalam dada rakyat. Sikap ini tampil sebagai ideologi gerakan yang disebut ‘sikep’. Belanda baru mampu membaca dan menindak gerakan itu tatkala Samin sang pioner gerakan ditahbiskan sebagai Ratu Adil. Dia ditangkap, dibuang ke Padang, dan meninggal di Tanah Minang itu.

Di era Mataram, rakyat yang teraniaya dengan pajak mencekik yang diterapkan raja akibat tekanan penjajah membuat rakyat berani melakukan protes. ‘Topo mepe’ mereka gelar. Rakyat ramai-ramai menjemur diri di alun-alun. Diam menundukkan kepala. Berharap raja yang disembah mengubah aturan yang membuatnya sengsara.

Di Solo, jargon tijitibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. (Mati satu mati semua, sejahtera satu sejahtera semua) yang didengungkan Pangeran Sambernyowo berhasil memaksa Belanda mengajak gencatan senjata. Gerakan rakyat itu melahirkan kompromi dan menghasilkan kedaulatan. Perjanjian Salatiga ditandatangani. Ini tonggak sejarah, Pangeran Sambernyowo tampil sebagai Mangkunegara pertama.

Sekarang, di masa kampanye ini, Prabowo gencar melakukan ‘penyindiran’. Ini adalah gambling yang teramat mahal. Sebab yang tidak fanatik terhadap Gerindra akan kabur merapat ke Jokowi. Menutup peluang partai ini menyeret massa mengambang yang masih ragu-ragu menjatuhkan pilihan.

Dan kerugian terbesar partai yang belum tentu mampu memenuhi presidential treshold 20% untuk mengusung capres itu adalah jika kalah dalam pemilu kali ini. Lima tahun ke depan partai ini akan kesulitan mengumpulkan pundi-pundi suara sesuai targetnya. Sebab hakekatnya, pemilu itu adalah investasi. Menyodorkan kebaikan agar kalau kalah akan meraup keuntungan di pemilu mendatang.

Benarkah begitu? Akan kita lihat sama-sama setelah pemilu ini usai.

*)Judul asli : 
Rapopo dan Perlawanan Diam

Penulis: Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta

Sumber LINK: (http://news.detik.com/read/2014/03/30/183438/2541022/103/1/rapopo-dan-perlawanan-diam)

No comments: