04 February 2015

Book Report. Secret Trades, Porous Borders, Smuggling and States along a Southeast Asia Frontier 1865-1915.



Identitas Buku      

                                 
Penulis          : Eric Tagliacozzo,
Kota Terbit     : New Haven and London
Penerbit         : Yale University Press
Tahun             : 2005                   Jumlah halaman:     xviii+437 hlm


Pengantar



Secara umum buku ini memetakan (mapping) batas-batas wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris di Asia Tenggara. Berangkat dari pemetaan itu, maka semua kebijakan colonial bisa diterapkan termasuk mereka yang berprofesi pedagang. Pemetaan negara colonial atas wilayah Asia Tenggara berimplikasi pada legalitas dengan menempatkan negara sebagai otoritas tunggal dalam menentukan kebijakan atas apa yang dilakukan warganya. Dalam konteks demikianlah lahir konsep illegal trader (pedagang illegal) bagi mereka yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dan para pelintas bantas yang tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah colonial.
Selanjutnya, Eric Tagliacozzo dalam bukunya berjudul Secret Trades, Porous Borders, Smuggling and States along a Southeast Asia Frontier, 1865-1915  membahas periode akhir abad XIX dan awal abad XX yang oleh penulisnya menjadi periode penting dalam sejarah Kepulauan di Asia Tenggara. Dua kekuatan besar yang mengontrol Asia Tenggara adalah Inggris di Malaka, Borneo bagian utara, Sumatra dan Straits Settlements (Singapora dan Penang-malaysia di Selat Malaka), itu yang pertama. Kekuatan kedua adalah Belanda yang menguasai Jawa dalam waktu yang relative lama karena komoditi pangan dan perkebunan yang dihasilkan dan kemudian mengontrol perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku, Kalimantan Tenggara, Sulawesi, dan Kepualaun Sunda Kecil. Pada saat bersamaan kompetisi kedua kekuatan besar itu (Inggris dan Belanda) melahirkan kompetisi pada perebutan pengaruh di antara pada pedagang dan aliran komoditi perdagangan pun menentukan kemana komoditi itu dijual. Komunitas social atau para pedagang (illegal) itupun terpolarisasi dalam dua pihak itu dan pada perkembangan kemudian perebutan pengaruh keduanya tidak bisa dihindari.
            Pada bab-bab awal, Tagliacozzo menjelaskan secara rinci periode antara 1865 dan 1915 di Kepulauan Nusantara dengan menunjukan upaya untuk memetakan wilayah kekuasan Inggris dan Belanda. Dalam aktivitas itu, Eric menunjukan adanya kehadiran tentara kolonial Belanda dan pasukan laut menyebar di seluruh nusantara dengan bergerak menelusuri sungai, mengidentifikasi kerajaan-kerajaan “kecil” untuk tujuan pengawasan oleh pemerintahan Eropa. Dalam melakukan identifikasi itu, pemerintah colonial juga menyertakan pejabat, polisi, dan pembuat peta serta insinyur yang untuk membangun dermaga (pelabuhan), jalan, dan jaringan telegraf. Selain itu dibangun menara pengawas untuk menjaga pelintas batas (hlm. 83-84). Cara kerja kolonial seperti itu juga diikuti oleh pembukaan pertambangan dan perkebunan, khususnya di Kalimantan dan Sumatra (hlm. 123).

Arti Penting Pemetaan dan Kehadiran Negara Kolonial
dalam Perdagangan: Konteks Sulawesi 1865–1915

            Bagian ini dihadirkan untuk memberikan perspektif tentang sumbangan karya Eric Tagliacozzo dalam konteks Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Timur pada khususnya, terutama yang berkaitan dengan kontribusi buku ini dalam penelitian disertasi penulis. Oleh karena itu, sebelum sampai pada analisis terhadap kontribusi tulisan ini, terlebih dahulu saya hadirkan elemen-elemen yang terkait dan dapat ditemukan dalam perkembangan Asia Tenggara, Sulawesi pada umumnya, dan Sulawesi Timur pada khususnya.
            Elemen utama dari kajian itu adalah komunitas atau masyarakat sebagai pemain utama yang membentuk dan memainkan peranan penting dalam sejarah Asia Tenggara. Elemen ini berkaitan dengan masyarakat local dan pendatang yang berprofesi sebagai pedagang baik legal maupun illegal (rahasia). Sebagian lainnya, ada yang menjalankan aktivitas perompakan dengan tujuan politik dan lebih dominan ekonomi, yakni raiding, zeeroof, piracy, dan sebagianya.  Mereka harus berhadapan dengan kekuatan resmi pemerintah dengan penegakan hukum yang sesuai dan menguntungkan kolonil Belanda, termasuk Inggris karena kedua negara itu yang membuat batas-batas kekuasaannya atas sejumlah perbatasan negara-negara di Asia Tenggara (hlm. 107-181). Elemen selanjutnya adalah komoditi, karena dampak ikutan yang menyertai aktivitas ekonomi para saudagar dan para pelintas batas dari peta koloni Inggris dan Belanda. Dampak dari kontrol perbatasan dan para pedagang ini melahirkan kompetisi antara Inggris dengan Belanda serta terjadinya persaingan keduanya.
Rapuhnya  control terhadap perbatasan dan menjamurnya pedagang illegal (versi colonial) menjadi kosekuensi logis dari adanya perebutan dalam memenangkan ekonomi dan politik di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Dalam konteks itu pula, buku ini memberi gambaran terhadap apa yang terjadi di Sulawesi, yang juga melibatkan Sulawesi Timur dalam jaringan perdagangan dan komoditinya.
Sulawesi dikenal sebagai penghasil teripang, sirip ikan hiu, lola dan mutiara yang laku di pasar internasional hingga awal abad XX. Merujuk pada temuan McKnight bahwa kawasan ini adalah kawasan produsen hasil laut yang melimpah tetapi tidak untuk dikonsumsi oleh masyarakat local.[1] Realitas itu membawa pemahaman bahwa komoditi ini melibatkan para pedagang China dan Bajau. Komoditi ini dijual di Singapore dan pasti itu di bawah kontrol Inggris (hlm. 42).[2] Peran pedagang local yang di bawah control penguasa raja-raja local juga lebih mudah menjualnya kepada para pedagang China daripada kepada Belanda yang sejak awal menuntut monopoli. Kondisi itu, memaksa Belanda mengeluarkan kebijakan bahwa siapapun yang tidak menuruti kebijakan Belanda, maka dikelompokan sebagai Bajak Laut, oleh karena itu harus ditumpas.
            Komoditi agraris Sulawesi adalah beras di Sulawesi Selatan, perkebunan kelapa di Selayar, Bungku, Luwuk, Banggai, dan Buton serta kayu Jati di Muna (Raha) telah menempatkan kawasan ini terkoneksi dengan para pedagang Belanda melalui pedagang perantara yang berasal para pedagang China dan Arab. Komoditi ini menjadi incaran Inggris melalui para pedagang China dan Arab, termasuk juga komoditi budak. Perairan Sulawesi yang berbatasan dengan Kalimantan dan Laut Sulawesi yang berbatasan dengan kawasan laut Sulu Philipina mendekatkan kawasan ini ke pasar internasional. Keunggulan komparatif dengan sejumlah komoditi dagang itu, telah membuat kawasan Sulawesi, khususnya Sulawesi Timur menjadi arena perebutan ekonomi dan politik yang dimainkan oleh Belanda dan Inggris dengan keterlibatan otoritas local beberapa kerajaan di Sulawesi. Otoritas local telah menjadi salah satu penghalang bagi colonial Belanda dalam penegakan kekuasaan di Sulawesi. Terbukti, kawasan ini baru benar-benar dikuasai pada tahun 1906 dan Sulawesi timur baru mampu dipetakan pada tahun 1916.[3] Meskipun demikian, gangguan2 lokal masih terjadi di beberapa wilayah kerajaan seperti di Buton, Mori, dan Luwuk Banggai.
Dengan realitas seperti itu, maka bagi pemerintah colonial Belanda, ekspansi ekonomi dan politik yang ditegakan untuk mengatur wilayah itu (Sulawesi Timur) secara keseluruhan baru saja dimulai. Artinya batas-batas ekonomi dan politik baru saja dicanangkan sejalan dengan takluknya kerajaan local dan mendukung pengawasan colonial di daerah itu. Penegakan aturan pemerintah colonial Belanda di Sulawesi Timur tidak serta-merta menghilankan aktivitas perdagangan yang telah dilakukan oleh penduduk dan otoritas local mengalihkan kerjasamanya dengan pemerintahan colonial. Realitasnya lain menunjukan adanya pedagang gelap yang masih terjadi dalam penjualan komoditi kepada perusahaan Inggris yang ada di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah melalui para pelayar dan pedagang China (Tagliacozo, 170). Kondisi ini digunakan Belanda untuk mengeluarkan peraturan yang dinamakan dengan Exiting Legal Code yang dikenakan pada pedagang yang melakukan kontrak penjualan teripang. Dengan lahirnya aturan itu, maka control terhadap aktivitas pedagang di Sulawesi harus tunduk, meskipun diakui bahwa masih dijumpai para pedagang dengan dukungan otoritas local melakukan transaski dengan para pedagang China baik di Sulawesi Timur maupun di wilayah kekuasaan Inggris di Kalimantan Utara yang melibatkan Suku Bajau, para pedagang Makassar, dan paling mungkin Buton.

Penutup
          Kontribusi terbesar karya Eric Tagliacozzo adalah pada tema penelitian baru yang bagi sebagian besar peneliti (sejarawan) Asia Tenggara yang sulit menjangkaunya. Dunia illegal dan rahasia serta kaburnya batas-batas suatu wilayah/negara adalah hal yang sulit dijangkau dari sisi sumber sejarah. Akan tetapi, dengan kemampuan Eric dan dukungan sumber yang memadai, buku ini telah menjadi penelitian terbaik pada satu topic menarik tentang Sejarah Asia Tenggara yang melibatkan komunitas dan komoditi di pasar Internasional. Dasar kajiannya pun begitu kuat dengan memetakan bahwa periode 1865-1915 adalah sebuah era di mana batas-batas wilayah dan negara sudah demikian jelas dan dengan mudah dapat mengidentifikasi para pelanggar batas dan mengelompokan para pedagang ke dalam indicator legal atau illegal.
        Bagi Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Timur pada khususnya sebagaimana digambarkan Eric terkait dengan penegakan kekuasaan colonial Belanda di Indonesia yang dimulai pada akhir abad XIX sampai awal abad XX. Makin jelasnya batas otoritas colonial di Sulawesi umumnya, dan Sulawesi Timur pada khususnya telah mengakhiri penegakan kekuasaan di daerah itu. Akan tetapi dalam kepentingan lain, misanya ekonomi, Belanda baru saja memulainya dengan melakukan pemetaan kawasan ekonomi seperti perkebunan kelapa (kopra), hasil hutan (jati, rotan, dan dammar), dan hasil laut (mutiara dan teripang). Kebiasaan masyarakat local yang sudah terbentuk sebagai pelayar dan pedagang, khususnya Bugis-Makassar, Buton, dan Bajau tidak serta-merta berakhir melakukan transaksi dengan melanggar batas-batas yang digariskan colonial. Mereka mudah saja melakukan transaksi dengan para pedagang China di Laut Sulu, Laut Cina Selatan, dan Singapura. Transaksi ini didasari oleh kenyataan bahwa mereka lebih susah bertransaksi dengan Belanda daripada para pedagang China dan Inggris.
       Terlepas dari banyaknya keunggulan karya Eric tagliasozzo, buku ini sisi substansinya memiliki kelemahan karena tidak semua kawasan dan komunitas Asia Tenggara diuraikan seperti Kamboja, Vietnam, dan Burma. Selain itu, buku ini tidak utuh terutama halaman 1-15 dan adanya sejumlah gambar yang hilang. Oleh karena itu, buku baik ini harusnya menjadi perhatian para pemilik otoritas (pemerintah) dalam pengadaannya agar informasi dalam buku tidak dipahami secara parsial. Tentu dengan tujuan ikut mencerdaskan anak bangsa. Semoga bermanfaat untuk pembaca !


[1]C. C. Macknight, “The Nature of Early Maritime Trade: Some Points of Analogy from the Eastern Part of the Indonesian Archipelago”, dalam World Archaeology, Vol. 5, No. 2, Trade. (Oct., 1973), pp. 198-208. Lihat juga Sandra Boudler, “Hunters and traders in northern Australia” in  Kathleen D. Morrison dan Laura L. Junker (ed.), Forager-Traders in South and Southeast Asia, Long-Term Histories Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo: Cambridge University Press, 2002), hlm. 167-184.
[2] Lihat juga Edward L. Poelinggomang, Makassar Abad XIX, Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, (Jakarta: Kompas Pustaka Gramedia, 2002), hlm. 4
[3]Lihat Staatsbalaad van Nederlandsch-Indië, tahun 1916 no. 27 tentang penetapan Oost Celebes sebagai Afdeeling.
*Review ini juga dibantu dari pengetahuan yang disumbang dari membaca Book Review yang terbit di berbagai Jurnal.

No comments: