05 December 2010

Kategorisasi Pelayaran dan Sejarahnya

La Ode Rabani


Pada perempat terakhir abad ke-l9 terjadi perubahan dalam perekonomian Indonesia. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan diterapkannya kebijakan sistem ekonomi liberal oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan ini diterapkan dalam semua sektor ekonomi terutama sektor agraris, perdagangan, dan pelayaran. Untuk sektor pelayaran liberalisasi dimulai sejak pertengahan abad ke-19.

Pembukaan beberapa pelabuhan di Hindia Belanda oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan perdagangan umum (algemeen handel) terus dibuka dan ditetapkan sesuai komoditas dan sumber ekonomi daerah. Pelabuhan Pasar Wajo yn terletak di pantai Timur Buton misalnya ditetapkan sebagai pelabuhan ekspor bagi komoditas aspal. Di sini membuktikan bahwa pelabuhan itu dibuka sesuai dengan sumber ekonomi yang terdapat di daerah itu. Di kendari ditetapkan sebagai pelabuhan ekspor impor komoditas rotan, beras, dan damar. Pembukaan pelabuhan di luar Jawa ini paling tidak sejalan dengan ekspansi kebijakan ekonomi kolonial pada periode itu.

Pemberian subsidi bagi perusahaan pelayaran yang mau megembangkan trayeknya yang sesuai dengan kepentingan ekonomi kolonial. Sebut saja masa pemerintahan Gubernur Jenderal Cores de Vries (l852-l865), Nederlandsch-Indische Stoomsvaart Maatschappij (NIStM) tahun l966-l890, dan diteruskan dengan beroperasinya kapal uap yang dikenal dengan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) adalah gambaran paling jelas dalam ekspansi ekonomi kolonial dalam suatu jaringan ekonomi luas yang diterapkan di Indonesia.

Kondisi demikian telah menunjukan adanya ekpansi teknologi navigasi untuk kepentingan ekonomi dalam bidang perdagangan dan pelayaran di Hindia Belanda yang sebelumnya diisi oleh kapal-kapal pribumi yang hanya menggunakan teknologi layar sebagai penggeraknya. Masuknya teknologi pelayaran secara langsung berpengaruh pada kondisi perahu pribumi yang sejak VOC selalu menjadi korban politik monopoli VOC dalam bidang perdagangan dan pelayaran antar pulau. Memang kebijakan monopoli sering memberi kesan akan hancurnya pesaing lain. Akan tetapi tidak demikian dengan kasus pelayaran pribumi yang hingga abad ke-20 masih tetap bertahan. Kasus perahu Shimping yang digunakan rakyat dalam perdagangan dan pelayaran di Sulawesi justru tetap bertahan dan mampu mengisi trayek yang tidak bisa dilalui oleh kapal-kapal uap kolonial.

Di samping itu justru menjadi pesuplai komoditas perdagangan dari para pedagang pribumi dengan sesekali melakukan pelayaran dan perdagangan ke rute yang dilalui oleh kapal KPM milik pemerintah Belanda.

Gerrit J. Knap mengatakan bahwa pelayaran pribumi pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 hanya berkedudukan sebagai pelengkap (supleman) belaka. Ia mengatakan bahwa: “unlike their European counterparts, indigonous vessels did not compete with steamschip and motor vessels, but clearly provided a supplementary service”.

Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh J.N.F.M A Campo dalam disertasinya bahwa:

Ekspansion of the sailing fleet was possible where it supplemented steam schiping. In certain areas sailingg ships remained indespensable for indigenous trade, either because there werw no other means of transportation or bicause low-value products could not be shipped at steamship prices”.

Barangkali pendapat dua tokoh itu dapat dikatakan ada benarnya dalam perspektif Eropa, akan tetapi, apa yang dilakukan dalam melayari jaringan perdagangan dan pelayarannya sekarang adalah hasil rintisan pelayaran tradisional atau yang kita kenal dengan kapal layar sekarang. Dalam perspektif ini kita dapat mengatakan bahwa justru perahu pribumilah yang memberikan pelajaran kepada kapal uap Belanda. Selain itu, jaringan yang telah dirintis oleh kapal pribumi dapat dikatakan memberikan sumbangsih paling besar dalam mobilitas perdagangan komoditas bagi daerah-daerah terisolir, namun kaya akan hasil bumi seperti rempah-rempah atau komoditas yang laku di pasaran

Hubungan pelayaran antar pulau, perahu layar pribumi memegang peranan penting. Ini dapat dilihat dari intensitas pelayaran dan volume muatan yang diangkut pada jalur-jalur pelayaran tertentu. Sebuah indikator yang tidak dapat dibantah, karena semakin banyak muatan dan intensifnya melakukan pelayaran, maka dipastikan aktifnya perdagangan pribumi, sehingga apa yang dianggap oleh Knaap tidak semuanya benar. Kasus pelayaran Sulawesi—Jawa, dan Jawa—Kalimantan membuktikan hal itu. KPM dan perahu pribumi sama-sama melakukan aktifitas pengangkutan pada jalur yang hampir sama, meskipun volumenya berbeda. Perbedaan ini dikarenakan karena daya tampung kapal pribumi yang relatif kecil.

Selain itu Kapal KPM tidak mungkin melayari jalur sungai kecil yang banya terjadi di beberapa daerah di Sulawesi dan Ambon. Jalur sungai Bengawan Solo dan Brantas adalah contoh yang paling jelas untuk menunjukan ketidak mampuan KPM dalam hal pelayaran sebagai penghubung antara pantai dan pedalaman.

No comments: