05 December 2014

Sistem Organisasi Perompakan di Kesultanan Zulu serta Peran Para Aktor

Review Artikel karya Jim Warren, "Who Were the Balangingi Samal? Slave Raiding and Ethnogenesis in Nineteenth-Century


dalam 
The Journal of Asian Studies, Vol. 37, No. 3, (May, 1978), pp. 477-490





A.  Pengantar
                Salah satu hal menarik perhatian dalam artikel Jim Warren adalah organisasi yang rapi dalam “masyarakat local” Balangingi Samal yang ada di kawasan laut Sulu. Profesi, para actor, dan ikatan social yang kuat di antara mereka dengan penguasanya (Kesultanan Zulu). Perubahan terjadi ketika kontak dengan masyarakat di luar mereka khususnya colonial yang memberi dampak pada pendapatan mereka dan makin intensifnya perdagangan yang melibatkan profesi mereka, berdagang budak (manusia).
                Jim Waren lebih lanjut membingkai tulisannya dalam perspektif “berfungsinya” elemen-elemen social dalam organisasi social yang dibangun dan diciptakan kerajaan menjalankan profesi sebagai pemburu manusia yang dijadikan budak. Pengaruh dari luar (colonial dan pedagang budak lainnya) ternyata tidak melemahkan, tetapi justru sebaliknya menguatkan posisi ekonomi kesultanan Zulu yang salah satunya dimainkan oleh kelompok social (masyarakat Balangingi Samal) sebagai pendukung serta para Taosug (kelompok social Dominan yang kini menjadi wilayah Philipina) yang berperan sebagai agen penjual budak dari hasil perburuan yang diorganisasi oleh penguasa Zulu. Ikatan antara Taosug dengan masyarakat local bergeser ketika colonial ikut menjadi bagian (sebagai salah satu agen) penjual budak (manusia). Pada titik ini, system social lebih cepat beradaptasi dibanding ikatan kerja (budaya) yang sudah terjalin lama dengan para taosug.      
                Cara kerja Jim Warren sebenarnya hampir sama dengan yang dilakukan oleh Lechman tentang Sistem Politik di Burma yang menguji berfungsinya elemen social yang saling membutuhkan dengan proses “mobilitas social” yang saling menguntungkan (mutualisme). Bedanya dengan Lechman adalah pada sisi sosial masyarakat yang diteliti, Warren masyarakat pantai di pesisir Sulu dan Lechman masyrakat Pedalaman Burma. Bagaimana Jim Warren memberikan kontribusi perspektif baru dalam memahami sejarah perompakan pada abad XIX di Sulu Zone?





 B. Kolonial dan Sistem Organisasi Perompakan 
  di Kesultanan Zulu serta Peran Para Aktor


Kategori bajak laut selalu membingungkan yang salah satunya disebabkan oleh identifikasi yang kurang teliti dari para peneliti dan banyaknya kelompok etnis yang menjadi bagian atau terlibat dalam aktivitas tersebut. Zeeroovers Sulu dan Illanun misalnya, seringkali salah diidentifikasi karena kekurang pahaman pada sisi etnolinguistik. Selain itu, peran masing-masing juga sering disalah pahami. Generalisasi terhadap profesi mereka menjadi sebagian penyebab kesalahan kategorisasi ini. Menurut  Warren, Balangingi Samal tidak sama dengan Illanun. Aktivitas mereka pada kegiatan perompakan juga berbeda. Balangingi Samal misalnya hanya melakukan perompakan manusia, meskipun manusia yang ditangkap adalah penduduk desa tetangganya.                 Berbeda dengan Illanun (Mindanao, Maranao) yang aktivitasnya ikut lebih dari sekedar merompak manusia.  Meskipin demikian kelompok yang berprofesi perompak ini hidup berdampingan yang dibingkai oleh ikatan ekologis sebagai pembentuk karakter mereka dan hubungannya dengan Kesultanan Zulu.
Selama abad ke-19, masyarakat Kesultanan Zulu terdiri dari tiga strata social, yakni bangsawan, orang-orang merdeka dan budak (a’ata). Dalam interaksi sosialnya, penguasa Zulu menunjuk seorang panglima sebagai wakil mereka yang sekaligus sebagai nakhoda ketika aktivitas perompakan manusia dilakukan secara berkempok. Komoditi yang juga dicari adalah teripang, kerang mutiara, dan garam sebagai salah satu upeti yang diberikan kepada kesultanan sebagai penopang ekonomi kesultanan selain hasil penjualan manusia (budak).  Selain itu, perompakan manusia juga diperuntukanbagi penyediaan tenaga kerja perompak yang khusus pada kapal-kapal yang mengankut mutiara, garam, dan teripang. Sampai dengan tahun   1848 popuasi penduduk kesultanan juga disumbang oleh hasil perompakan dan tercatat 10.000 dari 200 perahu perompak yang menjalankan misi ini. Tujuan utama mereka adalah mendapatkan kekayaan dari hasil penjualan budak.
Organisasi perompak juga sangat rapi dan melibatkan keluarga sultan. Beberapa juga ada yang sengaja direkrut kesultanan dan lainnya bahkan tidak mendapat ijin dari sultan Zulu. Sultan dan datu mengontrol perdangan dengn luar negeri dengan jaringan yang lebih luas. Tausog memiliki organasasi di bawah sultan dan datu.  Tausong berperan mengatur secara ketat aktivitas ekonomi dan penduduk. Komisi untuk para budak yang bekerja sebagai perompak dalam bentuk bahan logistic, senjata, dan beaya pelabuhan. Pendapatan sultan berasal dari hasil perdagangan (manusia), bea pelabuhan dan pasar, serta upeti. Para datu juga “dipaksa” untuk melakukan perdagangan agar tidak kehilangan control  atas pasokan dan distribusi senjata kepada para klien yang melakukan perompakan.
Pada paruh pertama abad ke-19 ada upaya keras dari sultan Zulu dan para pendukungnya untuk menjalankan control eksklusif terhadap perdagangan, namun mengalami kegagalan. Sultan telah kehilangan dukungan oleh penduduk yang berasal dari luar Samal.  Penduduk Samal telah mengalihkan dukungannya kepada para datu yang mengontrol perdagangan luar negeri (1810-1830). Datu Mulo dan perdana mentri  yang mengalami mobilitas social menjadi kaya dan mampu mengontrol ekonomi dan politik memiliki sejumlah harta seperti 25 meriam, dan 100 senapan, termasuk datu Sahal yang menjadi tokoh kuat dalam perdagangan luar negeri dan mengontrol ekspedisi perompak Balangingi. Kondisi itulah mobilitas berubah dari tangan sultan ke tangan para datu.

C. Komentar
Sebagai kata akhir, saya ingin mengatakan bahwa dinamika seperti inilah yang jarang dijumpai dalam historiografi. Kehadiram budak terampil sama sekali tidak dihadirkan dalam tulisan sejarawan Indonesia, apalagi system organisasi yang dibangun serta interelasi dengan struktur social di luar mereka, namun identifikasi Warren menemukannya sehingga sumbangan pada tulisan-tulisan sejarah menjadi kaya dan spefisifik terutama kaitannya dengan persentuhan masyarakat local dan global dengan media komoditi apapun yang memiliki nilai dan memberikan nilai lebih (surplus value) dalam bahasa kaum marxis. Perspektif hubungan fungsional antar elemen social di Kesultanan Zulu begitu dominan dengan “mengabaikan” system budaya yang sudah berakar lama. Jadi lagi tulisan ini membuktikan bahwa perubahan social lebih cepat dan dinamis direspon daripada perubahan budaya dalam konteks masyrakat Balangingi Samal ketika berinteraksi dengan elemen social politik di luar mereka.

Bacaan Pendukung.
Lapian, A.B. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut, Sejarah Kawan Laut Sulawesi, Jakarta: Komunitas bamboo, 2011.

Berger, Peter L. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Jakarta: Lp3ES, 1990
Warren, J. “Who Were the Balangingi Samal? Slave Raiding and Ethnogenesis in Nineteenth-Century”, dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 37, No. 3, (May, 1978), pp. 477-490.
 

No comments: