04 November 2010

Kapitalisme Jawa


(Pernah dimuat di Harian Solopos, 24/02/08)


Konsep kewirausahawan menurut definisnya adalah tindakan seseorang untuk mengorganisasi, mengelola dan menentukan resiko sebuah bisnis. Pada masa penjajahan Belanda, kaum yang menggeluti dan mendominasi dunia usaha di tanah Jawa justru orang Eropa dan kelompok Vremdeoosterlingen (China-Arab), bukan etnis pribumi. Namun, di Kota Bengawan ada potret wirausahawan Jawa yang eksis sejak jaman Kerajaan Pajang hingga sekarang, yaitu komunitas dagang batik Laweyan.

Buku lahir dari tangan sejarawan Solo, Soedarmono “Mbok Mase Laweyan” (Yayasan Warna-warni, 2006), memaparkan betapa kuatnya mbok mase mengibarkan prestasi perdagangan sampai ke wilayah Pulau Jawa melalui jalur Bengawan Solo. Padahal, mereka saat itu mengalami tiga hal yang seharusnya sulit mendukung, yakni posisi gender, tekanan keraton dan secara geografis letaknya di luar keraton.

Masih dalam konteks Solo, penulis buku ini, Wasino, adalah orang kedua yang menemukan bukti entreprenuer Jawa yang sangat berbeda dengan kategori Soedarmono. Wasino dengan bukunya “Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran” ini, membuktikan bahwa dalam tembok keraton lahir pengusaha yang kehebatan bisa disandingkan dengan Mbok Mase Laweyan. Keraton Mangkunegaran tempatnya dan Mangkunegara IV adalah orangnya.

Sebetulnya kalau ditarik dari periode sejarah nusantara, profesi wirausaha di kalangan bangsawan bukan hal baru. Sektor perdagangan abad XV sudah marak, kerajaan-kerajaan di Jawa membidani perniagaan lintas pulau. Namun, era Mataram Islam kalangan elit pengusaha pailit karena kegagalan sentralisasi politik Sultan Agung dan dibarengi ambruknya kongsi dagang VOC, yang ikut menyurutkan perniagaan laut. Lalu, berkembanglah mitos tentang pemisahan kerja antara kaum bangsawan dengan rakyat kebanyakan.

Mangkunegara IV (1853-1881) berusaha mematahkan mitos ini. Beberapa waktu setelah memegang tampuk kekuasaan, ia membangun basis ekonomi modern, berupa perkebunan kopi dan industri gula. Lahan yang semula disewakan kepada para pengusaha Eropa oleh para pemegang lungguh (tanah jabatan) untuk industri perkebunan diambil alih dan dikembangkan sendiri sebagai basis ekonomi praja (kerajaan). Ada tiga hal yang melatarbelakangi Mangkunegara IV mengembangkan industri onderneming (perkebunan). Pertama, gula merupakan produk ekspor yang laku keras di pasaran. Kedua, tanaman tebu sudah terbiasa ditanam di sejumlah daerah Surakarta. Ketiga, penghasilan kerajaan dari pungutan pajak tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup para bangsawan (hal 47). Penulis jauh memandang industri gula Mangkunegaran sebagai bentuk kapitalisme priyayi.

Buku ini mengulas perubahan masyarakat Surakarta akibat kehadiran industri gula. Cara pandang masyarakat lebih maju karena bisa bersekolah dengan adanya pembiayaan dari pihak pabrik gula yang telah dianggarkan oleh penguasa. Fasilitas kesehatan berupa poliklinik di lingkungan pabrik telah meningkatkan standar kualitas hidup penduduk. Masyarakat diajari hidup sehat dengan dibangun jamban-jamban. Bersamaan dengan kemajuan perkebunan telah berdampak pada kemajuan wilayah Surakarta pada umumnya.

Jaringan transportasi dan perdagangan di wilayah perkotaan dan pedesaan berupa kereta api untuk keperluan mengangkut hasil gula dan kopi ternyata membuka isolasi desa-desa di sekitar perkebunan. Demikian pula perkembangan jalan raya Surakarta-Semarang, Surakarta-Yogyakarta, Surakarta-Sragen, Surakarta-Tawangmangu, serta Surakarta-Wonogiri membuka peluang kerja di sektor jasa transportasi, mulai dari gerobak, pedati, andong hingga bus.

Namun, ekses negatifnya pun tidak terelakan. Meluasnya kapitalisme perkebunan tebu telah menyebabkan kesenjangan sosial (social cleavage) yang pada gilirannya melahirkan ketidakpuasan di kalangan kelompok masyarakat terpinggirkan. Imbasnya, pengaruh politik dari pusat Kota Surakarta yang berkembang di abad XX berpengaruh terhadap konflik sosial di pedesaan tebu Mangkunegaran. Kecu, koyok dan begal adalah patologi sosial yang meresahkan warga perkebunan.

Yang memukau, penulis yang sehari-harinya dosen di Universitas Negeri Semarang itu, mendekontruksi tesis Geertz involusi pertanian dan kemiskinan bersama. Geertz yang berani menggeneralisasi bahwa masyarakat Jawa di pedesaan mengalami perkembangan ekonomi yang statis dan terjerat kemiskinan bersama.

Ketidaktepatan teori Geertz untuk wilayah tebu Mangkunegaran, adalah (a) terbukanya peluang ekonomi di luar sektor pertanian seperti jasa transportasi, perdagangan dll; (b) di wilayah perkebunan, tanah Mangkunegaran tidak ada hak kepemilikan tanah secara pribadi, hanya penguasaan tanah; (c) produksi pangan beras mengalami kenaikan yang dapat mengimbangi ledakan populasi penduduk (hal 381).

Buku Prof. Wasino M.Hum kaya arsip sejaman baik kualitatif maupun kuantitatif, yang kemudian dimasak dengan seperangkat metodologi sejarah dengan pendekatan sosial-ekonomi. Terbitnya buku ini sangat baik untuk acuan para pengambil kebijakan pertanian-perkebunan. Apalagi, Indonesia saat ini sedang mengalami keterpurukan ekonomi yang seharusnya dapat ditopang dengan pemberdayaan sektor perkebunan. Dari hasil rekontruksi sejarah ini menunjukkan, para pribumi Jawa atau bumi putra belum tentu kalah bersaing dengan orang asing dalam bidang wirausaha perkebunan. Sebuah karya yang patut diapresiasi, dan terutama menantang untuk dieksplorasi lebih lanjut.

(Resensi ditulis oleh Heri Priyatmoko, Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, UNS, Surakarta Jawa Tengah

No comments: