04 November 2010

Pajak dan Solusi Keuangan Kolonial di Hindia Belanda 1816 – 1925

Oleh : La Ode Rabani


Pengantar


Pembicaraan tentang ekonomi kolonial Belanda di Indonesia telah banyak menarik perhatian kalangan sejarawan di dalam dan luar negeri. Sumber utama tulisan ini dipahami dari artikel yang berjudul “Para Pemungut Pajak Kolonial”. Artikel ini membahas pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam pemungutan pajak di Hindia Belanda dalam rangka menutupi atau mengisi kekosongan kas Belanda sekaligus memparkan kebijakan yang ditempuh pemerintah kolnial Belanda untuk mengisi kekosongan kas negara.

Selain itu, dibahas juga beberapa kemungkinan sumber keuangan kolonial Belanda yang kosong, akibat dari banyaknya utang dan menanggung beaya perang yang tidak sedikit, seperti perang Diponegoro, perang melawan Belgia, Perang Padri, Perang Aceh yang mencapai 300 juta gulden, dan peperangan lainnya di beberapa daerah di Hindia Belanda pada periode itu. Semua perang itu ternyata menguras keuangan Belanda dan berakibat keuangan atau finansial Belanda mengalami defisit. Bagaimana (penguasa) pemerintah Kolonial Belanda melakukannya dan apa implikasinya bagi Keuangan Kolonial pasca penerapan kebijakan itu dijalankan?

Kondisi dan Sumber Keuangan Kolonial di Hindia Belanda

Kondisi keuangan pemerintah colonial yang defisit telah mendorong pemerintah untuk mencari berbagai alternatif kebijakan untuk menanggulangi kekosongan kas Negara Belanda. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mengintensifkan pajak dalam berbagai jenis seperti menaikan pajak penyerahan wajib, mengadakan penjualan tanah, penyerahan pajak tanah, pengeluaran uang kertas dalam jumlah banyak, dan sejenisnya. Selain itu, juga diadakan juga pajak candu, perdagangan, pajak transportasi, pajak pasar, pajak jalan dan jembatan, pajak perjudian, pajak penggadaian, pajak ternak, pajak minuman keras, pajak tembakau, pajak penagkapan ikan, pajak usaha kecil, pajak kepala, pajak penebangan kayu, pajak gula aren, pajak garam, dan pajak kecil lainnya. Semua itu adalah salah satu upaya pemerintah kolonial dalam memperbaiki keadaan finasialnya, baik untuk kepentingan di negeri Belanda maupun untuk kepentingan keuangan di Hindia (Indonesia).

Terdapat beberapa hal menarik yang bisa dipahami dari kebijakan itu, yakni pertama, tulisan ini memberikan inspirasi yang baik dalam memahami persoalan ekonomi dan kebijakan penguasa negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi (finansial). Kedua, dampak perubahan yang ditimbulkan oleh kebijakan itu penguasa itu pada masyarakat bawah sebagai bagian dari proses dan upaya pemulihan ekonomi colonial pada waktu itu. Ketiga, bagaimana rakyat memposisikan diri dalam mempertahankan peranan ekonomi yang sebelumnya mereka telah kuasai.

Kebijakan pemungutan pajak yang beragam dan detail yang dilakukan colonial selama 1816 – 1925 seperti ditunjukan di atas telah membawa kita pada pemahaman antara lain strategi penguasa dalam menyembuhkan ekonomi negara yang sedang sakit. Dalam konteks yang lebih luas, negara dengan penguasanya (Kolonial) tetap berupaya mempertahankan kekuasaan dan ekonomi negara melalui berbagai kebijakan. Berbagai upaya dilakukan seperti mengenakan berbagai jenis pajak kepada rakyat, yang kadang-kadang tidak semestinya. Dalam hal ini, rakyat ditempatkan pada objek eksploitasi yakni sebagai obat penyembuh negara. Pajak tanah, pajak penghasilan, pajak kepala, pajak ternak, pajak pemotongan hewan, dan sejenisnya adalah sekian jenis eksploitasi yang dilakukan negara untuk menyembuhkan ekonomi negara dan memberi makan pada para birokratnya. Belum lagi masalah monopoli pada beberapa komoditas seperti candu dan garam, juga berbagai hasil perkebunan kopi, lada, dan eksploitasi tenaga rakyat yang lain.

Pada puncak pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (culturstelsel) pada tahun 1836-1838, neraca keuangan Belanda mengalami surplus (kelebihan). Akan tetapi, keadaan di Hindia (Indonesia) menunjukan defisit besar. Artinya, kebutuhan dana untuk kepentingan pengelolaan sistem tanam paksa ada di Hindia, sedang semua hasil tanam paksa di daerah koloni (Hindia Belanda, kini: Indonesia) ditampung di Belanda. Jadi, wajar kalau neraca perdagangan di negeri induk mengalami surplus. Kalau demikian, posisi masyarakat pribumi makin jelas, yakni pada posisi tereksploitasi.
Akibat dari defisit anggaran di Hindia Belanda bersampak pada tingkat kesejahteraan yang menurun dan kemiskinan terjadi di hampir seluruh pedesaan Jawa yang saat itu menjadi objek utama sistem tanam paksa. Monetisasi (pengenalan sistem uang) di pedesaan tidak membawa kesejahteraan penduduk, malah yang terjadi sebaliknya, yakni kemiskinan, karena penduduk pribumi tidak terbiasa menggunakan uang. Keadaan penduduk pribumi makin berat karena pengenaan dan harus membayar pajak dalam berbagai jenis.

Dalam kondisi demikian, di Eropa terjadi pergeseran politik, yakni berkuasanya kaum liberal. Pada perkembangan kemudian tekanan terus diberikan kepada pemerintah Belanda untuk memperbaiki kesejahteraan di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda merespon reaksi dari kaum liberal itu dengan membentuk dan mengirim komisi kesejahteraan untuk menyelidiki sebab-sebab kemuduran kesejahteraan penduduk pribumi. Hasil dari komisi ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan “politik etis” yang menekankan pada tiga aspek, yaitu pendidikan, irigasi, dan transmigrasi. Realisasi dari kebijakan itu sedikit berdampak pada pendidikan masyarakat pribumi. Akan tetapi jika dilihat secara keseluruhan, maka ketiga aspek itu semata-mata dilakukan untuk kepentingan optimalisasi kekuasaan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia. Pendidikan diselenggarakan hanya untuk mengisi posisi-posisi yang tidak terisi oleh pemerintah kolonial akibat dari terbatasnya tenaga orang-orang Eropa (Belanda) di Indonesia. Masyarakat yang mendapatkan pendidikan pun terbatas, yakni golongan bangsawan. Lagi-lagi rakyat kebanyakan (pada umumnya) tidak diberi tempat dalam level pendidikan Belanda. hanya mereka yang berasal dari kaum aristokrasi dan pejabat kerajaan saja yang mendapat kesempatan sekolah yang lebih luas. Irigasi, jelas dalam upaya mengoptimalkan produksi hasil perkebunan dan padi sebagai sumber pangan di Jawa. Tanaman tebu untuk kebutuhan pabrik gula dan komoditas sejenisnya seperti tembakau. Jadi, tidak mengherankan kalau Jawa selalu mengalami surplus beras meskipun banyak tanah yang digunakan juga untuk tanaman tebu.

Transmigrasi yang dilakukan pertama ke Lampung pada tahun 1905, bukannya untuk memperbaiki keadaan ekonomi penduduk pribumi, tetapi telah menjadi objek eksploitasi dengan menggerakan rakyat transmigrasi (transmigran) melakukan pembukaan perkebuanan baru untuk penanaman lada dan padi. Selain itu, mereka juga dibebani dengan berbagai jenis kerja wajib dan pajak. Di sinilah letak kontradiksinya kebijakan politik etis menyengsarakan tetapi dikemas dengan bahasa kemakmuran.

Pada komoditi perdagangan candu diketahui selalu melalui perdagangan gelap, persaiangan antarkongsi, konsumsi candu, permintaan pasar, dan sebagainya. Fakta yang disajikan pada komoditas ini adalah ketika harga candu naik, maka permintaan naik. Indikasi yang diisyaratkan oleh fakta itu adalah pertama, para pemakai candu mempunyai banyak uang. Kedua, konsumsi bertambah, dan ketiga, apa implikasi dari konsumsi itu.

Para pemakai candu di Hindia Belanda adalah para bangsawan dan kelas menengah Indonesia waktu itu. Kasus di Bali dan Para priyayi Jawa dengan jelas sekali menunjukan bahwa yang mengkonsumsi candu adalah golongan bangsawan dan petinggi istana (kerajaan). Tentu saja pada proses selanjutnya, ternyata berhubungan dengan prestise sosial atau dalam bahasa sekaran dikenal dengan life style (gaya hidup). Pada pelaksanaan pesta-pesta kerajaan dan hajatan para keluarga bangsawan disajiakan minuman keras dan candu. Jadi, tidak heran kalau konsumsi candu masyarakat pada periode itu meningkat. Penyebab lain adalah pertambahan populasi (penduduk). Makin banyak pesta penduduk, tentu makin banyak candu yang digunakan atau dikonsumsi.
Kaitannya dengan perekonomian rakyat, jelas sekali bahwa rakyat disenangkan, lalu dieksploitasi. Artinya, rakyat dieksploitasi melalui kesenangannya. Akibatnya, rakyat ditempatkan dalam posisi paling rendah. “darah rakyat (orang kecil) yang harus membayar semuanya”. Kutipan ini menunjukan betapa posisi rakyat tidak punya bargaining position (posisi tawar-menawar) secara bebas dalam negara. Apabila dipikir secara lebih dalam, jelas peranan rakyat dalam upaya penyembuhan ekonomi kolonial sedemikian besar. Bahkan dalam kasus terakhir kita dapat melihat peran sentral rakyat dalam hal pajak yang dibayar kepada pemerintah dalam upaya menyembuhkan ekonomi negara yang sedang sakit. Krisis finansial dan ekonomi negara tidak mungkin dapat disembuhkan tanpa peran serta rakyat sebagai bagian dalam proses tersebut.

Dengan demikian ternyata ekonomi rakyat lebih dulu berkembang dan kemudian menjadi sumber pelengkap dalam proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pemerintahan suatu negara. Ketersedian sumber daya alam dan manusia (rakyat) menjadi penting artinya dalam upaya itu sebagai bagian dari proses secara keseluruhan dalam pemulihan ekonomi. Sebetulnya, negara ternyata dalam bebarapa hal tidak punya uang. Negara tanpa bekerja pun mendapatkan uang melalui kekuasaan yang dimiliki.

Catatan Akhir
Kasus yang muncul pada masa kolonial ini ternyata menjadi dasar pada pengelolaan negara hingga saat ini. Jadi tidak heran jika semua kenaikan pajak dalam segala bentuknya seperti yang terjadi akhir-akhir ini tidak lepas dari proses yang berkesinambungan dari praktek masa lalu. Jadi, seakan tidak ada bedanya penjajah dan pemerintahan sendiri, yakni ekploitasi untuk mendapatkan keuntungan dalam segala bentuknya.
Terlepas dari itu, ternyata proses sejarah masih tetap berlangsung, tanpa berhenti. Perilaku birokrasi yang konsumtif, elitis, populis, atas nama rakyat, strukturalis, dan sebagainya merupakan warisan dari masa lalu baik pada masa kerajaan maupun masa penjajahan Belanda. Semuanya hanya dipertegas saja dalam formulasi berbeda dengan hasil yang hampir sama (eksploitasi). Jangan-jangan sejarah ekonomi kita dari waktu-ke waktu tanpa perubahan.


Foto di samping kanan itu menjadi inspirasi dan sekaligus pembanding apa yang dilakukan di masa lalu dan masa sekarang. Jika di masa lalu ada banyak sumber ekonomi yang bisa mendatangkan uang, maka di masa sekarang justru terbalik. Persamaannya terletak pada tujuan negara agar negara dan penguasanya terus berlanjut atau survive, apakah hanya cara ini untuk mencapai tujuan itu? saya juga masih berpikir he...he...
Bagaimana menurut anda?





Referensi

Breman, J. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja, Jawa di Masa Kolonial, Jakarta, LP3ES, 1968

Burke, Peter, History and Social Theory, United Kingdom: Polity Press, 1992

Cyril S. Belshaw, Tukar-Menukar Tradisional dan Pasar Modern, Jakarta: Gramedia, 1981

de Graaf, H.J. dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, kajian Sejarah Politik abad ke-15 dan abad ke-16, Jakarta, Grafiti Press, 1974

Dick, H. W, “Nineteenth-Century Industrialization: A Missed Opportunity”, dalam Thomas Lindblad (ed.) New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia, Leiden: Program of Indonesian Studies, 1993.

Furnivall, J.S, Netherlands Indie, A. Study of Plural Economy, New York: Cambridge University Press, 1984.

Garraghan J. Gilbert, A Guide To Historical Method, New York: Fordham University Press, 1957

Jaaroverzich van den In-en Uitvoer van Nederlandsch-Indie Gedurende het Jaar 1936 deel II Buiten Gewesten, 1937.

Knaap, G.J, Changing Economy in Indonesia, Transport 1819-1940, Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1989.

Madison, A dan Ge Prince, Economic Growth in Indonesian, 1820-1940, Dordrecht-Holland: Foris Publication, 1989.

No comments: