19 November 2010

Menelusuri Sejarah Banjir di Batavia*

Sumber informasi dari Buku: Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir di Jakarta dari Masa ke Masa, Jakarta: Kompas, April 2010


Penanggulangan banjir sudah dilakukan sejak masa VOC, tapi air tetap merendam Jakarta.

BATAVIA, 1 Januari 1892. Selama delapan jam lebih, hujan turun begitu lebatnya. Saluran air tak mampu menampung limpahan air. Banjir pun melanda. Sejumlah rumah terendam banjir. Rel kereta api Batavia-Buitenzorg nyaris terendam di daerah sekitar Pasar Minggu.

Setahun berselang, banjir kembali melanda. Kali ini banyak perkampungan dan bagian kota yang lebih modern ikut terendam seperti Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan, dan Kemayoran. Banjir tak hanya merusak jalan-jalan di Weltevreden, “tapi juga merusak perekonomian,” tulis Restu Gunawan, penulis buku ini. Singkat kata, “banjir yang terjadi tahun 1893 mengakibatkan Batavia terendam.”

Jakarta (dulu Batavia) merupakan dataran rendah yang elevasi maksimalnya tak lebih dari tujuh meter dpl. Di banyak tempat, bahkan ada yang berada di bawah permukaan laut. Jumlahnya kira-kira mencapai 40 persen. Konsekuensinya: Jakarta langganan banjir. Selain dua banjir di atas, banjir terjadi pada 1895 dan 1899.

Pada abad berikutnya, hujan deras pada 19 Februari 1909 menyebabkan sebagian besar wilayah Batavia terendam. Harian De Locomotief sampai mengkritik pemerintah dengan tulisan berjudul “Batavia Onder Water” (BOW) alias “Batavia Di Bawah Air”. BOW jadi populer karena merupakan singkatan kantor sarana dan prasarana pemerintah (Burgelijke den Openbare Werken) yang juga menangani masalah pengairan.

Beragam upaya terus dilakukan penduduk atau instansi resmi sebagai respon atas banjir. Seiring perjalanan waktu, upaya itu berkembang dan kian terorganisasi.

Berdasarkan catatan, VOC di bawah Jan Pieterzen Coen-lah yang paling awal mengupayakan penanggulangan banjir di Batavia. Coen melakukannya dengan “menjinakkan” sungai Ciliwung, salah satu sungai utama yang melintasi Batavia, yang dianggap sebagai penyebab banjir. Caranya dengan menyodet banyak sisi badan sungai itu. Sodetan-sodetan sengaja dibuat menjadi kanal-kanal atau terusan seperti di kota-kota di Belanda. Fungsinya mereduksi beban debit air Ciliwung. Kanal-kanal itu mengalirkan air dari hulu ke hilir di Laut Jawa.

Upaya Coen tak benar-benar berhasil. Banjir tetap saja terjadi. Terlebih banyak kanal mengalami pendangkalan. Endapan material-material yang dibawa air dari hulu lah penyebabnya. Banyak kanal kemudian tak berfungsi.

Kendati upaya penanggulangan masih terus dilakukan pada masa selanjutnya, banjir tetap sulit dijinakkan.

Pada masa kolonial, pemerintah membentuk Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW) pada 1918. Setelah Departement van Verkeer en Waterstaat (Departemen Perhubungan dan Perairan) dibentuk pada 1933, penanganan banjir di Batavia diserahkan kepada Gemeentewerken –badan yang mengurusinya di tingkat kotapraja.

Penanganan banjir menjadi salah satu program kerja terpenting pemerintah kolonial. Pemerintah kotapraja pada 1910 menganggarkan 25 ribu gulden untuk menanggulangi banjir di daerah Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng. Pemerintah juga mengadakan penelitian sehubungan dengan meningkatnya penebangan hutan untuk perkebunan di daerah Bogor dan sekitarnya. Tindak lanjutnya, Herman van Breen, seorang insinyur hidrologi, ditunjuk untuk menyusun perencanaan pengairan di Batavia. Hingga akhir 1913 ada lima proyek utama yang disetujui pemerintah: pembuatan pintu air Matraman, pintu air Gusti, normalisasi Sunter, kanal banjir, dan saluran Cideng.

Puncak pengendalian banjir di Jakarta terjadi pada 1913-1930. Pada 1927 saja pemerintah mengeluarkan 288.292 gulden untuk membiayai delapan proyek. Dalam upaya tersebut, kelebihan pemerintah kolonial adalah preventif. Sedangkan kelemahannya, tulis Restu Gunawan, keterbatasan dana.

Di masa Jepang, penanggulangan banjir terbengkalai. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia sibuk dengan urusan mempertahankan kemerdekaan. Banjir hanya ditanggulangi masyarakat dengan cara-cara yang bersifat temporal dan lokal.

Masalah banjir mulai mendapat perhatian pada 1965. Pada Februari 1965, pemerintah membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir –kemudian diubah pada 1972 menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya. Tugasnya mengadakan usaha-usaha untuk mencegah dan mengendalikan banjir di Jakarta serta melakukan berbagai tindakan perbaikan pengaliran dan saluran, pembuatan tanggul, dan lain-lain. Badan-badan itu berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Pemerintah DKI sendiri hanya kebagian tanggung jawab mengurusi proyek-proyek mikro (nonstruktural); proyek makro(struktural) berada di tangan pemerintah pusat.

Pemerintah juga menggandeng pihak asing. Hasilnya antara lain pembuatan waduk dalam kota serta pembuatan saluran baru seperti saluran Cengkareng dan saluran Cakung. Pada 2000-an, pemerintah kembali mencoba menangani banjir dengan membangun Kanal Banjir Timur. Model penanggulangan dengan membuat kanal banjir, yang sebetulnya merupakan gagasan van Breen pada 1923, disangsikan dan menuai banyak kritik.

Sama seperti penanggulangan banjir masa kolonial, kelemahan masa republik juga sama: dana. Akibatnya, banyak proyek gagal dilaksanakan.

Selama hampir satu abad, tulis Gunawan, ada dua cara yang ditempuh: sistem makro dan sistem mikro. Dalam sistem makro, pembangunan kanal dan sistem polder serta pembuatan waduk penampungan cenderung dipilih. Sistem kanal tak begitu efektif lantaran kondisi topografis Jakarta yang datar sehingga aliran air tak begitu kuat. Selain itu, sampah dan sedimentasi lumpur yang besar juga menghambat aliran air. Sedangkan sistem polder terkendala oleh permukiman penduduk. Aliran air ke polder jadi tak lancar.

“Mencermati kegagalan demi kegagalan dalam pengendalian banjir,” saran Gunawan, “upaya pengendalian banjir oleh pemerintah harus dilakukan lebih konseptual dengan mengatasi akar penyebabnya, yaitu menurunnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan.” [MF MUKTHI]

*adaptasi dari judul artikel Air Mengalir Sampai Banjir yang dimuat di majalah historia-online.com.

Ini Link aslinya: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-347-air-mengalir-sampai-banjir.html

No comments: